MENIKAH DENGAN SETAN

By IsrinaSumia

269K 6K 305

Kematian keluarga Abyakta telah ramai terdengar di warga Deda Poncol Magetan. Peristiwa tahun 1968 telah meni... More

PROLOG
PART 1
PART 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 22
BEDAH BUKU & OPEN CASTING

Part 21

10.9K 262 13
By IsrinaSumia

#MENIKAH_DENGAN_SETAN
#PART_21

Kata ‘membebaskan’ yang diucapkan Rhandra begitu menusuk dan mengiris hati. Wanita itu duduk termangu dan membiarkan air mata mengalir tak henti membasahi wajah, angannya terus memikirkan penyakit yang diderita suaminya. Tak peduli seberat apa pun penyakitnya, Halimah ingin selalu bersama lelaki itu. raganya hidup, tapi jasadnya terbang seperti meninggalkan tubuh yang semakin rapuh.

“Nak, minum dulu,” kata Dasinun yang baru saja masuk kamar. “Halimah, sadar Nak. Apa yang terjadi denganmu?”

Kemarin saat dirinya menghilang, Dwi, Sur, Haikal, juga warga desa turut membantu Dasinun mencarinya. Mereka mengunjungi Gedong Tua, dan menemukan sepeda Halimah di halaman Gedong Tua. Penemuan sepedanya justru kini menjadi berita hangat di kampung, bahwa pernikahannya dengan penghuni Gedong Tua semakin mencuat, Halimah hilang dan tak satupun yang bisa menemukan.

“Istigfar Nak.”

Halimah bergeming, hidupnya terasa hampa. Yang ia inginkan hanya Rhandra. Menjelang siang, putrinya tak juga sadar. Terus diam mematung, sepasang netra kosong dan hanya berisi kehampaan, tanpa makan juga minum.

***

Sur berlari setelah melihat Haikal memarkirkan mobilnya. “Mbak sudah pulang, Mas.”

Senyum Haikal merekah. Ia berlari ke dalam. Atas izin Dasinun, laki-laki itu bisa masuk kamar Halimah kemudian melihat wanita yang selalu mengisi ruang di hatinya itu duduk di ujung tempat tidur dalam keadaan lutut menempel di dada, sorot matanya kosong. Haikal duduk di samping tempat tidur.

“Halimah, apa yang terjadi denganmu di Gedong Tua? Apa kamu bertemu dengan Rhandra?”

Ujung bibir Halimah tertarik. Ia kembali ingat alasan Rhandra meninggalkannya. Karena lelaki inilah, Rhandra memutuskan untuk mundur, karena lelaki ini juga akhirnya ia harus berpisah dengan suaminya.

“Kenapa kamu peduli denganku, Mas? Aku tidak butuh perhatianmu, menjauhlah dariku!” rutuknya sinis.

“Nak, kamu tidak boleh bicara seperti itu. Semalaman Nak Haikal mencarimu.” Dasinun datang seraya meletakkan teh hangat untuk Haikal.

Halimah bergeming kemudian merasakan wajahnya memerah, badannya berkeringat dan menggigil.

“Kamu baik-baik saja, Halimah?”Sorot mata Haikal terlihat berkaca-kaca.

Dasinun memegang dahi juga tubuh putri. Panas, Halimah demam. “Kamu sakit, Nak. Sebentar, Bue cari obat dulu.”

“Halimah, kita ke rumah sakit?” bujuk Haikal

Wanita itu masih diam. Sementara Dasinun panik, ia mengambil jaket juga dompet yang disimpan di lemari. “Ayo Nak, kita ke rumah sakit saja.”

“Tidak usah, Bue.”

“Jangan menolak! Bue sudah sabar dengan kelakukanmu!”

Tubuh Halimah lemas, kedua kakinya tak sanggup menahan tubuhnya. Pemuda itu mengantar Dasinun juga Halimah menuju rumah sakit. Sore itu mereka memeriksa kondisi Halimah yang sudah kepayahan.

“Tidak ada masalah serius kan, Dok?” tanya Dasinun khawatir.

“Insyaallah tidak ada, Bu. Anak Ibu hanya kurang istirahat, dan kurang makan. Ada sedikit lebam di kepala, itu yang menyebabkannya demam. Jika panasnya tidak turun dalam tiga hari, datang lagi ya.”

“Terima kasih, Dok.”

Dasinun memapah Halimah sementara matanya yang kini sendu terus menerus menatap Dokter yang sedang sibuk menuliskan resep untuknya, perlahan ia turun dari ranjang rawat, menatap lamat-lamat pada dompet Ibunya saat berjalan menuju pintu kemudian dengan cepat ia merampas dompet dari tangan Ibunya, masuk kembali, dan mengunci pintu ruangan.

“Kamu mau apa? Suster!” teriak Dokter panik, wanita itu tersungkur.

“Halimah!” Dasinun menggedor-gedor pintu dari luar. Beberapa suster di luar pun menjadi panik, berlarian memanggil keamanan.

“Saya mohon Dokter, berikan saya waktu untuk bertanya.”

“Tidak ada masalah serius dengan penyakitmu! Pasien lain banyak yang menunggu!”

“Kali ini saja Dok, saya tidak punya uang banyak, saya mohon.” Kondisi Halimah sangat mengenaskan wanita itu duduk di bawah seraya menangis kemudian sesenggukan menunjukkan beberapa uang kecil dari dompet ibunya, berharap dokter ini mau menerima belas asihnya. Tak butuh waktu lama, melihat kondisi Halimah yang cukup mengenaskan bahkan rela duduk bersimpuh, “katakan,” ucapnya. Wanita berseragam putih itu terenyuh, kemudian mendekati Halimah dan memegang pundaknya.

“A-ap-pakah HIV bisa disembuhkan?”

“Sampai saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkannya, Mbak. Namun, ada obat yang bisa mengurangi perkembangan virus dalam tubuh penderita HIV.”

Hati Halimah hancur mendengarnya. “Apakah penderita HIV bisa hidup normal?”

“Bisa. Selama ia mengkonsumsi obat ARV dengan baik juga tepat waktu, ia harus memiliki seseorang untuk terus menjaga waktu pemberian obat. Sebisa mungkin tidak boleh telat. Makanannya harus dijaga, tubuhnya juga harus dijaga dari luka. Sayatan pisau, atau apa pun itu harus segera diobati, karena seorang ODHA sistem kekebalan tubuhnya sudah rusak. ODHA juga bisa berkeluarga, dan memiliki keturunan. Meskipun belum ada obat yang bisa menyembuhkan, tapi penderita ODHA memiliki satu kesempatan sembuh.”

Halimah terperangah jawaban dokter membuka pemikirannya, Rhandra masih bisa bekeluarga lelaki itu masih punya harapan untuk memiliki keturunan. “Apa itu dok?”

“Allah yang memberikan penyakit, dan Allah juga yang Maha Menyembuhkan. Siapa pun yang menderita HIV di keluarga Mbak saya turut simpati. Sebaiknya penderita HIV melaporkan diri ke dinas setempat, mengingat warga desa kita yang masih awam dikhawatirkan akan ada tindakan di luar kemanusiaan.”

“T-terima kasih, Dokter.”

“Bawa saja uangnya.” Dokter itu memapah Halimah, dan membuka pintu yang ia kunci.

Mendengar jawaban dokter membuat Halimah yakin, ia akan tetap bertahan dengan Rhandra. Cintanya tulus. Dokter benar, bahwa obat dari segala macam penyakit hanya Allah. Halimah bangkit, ia yakin Allah akan menyembuhkan penyakit suaminya.

***

“Ya Allah, izinkan hambamu mengeluh, hamba sudah tak sanggup menopang air mata, juga menahan perihnya dada ini. Allah, mengapa cinta ini begitu berat, kenapa kautanamkan cinta ini jika akhirnya harus berakhir? Aku tak sanggup berpisah dengannya, ya Allah. Jika kematian bisa membawaku bersamanya di surgamu, aku ikhlas. Ya Allah, sembuhkanlah penyakit Rhandra Abyakta, tunjukan keadilan-Mu di matanya. lelaki itu tak bersalah. Ya Allah, aku merindukannya, rindu suamiku! Allahuma ya Allah sembuhkan suamiku, sembuhkan Rhandra. Allahuma ya Allah sembuhkan penyakitnya. Hilangkan virus itu dalam tubuhnya. Sem …,” lirihnya di sepertiga malam ketika baru saja ia tersadar dari lelap panjangnya. Wanita itu bersujud dan tak lama isak tangis itu pun kembali terdengar.

Dari luar, ia lihat begitu khusyuk Halimah bermunajat hingga perlahan perih pun ia rasakan. Dasinun masuk ke kamarnya, menyejajarkan posisi duduk kemudian merengkuh erat tubuh putrinya. Ia usap wajah putrinya yang basah. “Sayang, anak Bue, masih ingatkah kamu Nak, saat kamu dulu menangis? Bue akan mencubit pahamu, karena tangisanmu yang sulit dihentikan. Apa perlu Bue melakukan itu? Hati Bue sakit melihatmu seperti ini. Katakan pada Bue, apa yang terjadi denganmu?”

“Halimah mencintai Rhandra, Bue. Kemarin dia meminta Halimah pergi. Bue benar, Rhandra mengidap HIV, tapi itu tidak menyurutkan cinta Halimah padanya. Rasa di dalam ikhlas akan semua keadaannya. Halimah harus apa, Bue? Dia pasti membutuhkan Halimah, dia egois menyimpan penyakit juga deritanya, bukankah suami istri harus berbagi kebahagiaan juga kesedihan? Kenapa nasib Halimah seperti ini, Bue? Kenapa?” lirihnya.

Bulir bening menetes di dua sudut mata, wanita paruh baya itu pun belum bisa memutuskan, wujud Rhandra sama sekali tak ada di bayangannya. Yang ia tahu hanya Haikal. “Sabar, Nak.”

***

Kondisi Rhandra pun tak lebih baik dari istrinya. Ia terus terjaga sejak ia memutuskan berpisah dengan Halimah. Hatinya keras, sulit bagi Sum maupun Darmin meyakinkan Rhandra akan besarnya cinta Halimah padanya. Rhandra keluar dari kamar, kemeja gombrong hitam ia kenakan, jeans, dan kacamata hitam yang menempel di mata yang mungkin sudah berwarna hitam.

“Pak Darmin yakin ini alamatnya?”

“Yakin, saya antar, Den?”

“Tidak perlu, biar saya berangkat sendiri.”

“Den, sarapan dulu,” ucap Sum cemas. “Dari semalam belum minum obat juga.”

“Lain kali saja, Mbok.”

Lagi-lagi lelaki itu tak peduli akan kondisi tubuhnya. Semenjak perpisahannya dengan Halimah, lelaki ini lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, sejenak lupa akan penyakit mematikan yang bisa saja mengancam jiwanya dalam sesaat. Harapan pupus meski, rasa juga perhatian selalu ia berikan untuk istrinya dari jauh. Semua ia lakukan untuk Halimah, apapun itu akan ia korbankan. Jika ditukar dengan nyawa pun akan ia berikan.

Rhandra mencari tahu keberadaan Faisal, lelaki yang dulu pernah melecehkan istrinya, karena lelaki itu juga istrinya difitnah dan diperlakukan bagai binatang. Angannya selalu terbang ketika mengingat bagaimana istrinya rapuh di pelukan ketika bercerita tentang kejadian malam itu. Kemarin siang, ia mendapat informasi terkait Faisal dari Darmin, lelaki paruh baya yang sudah seperti Ayahnya itu terus mencari informasi semenjak Rhandra memintanya beberapa minggu lalu.

Tiba di sebuah rumah di daerah Magetan.

“Habis kau Faisal,” gerutu Rhandra kesal. Membayangkan Faisal menyentuh tubuh Halimah, rasanya ingin mematahkan tangan juga menghancurkan isi kepala Faisal. Pukul 9 lewat 28 menit, seorang wanita berkaca mata hitam menjemput Faisal menggunakan sedan Toyota.

Ia kemudikan mobilnya mengekor pada kendaraan sedan di hadapan, kemudian mobil mereka menepi di sebuah kafe di taman kota Magetan. Ia perhatikan lamat-lamat, Faisal juga rekannya duduk di kursi kafe, berbincang juga sesekali tertawa, kemudian perlahan darah menjadi panas begitu saja merasakan air mata Halimah yang masih menetes di pundaknya, merasakan cengkraman jemari lentik istrinya ketika menceritakan prilaku keji yang dilakukannya.  Rhandra turun dari mobil, mengenakan kemeja gombrong hitam dengan kacamata yang sejak tadi ia gunakan, ia regangkan otot kemudian perlahan mendekati meja  mereka.

“Kamu Faisal?”

“Iya, kamu siapa?!” jawabnya seraya megembuskan asap rokok hingga samar terlihat wajah Rhandra, Faisal bangkit seraya menyingsingkan kemeja ke siku.

Kacamata dilepasnya kemudian Rhandra duduk di hadapan seraya mengusap kacamata yang sempat berkabut karena asap rokok yang lelaki itu embuskan.Terlihat santai dan cukup tenang, sementara Faisal juga wanita yang duduk di sampingnya terdiam memandang aneh pada sikap Rhandra yang hendak menyiapkan sesuatu.

“Kamu kenal dengan Halimah?”

“Halimah? Kenapa belakangan banyak lelaki menanyakan Halimah pada saya?”

“Halimah siapa, Sayang?” tanya wanita di sebelahnya.

“Bukan siapa-siapa, Sayang. Cuma gadis bodoh dan naïf yang menolak saya dulu!”

Rhandra pejamkan mata, mencoba menahan emosi yang kian membara. Meski nyatanya begitu sulit hingga kemudian ia murka dan menendang kursi Faisal hingga terpental satu meter kebelakang, kepala Faisal terbentur lantai, cangkir kopi pecah tercium bibir keramik sementara wanita di sampingnya menjerit-jerit memohon bantuan.

“Setan!” Faisal bangkit kemudian hantaman keras dilayangkan Faisal ke arah lawan. Rhandra menangkap tangannya kemudian memelintir ke arah berlawanan, hingga terdengar suara gemelutuk tulang, tulang tangannya patah. “Ahhh!”

Lelaki bertubuh kekar itu mengepal tangan kanan, dan menghajar wajah Faisal hingga roboh. Darah segar keluar dari mulut juga hidung. Faisal roboh, merasa semakin nyeri karena lutut Rhandra bertengger di dada Faisal, lelaki itu menekan keras pada jantungnya. “Wanita itu istriku, Bodoh!”

“Cuih!” Faisal meludah darah. Ia ingin membalas, tapi kekuatan Rhandra sepertinya dua kali lebih besar darinya.

Lelaki itu bangkit kemudian menginjak telapak tangan Faisal dan menekannya seperti puntung.

“Haaa!” jerit Faisal kesakitan.

“Tolong lepaskan pacar saya!” rintih wanita yang sejak tadi bersamanya.

“Dengar, pukulan itu karena kamu berani menyentuh istri saya! Jika suatu saat kamu menganggu dia lagi, bukan tangan dan wajah ini saja yang hancur, hidup juga keluargamu akan kuhancurkan!”

Faisal roboh, napasnya tersengal. Berulang kali ia menelan salivanya, menahan rasa sakit pada tangan juga wajahnya yang babak belur.

Lelaki itu bangkit lalu keluar dari kafe seraya mengambil tisu yang tergeletak di meja. Rhandra berjalan keluar seraya mengusap darah Faisal yang menempel di tangannya. Menyesal tidak menghabisi lelaki busuk yang baru saja ia berikan teguran keras. Setelahnya lelaki bertubuh tinggi besar itu pulang dan langsung menuju surau tempat Halimah mengajar.

***

“Ibu, menunggu siapa?” tanya Halimah yang baru saja datang memarkirkan sepeda ontelnya. Wanita itu cukup kaget, melihat puluhan orang tua murid sudah memenuhi pekarangan yayasan. Sorot tajam juga sinis mereka lemparkan pada wanita berhijab itu, pertanyaannya pun mentah tak terjawab. Cibiran, juga rutukkan ia terima begitu ia datang.

“Halimah, ayo masuk!” Teman mengajarnya menarik lengan Halimah. “Halimah, mereka mendesak agar kamu tak mengajar anak-anak lagi.”

“Kenapa?”

“Kita tunggu Pak Haikal saja, biar ia yang menjelaskan pada mereka. Sekarang kamu tunggu saja di kantor.”

Tak lama lelaki yang mereka tunggu datang. Kendaraan jeep hitam milik Haikal terparkir, dan seketika orang tua murid bergerumul mendekat dan kemudian memaksanya untuk mengeluarkan Halimah dari Yayasan. Riuh suara-suara caci maki yang dilontarkan mereka pada istri Abyakta. Sementara wanita itu tetap diam, karena masalah yang menimpanya tidak sekedar ini, ada masalah yang lebih besar dari ini semua yang cukup membuatnya menjadi wanita yang hampir tak waras, masalah yang cukup membuat dirinya rapuh, masalah hati yang tak kunjung sembuh bernama rindu. Rindu akan suaminya lebih besar dari sekedar hinaan, caci maki yang mereka lontarkan. Haikal duduk di tengah bersama ibu-ibu yang menuntut berhentinya Halimah sebagai guru. “Mohon maaf, Bu, saya tidak bisa memberhentikan Bu Halimah, dia adalah guru yang rajin di sini, anak-anak juga senang dengan kehadirannya.”

Halimah mendengar dari balik jendela, rasa khawatir memenuhi relung hatinya.

“Kalau begitu, anak-anak kami yang akan keluar dari sini. Kami tidak mau anak kami diajar oleh seorang wanita yang melakukan praktik penyugihan! Menikah dengan setan!”

“Masyaallah. Itu fitnah, Bu,” jawab Haikal membela wanita yang ia cintai.

“Saya akan berhenti, Bu. Terima kasih sebelumnya. Mohon jangan berhentikan anak-anak dari sini, tempat ini adalah tempat terbaik dari kesekian banyak lembaga di desa kita.” Halimah keluar dari ruangannya,memahami bahwa tak akan satu pun orang yang percaya jika dia sungguh telah menikahi manusia bukan setan. Ia berjalan pelan keluar yayasan mengambil sepeda ontel tanpa menoleh.

“Halimah!” Haikal mencoba menghalanginya.

“Nggak apa-apa, Mas.”

“Saya memang sudah menikah, Bu, tapi bukan dengan setan. Saya pun tak pernah melakukan praktik penyugihan,” lanjutnya tenang.

Halimah meninggalkan surau dengan berat hati. Tak tahu ke mana lagi kaki akan membawanya. Wanita itu hanya menuruti setiap langkahnya. Sepedanya berhenti di sebuah jembatan. Ia turun dan berpijak di salah satu anak pagar jembatan, dan dibentangkan kedua tangannya. Memandang ke bawah, dengan sorot mata yang kosong.

“Jika Allah berkehendak mati padaku, pasti jembatan ini akan runtuh kemudian membuat tubuh ini terjatuh hingga remuk dan terbawa arus sungai yang dalam. Tak ingin aku mengakhiri hidup, tapi biarlah kau yang mulai. Karena nyatanya hidup tanpanya hanya bisa membuatku gila, semua menjadi  gelap tanpanya, jika putih hanya bisa kudapatkan di tempat-Mu, aku akan menunggu. Tak usah acuh dengan lelaki yang nyatanya tak acuh padaku. Terbangkan cinta yang nyatanya membuat raga menjadi rusak.” Ia bentangkan tangan kemudian menghirup udara lalu mengempasnya, “bawa aku Allah!”

“Apa yang kamu lakukan?”  Tubuhnya tertarik ke bawah dan kini berada di pelukan kekasih, lelaki yang sejak tadi nyatanya serius memperhatikannya dari belakang. Sepasang netra saling beradu. Rasa khawatir begitu membuncah di dada, Rhandra teringat perkataan Sum, bahwa Halimah siap mati untuknya, bahwa Halimah lebih baik mati dari pada berpisah dengannya. 

“Rhandra?” Hatinya berdegup kencang, lelaki yang ia rindukan kini terasa dekat dan nyata, embusan napas, juga hangat pelukan kini ia kembali dapatkan.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu bodoh atau apa Halimah? Kamu punya adik, Ibu, kamu bisa melanjutkan hidup! Apa yang kamu lakukan! Berhenti berbuat bodoh seperti ini!”

Perlahan senyuman di wajah wanita di hadapan terangkat, matanya berkaca-kaca mencoba menyampaikan nilai rindu dari amarah sang kekasih. Tapi ia paham, begitu kerasnya Rhandra dan masih teringat bagaimana Rhandra membiarkan dirinya terampas dari pelukan, membiarkan Rhandra telah membebaskan, hatinya kembali luka dan sakit.

“Aku tahu kamu akan datang, aku tahu kamu selalu memperhatikanku, aku tahu kamu begitu peduli padaku, karena aku tahu kamu begitu mencintaiku. Berapa harga nyawamu? Sehari, seminggu, sebulan, setahun, sepuluh tahun … katakan? Setiap manusia punya harga akan kematiannya, kamu tidak bisa menakarnya. Kamu tak perlu khawatir, aku tak akan bunuh diri. Biar Allah yang menjemputku dengan tangan-Nya.”

“Diam!” teriak Rhandra cemas, sudah lama tak terdengar di telinga Halimah. Teriakan yang seketika membuat aliran darahnya lambat, dan detak jantungnya melemah.

“Aku lelah denganmu Rhandra, pergilah jika kamu mau!” Ia beringsut seraya melepaskan tangan Rhandra yang melingkar di perutnya kemudian pergi. Hati lelaki itu hancur, sesak. Melihat tubuhnya berjalan ke belakang tanpa menoleh, seperti setuju dengan perpisahan yang ia harapkan. Hingga kemudian ia menunduk, merasa nyeri di dada sesaat setelah melihat Halimah ikhlas dengan perpisahan yang ia buat sendiri.

“Halimah!”

Hening, wanita itu bergeming kemudian mengayuh sepeda dan membiarkan suaminya mematung. Diam dan kemudian berteriak kencang melepas rasa rindu yang nyatanya lebih berat dari sakit yang rasakan.

"Karena nyatanya bebas tak selamanya putih. Nyatanya kebebasan yang kauberikan hitam bagiku, kini biarkan kucari kebebasanku sendiri," bisik Halimah dalam hati.

Continue Reading

You'll Also Like

762K 86.9K 46
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
16.4M 656K 38
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
279K 17.8K 44
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
334K 5.7K 15
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...