Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

18K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 1.6

209 61 97
By monochrome_shana404

Awan gelap memenuhi langit musim semi. Namun awan-awan itu segera turun menjadi air, mengguyur Shinjuku tanpa ampun, seolah mereka sanggup membalut duka. Barangkali bunga sakura akan mekar terlambat dibuatnya.

Tentu saja hujan tidak akan menghalangi para murid untuk masuk sekolah. Hampir dua minggu setelah hari pertama, Kirika bahkan tak kunjung menginjakkan kaki ke sekolah. Semua orang, termasuk yang di lingkungan sekolah belum berhenti membicarakan gadis itu, tepat mengenai apa yang terjadi di gelanggang es pada saat kompetisi figure skating tingkat nasional. Ditambah lagi kedua orang tuanya yang meninggal di waktu yang sama.

Sebagian di antara mereka ikut berkabung. Teman-teman Kirika menyadari bahwa si gadis Alford tidak ingin dikunjungi, maka mereka memutuskan untuk mengirimkan surel. Meski belum mendapatkan balasan sama sekali, mereka berharap surel-surel yang mereka kirimkan mampu mengobati hati yang sepi.

Jejak tak kasat mata tercipta dari dua orang siswi yang tengah menyusuri koridor menuju kelas. Meski hujan turun, masih banyak yang menempati koridor. Di antara mereka tergesa-gesa masuk ke kelas, selebihnya masih sibuk dengan urusan masing-masing.

"Sepertinya wajar jika dia masih belum mau masuk sekolah," komentar salah satu siswi. "Aku juga akan melakukan hal yang sama jika itu terjadi padaku. Aku pasti akan merencanakan pembalasan dendam kepada siapa pun yang sudah melakukan semuanya."

"Aku berharap dia masuk hari ini. Kompetisi figure skating juga terasa sepi tanpanya. Musim lalu dia memang harus benar-benar beristirahat," sahut temannya. "Pasti dia sudah bisa berdiri tegak dan mulai meluncur dengan sepatu roda sekolah nanti!"

"Yah ... semua orang juga berharap begitu."

Cengkerama kemudian mereka kicaukan meski sudah berbelok menuju kelas. Dari jendela mereka mendapati sekelas yang ricuh, berkumpul di bangku tengah. Sebelum masuk, keduanya menyempatkan diri saling bertukar pandang penuh tanya.

Menginjakkan kaki masuk ke kelas, mereka berdua sudah disambut dengan bau busuk yang menyeruak menusuk hidung. Yang satu nyaris muntah, memilih untuk mundur menjauhi kelas. Sementara yang tersisa memilih untuk maju dan bertanya kepada salah satu di antara mereka yang berkerumun.

"Ada apa?"

"Meja Kirika ... sepertinya ada yang menindasnya."

Yang menerima jawaban mengernyit. Siapa yang berani menindas Kirika? Tak lama, salah satu siswi tadi melangkah maju mendekati meja Kirika. Manik kecilnya membaca banyak kata-kata kasar yang tertulis di meja itu, lengkap dengan kotak jus yang menumpahkan darah babi. Darah babi itu mulai menetes-netes ke lantai. Belum lagi bangkai tikus yang tergeletak di sana, lepek karena darah.

Inilah asal muasal bau busuk itu.

"Siapa pun yang berada di pihak Alford, dia akan mati." Si murid membaca tulisan paling besar. "Semuanya, cepat bersihkan ini sebelum Kirika datang!"

"Tetapi dia belum tentu—"

"Datang hari ini?"

Tiap-tiap jantung seolah terlonjak. Semua orang mengenal betul suaranya. Pasang demi pasang mata segera melemparkan pandangan kepada sosok pemilik suara. Kirika di sana, berdiri dengan kedua kaki yang masih utuh.

"Selamat pagi," sapa Kirika.

Si manik delima menyapu satu per satu teman-teman sekelasnya. Di kala ia mengambil langkah menuju mejanya, tetapi mereka segera berkerumun menutupi meja tersebut. Lantas Kirika mengarahkan pandangan kepada murid bermanik kecil. Dia memiringkan kepala, lantas melontarkan pertanyaan, "Ada apa, Aikawa?"

Yang disebut namanya hanya diam, memberanikan diri untuk memandang lurus manik Kirika. Dia menelan ludah. Meski mencoba mengumpulkan nyali untuk menautkan alis, sama sekali ia tak temukan keberanian untuk menjawab.

"Aku mencium bau darah dari sana." Ungkapan itu membuat kernyitan sedih Aikawa semakin dalam. "Tak apa. Menyingkirlah jika bukan kalian pelakunya."

Belum ada yang mau bergerak. Lekas mulut Kirika berucap, "Atau aku akan melaporkan kalianlah pelakunya ke wali kelas."

Kalau sudah begini, tidak ada yang akan mampu mendorong Kirika keluar barang sejenak. Pada akhirnya mereka menyerah, memilih menyingkir dan mengizinkan Kirika untuk menghampiri mejanya.

Meski berakhir puas setelah mendapatkan pemandangan di atas meja, manik delima itu sama sekali belum menunjukkan perubahan ekspresi. Dia hanya mulai melangkah menghampiri meja dan menarik kaki meja.

Semua orang menarik napas ketika gadis itu mengangkat meja dan di antara mereka memekik kaget setelah ia melemparnya jauh sampai menghantam meja guru. Kemudian dia berbalik, menyapu pandangan sekitar.

Kirika mendapati seorang pemuda berwajah pucat melintasi koridor. Ia tampak kesulitan bernapas, sementara caranya berjalan terlihat sedikit lesu. Pemuda itu tengah meracau tak jelas seiring air matanya yang mengalir deras.

Ada yang tidak beres dengan anak itu.

Separuh teman sekelas Kirika yang menyadari tujuan pandangannya segera terundang untuk memandangi pemuda itu, bahkan hingga pemuda itu benar-benar hilang dari pandangan.

Kemudian tak lama ....

Suara ledakan terdengar jelas, seolah membuat jantung terasa copot. Salah satu murid yang penasaran langsung menghampiri ambang pintu, diikuti oleh beberapa murid lainnya yang penasaran.

Tak lama setelah ledakan di luar kelas terjadi, kali ini mereka dikejutkan oleh asap yang mengepul hebat dari meja Kirika. Setengah siswi di dalam kelas menangis, memekik sebab merasa sesak. Asap yang mengepul dari meja mulai membumbung tinggi menyapa nosel yang tak lama menyemburkan air.

Secepatnya seutuh murid di dalam sana segera mengamankan diri. Namun Kirika masih terpaku di tengah kelas membiarkan dirinya basah oleh hujan yang diciptakan nosel gedung. Suara panik yang meledak seolah menguap di telinga Kirika. Sementara keningnya mengernyit sakit selagi air mata yang bercucuran mulai bercampur dengan air yang ditumpahkan nosel.

Bersamaan ujung bibir gadis itu tertarik untuk melukiskan senyum getir.

Ada yang mau main kotor ternyata.

~*~*~*~*~

Beberapa hari ke depan, kelas 3-1 sementara waktu akan terpisah dan digabung oleh kelas lain yang lebih lapang. Sementara Kirika meminta untuk belajar sendirian di perpustakaan dengan guru bimbingan konseling. Tentu para guru tidak setuju dengan keputusannya dan mereka menggiring Kirika ikut untuk masuk ke kelas lain.

Selagi demikian, pihak kepolisian datang untuk menyelidiki insiden pengeboman di dekat kelas. Mereka berasumsi hal itu terjadi oleh sebab bom bunuh diri. Namun motif lebih lanjut segera ditelusuri.

Tidak sampai di sana. Teror dari penindas terus saja berdatangan. Kirika pernah menemui kawanan tikus yang sudah menggeroti sepatunya di loker sepatu. Sempat didapati pula mereka melompat keluar mencakarnya karena panik sebelum kabur ketika ia membuka loker.

Setiap hari ia bahkan mendapati sampah di dalam laci. Teman-temannya sudah menyarankan agar mereka berganti tempat duduk. Namun di mana pun Kirika berada, selalu ia dapati sampah di lacinya. Sukses hal ini menimbulkan pertikaian karena mereka mulai saling tuduh-menuduh di dalam kelas.

Pernah sekali ketika jadwal pelajaran olahraga berlangsung, salah satu ponsel seorang siswi meledak di dalam saku celana seragam olahraga ketika hendak estafet. Pahanya melepuh. Namun beruntung tidak ada diagnosis cacat dari dokter.

Pun, bertambahlah satu lagi pekerjaan kepolisian. Namun masalahnya lebih mudah ditemukan. Pasalnya, ponsel dari siswi diretas dan memaksa ponsel tersebut terus terasa panas, sehingga meledak di dalam sana. Siswi mengaku, ia memang membiarkan ponsel itu tetap panas di dalam kantong sebab ia tak sempat mematikan jaringan data.

Sayang, mendapatkan identitas peretas membutuhkan waktu yang lebih lama.

Kemudian Kepala Sekolah memberlakukan larangan membawa ponsel ketika berolahraga. Mereka diberikan surat perihal hal tersebut untuk ditandatangani oleh orang tua. Hasilnya, sembilan puluh satu persen sepakat.

Suatu hari, Kirika diminta untuk menghadap Kepala Sekolah. Di sana, ada Silvis dan Aleah yang sudah duduk bersama para guru yang bersangkutan dengan kelasnya.

Mereka akhirnya membicarakan permintaan Kirika pada beberapa waktu lalu oleh sebab beredar rumor mendekati Kirika akan selalu membawa petaka. Faktanya pula demikian. Setiap orang didekat Kirika selalu dihadiahi kesialan.

Keputusan akhirnya dibuat.

"Kirika Alford, dari kelas 3-1, akan menjalani homeschooling dengan syarat ia akan dibimbing oleh guru sekolah ini demi keamanan sekolah," tutur Kepala Sekolah kemudian. "Kirika akan tetap lulus sebagai alumni sekolah dan diperbolehkan untuk menghadiri upacara kelulusan kelak. Apakah wali dari yang bersangkutan setuju?"

Tentu saja ... disepakati hari itu juga.

Seharusnya matahari akan memancarkan sinarnya di kala ia berhasil mencapai puncak langit. Namun awan mulai menutupi, mengguyur Shinjuku dengan awan yang menetes-netes. Bersama dengan Silvis dan Aleah, Kirika berlalu dari sekolah.

Semua orang memandangnya dari kejauhan, mendoakan punggung yang semakin menjauh itu baik-baik saja.

Sesampainya di dalam mobil, Silvis menyalakan penghangat. Sementara Aleah yang memutuskan duduk di samping Kirika menoleh kepada si gadis yang tak berhenti memandang gedung sekolah. Lantas seusai si empunya manik keemasan selesai mengenakan sabuk pengaman, tangannya bergerak membelai kepala Kirika. Tentu perbuatan si bibi sukses membuat ia mengalihkan pandangan.

"Maafkan kami jika kau kurang setuju dengan keputusannya," ujar Aleah. Kontan ucapannya membuat telinga Silvis diminta untuk lebih peka meski ia sudah mulai berkendara. "Kuharap kau paham."

Sebisanya Kirika tersenyum di kala manik yang mematri tatapan sendu. Sekali lagi ia menoleh ke luar jendela. "Setidaknya ... mereka akan baik-baik saja."

~*~*~*~*~

Semua orang tahu insiden kelas 3-1, seisi sekolah juga muak dengan polisi yang selalu berdatangan. Aoi pula merasakan hal yang sama. Kadang-kadang ia mendengarkan sekelasnya yang mengeluh dan meminta agar diliburkan saja.

Sebisanya ia menghilangkan lamunan di dalam kepala, Aoi beranjak dari kelas, lenyap menuju perpustakaan. Sementara di dalam perjalanan singkat, sama sekali telinganya tidak dapat menolak suara-suara gosip yang melintas. Tak jauh dari kalimat mengeluh, pula tak sedikit di antaranya menyalahkan keadaan Kirika. Di antara mereka pula bersyukur si gadis berambut mawar keemasan itu sudah dikeluarkan dari sekolah.

Jika diminta pendapat, Aoi merasa semuanya baik-baik saja tepat setelah Kirika menjalani homeschooling. Mereka hanya sedikit melebih-lebihkan keadaan. Pun, jika ia menanyakan perihal serupa di kelas 3-1, teman-teman sekelas Kirika selalu berharap yang telah terjadi cepat usai.

Aoi bisa bernapas sedikit lebih lega mengingat dirinya masih baik-baik saja. Kirika memintanya agar lebih waspada. Seniornya itu juga memberi peringatan yang sama kepada teman sekelas. Sudah jelas semua hal yang dilakukan Kirika semata-mata untuk melindungi seisi sekolah.

Namun, bersamaan ketika memikirkannya, alis Aoi bertaut. Langkahnya kian melambat sesampai ia di salah satu rak buku.

Dalam hati, Aoi jelas tak senang sebab ia tak mampu melakukan apa-apa. Mendadak dadanya mencelus kala ia mengingat dirinya yang tak berdaya. Pun, Kirika tampak enggan untuk menerima uluran tangan Aoi barang sebentar.

Setidaknya ... menjadi telinga saja sudah cukup, pikir Aoi. Namun tetap saja ia ingin menyimpan semuanya sendiri.

Kontan Aoi menoleh ke jendela. Di sana, terpampang langit biru begitu cerah seolah tak mengenal tragedi beberapa hari silam. Alis Aoi tertaut jelas seolah menyalahkan mereka yang menyilaukan.

Resah menyerang di dalam hati. Aoi justru mendesah keras-keras.

Sungguh, ia juga membenci kedua perusahaan itu yang seolah menitahkan Kirika agar bertempur sendiri bersama sepi. Pun ....

Merenggangkan hubungan mereka lebih jauh.

~*~*~*~*~

Derap langkah berseru di lorong yang sepi. Sang empunya kedua kaki terengah-engah di tengah lari mengejar ia yang hendak pergi meninggalkan sekolah sekali lagi. Namun, justru ini kali terakhir ia akan menginjakkan kaki.

Kontan, targetnya menghentikan langkah. Dia menoleh ke belakang sebelum berbalik. Sementara juniornya sudah bertumpu lutut, menahan kaki untuk tidak melangkah lebih jauh tanpa seizinnya.

Senyum terukir dari pemilik sepasang delima yang semula bertatap sendu penuh sepi. Lantas ia merentangkan tangan kepada Aoi, mengizinkannya mendekat. Maka, lekaslah si junior menyambarnya dengan pelukan.

"Kupikir kau akan sama seperti mereka," ujar Kirika. "Terima kasih sudah mau mendatangiku ... maaf karena masalahnya jadi terasa sulit."

Sementara yang diajak bicara masih saja bungkam di dalam pelukan yang ia eratkan. Mudahnya dada yang penuh sesak karena kerinduan, mulai meluncurkan cekat dalam tenggorokan. Jika saja Aoi tidak menyadari Silvis yang tengah menunggu keponakannya di dekat mobil, barangkali ia sudah memecahkan tangis sejadi-jadi.

"Kau ... mau pergi ke mana?" tanya Aoi seusai ia mampu mengendalikan suara.

"Ke tempat yang jauh."

Segera Aoi melepas pelukan, sengaja agar ia mampu memandang manik delima lekat-lekat. Gadis di hadapannya justru melebarkan senyum miring.

"Kau mampu mengejarku jika memang kau ingin. Kala itu tiba, aku akan datang kembali." kata Kirika.

Kirika menyodorkan sebuah kotak pada Aoi. Kotak kecil itu sudah dibungkus dengan kertas kado, lengkap dengan pita yang tertempel di atasnya.

"Kita pasti akan bertemu lagi."

Manik obsidian itu akhirnya mengerjap, kembali dari lamunannya yang panjang. Pandangannya jauh kepada bola permata imitasi yang masih berputar.

"Aku berjanji."

Dengkusan berakhir Aoi hembuskan. Maka ia segera beranjak dari kamar.

Ada tamu yang hendak datang untuk dijamu.

~*~*~*~*~

Sepanjang salah satu jalan di San Jose terasa ramai. Seorang wanita paruh baya bisa melihat dengan jelas orang-orang berlalu lalang mengejar kesibukannya masing-masing di lantai atas, tepat lewat jendela kamarnya. Entah berapa kali pergantian musim sudah ia lalui di tempat yang sama. Namun tak ada yang membuatnya bosan selama ia berada di rumah sakit.

Wanita paruh baya itu tertawa ketika melihat seorang wanita tua di taman rumah sakit meringis karena kepalanya dipatuk burung. Si wanita tua terlihat bersungut-sungut. Kemudian manik obsidian beralih kepada seorang suster yang mendorong sebuah kursi roda yang tengah ditempati oleh seorang gadis kecil.

Ia menghela napas. Tak lama, sepasang telinga si wanita paruh baya menangkap suara ketukan pintu yang mengundangnya menoleh ke sana. Seorang suster kemudian membuka pintu sambil memperlihatkan setengah badannya, lengkap dengan senyum cerah.

"Nyonya Tsukino, Anda memiliki tamu," ucapnya.

"Tapi ... bukankah ... Aoi sudah datang menjengukku?" tanya si wanita paruh baya dengan bahasa Inggris yang tertatih.

"Ya. Kali ini bukan Nona Aoi, jadi ...."

Nyonya Tsukino mengerjap beberapa kali, tetapi enggan menyurutkan senyum. Dia kemudian menganggukkan kepala.

"Baiklah. Tidak apa-apa, Suster. Izinkan ... izinkan dia masuk."

Sekali lagi suster tersenyum lebar. Setelah menganggukkan kepala ia segera berbalik meninggalkan kamar Nyonya Tsukino.

Sementara Nyonya Tsukino menunggu sosok tamu yang bisa ia dengar suara langkah sepatunya. Sekilas maniknya membulat, kemudian tergantikan oleh senyuman lembut tepat ketika ia melihat sosok tamu.

"Lama tak berjumpa, Ibu Hikari."

Senyum Hikari Tsukino kian melebar. Dia tampak sangat gembira dengan kedatangan sang tamu.


Continue Reading

You'll Also Like

1.9K 422 36
16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari sepuluh abad lamanya seisi Dunyia berdamai sebagaimana semestinya. Hingga suatu kala tertulis sepint...
Destiny By Raa

Short Story

36.4K 3.7K 6
Samuel Hyun merasa dirinya laki-laki paling beruntung, karena bisa dipertemukan dengan wanita yang seperti bagian lain dari dirinya sendiri. Gadis pe...
261K 9.4K 8
SEBAGIAN BESAR SUDAH DIHAPUS. HANYA TERSISA 3 CHAPTER. [TERSEDIA DI TOKO BUKU GRAMEDIA SELURUH INDONESIA & GRAMEDIA.COM ATAU VERSI E-BOOK DI GRAMEDIA...
90.4K 3.4K 67
Follow akun ini yukšŸ¤ Suatu hari seorang gadis yang sedang tidur pada malam hari , ia bertemu dengan sosok yang ia rindukan muncul dalam mimpi nya. Y...