MENIKAH DENGAN SETAN

IsrinaSumia által

269K 6K 305

Kematian keluarga Abyakta telah ramai terdengar di warga Deda Poncol Magetan. Peristiwa tahun 1968 telah meni... Több

PROLOG
PART 1
PART 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 21
Part 22
BEDAH BUKU & OPEN CASTING

Part 14

9.3K 240 3
IsrinaSumia által

#MENIKAH_DENGAN_SETAN
#PART_14
Oleh Isrina Sumia

Sejalan dengan pikiran Rhandra, Haikal kembali ke Gedong Tua didampingi warga desa. Keadaan rumah masih sama dengan dua hari yang lalu, pintu-pintu rusak, tak satupun benda yang bergeser. Haikal berlari menuju kamar yang ia curigai ditempati Halimah. “Dia pergi,” ucapnya setelah melihat mushaf Halimah tidak lagi berada di tempatnya.

“Kami tidak melihat orang di sini Haikal, semua ruangan berdebu seperti rumah kosong.”

“Mereka pasti pergi! Aku yakin Halimah ada di sini. Kita harus menolongnya, ia jatuh ke tangan yang salah. Entah siapa dia, aku yakin dia ada hubungannya dengan keluarga Abyakta.”

Satu minggu yang lalu, Haikal mengikuti Dwi menuju desa terpencil di kaki Gunung Lawu. Dwi menghentikan sepedanya di rumah mungil yang berdiri di hamparan sawah yang luas, dengan pemandangan gunung lawu yang terlihat megah. Rumah yang bahkan lebih layak dari rumah mereka yang telah terbakar. Bekerja dengan siapa Halimah? Mengapa sangat cepat keluarganya bisa hidup layak.

Haikal tak menyerah, ia terus menunggu hingga anak muda itu keluar dari rumahnya lalu mengikutinya hingga sampai di Gedong Tua, rumah yang memiliki banyak misteri juga sudah lama tak terjamah. Haikal melihat Dwi masuk ke dalam dan seseorang membukakan pintu untuknya. Ia semakin yakin, Halimah mengorbankan dirinya di rumah itu, entah sebagai pekerja, tumbal, atau apa pun demi menolong keluarganya.

Malam itu lelaki yang memiliki dua lesung pipit di wajahnya itu menunggu adik Halimah persis tak jauh dari Gedong Tua. Tak lama anak muda itu keluar bersama sepedanya. Gesit, ia berlari kemudian menghadang Dwi.

“Katakan Dwi, apa Mbakmu di dalam?” Haikal menahan bahu Dwi di sandaran mobilnya. “Dwi!” teriaknya.

Adik Halimah menangis sejadi-jadinya, lalu ia mengangguk.

“Bagaimana bisa Wi?”

Dwi berusaha melawan. Ia memukul perut Haikal, dan berlari mengambil sepedanya.

Pikiran-pikiran buruk tentang Halimah pun bergemuruh di hati, juga pikirannya. Bibirnya biru, badannya dingin, tulang-tulangnya seperti dilolosi. Membayangkan Halimah menderita di dalam sana. “Aku akan menemukanmu Halimah!”

Sejak malam itu Haikal memutuskan mencari tahu misteri Gedong Tua, juga keberadaan Halimah. Ia hanya tahu tiga puluh tahun lalu, terjadi peristiwa yang membuat warga desa trauma. Putra Anggoro menanyai semua warga desa yang mengetahui misteri Gedong Tua, banyak dari mereka takut untuk menceritakannya. Dirjo memberi informasi bahwa rumah itu milik keluarga Abyakta, dan ayah Haikal adalah teman dekat Abyakta.

***
Malam itu, Haikal tiba di rumahnya di Jakarta pukul 8 malam. Kedatangannya sangat diharapkan kedua orang tuanya. Rumahnya sedang kedatangan tamu agung, katanya. Seorang wanita cantik, duduk di ruang depan bersama lelaki di sebelahnya.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam,” sahut mereka bersamaan.

“Alhamdulillah berjodoh. Insyaallah,” ucap ibu Haikal.

Mereka bernama Maharani, dan Harsa. Percakapan membaur ke arah kedekatan Haikal dan seorang wanita yang hari itu baru ia kenal, bernama Maharani. Wanita itu juga asal Magetan. Ia terlihat cantik; tubuhnya tinggi, rambutnya lurus sebahu berawarna cokelat, matanya bulat.

Pikiran Haikal tak fokus, apa yang mereka bicarakan tak masuk dalam angan, otaknya sudah penuh dengan misteri hilangnya Halimah. Ibunya berusaha mengenalkannya dengan Maharani, anak sahabat ayahnya. Ia hanya bisa melemparkan senyum dan berharap pertemuan mereka lekas usai.

Tak lama mereka pulang. Pemuda itu bergegas menemui Ayahnya.

“Haikal, kamu nggak apa-apa, kan?”

“Tidak apa-apa, Bu.”

“Gimana kabar yayasan, Nak?” tanya ayahnya yang baru saja bergabung.

“Ayah, tolong ceritakan sejarah keluarga Abyakta!”

Anggoro dan istrinya tercengang, tak lama senyum mereka melebar. “Kamu baru saja bertemu dengan keluarga Abyakta, Haikal?”

Haikal semakin bingung dengan pernyataan ayahnya. “Gedong Tua?” tanya Haikal.

“Gedong Tua?” tanya ayahnya balik.

“Iya Gedong Tua, apa itu milik mereka?” tanyanya tak sabar.

“Rumah itu milik Abyakta. Namun, sudah lama mereka tinggalkan Magetan serta semua kenangan buruk di sana, dan memutuskan untuk tidak pernah kembali.”

“Jelaskan apa yang terjadi pada Gedong Tua, Ayah pasti tahu banyak!”

Perbincangan pun semakin serius, belum lagi masih adanya keluarga Abyakta yang masih hidup, semakin membuatnya penasaran.

“Gedong Tua itu milik sahabat Ayah, Mahadi Abyakta. Ia pengusaha sukses yang berhasil membangun usaha di Magetan, lalu merambah hingga Jakarta dan luar negeri. Jauh sebelum kejadian itu, Mahadi memiliki istri yang sangat ia cintai, istri pertamanya meninggal karena sakit. Dari pernikahannya yang pertama Mahadi tidak memiliki anak. Lalu, Mahadi menikah lagi dengan janda beranak satu, Puspa namanya. Dari pernikahan yang kedua, ia memiliki putri yang diberi nama Maharani, Puspa juga memiliki anak bawaan dari pernikahan sebelumnya, seorang anak lelaki. Mereka yang baru saja datang ke sini, Nak “

“Maharani cantik loh, Nak. tinggal kamu minta dia untuk berhijab, dia pasti sudah jadi bidadari,” celetuk ibunya.

Haikal tak menanggapi perkataan ibunya. “Lanjut, Yah.”

“Saat itu Mahadi pergi ke Jakarta, meninggalkan keluarganya di Magetan. Di sana ia jatuh cinta pada perempuan keturunan Belanda, Arkadewi namanya. Wanita itu sangat cantik, Mahadi terbius akan kecantikkannya. Mahadi menikahinya, dan memberinya rumah yang disebut Gedong Tua sekarang,” lanjut ayahnya.

“Menurutmu bagaimana, Maharani?” tanya ibunya.

“Cukup, Bu. Kedatangan Haikal ke Jakarta bukan untuk Maharani, Haikal masih mencintai Halimah, dan selamanya seperti itu.”

“Halimah?! Apa yang ingin kamu harapkan dari wanita yang sanggup menjual kehormatannya dalam sesaat?”

“Berhenti, Bu!”

“Ibu sudah tahu semua beritanya dari Pak Dirjo, Halimah tidak pantas untuk kamu Haikal, kamu berhak mendapat wanita lebih baik dari dia.”

“Halimah difitnah, Bu. Halimah hilang, dan Haikal sedang mencarinya.”

“Ibu tidak peduli, lebih baik dia menghilang.”

Seketika air mata menetes. “Lanjutkan Ayah, aku mohon.”

“Haikal apa maksud kamu Halimah menghilang?” tanya Ayahnya.

“Ia difitnah, rumahnya dibakar, keluarganya tidak diberikan bantuan. Warga desa kita sangat keji. Harusnya Haikal tak meninggalkannya, ia pasti sendiri di luar sana. Haikal mencintainya Ayah, sebelum Halimah kembali, Haikal tak akan menikah.”

“Cukup, Haikal!” teriak ibunya. “Ibu tidak setuju kamu dengan wanita itu! Dulu kamu melamarnya atas kehendakmu, dan ayahmu saja, sama sekali pendapat Ibu tidak pernah kamu dengarkan. Kamu berbeda dengan dia, kamu harus paham itu!”

“Apa yang membedakan kita? Harta, pangkat, kedudukan? Ibu lupa Haikal belajar apa dan di mana? Tak ada satu pun yang berbeda di mata Allah, Bu. Yang Haikal butuhkan hanya wanita saliha, wanita yang mampu menjadi pembimbing bagi anak-anak Haikal, wanita yang bisa menasihati Haikal.”

“Kamu,” rutuk ibunya kesal.

“Sudah. Hentikan, Bu!” bentak ayahnya. “Istirahatlah, Nak. Besok kita lanjutkan.”

Haikal rapuh, ibunya tak menyetujui pernikahannya dengan Halimah. lelaki itu menangis, semakin bingung dengan apa yang ia rasakan. “Tidak Ayah, Haikal harus segera menemukan Halimah. Ceritakan lagi tentang Gedong Tua!”

“Gedong Tua tak berpenghuni, Nak. Arkadewi meninggal dengan putranya yang berusia tiga tahun, mereka dibunuh warga desa yang mengamuk.”

“Apa tempat itu tidak ada yang menempati saat ini?”

“Setahu Ayah tidak ada. Ibu Puspa tidak bisa memiliki Gedong Tua, karena itu milik Arkadewi. Vila di Genilangit, juga kebun teh semua diserahkan Mahadi untuk Arkadewi.”

“Vila?”

“Ya, Vila Abyakta ada di daerah Genilangit,” jawab Anggoro.

“Anak Arkadewi, apa Ayah yakin dia sudah meninggal?” tanya Haikal meyakinkan.

“Kenapa kamu menanyakan itu?”

“Jawab saja Ayah, apa Ayah yakin dia sudah meninggal?” tanyanya kembali.

“Sangat yakin Haikal, Ayah yang menggendongnya menuju pemakaman, makam mereka masih berada di dalam lingkungan Gedong Tua. Sudah, Ayah mau istirahat.”

“Siapa namanya Ayah?” tanyanya.

“Rha ... hm. Andra. Rhandra Abyakta namanya,” ucap Anggoro ragu. Anggoro berlalu.

Haikal sudah mengantongi satu tempat yang menjadi harapan terakhirnya untuk bisa menemukan Halimah. Lelaki itu memutuskan untuk kembali besok. Kamu pasti di sana Halimah, batinnya. Dengan siapa Halimah saat ini? Kenapa semua menjadi misteri? Lelaki itu rindu wanita yang selalu mengisi hatinya, ia rindu senyuman gadis itu. Pipinya yang merona juga bibirnya yang mungil selalu memanggil dalam ingatan.

Menyesal. Di kamar ia hanya berdiri menghadap ke luar jendela, menatap bulan, hal yang selalu dilakukan Halimah dulu. “Semoga kamu tahu kekhawatiranku Halimah. Maafkan aku.”

Sementara itu di langit yang sama, Halimah dan Rhandra memandang bulan yang sama. Mereka duduk di pekarangan vila Abyakta. Kepala Halimah bersandar pada pundak suaminya, dan tangan kanan Rhandra memeluk erat pada bahunya. “Rhandra?”

“Hmm?”

“Kenapa kamu menyukai kegelapan?”

“Aku tidak menyukainya Halimah, aku membencinya.”

“Jika kamu membencinya, kenapa kamu tidak menyalakan semua lampu di sana?”

“Karena ada seseorang yang tak menginginkan keberadaanku.”

“Siapa?” tanya Halimah khawatir.

Rhandra tersenyum. Mata Halimah melotot, dahinya mengernyit menunjukkan kekhawatiran yang amat dalam. “Dengan wajah seperti itu pun kamu masih tetap cantik Halimah.”

Halimah diam, ia menurunkan dahinya, dan menarik napas.

“Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, aku di sini untukmu,” lanjut Rhandra seraya mengepal tangan Halimah dan memasukkan ke saku jaketnya.

Halimah kian menyandarkan kepalanya. “Kenapa malam itu kamu menolongku?”

“Karena aku tahu tidak ada satu pun yang mau menolongmu.”

“Kamu tahu?” Halimah terperangah, ia bangkit dan memandang wajahnya Rhandra.

“Ya,” jawab Rhandra santai.

“Apa kamu tahu juga alasan mereka melakukan itu?”

“Tahu.”

Halimah tercengang. “Bagaimana bisa kamu tahu?”

“Siang itu aku melihat seseorang mengikutimu, dan seseorang yang lain mengambil gambar kalian berdua.”

“Kamu lihat bagaimana ciri-ciri orang yang mengambil gambarku?”

“Entahlah, dia berhijab sama dengan hijab yang kamu pakai,” jawab Rhandra.

Halimah lemas. “Ayu,” bisiknya,

“Kamu percaya fitnah itu?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena aku tahu apa yang mereka perbuat padamu, aku pun melihat mereka membakar rumahmu, aku juga melihat mereka melemparimu dengan batu. Malam itu di atas atap Gedong Tua aku mendengar teriakanmu yang menggelegar.”

Air mata Halimah meleleh, kedua matanya bertemu dengan mata Rhandra. Bayangannya kembali pada masa di mana Faisal masuk ke dalam rumah dan memeluknya dengan paksa, masa di mana tangan-tangan mereka menghabisi harga diri juga melukainya. Napasnya mulai tersengal, tak sanggup memikirkan Ibu juga adik-adiknya. Jika tidak ada Rhandra malam itu, mungkin ibunya sudah meregang nyawa.

“Terima kasih, Rhandra.” Halimah melepaskan genggaman Rhandra dan memeluknya erat. “Terima kasih-terima kasih,” ucapnya terisak, perih jika mengingat kejadian malam lalu, kehadiran Rhandra bukanlah kutukan baginya melainkan pertolongan Allah yang langsung tembus dari langit.

“Katakan, apa yang lelaki itu lakukan padamu?”

Halimah terus menangis dan meremas jemarinya, ada kemarahan besar di hatinya.

“Katakan Halimah, apa yang ia lakukan?” Rhandra mengusap punggung istrinya.

“Ia masuk ke rumah, dan ia berusaha …” Halimah menarik napas, tangisannya semakin menjadi. “Dia berusaha menodaiku, aku melawannya dan ia memelukku paksa, tangannya kuat, sampai teriakan warga itu datang. Kupikir mereka akan menyelamatkanku, tapi ....”

Rhandra memeluknya dengan erat. “Siapa namanya?”

“Faisal.”

Rhandra geram, di balik wajah Halimah ada kebencian yang begitu besar akan apa yang terjadi pada wanita yang kini ia cintai. Entah, takdir apa yang membuat mereka bisa bersama, malam itu Rhandra seperti memahami apa yang Halimah rasakan.

Terbayang niat awalnya menikahinya bukan karena kasihan atau karena ketertarikannya akan Halimah, ia menikahi Halimah hanya untuk memuaskan nafsu bejatnya. Namun, tangisan Halimah setiap malam menggetarkan hati dan kini ia luluh.

Pelukan itu masih erat, Halimah belum melepaskannya. Lelaki itu biarkan hingga kesedihannya berkurang. Kini dendam di hati kian bertambah, lelaki yang berusaha menodai Halimah pun tak luput dari hatinya. Suatu saat aku akan menghabisinya.

Malam semakin larut, Halimah terlelap di pelukan. Rhandra menggendong tubuh istrinya yang terasa ringan. Ia rebahkan tubuh istrinya di atas sofa, memakaikan istrinya kaus kaki, dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Rhandra duduk di bawahnya, dan ia rebahkan tubuhnya di atas karpet.

Sum bangun, malam itu cuaca sangat dingin, napas yang keluar dari mulut pun turut mengeluarkan gempulan asap dingin. Ia menyalakan lampu di dapur, dilihatnya Rhandra dan Halimah tertidur di ruang tengah. Tangan Rhandra menggenggam tangan Halimah. Perlahan bulir bening menetes melihat cinta yang begitu hebatnya di antara mereka berdua. “Ya Allah, abadikanlah kebahagiaan mereka.”

Pagi menjelang, azan terdengar lembut di telinga Halimah. Matanya mengerjap dan  perlahan terbuka, dilihatnya suaminya tidur di bawah beralaskan karpet, tak ada satu pun selimut yang melindungi dirinya dari dingin. Halimah bangkit, ia pindahkan selimut di tubuhnya ke tubuh Rhandra kemudian menatap wajah Rhandra dan mengecup keningnya dengan lembut.

Halimah beranjak, dan kembali bersama Sum dan Darmin salat berjamaah, posisinya tidak jauh dengan tempat Rhandra terlelap. “Allahu Akbar!” .

Suara takbir membangunkan Rhandra dari lelapnya. Di hadapannya kini mereka salat dengan tenang, ia mengamati lamat-lamat setiap gerakan, kemudian membalikkan badan ke arah jendela dan kembali ke kamar. Kejahatan yang dilakukan warga desa pada istrinya mendadak kembali muncul di pikiran, hatinya membara jika membayangkan apa yang terjadi pada wanita yang kini menjadi istrinya itu.

Lelaki itu kini tengah duduk di atas sofa, seraya menyaksikan fajar menyingsing melalui jendela kamarnya. “Kamu kenapa Rhandra?” Wanita itu datang mengantarkan makanan kemudian meletakkan di atas meja di depannya.

“Halimah, apa mereka yang membakar rumahmu, menyakitimu percaya dengan Tuhan?”

Halimah terkejut mendengar pertanyaannya. Ia diam berusaha mencari-cari jawaban yang baik agar Rhandra tidak salah mengartikan Tuhan. “Ya.”

“Jika ya, kenapa mereka melakukan tindakan sekeji itu?”

Wanita itu mendekatinya lalu duduk di bawah seraya memegang kedua lutut suaminya, “Rhandra, tindakan buruk atau baik adalah keputusan manusia itu sendiri. Semua yang Tuhan perintahkan adalah menunaikan kebajikan, Tuhan tidak membenarkan apa yang mereka lakukan. Terkadang, manusia tidak bisa berpikir jernih, ia hanya menggunakan emosinya hanya untuk memenuhi ambisinya sesaat, bahkan banyak di antara mereka yang mengatasnamakan Tuhan atas tindakannya, seakan-akan Tuhan menyetujui tindakannya, mereka lupa atau bahkan mereka tidak tahu batas-batas norma kemanusiaan dalam agama.

“Rhandra, jika ada sekolah yang sudah membuat peraturan yang sangat ketat, dan sebagian kecil anak murid ada yang melanggar, dan sebagian besar anak-anak baik yang selalu mematuhi aturan, mana yang akan kamu salahkan? Peraturan atau anak-anaknya?”

Rhandra diam, lagi-lagi Halimah benar. “Duduklah di sini,” pinta Rhandra seraya menepuk pahanya, menggamit lengan istrinya dan mendudukkan di pangkuan.

“Suasana di sini sungguh menyenangkan, suara gemericik air, embusan angin yang lembut, aku sangat menyukainya,” ucap Halimah.

“Kamu pernah bertanya, apa saja yang aku suka, kan?” tanya Rhandra.

“Aku sudah tahu, Rhandra.”

“Oh, ya! apa saja?”

“Kamu suka melihat bulan, bintang, kamu suka roti isi buatanku …”,

“Aku suka bertarung, dan satu hal yang paling aku tidak suka,” lanjut Rhandra

“Apa?” tanya Halimah.

Rhandra tertawa, seraya mengambil roti isi miliknya. “Air matamu. Aku membencinya.”

Hatinya berdesir, mata itu kini sedang menatap begitu dalam. Perlahan Rhandra mendekatkan tubuhnya, wajahnya semakin mendekat. Halimah menutup matanya, dan untuk kesekian kalinya Rhandra memberanikan diri untuk mencium bingkai di wajahnya. Pagi itu terasa indah, hamparan kebun teh juga pepohonan bergelayut mengikuti arah angin, seraya menyapa juga melihat mereka dengan malu-malu.

Olvasás folytatása

You'll Also Like

1M 50.4K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
411K 29.8K 31
"Tanggung jawab lo cowok miskin !!" - Kalka "B-baik, kamu tenang ya ? Saya bakal tanggung jawab" - Aksa
5.4M 290K 56
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
6.5M 332K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...