MENIKAH DENGAN SETAN

Oleh IsrinaSumia

269K 6K 305

Kematian keluarga Abyakta telah ramai terdengar di warga Deda Poncol Magetan. Peristiwa tahun 1968 telah meni... Lebih Banyak

PROLOG
PART 1
PART 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 21
Part 22
BEDAH BUKU & OPEN CASTING

Part 12

9.6K 244 2
Oleh IsrinaSumia

#MENIKAH_DENGAN_SETAN
#PART_12
Oleh Isrina Sumia

Senja itu Rhandra tidak tidur sepicing pun. Meskipun matanya memejam. Namun, pikiran dan hatinya terus terjaga. Sesekali ia membuka mata, lalu memandangi istrinya yang tidur di sampingnya. Halimah begitu kelelahan, wanita itu pun tak bisa tidur saat Rhandra meninggalkannya. Wajah Halimah begitu bersih, jelita. Ingin menciumnya, tapi ia urungkan khawatir membangunkan. Di dalam dada seperti ada bara yang membara. Bara cinta, juga bara nafsu pada istrinya. Pada saat yang sama juga ada bara kemarahan yang ia tidak tahu dari mana datangnya. Ia marah pada dirinya sendiri. Marah pada kutukan Tuhan yang ia rasa bercokol dalam seluruh sel, dan aliran darahnya. Malam ini ia berkukuh untuk tidak menyakiti istrinya.

Bertanya pada dirinya, jika setiap hari bertemu dan tidur satu ranjang dengan istrinya yang begitu jelita, apakah ia akan mampu menahan diri. Lalu harus bagaimana? Halimah telah sah jadi istrinya. Bahkan saat ini Halimah sudah menyerahkan seluruh jiwa raganya padanya. Dengan tulus.

Sampai malam menjelang, batinnya terus berperang. Malam itu ia merasa sebagai manusia paling berbahagia di dunia, tapi juga merasa sebagai manusia paling menderita di dunia. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi menata hidupnya? Seperti berada di tengah-tengah hutan yang liar, yang sangat sepi, tak ada jejak apa pun di sana. Dan ia tidak tahu harus berbuat apa, dan harus ke mana? Hanya ingin meraung seperti serigala yang lapar, namun hatinya murni milik keturunan Adam yang sudah tertambat cinta. Jika harus memilih hidup tanpa rasa sepertinya lebih baik, tanpa ada iba, juga kasih, dengan penuh hasrat ia pasti akan menikmati tubuh istrinya dalam semalam. Tak Peduli kesedihannya, kehancurannya, hanya peduli kepuasaan batin yang dimiliki orang-orang yang egois.

Azan maghrib berkumandang. Desahan wanita di pelukkan terdengar menyebut namanya. Rhandra memejamkan mata pura-pura tidur dan merasakan Halimah mengangkat kedua tangan dan turun dari ranjang lalu kembali merasakan tangan Halimah memegang kepalanya dan istrinya itu mengecup keningnya.

Dada Rhandra berdebar. Ia merasakan kesejukan luar biasa. Merasa benar-benar dicintai Halimah, sepenuh jiwa. Sejurus kemudian ia mendengar gemercik dari kamar mandi. Lelaki itu membuka kedua matanya. Saat Halimah keluar dari kamar mandi ia pura-pura tidur kembali. Halimah mengambil sesuatu. Ia sedikit membuka matanya. Remang-remang ia melihat istrinya itu memakai mukena, lalu mengambil sajadah dan salat.

Tak lama isak tangis diringi doa yang sangat panjang pun terdengar. Ada namanya ia sebut dalam doanya, doa yang mempu menghancurkan keras hatinya.

“Ya Allah sang pembolak-balik hati, sungguh hari ini aku melihat kuasamu, kau bukakan pintu hatinya, bagai kau membukakan jalan bagi pemuda Ashabul khafi. Ya Allah aku mencintainya seperti aku mencintaimu, bukakanlah pintu hatinya sekali lagi agar ia bisa mencintaimu seperti aku yang selalu mengasihimu. Lindungi dia selalu ya Allah, jaga ia untukku, hilangkan semua kepedihan, kesedihan, masalah yang menimpa dirinya. Bahagiakan ia, sebagaimana engkau memberikan kebahagian pada mereka ahli surga.”

Hati Rhandra hancur mendengarnya ia membalikkan badan, lalu memejamkan matanya kuat-kuat. Air matanya meleleh.
***

Menjelang pagi Rhandra dan Halimah belum juga menunjukkan mukanya, mereka masih berdua di dalam kamar. Sepanjang malam mereka terlelap, bagai pengantin baru yang masih segar-segarnya. Tak satu pun dari mereka yang ingin menjauh, Halimah terlelap di atas lengan Rhandra seraya memeluk dadanya, dan tangan Rhandra melingkar di perut Halimah.

Sum terharu, sepanjang pagi ini ia menangis di dapur. Sesekali melihat foto Rhandra saat ia masih bayi lalu memeluk foto itu dengan penuh haru, layaknya seorang ibu. “Semoga Allah terus memberkatimu, Nak,” ujarnya menangis.

“Den belum keluar, Sum?” tanya Darmin yang tak lain suaminya.

“Semoga tidak ada pertengkaran lagi di antara mereka. Semoga Non Halimah bisa mencintai dia dengan tulus, dan mau hidup dengannya selamanya.”

“Apa kamu yakin, mereka sudah ...?”

“Dia anak yang baik, Min. Saya yakin, dalam hatinya ia tak berani menyakiti wanita polos itu, biarlah Allah membukakan pintu Non Halimah hanya untuknya.”

“Lelaki itu kembali lagi Sum, kita harus membangunkannya.”

“Biarlah Min, dia tidak akan bisa melewati pagar itu, kan?”

“Sepertinya dia tahu Non Halimah ada di dalam. Saya khawatir dia akan berbuat nekat.”

“Apa kamu nggak bosan hidup dalam kegelapan seperti ini, Min? Bahkan setan-setan itu sudah seperti sahabat bagi kita, hanya Non Halimah yang merasa ketakutan sendiri. Biarkan saja mereka mendobrak benteng ini, siapa tahu masalah Den Rhandra justru akan terselesaikan.”

“Tidak bisa begitu Sum, ingat janji kita sama Haan.”

“Saya ingat betul Min, tapi melihat anak itu sedih, hati ini sakit Min. Bahkan anak kita yang sudah kita bantu saja tak pernah menemui kita.”

Darmin diam, ia pun merasakan hal yang sama.

***

“Rhandra ….” Halimah berbisik lembut suaranya agak serak, seraya menyentuh hidungnya yang mancung dengan jarinya yang lentik.

“Ehhm.”  Lelaki itu mendesah, pelukannya semakin ia eratkan.

“Kita harus keluar, Mbok Sum pasti mencari,” bisik Halimah kembali.

“Biarkan saja,” jawab Rhandra melindur.

Halimah tersenyum lebar, air mata mengalir di pipinya. Belum pernah ia merasakan kebahagiaan seluar biasa ini. Ia bisa melihat dari sorot matanya. Rasa cinta yang teramat dalam, haus akan kerinduan yang mungkin selama hidupnya belum pernah ia rasakan.

Halimah terus menatap lelaki itu. Ia perhatikan betul-betul setiap detail di wajahnya, alangkah tampannya ia, tangannya begitu kekar dan kuat. Bidang tubuhnya mampu melindungi siapa pun yang bersandar. Rhandra adalah makhluk sempurna yang diciptakan Tuhan ke bumi.

Tak lama angin berembus di telinga mereka, embusan angin yang begitu sejuk dan damai, Halimah memejamkan mata dan menghirupnya dengan penuh suka cita. Embusan itu menerbangkan rambut lelaki yang tengah terlelap di pelukan, semakin membuatnya rupawan.

Embusan itu adalah sesosok roh. Roh yang senantiasa hadir bersamanya di rumah yang penuh sejarah. Roh itu tersenyum mengamati dua insan yang sedang di mabuk cinta, selama ini ia menunggu kehadiran Halimah untuk membuka tabir di hati Rhandra yang sudah tertutup rapat.

Halimah menghirup embusan angin, matanya mengerjap kemudian terbuka perlahan. Seorang wanita cantik duduk di sebelah Rhandra, tangannya membelai halus pipinya, detak jantung Halimah melambat. Wanita itu menatapnya dan menjelujurkan jari telunjuk ke mulutnya agar Halimah tak berteriak. Wanita itu sangat cantik, ia mengenakan gaun bergaya Eropa dengan vedora yang menghiasi kepala. Kedua tangannya menggunakan sarung tangan berwarna putih, bak ratu Inggris. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, wajahnya pucat, matanya bulat berwarna cokelat sangat mirip dengan warna mata Rhandra, dan ada kesedihan mendalam di matanya

Air mata Halimah pun terjatuh, ia tak tahu siapa wanita yang berada di hadapannya saat ini, namun ia sangat merasakan kehadirannya. Serasa dekat, begitu lembut ia tersenyum hingga menggetarkan relung hati.

Bug! Bug! Dentuman itu terdengar di telinganya.

Seketika Halimah terbangun, kemudian menarik napas panjang. Dan menyadari apa yang ia lihat hanyalah mimpi, embusan itu pun jelas bersemilir di pelipis Halimah dan keluar melalui jendela bersama debu-debu yang ada di kamarnya.

Mata Rhandra mengerjap, suara dentuman semakin keras terdengar, lelaki itu bangkit dari ranjang kemudian mendekat ke jendela. Haikal bersama tiga orang bertubuh kekar berupaya menghancurkan penyangga pagar rumahnya. Ia mendesis dan tak terasa tangannya terkepal.

Pasti Haikal datang kembali untuk mencariku. bisik Halimah

“Halimah kamu ikut aku!”

Halimah menggapai tangan Rhandra, mereka berjalan menyusuri lorong setiap rumahnya, tak sedikit pun Rhandra melepaskannya.

“Darmin!”

“Ya, Den?”

“Tutup semua pintu akses masuk, dan bersembunyilah di tempat biasa!”

Rhandra mengajak Halimah ke lantai tiga, tangan yang mungil itu ia pegang erat, wanita itu menurut membiarkan lengan kekar itu terus menggamit dan menariknya. Halimah tatap wajah suaminya lamat-lamat. Perasaan bahagia terasa menerobos masuk ke dalam, asalkan bersama Rhandra hidupnya merasa tenang. Lantai tiga adalah kamar Rhandra yang punya banyak misteri siapa pun tak boleh masuk ke dalamnya. Hari itu Halimah bisa masuk bebas ke dalam.

Di dalam kamarnya yang berukuran 3 x 7 meter itu penuh dengan lukisan, di sudut kamarnya sebuah papan kanvas yang tertutup tirai putih lengkap dengan cat beraneka warna. Sebuah meja kerja yang penuh dengan kertas yang berserakan, sebuah komputer jinjing, dan tiga buah telepon genggam era 90-an. Berhadapan dengan itu, ada sebuah ranjang yang begitu berantakan, satu nakas di sebelahnya, dan satu lemari pakaian sangat berantakan, di tengahnya ada sebuah tangga lurus 180 derajat setinggi 2 setengah meter.

Halimah memandang ke atas, ada pintu kecil yang menghadap ke atas. Tidak ada jendela di kamarnya, itu mengapa hanya kamarnya saja yang boleh menyalakan lampu saat malam hari. Halimah memandang lukisan-lukisan indah yang ia yakini pelukisnya adalah Rhandra.

Sesaat matanya tertuju pada lukisan tua bergambar wanita yang ia letakkan di sudut kamarnya, wanita yang baru saja Halimah lihat di kamarnya. Wanita yang terlihat seperti seorang bangsawan, pakaian yang digunakan dalam lukisan itu sama persis dengan pakaian yang ia gunakan dalam bayangannya tadi.

Halimah merasa banyak misteri yang harus ia ungkap, mulai dari misteri Rhandra yang tak mau diketahui orang, misteri wanita yang selama ini menghantuinya, dan misteri Gedong Tua. “Rhandra, itu siapa?”

Rhandra tak menjawab, ia sibuk membereskan file yang tercecer di meja. Ia sembunyikan laptop ke dalam lantai keramik yang dapat dibuka.

Angin itu kembali menerpa wajah Halimah, dan menerbangkan tirai yang menutupi papan kanvas. Seketika Jantung Halimah berdegup kencang, lukisan setengah jadi bergambar dirinya, lukisan yang begitu indah yang ia ukir menggunakan tangannya. Air mata pun meleleh.

Haikal berhasil menarik anak kunci pintu gerbang, lalu mematahkannya dengan hantaman besi. Bersama ketiga orang di belakangnya, ia masuk ke pekarangan Gedong tua. “Halimaah!” teriak Haikal, derap langkah mulai terdengar.

Buru-buru Rhandra mengunci pintu kamar. Ia mendorong lemari pakaian, terlihatlah pintu kecil yang di dalamnya hanya ada ruangan 1 x 1/2 meter. Ruangan itu hanya bisa dimasuki dua manusia dalam keadaan berdiri, di atasnya ada lubang angin yang dapat membantu mereka bernapas, di belakang lemari ada sebuah knop yang dapat ia tarik agar bisa bersembunyi.

“Ayo, Halimah,” ajaknya mengulurkan tangan.

Halimah menggapai tangan kekar itu. Rhandra memegang sebuah bareta yang kemarin wanita itu lihat. Mereka masuk ke dalam, kini jarak mereka hanya satu kali embusan napas, dada mereka saling bertemu. “Jangan kotori tanganmu dengan senjata itu, Rhandra. Aku mohon.”

“Aku tidak akan menggunakannya.” Pelukkan erat begitu terasa.

“Halimaah!” Suara Haikal pun semakin terdengar.

Halimah sandarkan kepalanya di dada Rhandra. Entah apa yang terjadi dengannya hingga ia harus bersembunyi seperti ini.

Wanita itu percaya pada Rhandra, apa pun yang terjadi dengannya kini tak bisa mengurangi rasa cinta yang baru bersemi.

Langkah kaki mereka semakin jelas. Mereka mendobrak setiap pintu yang tertutup. Rhandra mendesis, napas kebencian sangat jelas di telinga Halimah. Jemari lentik itu menggamit tangan Rhandra yang mengepal. Berusaha menatap pada mata lelaki di hadapannya,  air matanya meleleh.

Kenapa Rhandra tak keluar dan mengatakan jika kita sudah menikah? Kenapa harus menjadi rumit seperti ini? Mengapa Haikal yang kukenal sebagai lelaki lembut juga alim hari ini datang menggebu-gebu hanya untuk bertemu denganku? batinnya

Haikal sudah berada di lantai dua. “Halimah keluarlah, aku tahu kamu ada di sini. Semua orang kampung sudah tahu kamu berada di sini. Maafkan aku Halimah, aku mohon keluarlah!”

Jantung Halimah tak bergetar, perasaannya kepada Haikal hilang sejak Rhandra hadir dalam hidupnya. Perasaan itu mati bersama rasa kecewa yang amat dalam.

Kepalan tangan Rhandra semakin terasa. Halimah terus menenangkan suaminya. Ia yakin lelaki keras yang bisa saja menunjukkan amarahnya ini bisa melaluinya. Rasa cintanya semakin bertambah, Rhandra tak menunjukkan sikap emosional kepadanya, meski Haikal terus memanggil namanya.

Kamar di lantai tiga itu akhirnya terbuka. Haikal semakin dekat dengan mereka, hanya sebuah lemari yang memisahkan mereka. Ia kelilingi kamar yang tak berbeda dengan galeri. Mendadak aliran darahnya melambat, jantungnya terasa sesak. Dilihatnya lukisan bergambar Halimah. Wanita itu terlihat polos, mengenakan hijab berwarna abu-abu terang, hijab yang sama saat terakhir ia bertemu. Lukisan yang sangat menyentuh, siapa pun pelukisnya, ia pasti orang yang sangat mencintai Halimah hingga bisa menggambarkan dengan jelas.

Pikiran Haikal pun melayang pada keluarga Abyakta. Seketika tubuhnya bergetar, bagaimana bisa orang yang sudah mati bisa hidup kembali?

“Siapa kamu? Siapa pun kamu, kamu tidak pantas bersamanya, kamu hanya akan menyiksanya seumur hidupnya!”

Rhandra terperangah. Haikal seperti tahu masalahnya, perlahan ia lepaskan tangan mungil itu, dan melihat kedua matanya yang basah. Rhandra sadar, begitu banyak kekurangan-nya yang tak bisa disandingkan dengan Halimah. Wanita di pelukannya berhak bahagia, berhak hidup normal. Tak lama embun itu hadir di mata Rhandra.

Haikal menyerah, ia tak menemukan wanita pujaannya di sana, meskipun ia menemukan Mushaf berwarna emas di kamar lantai dua, mushaf yang biasa Halimah bawa ke surau. Mushaf itu sudah menjadi bukti akan benarnya Halimah di sana. Lantai tiga yang begitu hidup pun memberikan jawaban, bahwa seseorang tinggal di sana. Entah siapa, mungkin pewaris Abyakta masih hidup. Ia belum mati, seperti yang diceritakan ayahnya.

Kemudian perlahan suara-suara semakin menjauh, tiada lagi terdengar suara teriakan. Hingga terdengar suara mobil keluar dari pekarangan. Rhandra dan Halimah keluar dari persembunyiannya. Ia mengintip dari jendela melihat mereka pergi menggunakan jeep berwarna hitam.

“Haaa!” Rhandra berteriak kesal seraya memukul-mukulkan tangannya ke dinding.

“Rhandra, berhenti Rhandra!” teriaknya seraya berusaha menghentikan. “Rhandra berhenti, kamu berdarah.” Menahan sekuat tenaga agar tangan itu tak terluka, hingga suara terasa serak. “Aku mohon berhenti!”

Rhandra mendengkus, melihat sorot mata istrinya yang berkaca-kaca. Ia menarik napas panjang, tersengal dan peluh meluncur dar pelipis, darah segar mengalir di kepalan tangan. Lelaki itu diam mematung membiarkan Halimah menangis seraya memegang tangannya yang meneteskan darah. Terus memandangi istrinya, wanita itu terus menunjukkan perhatian yang sangat besar. Ia robek pakainnya untuk menutupi luka Rhandra. Air matanya terus mengalir, dan napasnya masih tersenggal-senggal.

“Halimah, aku tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil.” Rhandra mengelus lembut pipinya, dan mengusap air matanya.

Lelaki bertubuh kekar itu masih emosi dengan perlakuan Haikal di rumahnya. Gontai lelaki itu masuk ke dalam kamar. “Kembalilah ke kamarmu Halimah, aku ingin sendiri.”

“Rhandra ….” lirihnya.  

Lelaki itu tak sanggup menahan rasa cinta yang mendalam pada istrinya. Bodohnya, ia pun tahu bahwa wanita itu sudah takluk padanya, lalu bagaimana? Menjadi egois dengan menggapai cintanya atau membiarkan dia bebas dan kembali mendera karena luka lama.  Ucapan Haikal benar, ia tak mampu membahagiakan istrinya.

“Rhandra,” ucap Halimah seraya mengetuk pintu.

“PERGI!” teriaknya tak lama decit suara nakas bergeser terdengar, lelaki itu seperti menahan pintu kamar. Tak lama terdengar dentuman, pukulan keras, benda jatuh di kamarnya, lelaki itu berteriak keras hingga menghentikan suara istrinya yang terus menerus memanggil namanya. Halimah semakin panik, teringat luka di tangannya yang masih basah. “Rhandra, aku mohon buka pintunya. Rhandra, kamu kenapa?” Tangisan wanita itu pecah, kekhawatiran membuncah semakin parah.

Sum berlari melihat Halimah mematung, menyelorot seraya menggendor pintu kamar Rhnadra. Pilu, air mata begitu saja menetes. Tak sanggup melihat keduanya sakit terhalang oleh sebuah luka lama.

“Non.

“Mbok, tolong buka pintunya. Saya mohon, Mbok.”

Sum hanya bisa menunduk, tiada yang bisa ia lakukan.

“Rhandra, buka. Aku mohon.” Suaranya makin mengecil, begitupun emosi Rhandra yang tak lama mereda. Cukup lama mereka duduk saling membelakangi, hanya dibatasi pintu. Keduanya meratapi kesedihan masing-masing.

“Non, makan dulu.”

Halimah menghiraukan Sum yang peduli dengannya. Wanita paruh baya itu pun tak sanggup menahan air matanya. Tiga jam berlalu, Rhandra belum juga membuka pintunya dan Halimah terus meratapi kesedihannya.

“Aku mencintaimu, Rhandra,” bisik Halimah pelan. Wanita itu kelelahan, suaranya parau dan wajahnya semakin pucat. Halimah lelah dan terlelap.

Rhandra adalah lelaki yang terbiasa menyimpan kesedihan untuk dirinya sendiri, ia lebih memilih meluapkan emosi setelah itu dia akan merasa tenang. Hari sudah semakin sore, suara Halimah sudah menghilang. Lelaki itu berusaha menguatkan dan menata hati untuk bisa berhadapan dengan istrinya.

Pintu kamar terbuka, dilihatnya bidadari itu meringkuk terlelap di depan pintu. Ia terlihat begitu polos. Halimah sama sekali tak pernah mengenal apa itu cinta, mungkin dulu ia pernah menyukai Haikal, tapi itu bukan cinta. Cintanya begitu dalam pada lelaki yang duduk di sebelahnya. Ia membelai rambutnya. Halimah tak terusik dan begitu pulas.

Rhandra bopong tubuh istrinya seraya menikmati wajahnya di pangkuan, setiap langkah, setiap embusan napas semakin membuat debaran cinta menyeruak. Menuju kamarnya di lantai dua lalu merebahkan tubuh Halimah di ranjang, duduk di sebelahnya dan kembali membelai rambutnya.  Ia bahkan terlihat cantik saat tertidur batin Rhandra.

“Berhentilah menangis Halimah, tangisanmu itu membuat kepalaku pecah,” bisik Rhandra lembut.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

417K 17K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
4.9M 180K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
2.6M 277K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.3M 64.9K 51
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...