MENIKAH DENGAN SETAN

By IsrinaSumia

269K 6K 305

Kematian keluarga Abyakta telah ramai terdengar di warga Deda Poncol Magetan. Peristiwa tahun 1968 telah meni... More

PROLOG
PART 1
PART 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 21
Part 22
BEDAH BUKU & OPEN CASTING

Part 11

9.4K 243 5
By IsrinaSumia

#MENIKAH_DENGAN_SETAN
#LAFAZ_CINTA_PART_11

Halimah duduk di atas ranjang seraya memegang dadanya. Hatinya berdesir, belum pernah ia merasakan perasaan sebesar ini. Desiran yang begitu indah, tidak sama saat ia dilamar Haikal. Peluh menetes, berulang kali menelan salivanya. Wanita itu mulai merasakan kehadiran Rhandra dalam hatinya.

Tap! Tap! Derap langkah  terdengar jelas di telinganya. Wanita itu resah, berdiri kemudian bangkit, mondar mandiri tak tentu arah. Tak lama lelaki itu masuk, ia rebahkan tubuhnya di belakang tubuhnya yang sedang duduk mematung memandang ke arah jendela.

“Bagaimana kakimu?”

“Sudah baikkan,” jawab Halimah gugup.

“Oh ya, sini aku lihat.” Lelaki itu menarik pundak istrinya. Kini Halimah terbaring di atas ranjang, kedua tangannya menyilang di atas dada, seraya memejamkan mata.

Rhandra bangkit, ia ambil obat di atas nakas. Kemudian mengangkat kaki istrinya dan meletakkan di pangkuannya.

“Jangan Rhandra.”

“Diam!” Ia usap kaki istrinya dengan minyak hangat, kemudian dipijat. Hati Halimah makin tak menentu. Bunga yang lama mengkuncup itu merekah di hatinya, nama Haikal seketika punah.

***

Senja menyingsing, dilihatnya gadis desa yang kini telah menjadi istrinya, masih saja keras kepala dengan berusaha berjalan dari arah dapur menuju kamarnya. Susah payah ia berjalan, hingga tak ia sadar bajunya sudah basah karena keringat. Risih melihatnya, lelaki itu berjalan dengan tegapnya.

“Rhandra!” teriak Halimah kaget, degup jantung tak karuan. Posisi tubuhnya kini di pangkuan, lelaki itu membopong tubuh istrinya kemudian berjalan perlahan melewati tangga, Rhandra tak bersuara, pandangannya lurus ke depan.  Sementara Halimah, malu-malu menatap, wajahnya seketika menjadi merah jambu. Dan detak jantung terdengar jelas di telinganya.

“Aku sudah tidak apa-apa, turunkan aku!” Halimah menatap wajahnya tersipu malu. Lelaki itu membopong tubuh istrinya kemudian ia rebahkan di atas ranjang.

“Terima kasih, Rhandra.”

“Luruskan.”

Lelaki itu lagi-lagi memintanya untuk merebahkan kakinya. Ia melihat Rhandra mengambil minyak yang sudah disediakan Sum di kamarnya.

“Rhandra, jangan.”

“Diam!” Lelaki itu memukul tangannya pelan, dan memijat kakinya.

“Sssst,” desis wanita di hadapan kesakitan. Pijatannya kali ini lebih kuat dari sebelumnya.

“Kamu itu sangat keras kepala sekali. Sudah berapa kali aku bilang untuk duduk?”

“Aku tak terbiasa Rhandra, sejak kecil tubuhku sudah terbiasa untuk bergerak, bahkan dalam keadaan sakit sekalipun.”

Rhandra terperanjat, ucapan Halimah baru saja membuatnya ingin mengenal masa lalunya lebih jauh.

“Ayahku meninggal saat aku masih duduk di bangku SMP. Saat itu Sur masih kecil, kebutuhan keluarga kami amatlah banyak. Bue mulai gencar berjualan pakaian, juga menjahit, dan aku membantunya berjualan makanan semampuku,” lanjut Halimah.

“Cukup, aku nggak suka cerita sedih.”

Dahi wanita itu mengernyit, melihat wajah suaminya yang sombong itu membuatnya geli.

“Rhandra,” ucapnya seraya menggapai tangan yang masih sibuk memijat kakinya kemudian ia pegang erat. Mata mereka saling menatap dan beradu. “Aku ingin tahu masa lalumu, ingin tahu semua tentang kamu, makanan yang kamu sukai, warna yang kamu sukai, aku ingin tahu semua tentangmu.”

Sepasang netra seperti tak mampu lagi menahan hasrat, Istrinya pun terlihat seperti sudah membuka hati untuknya.

“Aku ….”

“Den,” sapa Mbok Sum yang memanggilnya dari balik pintu.

“Ya, Mbok.” Lelaki itu bangkit, menemui Sum dan tak lama wanita paruh baya itu berbisik.

“Temani Halimah ya Mbok, biar saya yang turun.”

Lelaki dengan tubuh tinggi besar itu turun, cara ia berjalan terlihat sangat angkuh. Rhandra tidak pernah membungkukkan tubuhnya di hadapan orang, ia juga tidak pernah menundukkan kepala pada lawan bicaranya, hal itu yang membuat orang lain sangat segan juga takut padanya.

“Maafkan saya, telah lancang datang ke sini.” Dwi bersimpuh di atas lantai.

“Heh, adiknya Halimah! Bangun,” tegur Rhandra mencoba menghargainya. “Ada perlu apa?” lanjutnya.

“Bue ingin memberikan ini untuk kakak saya.”

Rhandra mengambil bungkusan yang ada di tangannya. Seharian ini Halimah terus menangis menanyakan keluarganya. Syukur adiknya datang di waktu yang tepat.

“Masuk dan berikan ini langsung untuk kakakmu.”

“Terima kasih,” jawabnya seraya membungkukkan badan di hadapannya.

Rhandra mengantarnya sampai ke kamar Halimah. Ia bukakan pintu untuknya. Istrinya terlihat menggemaskan saat tertawa  dengan Sum. Seketika hatinya merekah, berharap selamanya bisa terus bersama wanita di hadapan, berharap bisa membawanya pergi dari kesunyian yang melanda hari-harinya. Berharap Halimah bisa mencintai hidup juga dirinya.

“Halimah,” sapa Rhandra.

“Dwi.” Tangisan Halimah pecah, sorot mata teduh menatap Dwi adiknya, ia mengangguk-angguk memandang lelaki yang telah berhasil merebut hatinya. Rhandra tersenyum hebat, debaran di hati begitu sempurna. Bahagia itu cukup ketika melihat istrinya tersenyum, tertawa lebar. Ia tinggalkan keduanya, menutup pintu dan bersandar di balik pintu.

“Bagaimana kabarmu, Wi? Kabar Bue, kabar Sur?”

“Kita semua baik Mbak. Alhamdulillah.”

“Ya Allah, Wi. Mbakmu ini rindu sekali.”

“Ini dari Bue, Mbak.”

“Bue!” Dasinun menitipkan Mushaf Quran miliknya yang tertinggal di rumah. “Ya Allah Bue,” lanjutnya seraya memeluk Mushaf kesayangannya. “Apa yang kamu katakan pada Bue, Wi?

“Dwi bilang, Mbak bekerja.”

“Ya Allah Dwi, kenapa Dwi harus berbohong?”

“Dwi bingung, Bue terus tanya. lelaki itu meminta Dwi untuk tutup mulut. Mbak?”

“Ya”

“Mas Haikal tadi siang mencari Mbak.”

“Mas Haikal? Untuk apa dia mencari Mbak?”

“Ada yang ingin dia bicarakan katanya.”

“Lalu Dwi bilang apa?”

“Dwi bilang Mbak keluar kota.”

“Syukurlah.”

“Dia terlihat cemas, Mbak. Sepertinya dia menyesal dan ingin Mbak kembali padanya.”

Halimah terdiam, tak lama pintu terbuka lebar. Rhandra baru saja masuk dengan raut wajah yang berubah, senyuman yang baru saja dilihatnya lenyap, wajahnya kini memerah, matanya tajam menatap Dwi.

“Sudah malam, kamu boleh pulang.”

“Tunggu, sebentar lagi Rhandra, aku masih merindukannya.”

“Sudah malam!”

“Nggak apa-apa, Mbak. Lain kali Dwi akan datang lagi,” ucap Dwi seraya pamit.

Lelaki itu diam, duduk membelakangi istrinya, mendengkus, tangannya terkepal seraya memejamkan mata.

“Rhandra kamu kenapa?” tanya Halimah lembut.

Lelaki itu tak menjawab, ia bangkit kemudian mondar-mandir di hadapannya dengan napas tersengal. Sesekali tangannya ia letakan di atas kepala, dan yang satunya ia masukkan ke dalam saku celananya. Ia terus menarik napas. Sorot matanya begitu tajam.

Gontai Halimah mencoba bangkit dari tempat tidurnya “Rhandra,” ucapnya seraya menggapai pundaknya yang bidang.

“Cukup Halimah!”

Lelaki bertubuh kekar itu mendorong tubuh istrinya ke tembok dan menatap dengan mata menyipit. Sorot matanya terlihat sangat tajam, dan memerah penuh kebencian, tangan satunya ia letakan di atas kepalanya dan yang satu mencengkeram pundak Halimah. Wajah mereka bertemu, Ia terus mengendus layak singa kelaparan. Lelaki itu sangat kuat, jauh lebih kuat dari wanita di hadapannya.

Tubuh Rhandra semakin dekat, napasnya tersengal, tak mampu Halimah melawannya. Pelan lelaki itu mendekati wajah istrinya hingga hanya berjarak satu embusan napas. “Kamu mau apa Rhandra?”

Tak lama mimpi buruk seperti terulang, “lepaskan aku Rhandra, kau menyakitiku!” lirih Halimah, perih. Sorot matanya begitu menakutkan. Lelaki itu mendengkus kemudian memaksa menciumi seluruh wajah Halimah dan memaksa untuk mencium bingkai mungil di wajah.

Wanita itu berontak mencoba untuk keluar dari cengkraman tangannya. “Lepas Rhandra kamu sedang emosi! Rhandra lepas! Lepas Rhandra!”

“Haaah!” dengus Rhandra, erat ia memegang pundaknya hingga merobek pakaian istrinya.

“Rhandraa … cukup Rhandra, cukup ….” Halimah beringsut, menyelorot ke bawah, isak tangis pecah, gadis desa itu terduduk diam seraya menyilang kedua tangan di dada. Pelan, hingga tak lama semakin pecah dan nyaring. Lelaki itu terdiam menunduk, melihat istrinya tersungkur menangis terisak.

“Haaaaa!” teriak Rhandra seraya mengepal tangan dan memukuk-mukulkan ke dinding. Kemudian ia pergi keluar, berlari menuju kamarnya.

Tangisan Halimah tak berhenti hingga Sum datang menuju ke kamarnya. Halimah duduk di bawah, mendekap erat pada badannya. Bajunya sudah terkoyak.

“Non.” Halimah memeluk Sum dengan erat, ia menangis di pelukannya.

Rhandra pergi ke kamarnya, melanjutkan luapan emosi di sana, menghancurkan setiap barang yang ada di hadapannya sambil berteriak kesal. Malam itu, tak hanya suara burung hantu yang bersahutan, teriakan Rhandra sudah seperti teriakan seriga yang melolong karena kelaparan.

“Rhandra kenapa Mbok?” tanya Halimah gugup, mulutnya bergetar.

Sum diam, tak menjawab perlahan wanita patuh baya itu mengantar Halimah kembali ke tempat tidurnya.

Tubuh Halimah gemetar, hatinya sakit melihat sikap Rhandra, sejujurnya ia ingin sekali menyambut keinginan Rhandra untuk memadu kasih. Namun, bukan dengan cara yang kasar seperti yang ia lakukan barusan. Rhandra seperti lelaki kesurupan, persis dalam mimpinya beberapa waktu lalu. Bahu sebelah kanan Halimah terluka akibat cengkeraman jarinya.

Sum mengambilkan obat untuknya. Ia obati pundaknya yang terluka akibat cengkeraman Rhandra. Wanita itu termangu duduk terdiam seperti patung, rasa nyeri di pundak tak sebanding dengan rasa cemas di dada melihat perubahan sikap suaminya.

Malam semakin larut, dan dirinya masih termangu karena perasaannya yang tak menentu melihat sikap Rhandra yang mendadak kasar. Kini teriakan Rhandra mulai menghilang, sepertinya ia sudah bisa mengendalikan emosi. Rhandra tak kembali malam itu, mereka tidur terpisah, seperti hari-hari sebelumnya.

***

Tiga hari berturut-turut Rhandra tak turun dari kamarnya. Perasaan rindu kini mulai menjalar ke setiap sel dan aliran darah, memanas karena pada tahap ini rasa yang menjalar akan semakin parah.

Cukup lama Halimah terjaga, merasakan sakit di hati akan kerinduannya yang mendadak kian besar pada suaminya. Perlahan ia sadari bahwa rasa sayang sudah tumbuh di hati hanya untuk suaminya. Resah dan cemas menghasilkan energi rindu yang tak bertepi. Rindu yang membuncah di dada membuah napas menjadi terasa sesak, hari-hari ia menunggu kehadiran Rhandra kembali disisinya.

Sementara Rhandra termenung di ruangan paling atas Gedong Tua. Badai kegelapan menggelapi pikiran akan perasaan Halimah yang bukan untuknya. Jika ia mau, bisa saja ia memuaskan nafsu pada istrinya itu. Namun, Halimah berbeda dengan wanita bejat yang selama ini ia benci, wanita yang ia anggap hina, wanita yang telah menghancurkan hidupnya di dunia. Rhandra sempat berpikir semua wanita sama.

Saat melihat gadis desa yang kini sah menjadi istrinya, ia berniat membalas dendam pada Tuhan, dengan meng-hancurkan hidup Halimah, hingga gadis desa itu merasakan hal yang sama dengan apa yang ia rasakan.

Ia tak peduli harus hidup di neraka setelah mati, toh ia merasa hidupnya di dunia sudah seperti di neraka. Hidup bagai makhluk hutan yang keluar dari kehidupan manusia, hanya Sum dan Darmin yang menemani hingga saat ini.

Pagi itu, beberapa bulan sebelum mereka menikah. Lelaki itu selalu menatap Halimah dari jauh. Begitu semangat Halimah mengayuh sepeda dengan keceriaan dari senyum yang terpancar di wajah. Kedua matanya saling bertemu, saat wanita itu melirik ke lantai dua. Halimah tak merasakannya, tirai itu mengaburkan pandangannya. Rhandra tidak menculiknya seperti keinginan sebelumnya. Tuhanlah yang menghadiahkan wanita itu untuknya.

Saat ini rasa di dalam justru seperti kutukan untuknya. Perasaan berapi-api yang ia rasakan tak menentu pada kembang desa yang selalu ia sebut bodoh dalam hatinya. Perasaan itu membuatnya tak waras. Ia harus memilih, antara membuat gadis itu menderita atau mem-bebaskan Halimah dan membiarkan lukanya bertambah parah?

“Den, ada yang harus dibicarakan,” ucap Darmin selepas mengetuk pintu.

“Ada apa, Pak?”

“Ada seseorang yang mengawasi rumah kita sejak kemarin, dan hari ini ia datang lagi.”

Seorang lelaki berdiri di gerbang istananya cukup lama, Rhandra perhatikan lamat-lamat, lelaki berkulit putih dengan kemeja koko, dan celana hitam rapi, terlihat dari keluarga baik-baik berusaha  mencoba memanjat dan masuk ke dalam.

Haikal , batinnya.

“Bodoh, bagaimana mungkin dia bisa memanjat gerbang tinggi itu.”

“Bagaimana, Den?”

“Untuk beberapa hari ini jangan keluar dulu, Pak. Pastikan semua pintu luar terkunci, lelaki seperti dia akan melakukan apa saja demi sesuatu yang ia inginkan.”

“Baik, Den.”

Rhandra beranjak dari kamarnya. Dengan penuh emosi ia berjalan menuju kamar Halimah, suara merdu itu pun terdengar,

[allażīna kānat a'yunuhum fī giṭā'in 'an żikrī wa kānụ lā yastaṭī'ụna sam'ā]

Alunan surat Al-kahfi terdengar merdu. Suaranya mampu membuat setiap hati bergetar. Lelaki itu mematung berdiri di luar kamar, ada keteduhan dalam hatinya. Namun, ia menyangkalnya, Halimah melanjutkan lagi bacaannya.

[a fa ḥasiballażīna kafarū ay yattakhiżụ 'ibādī min dụnī auliyā', innā a'tadnā jahannama lil-kāfirīna nuzulā]

“Hentikan Halimah!” rutuk Rhandra seraya mebuka pintu dengan kasar.

Beberapa saat mata mereka bertemu, rindu bagai terobati. Kedua mata Halimah berkaca-kaca melihat suaminya kembali seperti dulu, marah, egois dan semuanya kini hal yang paling dirindukan wanita bermata sendu itu.

Rhandra melengos, rindu yang sama pun  menerjang hatinya. Ia tak sanggup menatap wajah wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya. Keduanya diam, tak saling berbicara hingga hanya hati yang terucap.

Rindu ini hampir membunuhku, Halimah.

“Sadaqa Allaah al-azeem.” Halimah mengakhiri bacaannya dan menutup mushafnya. Matanya berkaca-kaca, terlihat rasa rindu di pelupuk mata wanita yang senantiasa mendoakan lelaki di hadapan. Tiga hari tak berjumpa dengan Rhandra cukup membuat dadanya sesak.

“Sini!” Rhandra menarik lengannya, dan memintanya melihat ke arah jendela. “Siapa dia?” tanyanya dangan wajah yang cukup menakutkan.

“Mas Haikal?” ucapnya heran

“Jadi dia yang bernama Haikal? Lelaki yang selalu mencemaskanmu, merindukanmu, juga mengharapkanmu!”

“Rhandra, aku ....”

“Pergilah Halimah jika itu keinginanmu, anggap aku membebaskanmu, pergilah dengan lelaki itu, lelaki yang paling kaucintai!”

“Rhandra, aku ....”

“PERGILAH!” teriak Rhandra di wajahnya.

Plak! Seketika tangan Halimah memukul pipinya dengan keras. “Bodoh! Dasar kamu lelaki bodoh, tak berguna,” gerutu Halimah, wajahnya memerah, air matanya mengalir.

“Berani sekali kamu menamparku!” dengus Rhandra. Tangannya menekan pada dua pipi Halimah.

“Aku berharap Allah membukakan pintu hatimu, dan membiarkan matamu melihat hatiku.”

Lelaki itu menyeringai seraya mengusap rambutnya yang tergerai berantakan. “Cukup sandiwaramu, kamu senang adikmu datang membawa kabar tentangnya’kan, JAWAB?!”

“Aku tidak serendah itu, Rhandra. Jika ada lelaki yang harus aku cintai itu hanya kamu. Sadarlah, kamu itu suamiku sekarang.” Air mata terus mengalir berharap Rhandra bisa menghilangkan prasangkanya.

“Ok, kita lihat, bagaimana seorang suami menghabisi lelaki yang sedang mencoba mendekati istrinya. Aku akan menghabisi dia sampai darah juga napasnya habis, dan kita lihat sedih atau tidak kau kehilangan dia?” Sebuah bareta ia keluarkan dari kantong celana.

Halimah tercengang. Matanya terbelalak melihat bareta di tangan Rhandra. “Cukup Rhandra!” teriak Halimah seraya menarik lengannya. “Mungkin aku akan bersedih, tapi bukan karena aku kehilangannya … aku bersedih karena melihatmu mengotori tanganmu dengan darahnya. Aku akan bersedih seumur hidupku melihatmu terjun dalam kemungkaran. Sadarlah Rhandra aku adalah wanita muslim, dan aku akan selalu setia bersamamu, menjagamu, sampai napas terakhirku. Hentikan ini Rhandra, aku lelah.”

Seketika hati terenyuh. Senjata itu terasa amat berat hingga terjatuh ke lantai. Lelaki itu diam membelakanginya. Ada getaran yang memuncak di dada, napasnya terasa sesak, jantungnya melambat untuk beberapa detik.

“Aku- Aku mencintaimu Rhandra,” lirih Halimah. Bibirnya bergetar, dadanya berdegup kencang. Belum pernah Halimah seemosinal ini. Rhandra harus mengerti bagaimana posisinya saat ini, wanita lugu itu kini adalah istrinya. Ia harus tahu bahwa lelaki yang harusnya ia cintai hanyalah suaminya, bukan orang lain.

Rhandra berdiri membelakanginya, ada embun di kedua mata, terkejut mendengar Halimah mengatakan itu. Hatinya berdesir, rasanya ingin ia berbalik dan memeluk istrinya dengan erat. Kemudian terasa perlahan tangan Halimah meraba pundaknya yang bidang hingga kemudian masuk melalui sela-sela lengannya, Halimah memeluknya erat dari belakang, dan bersandar.

“Aku mencintaimu Rhandra … hanya kamu, aku rindu, sangat ….”

Hatinya rapuh. Rhandra kini bukanlah iblis yang tak mengenal cinta di hatinya, seketika ia merasakan arti kasih sayang, ia mendekap lengan Halimah erat di dadanya, kemudian merasakan embusan angin surga yang sejuk menerpa wajahnya. Surat Al-kahfi yang Halimah bacakan telah membuka pintu hatinya, bagai Allah membukakan pintu gua pada mereka yang kesulitan menemukan jalan.

Halimah mencium pundaknya dengan penuh kasih dan sayang. Air mata itu pun akhirnya jatuh. Mata yang sudah mengering itu akhirnya berair. Rhandra menangis, ia tak sanggup menahan cinta bersambut yang teramat dalam untuknya. Perlahan Halimah maju kehadapan Rhandra, ia mencium dadanya yang hampir sejajar dengan tinggi badannya, Lelaki itu membalas dengan mencium keningnya dan membiarkannya bersandar di pelukannya.

Jemari lentik itu menarik tangannya ke atas ranjang. Kedua insan itu akhirnya berbaring di ranjang seraya berpelukan. Rhandra mengecup kening, leher, pipi, mata juga bingkai di wajah Halimah dengan lembut. Rhandra sandarkan kepala Halimah di dadanya. Kedua tangannya ia silangkan di perut Halimah. Pintu surga terbuka untuknya, wanita itu ikhlas, sudah diap untuk diapa-apakan. Namun, tak terjadi apapun ia biarkan istrinya meluapkan lelah, meluapkan rindu hingga tertidur di pelukan. 

Tak seharusnya aku mencinta, cabutlah nyawaku jika cinta ini hanya bisa merampas senyum di wajahnya. Tak seharusnya kaubertahan, karena bersamaku kauhanya terluka. Tapi ini egoku, aku ingin memilikimu seumur hidupku, tapi apa kau sanggup?

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 304K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
3.7M 54.6K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
406K 1.8K 16
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
1.5M 138K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...