The Last Psycho's Slave

By Rdepone

337K 12.2K 510

Be wise readers, it's adult only ! Cerita tidak di private. DO NOT COPY PASTE PLEASE ! =====================... More

2. The Slave.
3. The King : His life.
4. The Slave : Her life.
5. The King : next to his slave.
6. The Slave : the king in her dream.
7. The King : the ritual he made.
8. The Slave : she needs her king.
9. The King : trapped by his slave.
10. The Slave : horrible momment with her king.
11. The King : his plan through his slave.
12. The Slave : her tears, her pain and her end.
13. The King : his slave's ironic story.
14. The Slave : her king was her hero.
15. The King : does he realize ?
16. The Slave : encounter.
17. The King : missing her.
18. The Slave : forbidden love.
19. The King : he wants her like crazy.
20. The Slave : it happens again.
21. The King : got her.
22. The Slave : one fine day with you.
23. The King : i won't let her go.
24. The Slave : Decan, leave me please...
25. The King : dusk till dawn.
26. The Slave : we finally meet.
27. The King : am I daydreaming ?
28. The Slave : the beginning of our.
29. The Finale.
30. The Epilogue.

1. The King.

47.1K 1K 98
By Rdepone

Comment for next part
Vote for next part
Mature content ! (17+)
Adegan pembunuhan & adegan dewasa.

***

Seorang laki-laki bernama 'Daniel Decan' tersenyum ke arah segerombolan wanita yang menatapnya. Sambil meminum kopi instan dari gelas kertas ia mengedipkan sebelah matanya, membuat segerombolan wanita itu histeris.

Decan terkekeh. Lalu menaruh pelan gelas kertas di atas meja dan mulai membaca korannya. Matanya fokus menjelajahi kata demi kata yang tersusun rapi di koran. Ia sesekali mengerutkan dahinya, tampak sedikit heran dengan berita yang di sajikan di koran.

Sekarang pukul tujuh lewat empat puluh lima pagi. lima belas menit lagi ia harus sudah absen di kantornya, tapi untuk menghindari 'pemotong gaji' ia biasanya absen lima menit sebelum waktu habis.

Decan menutup korannya. Ia kembali menyeruput kopinya yang mulai dingin.

"Decan !"

Daniel spontan melirik sumber suara.

"Wah udah mau pergi aja, temenin gue bentar dong."

Decan mengangkat bahunya. Yugo, rekan kerjanya. Ia baru saja meniup kopinya, bahkan belum meminum kopinya. Daniel sedikit risih. Ia tak suka orang yang lamban dan tidak tepat waktu.

Decan berdiri. Mata Yugo tak luput dari pergerakannya.

"Gue mau absen. Lo nyusul ya," Decan berlalu.

Yugo tampak sedikit mengangkat pantatnya. Berniat menyusul Decan. Tapi apa boleh buat, Decan sudah berjalan jauh menuju lift.

Decan memasuki lift. Seisi lift dominan wanita, mata mereka tak henti-hentinya menelusuri tubuh Decan. Decan sudah terbiasa, ia hanya membalas tatapan wanita yang menatapnya dengan senyum menawan.

Sesekali ia mengajak salah satu wanita yang ia kenal satu divisi dengannya berbicara. Mereka mengobrol ringan, membahas masalah-masalah kecil yang lumayan sering mereka hadapi akhir-akhir ini.

Lalu tak lama pintu lift terbuka. Kebanyakan dari mereka keluar. Decan dan teman satu divisinya menetap. Kantor mereka masih 2 lantai di atas.

Decan kembali mengajak teman wanitanya itu berbicara. Sesekali mereka tertawa membicarakan lelucon orang kantoran. Sampai akhirnya tepat di lantai lima pintu lift terbuka.

Decan dan teman satu divisinya itu keluar. Mereka berdampingan berjalan menuju meja masing-masing.

"Mainan baru ?" Decan menoleh, mendapat Poppy yang sedang merapikan setumpuk berkas di meja sampingnya.

"Hng ?"

"Kanya, mainan baru ?"

Decan terkekeh. Ia memasukkan password di layar komputernya. "Ada-ada aja." Jawabnya.

"Lumayan tuh, bodynya." Goda Poppy sambil tergelak. Decan ikut tergelak.

Tak lama orang yang mereka bicarakan lewat. Kanya mengedipkan matanya ketika bertemu pandang dengan Decan. Ia menyeringai samar menggoda ke arah Decan.

Decan menatap layar laptopnya. Samar-samar ia juga mengeluarkan seringai.

"Gampang kali, can. dapetin dia. Secara lo most wanted di kantor." Goda Poppy. Decan hanya terkekeh. Mencoba menembak Poppy dengan meluncurkan beberapa lelucon juga.

Daniel Decan.

Lelaki berumur genap dua puluh tujuh tahun. Berwajah tampan, bertubuh atletis, punya perkerjaan tetap. Ia berkerja di devisi khusus pembunuhan di salah satu wirma hukum. Tugasnya tak lain menyelidiki khasus.

Ia pandai bicara. Pembawaannya yang tenang dan 'charming' membuat lawan bicaranya merasa nyaman dan sesekali meluapkan emosinya. Merasa Decan lah orang yang tepat untuk menampungnya.

Ia disukai banyak wanita. Kanya tadi salah satunya.

Decan juga pria yang cerdas. Ia lulusan terbaik psikologi di salah satu universitas lokal walau akhirnya ia berakhir dengan studi hukum karna dorongan neneknya.

Decan tentu dengan senang hati mengikuti studi hukum mengingat itu adalah permintaan neneknya. Dan hanya neneknya yang ia punya sekarang. Ia tak bisa menolak apa yang neneknya inginkan.

Decan tinggal jauh dari neneknya. Ia punya rumah bergaya classic di ujung kota. Sedangkan neneknya, tinggal di tengah kota dengan salah satu anak perempuan yang ia adopsi.

Rumah Decan lumayan besar dengan halaman depan dan belakang yang luas walaupun rumahnya terlihat sedikit sederhana di banding halamannya.

Rumah Decan jauh dari kata berantakan. Mulai dari halaman depan hingga belakang terlihat rapi tanpa cela. Ia perfeksionis. Penggila kebersihan dan berkerja.

Setiap hari Decan pulang jam enam sore. Setelah pulang, rumahnya terlihat lebih hidup dengan lampu-lampu terang menerangi teras dan pekarangan rumahnya.

Ia juga menghidupkan lampu ruang tamunya. Menyingkirkan kesan menyeramkan karna rumahnya sendiri bergaya classic tua era 70-an.

Ia membeli rumah ini bukan tanpa alasan. Karna pekarang rumahnya yang luas, perumahannya pun sunyi senyap. Membuat ia tenang setiap berada dirumah.

Di belakang, ia membangun sebuah gudang.

Bangunan itu terlihat besar menjulang dan gagah dari luar dengan cat putih di setiap sisi dindingnya.

Namun, tidak selalu yang tampak bagus dari depan, juga bagus di dalamnya.

Decan, menyimpan satu mesin kremasi dan penghacur tulang di bangunan itu. Serta beberapa peti es yang terisi beberapa bagian 'daging' yang di tutupi dengan terpal tebal berwarna hitam.

Hebatnya, bangunan yang seharusnya di sebut gubuk itu dapat meredam suara nyaring. Suara mesin kremasi serta penghancur tulang tak akan terdengar sama sekali dari luar ketika pintu tertutup rapat.

Decan sendiri menyebut bangunan itu 'bangunan favorit' nya.

Di sisi paling belakang bangunan, terdapat lemari susun yang diisi beratus-ratus toples kaca berisi abu. Setiap toplesnya, ia lampirkan nama dengan potongan kertas kecil yang diikat menggantung di tutup toples.

Salah satu di antanya kosong dengan lampiran nama 'Kanya Gladis' dengan tutup berlapis kain berwarna merah darah.

Decan merenggangkan tubuhnya. Ia melirik jam. Sudah hampir jam tujuh. Ia lalu mematikan komputernya, memakai jas yang semula ia gantung di kursinya.

Ia menekan kontak mobilnya, sontak lampu mobilnya menyala, menampakkan seorang wanita tengah berdiri tak jauh dari mobilnya.

Lampu remang-remang basement membuat Decan sedikit menyipitkan matanya. Ia lalu menangkap sosok Kanya yang tersenyum sambil nenyilangkan tangannya di depan dada.

"Hei." Sapa Decan.

Kanya melambaikan tangannya lalu mendekat kearah Decan.

"Belum pulang ?" Tanya Decan.

Kanya menggeleng, "Poppy said that you need someone tonight. Is it right ?"

Decan menaikkan alisnya. Benar-benar wanita itu, selalu membuat rencananya semakin mudah, batin Decan. Ia menunduk. Bibirnya terangkat, menyunggingkan seringai yang tampak seperti sebuah kekehen di mata Kanya.

Decan lalu mendongak, mendapat Kanya yang tampak sudah tak sabar menunggu jawabannya.

Decan mengangkat bahunya. "Gue bisa masak makan malam dirumah gue kalau lo mau." Tawarnya.

"And wine ?" Decan menangguk, menyetujui usul Kanya yang menginginkan wine.

Decan lalu mengajak Kanya masuk ke mobilnya. Di mobil mereka terlibat percakapan ringan seperti di lift pagi tadi. Kadang keduanya tergelak, atau Kanya yang berpura-pura marah karna lelucon Decan.

Decan tampak sangat 'friendly'. Ia sangat 'charming' di mata Kanya.

Kanya diam-diam memikirkan bagaimana malam nanti ia lewati bersama Decan. Bersenang-senang, bergulat di atas ranjang. Kanya diam-diam malu memikirkannya.

Sedangkan Decan, ia tampak sangat sumringah memikirkan bagaimana nanti aksinya akan berjalan lancar mengingat Kanya sudah benar-benar menyerahkan dirinya.

Sesampainya dirunah, Decan menepati janjinya. Ia memasak pasta E'lio A lio serta suguhan wine yang ia sajikan di atas meja. Kanya menyantapnya dengan lahap. Decan senang.

Setelah mereka selesai dengan makan malam, Decan mengajak Kanya berbincang di depan TV. Mereka lagi-lagi mengobrol. Tapi bedanya Kanya sekarang terlihat menggoda Decan.

Ia menyilangkan kakinya, roknya sengaja ia naikkan hingga paha. Kemejanya ia buka dua kancing teratasnya, menampakkan dadanya jika di menunduk sedikit saja. Dan tebak apa yang ia lakukan. Ia menunduk, berpura-pura memijit betisnya. Decan dapat melihat jelas dada Kanya.

Ia menyunggingkan seringai. Kanya tampak benar-benar mendambakan penyatuan tubuh mereka.

"Mana yang sakit ?" Tanya Decan seraya mendekat.

Sekarang posisinya yang benar-benar sangat dekat dengan Kanya membuat ia dapat melihat jelas bra Kanya yang berwarna merah mencolok.

Kanya mendongak, sadar dimana arah mata Decan. Kanya lalu menyentuh dada Decan, Decan mendelik, sekarang mereka bertatapan.

Decan lalu tanpa aba-aba menyambar bibir Kanya. Bibir mereka berpagutan. Sama-sama mendambakan penyatuan.

Decan menidurkan Kanya di sofa. Tangannya gerayangan menyentuh tubuh Kanya. Mengangkat rok kanya lalu menurunkan dalamannya. Kanya dengan suka rela membuka kemejanya. Meninggalkan bra merah mencoloknya tertindih Decan yang sama polosnya dengan dia.

Lalu penyatuan mereka tiba. Ruangan di penuhi desahan sesaat. Mereka berkali-kali orgasme, memekik, hingga berganti posisi.

Decan sesekali menyeringai di sela desahannya. Ia akan memulai aksinya.

Ia mengangkat tubuh polos Kanya menuju dapur. Menidurkan kanya di atas meja makan. Lalu lagi- lagi larut dalam penyatuan.

Kanya yang terbuai kenikmatan tak berhenti berdesah. Tak menyadari Decan yang meraih pisau di laci.

Decan lagi-lagi menyeringai.

Lalu tanpa aba-aba. Tangannya melayang, nenuntun pisau tajam yang ia raih menusuk dada Kanya.

Kanya melebarkan matanya, diam seketika dengan tubuh yang tegang. Decan terkekeh lalu melepaskan penyatuan mereka.

Darah mengalir di meja makan. Menitik sampai ke lantai. Decan meliriknya. Lalu ia meninggalkan Kanya yang sudah tak bernyawa di meja makan.

Ia berlalu menuju kamarnya, mengambil sepasang baju sambil bersenandung kecil.

Setelah itu, ia keluar dengan setelan tidur. Menuju ruang makan tempat dimana mayat Kanya tergeletak.

Ia mengamati mayat kanya. Kulitnya pucat, rambutnya hitam panjang, bibirnya juga kian memucat. Lalu Decan mendekat. Memperhatikan wajah ayu Kanya yang kaku dengan mata terbelak dan mulut terbuka.

Ia menyentuh wajah Kanya, mencium dahinya sebentar.

Decan lalu mencabut pisau yang tertanam di dada Kanya, menaruhnya di bak cuci piring sembari di aliri air.

Ia menepikan beberapa kursi, lalu menarik tubuh Kanya sampai terjatuh dari meja makan. Ia lalu menarik kaki Kanya, menyeretnya melewati kubangan darah dan menuju 'tempat favorit' nya di halaman belakang.

Sesampainya di sana, Decan menghempaskan tubuh Kanya di atas meja tenis yang telah usang dan buluk. Sambil memutar lagu classic lewat tape tua ia mengambil beberapa pilah pisau besar di desk kecil.

Ia mengamati tubuh Kanya, mencari-cari bagian yang berisi. Lalu ia menyentuh paha Kanya, sedikit mengusap bagian vital di tengahnya. Ia terkekeh sebentar lalu menyentak tubuh tak bernyawa di hadapannya.

Dengan cekatan ia lalu mengiris paha berisi di depannya dengan pisau tajam. Sesekali ia menggerjaji, mencoba memisahkan alat gerak Kanya dengan badannya.

Ia tak berhenti, setelah selesai dengan paha, ia lalu beralih menuju bagian-bagian 'berisi' milik Kanya. Mengirisnya, memotong, menggergajinya.

Sampai akhirnya setelah semua telah terpisah dari badannya, Decan menghela nafas.

Ia kembali berkerja dengan pisaunya, menguliti tubuh Kanya sambil bersiul dan bersenandung kecil mengikuti nada musik yang ia putar.

Hampir tengah malam, kulit Kanya sudah sepenuhnya terkuliti. Ia tampak tak seperti manusia lagi setelah apa yang Decan lakukan padanya. Kepalanya sudah lebih dulu masuk ke dalam mesin kremasi, sementara Decan memisahkan organ dan tulangnya hingga memotong dagingnya menjadi bagian-bagian kecil.

Decan mengelap dahinya yang berkeringat. Ia lalu beringsut mundur mencoba mengamati perkerjaannya yang sudah selesai. Tubuh Kanya kini tinggal daging, itupun sudah terpotong menjadi bagian-bagian kecil. Sangat merah, segar. Seperti daging sapi yang di jual di swalayan.

Lalu Decan memasukkan organ dan daging-daging yang tak ia inginkan ke dalam mesin kremasi. Ia menarik rantainya penuh usaha, mencoba menutup mesin kremasi dengan kuat dan pas.

Setelah itu, ia beralih menuju mesin penghancur tulang. Memasukkan tulang-tulang Kanya yang kecil dan berlumuran darah.

Setelah itu yang hanya terdengar di pendengaran hanya suara mesin yang beradu. Musik classic dari tape sudah luput tak terdengar di halang oleh deru mesin.

Decan lalu membersihkan noda darah di segala penjuru rumahnya. Sambil bersenandung kecil ia menyiram, menggosok, mengelap bekas kekacauan yang ia buat.

Ia lalu mengakhiri semuanya dengan berendam di bathtub. Lagi-lagi ia memutar musik classic. Ia menggosok tubuhnya, menghabiskan hampir setengan botol sabun untuk menghilang noda dan bau amis darah.

Bau sabun menyeruak begitu ia membuka pintu kamar mandi, ia memakai setelah tidur baru. Kembali menuju halaman belakang.

Mesin kremasi dan penghancur tulang kini telah diam. Sudah selesai berkerja. Decan membukanya. Lalu mengumpulkan abunya sedikit hati-hati karna ia tak mau ternodai lagi setelah mandi.

Abu itu ia simpan di toples yang sudah ia siapkan. Toples dengan tutup yang di lapisi kain merah menyala— seperti warna bra Kanya. Toples itu juga di lengkapi dengan nama wanita itu.

Daging-daging yang sudah terpotong kecil ia ambil menggunakan penyapit. Memasukkannya ke dalam lemari es.

Daging-daging itu nantinya akan ia berikan pada anak-anak panti asuhan. Dengan alibi itu adalah daging sapi yang neneknya berikan.

Continue Reading

You'll Also Like

2.2K 241 43
Berawal dari hobi stalkingnya, Wanda diperkenalkan oleh temannya kepada perwira polisi. Dari sinilah ia mendapat pekerjaan paruh waktu sebagai stalke...
4.5K 631 56
Lan Ci adalah hiu kecil tercantik di Youhai. Suatu hari, ada ombak besar di laut. Ombak datang dan mengetuk dia di geladak. Dia pingsan dan ditangkap...
5K 256 33
"We're so childish, aren't we?" - Sebuah kisah-kasih dalam balutan biru telah tertulis abadi di sudut abu-abu. Ditemani oleh hujan dan sapuan angin m...
21.8K 961 66
cerita dewasa tentang penyuka sesama jenis, bagi yang umumnya dibawah 18 tahun, harap segera pergi dari lapak saya! sekian, terima kasih!😇