Synesthesia

Autorstwa cupacups_

78.4K 12.5K 3.1K

family : where life begins and love never ends Więcej

Synesthesia
Srestha
Dhatu
Jendra
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
16
17
18
19
20
21
22

15

2.4K 461 91
Autorstwa cupacups_


“Wah, keren banget foto-fotonya Ta?”

“Iya dong, kapan-kapan kita ke sana ya Dit?” Srestha berkata sambil memperlihatkan hasil foto saat di Dieng kemarin. Saat ini mereka sedang beristirahat di kantin sekolah, menunggu pesanan mereka datang sambil menceritakan pengalaman saat liburan kemarin.

“Boleh, ntar kapan ya kita rencanain sama anak-anak." Adit mengangguk-angguk, masih tertegun dengan keindahan alam yang berhasil Srestha tangkap lewat kamera tersebut.

Ia tidak bisa membayangkan seindah apa pemandangan aslinya jika di foto saja bisa seindah ini.

"Btw, cewek lo daftar OSIS." Adit tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan. Srestha yang sejak tadi fokus pada foto-fotonya jadi menoleh dan sedikit melongo?

"Hah?"

"Jesselyn."

"Hahaha, apaan dah lo. Dibilang bukan cewek gue." Srestha tertawa sambil menyenggol badan Adit, membuat Adit hampir terjungkal dari kursi karena ia nggak siap mendapat dorongan dari badan Srestha yang lebih besar darinya.

Adit langsung menggeser posisi duduknya agar nggak terlalu dekat dengan Srestha. Belum makan aja tenaganya udah gini, gimana pas udah makan nanti.

"Lo jadinya mau daftar nggak?" Adit menanyakan kembali keinginan Srestha buat masuk OSIS juga, katanya dia mau daftar tapi sampe sekarang belum ada formulir atas nama Srestha dari yang Adit lihat.

"Liat ntar deh."

"Daftar lah, di OSIS ada gue. Ada Jesselyn juga." Adit mengompori Srestha untuk segera mendaftar sebelum pendaftarannya ditutup.

"Lah, emang dia sama gue pasti ketrima?" Srestha tergelak menatap Adit yang udah yakin banget.

"Ketrima lah, kalo enggak ketrima ntar gue bilang ke Aksa biar bisa masukin lo ke OSIS." Adit berkata lagi sambil bercanda, Aksa teman sekelasnya adalah ketua OSIS di sekolah mereka.

"Sembarangan lo."

"Makanya daftar."

"Iya, ntar gue daftar."

"Ini baru bro gue." Adit tertawa kemudian matanya tertuju ke arah segerombolan anak kelas sepuluh yang baru datang ke kantin. Dia menyenggol lengan Srestha pelan sambil mengangkat alisnya ke arah gerombolan cewek-cewek kelas sepuluh tersebut. "Jesselyn, tuh."

"Srestha!" Jesselyn berkata riang sambil menghampiri meja tempat di mana Srestha dan Adit duduk.

"Kenapa, Jess?" Srestha menoleh ke syara renyah yang memanggilnya tersebut.

"Itu, temen-temen gue minta dikenalin ke lo nih, sama Kak Adit juga." Kata Jesselyn sambil berbisik lalu menunjuk teman-temannya.

"Srestha kan maunya kenalan sama lo, Jess." Adit menimpali ucapan Jesselyn sambil terkekeh.

"Hah?" Jesselyn melongo mendengar kata-kata Adit. "Kan udah kenal?"

"Kenal yang lebih deket gitu maksudnya. Hehe." Adit membalas lagi ucapan Jesselyn sambil cengengesan membuat Srestha menggelengkan kepalanya.

"Ngaco aja!"

Jesselyn terlihat tersenyum mendengar kata-kata Adit tadi. "Gue ajak temen-temen gue ke sini ya?"

"Boleh."

Jesselyn menghampiri teman-temannya kemudian menyuruh mereka untuk berkenalan satu per satu dengan Srestha dan Adit.

"Daniel."

"Adit." Baik Srestha maupun Adit mengulurkan tangannya pada beberapa anak kelas sepuluh yang merupakan teman sekelas Jesselyn tersebut.

"Daniel kan ya? Kok lo panggilnya Ta?" Tanya salah satu teman Jesselyn saat Srestha menyebut namanya tadi.

"Iya, panggilan dari kecil."

"Panggilan kesayangan itu." Adit kembali menimpali ucapan Jesselyn. Usil banget.

"Berarti lo juga sayang sama gue?" Srestha terkekeh karena bisa membalas keusilan Adit.

"Najis."

"Terus kita panggilnya Srestha atau Daniel?" Teman Jesselyn yang lain bertanya lagi.

"Daniel aja."

Mendengar perkataan Srestha, entah kenapa membuat Jesselyn tersenyum. Senyuman Jesselyn tersebut disadari oleh Srestha yang nggak sengaja menatap ke arah Jesselyn.

Cantik.

***

"Lukas!"

"YO WASAP!!!!" Lukas yang baru memasuki pintu kelas menjawab panggilan Dhatu sambil mengangkat tangannya.

Dhatu langsung menghampiri Lukas yang melanjutkan berjalan ke tempat duduknya. "Bayar uang kas!"

"Ya Allah, Dhatu galak banget sih tiap minggu kayak rentenir. Ini masih pagi juga?" Lukas melihat jam tangannya, masih pagi banget Dhatu udah nagih uang kas aja.

"Ya kan aku bendahara. Kamu itu selalu aja nggak mau bayar kas, aku bilangin Bu Nina loh." Dhatu sedikit mengancam Lukas, berharap teman sekelasnya itu akan takut kalau diancam akan dilaporkan wali kelas mereka.

"Ngaduan amat sih, minggu depan aja aku bayarnya."

"Nggak mau, harus hari ini. Ini kan masih pagi kamu pasti belum jajan. Ayo bayar sekarang!" Kata Dhatu lagi pada Lukas, sekarang tangannya menengadah meninta iuran kas yang harus Lukas bayarkan.

"Dhatu, jangan galak-galak kali sama Lukas. Ntar suka loh." Salah satu temen sekelas mereka yang lain menimpali perdebatan Dhatu dengan Lukas tersebut.

"Ih, apaan sih?"

"Hahaha, ya abis lo galak banget sama dia."

"Lukas tuh kalo nggak digalakin nggak akan bayar uang kas!"

"Bayar kok, kan gue pura-pura aja biar Dhatu nagih terus." Lukas terkekeh sambil mengambil uang dari sakunya. Ia lalu menyerahkan uang tersebut pada Dhatu.

"Ish, nyebelin kamu tuh." Dhatu menerima uang dari Lukas tersebut lalu ia mencatat di buku kasnya kalau Lukas sudah membayar iuran minggu ini.

"Hahaha, suka aja kalo liat lo marah-marah."

"Ciyeeeeee Lukas."

"Btw, kita sekelompok tugas Bahasa Indonesia." Lukas mengingatkan Dhatu bahwa mereka mendapat tugas membuat drama sederhana untuk tugas Bahasa Indonesia.

"Iya tau kok."

"Kapan kumpul pembagian perannya?"

"Besok ya pulang sekolah, kata temen-temen yang lain kumpul di rumah aku." Dhatu memberikan informasi yang ia juga baru dikabari temannya tadi untuk berkumpul di rumah Dhatu membahas tugas tersebut.

"Okedeh, siap."

***

Jendra duduk di kursi tunggu yang ada di depan tempat les vokalnya. Di seberang kursinya Saga juga duduk di sana. Keduanya sedang menunggu jemputan.

"Saga, Ujin. Lama ya nunggunya?" Sebuah suara lembut membuat Saga menoleh. Mamanya datang untuk menjemput mereka.

"Enggak, Ma. Baru aja kok."

“Ya udah. Ayo, kita pulang.” Mamanya Saga mengajak mereka berdua untuk beranjak dari tempat duduknya dan segera berjalan menuju ke mobil.

“Tante Cha.” Panggil Jendra mengentikan gerakan Tante Chaeyeon, Mamanya Saga.

“Iya?”

“Teleponin Mama aku dong, suruh jemput.” Jendra berkata membuat kening Tante Chaeyeon berkerut.

“Loh, kenapa nggak bareng tante aja? Kan biasanya juga bareng?”

“Enggak. Ujin mau pulang sendiri." Jendra menggeleng atas pertanyaan Tante Chaeyeon. Tapi ia baru saja menyadari kesalahan dalam kalimatnya. "Enggak sendiri sih, sama mama maksudnya.”

“Tante anterin aja ya ke rumah.” Tante Chaeyeon mendekati Jendra, mengajaknya untuk pulang bersama saja.

“Nggak mau! Tolong teleponin Mama, tanteee.” Jendra mulai merengek membuat Tante Chaeyeon mau nggak mau akhirnya menelepon Mama Krystal.

“Kenapa Cha?”

“Kak, Ujin minta dijemput.”

“Oh, kamu nggak bisa?”

“Ini aku udah jemput tapi Ujin minta dijemput kakak aja katanya.” Tante Chaeyeon menjelaskan pada Mama Krystal tentang keinginan Jendra.

“Coba aku ngomong sama Ujin, Cha.”

Tante Chaeyeon pun menyerahkan hapenya kepada Jendra, beliau membuat gerakan dengan mulutnya yang mengatakan bahwa Mamanya Ujin mau bicara.

“Halo, Ma?” Jendra menempelkan hape Tante Chaeyeon di telinganya.

“Ujin, kenapa nggak pulang sama Tante Cha aja?”

“Ujin mau dijemput Mama aja.”

“Loh kenapa? Biasanya juga sama Tante Cha?”

“Ujin pengen dijemput Mama pokoknya!”

“Ya udah ya udah, Mama jemput ya.”

“Iya, makasih Ma.”

Jendra pun mengembalikan hape Tante Chaeyeon. Sambil menyerahkan hapenya, Jendra juga berkata bahwa Tante Chaeyeon boleh pulang duluan, tapi Tante Chaeyeon sama Saga tetap menunggui Jendra sampai Mamanya datang.

Sekitar lima belas menit berlalu Mama Krystal datang dan langsung menghampiri Jendra. “Makasih ya Cha, udah nungguin.”

“Iya nggak papa, kak.”

“Ayo Ma, pulang.” Jendra berdiri sambil menggandeng tangan Mamanya, mengajak Mamanya untuk segera pulang.

“Eh, kok nggak pamit dulu.” Mama menahan tangan Jendra yang bermaksud langsung ngeloyor pergi tanpa berpamitan pada Tante Chaeyeon dan Saga.

“Pulang dulu tante, pulang Ga.” Jendra berkata sekilas kemudian langsung menarik tangan Mamanya menuju ke mobil.

Sepeninggal Jendra Tante Chaeyeon menoleh pada Saga. “Jendra kenapa?"

“Marah.” Jawab Saga singkat.

“Marah kenapa?”

“Marah sama aku.” Kembali Saga hanya menjawab singkat, ia juga langsung berdiri dan menuju ke mobil.

Tante Chaeyeon mengernyit mendengar penuturan Saga, tapi sampai di rumah pun Saga nggak menceritakan lebih lanjut lagi kenapa Jendra marah pada Saga.

*

Di dalam mobil Mama Krystal melirik ke arah Jendra yang menangkupkan kedua tangannya di dada, terlihat seperti seseorang yang sedang kesal.

“Ujin kenapa sih kok nggak mau pulang sama Tante Cha?” Mama Krystal bertanya pelan-pelan.

“Males.”

“Kenapa?”

“Ujin lagi kesel sama Saga.”

“Kesel kenapa?”

“Pokoknya kesel!” Jendra hanya menjawab singkat pertanyaan Mamanya, nada kekesalan memang terdengar jelas dari semua jawaban Jendra tadi.

"Mama nggak boleh tau Ujin keselnya kenapa?"

"Enggak."

Mama pun hanya mengangkat bahunya, anak bungsunya ini kayaknya emang lagi kesel banget. Soalnya nggak biasanya dia kayak gini.

Sampai di rumah pun Jendra langsung turun dari mobil dan sambil bersungut-sungut masuk ke dalam rumah.

"Jendra kenapa, Ma?" Papa Kai bertanya pelan karena saat menyapanya tadi Jendra hanya mencium tangannya sekilas dan langsung menuju ke kamarnya.

"Katanya lagi kesel sama Saga."

"Sama Saga?" Papa Kai memastikan ucapan Mama Krystal. "Nggak salah?"

"Nggak tau juga, tadi bilangnya gitu."

“Marahan kenapa?”

“Nggak tau, nggak mau cerita.” Mama Krystal cuma bisa mengangkat bahunya, karena ia pun nggak berhasil membuat Jendra bercerita kenapa ia kesal dengan Saga.

“Bocah ada-ada aja sih.”

***

"Jendra, dek. Katanya besok aja ujian nyanyi?" Mama Krystal mengingatkan Jendra saat setelah makan malam ia langsung mau naik ke kamarnya lagi.

"Iya."

"Coba Mama pengen denger dulu. Atau Ujin udah ngantuk?"

Jendra menggeleng kemudian menuju ke ruang tengah, tempat kakak-kakaknya yang sekarang juga sudah membuka buku untuk belajar.

Jendra pun menarik napas kemudian menyanyikan satu lagi yang akan ia nyanyikan besok di pelajaran menyanyi.

“Ma, nyanyian Ujin bagus nggak?” Tanya Jendra saat selesai menyanyi.

“Bagus, sayang.”

"Bagus, dek." Papa Kai ikut berkomentar setelah mendengar Jendra menyanyi barusan.

“Bagusan suara kakak Ta kaliiiii.” Srestha yang masih mengerjakan peernya tiba-tiba menyauti ucapan Jendra sambil terkekeh.

“Kaka Ta diem aja, Ujin nggak bicara sama kakak!” Jendra membalas ucapan kakaknya dengan kesal, membuat kakak Ta dan Dhatu saling memandang.

Kaget dengan reaksi Jendra.

“Ujin kok begitu sama kakak Ta?” Papa Kai menegur ucapan Jendra barusan.

“Kakak Ta berisik!” Jendra berkata lagi dan kali ini membuat semuanya saling berpandangan.

"Adek kenapa?" Dhatu akhirnya ikut memperhatikan Jendra.

Jendra hanya menggeleng kemudian kembali menatap Mamanya. “Mama nggak boong kan kalau nyanyian Ujin bagus?”

“Enggak dong, sayang. Masa Mama boong sih?" Mama Krystal tersenyum sambil menyuruh Jendra duduk di sebelahnya.

“Mama bilang nyanyian Ujin bagus, guru vokal juga bilang nyanyian Ujin bagus. Tapi kenapa yang dipilih ikut lomba nyanyi malah Saga?” Jendra bertanya pada Mamanya.

Papa, Mama, Kakak Ta dan Kak Dhatu saling berpandangan saat Jendra melontarkan pertanyaannya.

Jadi ini yang membuat Jendra kesel sama Saga?

"Kata guru vokal Ujin mau ada lomba nyanyi, dites semua satu-satu. Katanya nyanyian Ujin bagus, Saga juga bagus. Tapi yang dipilih maju buat ikut lomba itu Saga. Kenapa Ujin nggak kepilih, Ma?” Jendra bertanya lagi meminta jawaban Mamanya.

Perasaannya sejak sore tadi sangat kesal. Tadi guru vokalnya sudah memujinya bahkan kata gurunya ia merupakan kandidat yang akan mengikuti lomba, tapi berujung yang dipilih lomba itu Saga. Jendra merasa kecewa kenapa bukan dirinya yanh terpilih.

Toh ia juga nggak kalah bagusnya sama Saga?

“Karena ini Ujin marahan sama Saga?” Mama Krystal mengelus rambut Jendra pelan.

“Iya, Ujin kesel. Ujin marah sama Saga. Ujin kan ingin ikut lomba juga.” Jendra menggerutu kesal meluapkan perasaan kesalnya.

drrttt drrttt

Jaehyun is calling

Mama Krystal menatap ke layar hapenya, ia kemudian menunjukkan hapenya pada Papa Kai untuk meminta ijin mengangkat telepon tersebut sambil sedikit menjauhi ruang tengah.

"Halo, kak?"

"Iya, Jae." Mama Krystal menarik kursi makan dan mengangkat telepon di sana.

“Kata Chaeyeon tadi Saga sama Ujin berantem?  Kenapa?”

“Iya, lagi kesel.”

Masalah apa?”

“Saga udah cerita dia mau ikut lomba nyanyi?"

"Udah, barusan. Seminggu lagi katanya."

“Ujin nggak suka karena dia nggak kepilih dan yang kepilih malah Saga.” Mama Krystal menjelaskan pada Jaehyun tentang penyebab pertengkaran Jendra dan Saga.

“Ya Allah.”

“Ntar biar kakak jelasin pelan-pelan.”

“Ntar gue bawa Saga main deh, biar akur lagi.”

“Iya.”

***

tok tok tok

Papa mengetuk pintu kamar Jendra pelan. “Dek, Papa mau bicara boleh?”

Jendra pun membuka pintunya karena mendengar suara Papa dari luar. “Bicara apa Pa?”

Papa Kai kemudian masuk ke dalam kamar Jendra. Beliau mengajak Jendra untuk tiduran di kasur Jendra.

"Papa pengen nemenin Ujin bobo." Kata Papa sambil menepuk-nepuk Jendra pelan.

Jendra hanya mengangguk, ia menarik selimutnya dan berbaring di sebelah Papanya.

"Ujin kecewa sekali ya sama Saga?"

“Iya.” Jendra mengangguk singkat.

“Kenapa Ujin kecewa?”

“Gurunya bilang Ujin bagus nyanyinya, Saga juga bagus. Terus yang terpilih Saga aja, Ujin enggak kepilih." Jendra menceritakan lagi penyebab kekesalannya tadi.

“Bu gurunya ada komentar nggak waktu akhirnya milih Saga?”

“Katanya highnote Saga udah stabil dan bisa lebih tinggi lagi." Jendra mengingat kata-kata guru vokalnya tadi sore.

“Kalau Ujin?”

“Ya bilang kalau Ujin nyanyinya bagus.”

“Kalau dari Ujin sendiri pas liat Saga nyanyi, yang dibilang bu guru itu bener enggak?” Papa Kai bertanya lagi sambil mengelus rambut putra bungsunya.

“Bener. Tapi Ujin juga bisa kok.” Jawaban polos dari Jendra yang membuat Papa Kai kembali tersenyum. "Ujin kan sering latihan."

"Iya. Papa tau kalau Ujin pasti bisa."

"Terus kenapa Pa? Kenapa Ujin nggak terpilih?"

“Ujin, kamu nggak terpilih lomba itu bukan karena kamu lebih jelek dari Saga." Papa Kai sedikit menegakkan badannya, berbicara sambil menatap Jendra. "Ujin sudah berusaha keras, Ujin merasa nyanyian Ujin juga bagus. Saga pun juga seperti itu, dia pasti juga udah latihan keras."

Jendra diam menyimak kata-kata Papanya.

"Kita berusaha, orang lain juga berusaha dek. Mungkin sekarang kesempatannya untuk Saga dulu. Ujin belum ada kesempatan, tapi Papa yakin pasti Ujin juga akan ikut lomba menyanyi juga nantinya.” Papa Kai menghibur Jendra agar nggak terlalu bersedih.

“Iya, Pa?”

“Iya, sayang. Papa tau Ujin kecewa, tapi kalau menurut Papa nggak seharusnya Ujin marah sama Saga. Ujin berusaha, Saga juga berusaha. Ketika Ujin nggak terpilih bukan berarti Ujin jelek, tetapi belum ada kesempatan untuk Ujin. Ujin coba belajar berbesar hati menerima kalau Saga yang akan mewakili lomba.” Papa Kai kembali berkata menasehati Jendra. Dan perkataan tersebut membuat  Jendra merenung.

“Ini yang namanya mengakui kelebihan lawan ya, Pa?” Jendra mendongak menatap Papanya.

Papa Kai hampir tertawa saat mendengar kata-kata Jendra tapi beliau berusaha menahannya. “Iya sayang, mengakui bahwa lawan kamu memang punya kelebihan itu bukan hal yang memalukan kok. Tapi justru itu sifat pemenang yang sesungguhnya.”

"Ujin salah ya udah marah sama Saga?"

"Bukan gitu, dek. Papa tau itu adalah ungkapan rasa kekecewaan Ujin, nggak papa kecewa tapi jangan sampe rasa kecewa itu menjadi rasa benci ya?" Papa Kai tersenyum karena melihat Jendra mengangguk-angguk mendengar nasehatnya.

“Ingat ya dek, pemenang itu adalah orang yang selalu siap untuk kalah.”

*

"Gimana, Pa?" Mama Krystal bertanya pada Papa Kai saat melihat suaminya memasuki kamar.

"Udah tidur anaknya, kayaknya udah mulai bisa menerima."

"Aku bingung tadi harus gimana ngebujuknya, takut salah ngomong terus dikira ngebelain Saga." Mama Krystal menyiapkan selimut untuk mereka berdua tidur.

“Emang susah ya Ma. Kita tau kalau anak kita bagus, tapi di luar sana kita juga tau kalau banyak yang lebih bagus. Gimana cara menyadarkan bahwa ada banyak orang yang berusaha dan mungkin lebih keras dari usaha anak kita tanpa terlihat menjatuhkan usaha anak kita itu nggak mudah.” Papa Kai tersenyum lagi, semoga kata-katanya tadi nggak membuat Jendra berkecil hati.

Semoga Jendra bisa belajar untuk lebih berbesar hati dalam menerima kelebihan orang lain.

***

"Kakak Ta."

Srestha menoleh pada panggilan Jendra, dia masih setengah sadar tidur-tiduran di sofa tengah. Menunggu giliran untuk mandi.

"Hmm?"

"Maafin Ujin kemarin udah ngomong begitu sama kakak." Jendra mendekati kakaknya karena semalem ia ngomong agak ketus pada kakaknya tersebut.

"Iya nggak papa."

"Ujin lagi kesel aja."

"Kakak tau kok. Ujin jangan kesel lagi ya? Ujin bagus kok, pasti nanti Ujin bisa ikut lonba lainnya." Srestha dengan matanya yang masih setengah merem menasehati adiknya tersebut.

"Iya."

"Gitu dong, jagoan harus selalu optimis. Kalah itu biasa, tapi jangan cepet nyerah!" Srestha mengacungkan jempolnya menyemangati adiknya.

"Mandi sana, kak." Jendra nggak membalas ucapan kakaknya malah menyuruh kakaknya untuk mandi.

"Bentar lagi, lima menit."

"Papaaaaaaa, kakak Ta nggak mau mandi." Jendra berteriak memanggil Papanya yang otomatis langsung membuat Srestha bangun dan langsung menuju ke kamar mandi.

"Haha, dasar kakak Ta."

*

Jendra berjalan menyusuri halaman sekolah untuk menuju ke kelasnya.

Ia mengedarkan pandangannya lalu matanya menangkap sosok Saga sedang duduk di depan kelasnya.

Jendra pun berniat menghampiri Saga. Ia terlihat ragu tapi setelah menarik napasnya ia lalu berjalan menuju ke tempat Saga sedang duduk.

"Ga."

"Ujin?"

"Aku minta maaf ya."

Saga terlihat bingung harus membalas apa pada Jendra. Ia juga merasa bersalah karena Jendra marah padanya, tapi ia sendiri juga ingin ikut lomba tersebut.

"Aku kemarin marah karena kamu yang terpilih. Maaf ya, Ga." Jendra berkata polos, meminta maaf atas tindakannya.

"Iya, nggak papa."

"Kata Papa kita harus berbesar hati menerima kekalahan. Walaupun aku nggak begitu ngerti tapi kayaknya aku salah udah marah sama kamu."

"Nggak papa kok, aku juga minta maaf ya."

"Iya. Kamu yang semangat ya lombanya. Harus menang!"

"Iya."

"Nanti aku nonton ya, kata Kakak Ta mau ikut juga nonton lomba kamu. Katanya biar suporternya rame. Kakak Ta tuh berlebihan banget." Jendra menggendikkan bahunya teringat perkataan kakaknya tadi pagi.

Kakak Ta bilang mereka semua harus datang buat mendukung Saga, kalau bisa bawa galon biar bisa buat dipukul-pukul nyemangatin Saga.

Apaan sih kakak Ta tuh.

Kayak anak kecil banget kalau menurut Jendra.

"Iya. Kita baikan ya?" Saga mengulurkan kelingkingnya pada Jendra.

"Iya." Jendra pun mengulurkan kelingkingnya dan menautkannya pada kelingking Saga.

***

Srestha berjalan menuju ke rumah Adit, ia melihat Adit udah siap di depan motornya sambil memegang sesuatu.

"Ta, liat deh." Adit yang melihat Srestha datang menunjukkan benda yang sedang ia pegang pada Srestha, membuat Srestha tertegun.

"Kamera lo baru?"

"Iya. Kemarin abis dibeliin, soalnya gue bilang mau fokus ikut fotografi." Adit mengotak atik kamera barunya tersebut.

"Kamera lama lo?" Srestha mengingatkan kamera lama milik Adit yang sempat ia pinjam tersebut.

"Ya masih ada. Ini yang terbaru dong."

"Ih asik banget. Gue juga pengen ah. Ntar bilang Papa." Srestha berkata dengan penuh harapan.

Sepanjang hari pikirannya udah di rumah aja, pengen bilang ke Papanya kalau ia juga ingin dibelikan kamera seperti punya Adit.

Pulang sekolah aja dia semangat banget nunggu Papa pulang. Dan begitu Papanya pulang, Srestha langsung menghampiri Papanya untuk mengatakan keinginannya.

"Pa, Adit kameranya baru loh."

"Oh ya? Bagus dong."

"Iya. Keren deh Pa, dia kan mau fokus belajar foto."

"Wah semangat banget ya Adit." Papa Kai masih belum menerima kode yang diberikan Srestha.

"Ta juga mau Pa kamera kayak Adit gitu. Kan keren?"

"Hmm? Masa sih?"

"Iya. Nanti pas Saga lomba kan bisa buat dokumentasi gitu Pa." Srestha kembali mengucapkan rayuan-rayuan untuk Papanya.

"Kan Eyun nanti yang fotoin." Papa Kai mengingatkan Srestha bahwa pasti Eyun udah fotoin Saga.

"Iya, tapi kan Ta juga mau foto."

"Hmm, ya nanti aja belinya nggak sekarang. Kamu pinjem punya Mama dulu aja." Papa Kai hanya berlalu meninggalkan Srestha yang menggerutu kesal karena Papa nggak menyetujui keinginannya.

Mama Krystal yang melihat Srestha pun menghampirinya. "Kenapa kamu, kak?"

"Papa nggak asik deh, Ta pengen kamera kayak punya Adit masa nggak boleh." Srestha mengerucutkan bibirnya, mengadu pada Mama Krystal soal Papanya tadi.

"Bukan nggak boleh, tapi lain kali." Mama Krystal meralat ucapan Srestha.

"Ta kan pengen Ma, pengen belajar foto juga. Mama beliin Ta dong." Kali ini Srestha merayu Mamanya.

"Masa Ta pake kamera Mama, kalau Mama mau pake juga gimana?" Srestha semakin semangat merayu Mamanya.

"Hmm, gimana ya?"

"Ayo dong Ma beliin Ta." Srestha menggoyangkan lengan Mamanya. Masih berusaha membujuk Mamanya tersebut.

"Liat nanti deh."

***

Papa Kai menghentikan mobilnya di garasi rumah. Beliau baru pulang dari kampus. Ada gurat lelah nampak di wajah beliau.

Saat Papa Kai turun dari mobil beliau melihat Srestha ada di taman rumah mereka.

"Srestha?"

"Papa?" Srestha berkata riang sambil menatap Papanya.

"Itu kamu punya kamera?" Tanya Papa Kai sambil menunjuk kamera yang sedang Srestha pegang. Kamera yang belum pernah Papa liat.

"Iya dibeliin Mama."

"Mama?"

"Iya, Ta kan minta Mama. Langsung dibeliin." Srestha menunjukkan kamera barunya.

Papa Kai hanya menghela napasnya berat. Beliau memasuki rumah tepat saat Mama Krystal akan keluar rumah.

"Ma, kamu beliin kakak kamera?" Papa Kai langsung bertanya pada Mama Krystal.

"Iya, kakak minta soalnya."

"Terus langsung kamu beliin?" Nada bicara Papa Kai sedikit meninggi, Mama Krystal pun sedikit terkejut mendengar nada bicara Papa Kai.

"Iya."

"Kenapa kamu beliin dulu? Aku kan udah bilang nanti." Papa Kai masih dengan nada yang sedikit meninggi kembali bertanya.

"Papa kenapa jadi marah gini sih?" Mama Krystal juga ikut meninggi. Nggak paham aja kenapa Papa Kai malah marahin dia.

"Ya kamu itu kebiasaan!"

"Apasih, Pa?!"

***

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

748K 23.4K 72
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
207K 404 16
hai gays cerita ini khusus menceritakan sex ya, jadi mohon yang pembaca belom cukup umur skip saja☺️🗿, sekumpulan cerita dewasa 18++
358K 13.9K 80
Wangyibo CEO terkenal yang akan tegas dalam peraturan yang di milikinya. Sampai suatu saat ia pun bertemu dengan pria kecil yang bernama Xiaozhan Yan...
SCH2 Autorstwa xwayyyy

General Fiction

58.7K 10.3K 32
hanya fiksi! baca aja kalo mau