Synesthesia

By cupacups_

78.4K 12.5K 3.1K

family : where life begins and love never ends More

Synesthesia
Srestha
Dhatu
Jendra
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
15
16
17
18
19
20
21
22

14

2.2K 444 56
By cupacups_


"Kakak, ayo bangun. Udah subuh nih."

"Dingin banget, Pa." Srestha menarik selimutnya semakin naik, berebutan dengan Jendra. Mengabaikan panggilan dari papanya.

Srestha yang terbiasa dengan udara Jakarta yang panas membuatnya merasa sangat kedinginan terhadap udara di Wonosobo. Rasanya tidak ingin beranjak dari kasur kalau seperti ini dinginnya.

"Kan ada air hangat. Ayo subuh dulu, kak. Ujin juga ayo." Kata Papa Kai berusaha membangunkan Srestha dan Jendra lagi.

Dengan malas-malasan Srestha dan Jendra bangun dari tidurnya. Mereka berdua keluar kamar dan berwudhu kemudian menunaikan subuhnya.

Setelah selesai salat subuh mereka berdua keluar kamar lagi dan mendapati Mamanya sudah ada di ruang makan rumah yang mereka sewa tersebut.

"Ini minum yang anget dulu. Udah Mama bikinin susu." Kata Mama Krystal menunjuk gelas berisi susu coklat untuk Srestha dan Jendra.

"Makasih, Ma. Dingin banget Ujin sampe rebutan selimut sama kakak Ta. Kakak Ta tuh narik-narik selimut Ujin tau." Kata Jendra menegur kakaknya yang selama tidur semalam berusaha merebut selimutnya.

"Hehehe, kakak Ta kan juga kedinginan." Srestha meringis sambil menyesap susu coklatnya. "Dedek di mana, Ma?"

"Lagi mandi."

"Wah, keren." Srestha mengangguk-angguk mengetahui Dhatu udah mandi padahal baru jam setengah enam pagi.

"Dingin nggak, kakak Dhatu?" Tanya Jendra saat melihat Dhatu keluar dari kamar mandi.

"Iya, tapi kan ada air anget. Nggak dingin kok Ujin." Dhatu menjelaskan pada Jendra, tapi Jendra malah mengeratkan jaketnya.

Dingin banget.

"Ta nggak mandi aja apa ya?" Srestha yang saat keluar kamar tadi berbalut selimut tebal berkata sambil menggigil. "Tadi wudhu aja dingin banget padahal udah pake air anget."

"Mandi ih, kak. Jorok banget."

*

Jam delapan pagi setelah semuanya mandi dan sarapan, mobil Pak Soleh datang untuk menjemput mereka sekeluarga. Mereka berangkat dari homestay di Wonosobo menuju ke Dieng untuk berwisata di sana.

"Sudah pernah ke Dieng, Pak?" Tanya Pak Soleh sambil melajukan mobilnya menyusuri jalanan yang berkelok-kelok.

"Saya dulu pernah pas SMA. Udah lama banget, anak saya aja udah SMA sekarang." Kata Kai sambil menunjuk Srestha yang duduk di bangku tengah. "Kalau Mamanya sama anak-anak belum pernah."

"Oh begitu. Selamat menikmati Dieng ya Pak, Bu, Mas dan Mbak. Di sini udaranya masih segar." Kata Pak Soleh lagi sambil menunjuk ke jalanan luar di mana terbentang pepohonan hijau dan juga perkebunan baik dari kentang, tomat maupun kubis.

"Dingin banget loh, Om." Komen Srestha ke Pak Soleh. "Aku udah pake selimut double masih kedinginan aja semalem."

"Iya, memang masih asri sekali di sini."

Sekitar 45 menit perjalanan dari Wonosobo menuju ke Dieng, akhirnya mobil Pak Soleh berhenti di kawasan Telaga Warna. Objek wisata pertama yang akan mereka kunjungi.

Setelah membeli tiket mereka sekeluarga masuk untuk berjalan-jalan di area Telaga Warna.

"Papa, kenapa namanya Telaga Warna?" Tanya Dhatu menoleh pada Papanya.

"Soalnya telaganya memantulkan beberapa warna."

"Kok bisa?"

"Iya, ada kandungan belerang di dalam telaganya, dek. Jadi kandungan belerang itu memantulkan warna kehijauan, terus ada ganggang merah juga di dasar telaga yang memantulkan warna kemerahan, terus lema gradasi dari sinar matahari juga makanya kadang warnanya berubah-ubah." Kata Papa Kai menjelaskan kenapa tempat tersebut diberi nama Telaga Warna.

"Dedek, ayo di situ. Mama foto." Mama Krystal menunjukkan satu spot foto kepada Dhatu. Dhatu pun segera berdiri di tempat yang ditunjukkan Mamanya untuk berfoto dengan latar belakang Telaga Warna.

"Ta juga dong, Ma."

Srestha nggak mau kalah juga untuk ikut berfoto bahkan ia sampai naik-naik ke ranting pohon untuk mendapatkan pose terbaik.

"Di sini udaranya segar banget ya, Ma." Jendra menggandeng tangan Mama Krystal sambil berjalan menyusuri area Telaga Warna tersebut.

"Iya sayang, enak ya udaranya." Mama Krystal menghirup dalam-dalam udara segar yang ada di sekitarnya.

Setelah puas berfoto dan berkeliling di sekitar Telaga Warna, Papa Kai mengajak mereka semua untuk memasuki Dieng Plateu Theater untuk melihat film berdurasi sekitar 20 menit yang berisi tentang sejarah Dieng.

"Nggrrrr."

Mama Krystal menoleh kaget saat mendengar suara dengkuran dari sebelahnya.

Srestha ketiduran.

Mama geleng-geleng kepala sendiri padahal baru sekitar sepuluh menit filmnya diputar, mungkin Srestha kecapean menaiki bukit untuk menuju ke sini makanya ketiduran.

"Kakak Ta, bangun." Dhatu menggoyangkan lengan kakaknya.

"Hmmm."

"Kakak Ta. Bangun, filmnya udah selesai."

Tapi Srestha hanya menggeliat, membuat Jendra tertawa kemudian memotret kakaknya yang tertidur tersebut.

"Sresthaaa, ayo bangun kak." Papa Kai menepuk-nepuk lengan Srestha lagi. Baru saat panggilan ketiga tersebut Srestha akhirnya bangun.

"Filmnya bagus ya, kak?" Tanya Papa Kai menahan tawa saat melihat Srestha kebingungan menatap Papanya.

Srestha menoleh ke kanan kirinya dan baru menyadari kalau ia ketiduran. "Hah? Ta ketiduran ya?"

"Huh, dasar Kakak Ta itu. Bukannya lihat film malah tidur." Komentar Jendra sambil menggelengkan kepalanya.

***

Selesai menyusuri Telaga Warna dan menonton film, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Kawah Sikidang.

"Di sana nanti ada tiga kawah. Kawah Sikidang, Kawah Candradimuka dan Kawah Sileri yang letaknya nggak begitu jauh. Kawah-kawah itu terbentuknya dari letusan gunung-gunung yang mengelilingi tempat ini." Pak Soleh kembali menjelaskan kepada keluarga Papa Kai.

"Itu ada artinya loh." Kata Papa Kai sambil menoleh ke belakang. "Iya kan, Pak?"

Pak Soleh mengangguk kemudian menjelaskan lagi kepala anak-anak dan juga Mama Krystal. "Sikidang itu asalnya dari kata Kidang yang artinya Kijang. Kijang itu kan lincah suka berjingkrak-jingkrak dan berpindah-pindah. Sama kayak kawahnya."

"Kalau Sileri itu dari Leri yang artinya air cucian beras. Kalau kawah Candradimuka, kawah yang suara menggelegar, menurut cerita orang tua dulu, kawah ini dulu digunakan untuk tempat mengukus seseorang yang sakti mandraguna." Pak Soleh kembali menjelaskan arti dari nama-nama kawah tersebut.

Dari tiga kawah tersebut mereka akan menuju ke Kawah Sikidang.

"Papa, ini bau apa ya?" Jendra menutup hidungnya saat mereka memasuki area wisata.

"Belerang, sayang. Itu di kawahnya kan berisi belerang." Papa Kai menunjuk ke kawah yang lokasinya ada di atas. "Mau beli masker?"

"Nggak usah Pa. Ujin tahan kok sama baunya."

"Wah, Dhatu penasaran deh. Ayo Ujin kita naik." Dhatu mengajak Jendra untuk berjalan lebih cepat mencapai kawah tersebut.

Mereka naik ke atas untuk lebih dekat melihat Kawah Sikidang. Asap yang mengepul dari dalam kawah membuat mereka semua takjub.

Benar-benar keindahan alam yang luar biasa.

"Kakak Ta, fotoin Ujin di sini dong biar asapnya keliatan." Jendra meminta tolong pada Srestha untuk memotretnya dengan latar belakang asap dari kawah tersebut.

"Jendra, hati hati ya."

"Oke, Ma."

*

"Pak dibeli pak purwacengnya, murah banget ini pak." Beberapa penjual menjajakan dagangannya sepanjang jalan, menawarkan kepada para pengunjung yang ada di Kawah Sikidang.

"Mau, Ma?" Tanya Kai menoleh pada Mama Krystal sambil terkekeh.

"Apa itu?" Mama Krystal yang menggandeng lengan Papa Kai menoleh lagi ke dagangan yang dijajakan para pedagang tadi.

"Jamu."

"Jamu apa?"

"Nggak usah aja deh, nggak perlu pake itu juga." Kata Papa Kai lagi berbisik pada Mama Krystal, masih sambil terkekeh. Membuat Mama Krystal mengernyit.

"Apaan sih?"

"Silakan pak purwacengnya, biar istri lebih bahagia." Kata pedagang lain saat Papa Kai dan Mama Krystal melewatinya.

Mama Krystal yang mendengar kata-kata lanjutan dari penjual lainnya langsung menatap Papa Kai yang makin terkekeh. Mama pun menepuk lengan Papa Kai pelan.

"Ish, aku kira jamu beneran loh."

"Lah emang itu jamu, sayang." Papa Kai mencubit hidung Mama Krystal pelan.

"Aku kira bukan jamu itu."

"Makanya kan Papa bilang nggak usah, nggak minum itu juga udah kuat kan?" Tanya Papa Kai lagi sambil berbisik.

"Papa ish." Mama Krystal tersenyum sambil mencubit pelan lengan Papa Kai.

*

Setelah puas mengelilingi area Kawah Sikidang mereka melanjutkan perjalanan ke komplek Candi Arjuna, di sana ramai pengunjung karena beberapa orang mereka lihat sedang berdoa di candi tersebut.

Selepas Dhuhur mereka kembali turun ke Wonosobo untuk makan siang dan kembali ke homestay karena akan persiapam untuk camping.

Sebelum kembali ke Wonosobo, Papa Kai mengajak mereka untuk makan Mie Ongklok, makanan khas Wonosobo. Mie rebus dengan campuran potongan kol dan daun kucai dengan kuah kental karena menggunakan tepung kanji.

"Wah, enak banget ini." Komentar Srestha saat ia menghabiskan dua porsi Mie Ongklok dan lima tusuk sate ayam sebagai pelengkapnya.

***

Pak Soleh mengantarkan Papa Kai sekeluarga kembali ke homestay dan akan menjemput mereka jam tiga nanti untuk menuju lokasi camping.

"Ayo, yang mau dibawa camping jangan sampe ketinggalan." Mama Krystal mendatangi kamar ketiga anaknya untuk mengingatkan.

"Siap, Ma."

Mama Krystal sendiri menyiapkan beberapa lauk kering yang sudah beliau bawa dari Jakarta untuk dimakan saat camping nanti karena katanya di sana jarang ada penjual makanan berat, lebih banyak penjual mie instan saja.

Sekitar jam tiga sore Pak Soleh menjemput mereka dan menuju ke lokasi camping untuk melihar sunrise besok pagi.

"Ini sekarang kita masuk ke Desa Sembungan, desa yang paling tinggi yang ada di pulau Jawa. Nanti bapak sekeluarga campingnya di Telaga Cebong." Pak Soleh kembali menjelaskan tentang rencana camping keluarga Papa Kai.

"Namanya tadi apa, Om?" Srestha bertanya lagi untuk memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

"Telaga Cebong?"

"Di sebelahnya ada Telaga Kampret juga nggak?" Tanya Srestha sambil terkekeh.

"Sresthaaa." Tegur Papa Kai sambil menggelengkan kepalanya. Pak Soleh sendiri juga ikut tertawa mendengar lelucon Srestha.

"Om, kenapa namanya Telaga Cebong?" Jendra bertanya dengan polos.

"Telaga ini dulunya berasal dari letusan gunung purba, dan kata masyarakat di sini dulu ada banyak katak yang hidup dan berkembangbiak di sini. Jadi sama masyarakat sini dikasih nama Telaga Cebong." Pak Soleh menjelaskan membuat Jendra mengangguk-angguk paham.

Penjelasan dari Pak Soleh berakhir saat mereka memasuki kawasan Desa Sembungan. Pak Soleh kemudian mengarahkan mobil menuju Telaga Cebong, beliau menunjukkan tempat penyewaan di penduduk lokal yang memang menyewakan tenda untuk camping di sana untuk digunakan oleh Papa Kai dan keluarga.

Papa Kai menyewa dua tenda, satu untuk dirinya, Srestha dan Jendra. Satunya untuk Mama Krystal dan Dhatu.

"Ayo, kakak sama Jendra bantuin Papa mendirikan tenda." Papa Kai mencari lokasi untuk mereka camping disusul oleh Srestha dan Jendra yang akan membantunya.

Saat keluarga Papa Kai datang belum begitu banyak tenda yang didirikan. Menurur penduduk lokal biasanya baru sekitar menjelang maghrib sampai tengah malah orang-orang mulai datang dan mendirikan tenda mereka.

Suasana di sekitar telaga masih sangat lengang, baru ada beberapa warung yang buka dan ada beberapa orang yabg sedang memancing.

"Aduh, gerimis." Kata Jendra sambil menatap tetesan air yang membasahi tangannya.

"Ayo masuk tenda aja." Papa Kai mengajak anak-anaknya untuk memasuki tenda karena tiba-tiba saja gerimis turun.

Tapi ternyata gerimisnya hanya sebentar, saat Dhatu membuka resleting tendanya, ia menganga melihat pemandangan di depannya.

"Mama, milky way. Bagus bangeeeet." Kata Dhatu menyuruh Mama Krystal untuk mendekat.

"Wah bagus banget dek." Mama Krystal mengajak Dhatu keluar dan menuju ke tenda Papa. "Pa, ada milky way Pa."

Papa Kai dari dalam membuka tendanya dan melihat ke arah luar. Ia segera menyuruh Srestha dan Jendra juga ikut keluar tenda untuk melihat pemandangan yang luar biasa ini.

*

"Papa, Ta kedinginan." Kata Srestha sambil bergelung dengan selimutnya. Menjelang malam suhu udara di sekitar Telaga Cebong ini memang sangatlah dingin.

"Papa beli kayu dulu ya untuk api unggun nanti." Papa Kai akhirnya keluar tenda menuju ke warung yang ada di dekat Telaga Cebong yang memang menyediakan kayu bakar.

"Pak, ada kayu bakar ya?" Tanya Papa Kai bertanya kepada pemilik warung.

"Silakan pak, sepuluh ribu aja."

"Tiga aja pak." Kata Papa Kai sambil menyerahkan uang.

"Kalau mau bikin api unggun sebaiknya jam sembilan ke atas aja Pak. Untuk antisipasi hujan sama cuaca mulai dingin banget dimulai jam sembilanan." Bapak penjual kayu tersebut menjelaskan sambil menyerahkan uang kembalian kepada Papa Kai.

"Oh iya, Pak. Terima kasih."

Saat Papa Kai kembali ke tenda, dilihatnya beberapa tenda sudah banyak didirikan di sekitar tenda mereka. Sama-sama pemburu sunrise. Sejumlah warung juga mulai buka.

"Loh, kakak makan?" Tanya Papa Kai saat melihat Srestha berjalan dari arah salah satu warung tersebut.

"Disuruh Mama beli nasi. Mama kan udah bawa lauk. Tapi tadi Ta makan pop mie di sana." Kata Srestha sambil meringis dan memasuki tenda bersama Papa Kai.

"Ma, masa Ta beli gorengan murah banget." Srestha memberikan nasi yang baru saja ia beli kepada Mama Krystal. Mama sendiri sudah menyiapkan lauk yang ia bawa dari Jakarta untuk makan malam mereka.

"Iya, kak?"

"Tadi Ta makan tempe lima, lima ribu aja coba?" Srestha merasa kaget aja makan tempe lima cuma bayar lima ribu rupiah aja padahal ukuran gorengannya lebih besar dari yang biasa ia beli di Jakarta.

"Kakak makan tempe lima?" Jendra bertanya heran mendengar kakaknya yang udah makan tempe lima buah.

"Iya, hehehe. Laper banget kakak Ta."

Mama Krystal geleng-geleng kepala sendiri mendengar penuturan Srestha.

*

Jam 3 pagi, Papa Kai terbangun karena suara berisik dari luar tenda.

Saat ia lihat penghuni tenda yang ada di sepanjang Telaga Cebong tersebut mulai keluar dan bersiap untuk mendaki Gunung Sikunir untuk menyaksikan sunrise terbaik itu.

Dan ketika Papa Kai keluar tenda, sudah banyak juga kendaraan pribadi yang datang. Bahkan Papa Kai melihat ada dua bus kecil yang ia perkirakan adalah rombongan siswa SMA. Semuanya berbaris rapi dan bersiap untuk mendaki Gunung Sikunir bersama-sama.

"Papa, dingin banget." Jendra yang sudah mengenakan jaket berlapis menggigil karena suhu udaranya memang sangat dingin.

"Iya dek, kamu gerak-gerak coba biar nggak begitu dingin." Papa Kai memberikan contok menggosokkan kedua telapak tangannya untuk mengusir dingin.

Sekitar jam empat pagi, beberapa rombongan mulai mendaki ke Bukit Sikunir. Papa Kai sekeluarga pun mengekor di belakang rombongan tersebut.

"Dhatu, hati-hati jalannya." Kata Papa Kai pada Dhatu.

"Iya, Pa."

Dari kawasan camping di Telaga Cebong jalanan yang harus dilalui nggak begitu berat, bahkan terbilang mulus. Pada sisi kiri dan kanan jalan telihat beberapa homestay dan warung-warung makan yang masih tertutup.

"Aduh!" Dari barisan depan Srestha mengaduh karena kaget jalanan berubah menjadi jalanan tanah yang berupa anak tangga.

"Kakak Ta, hati-hati ya. Licin." Kata Mama Krystal memperingatkan Srestha.

Srestha yang diikuti Jendra, Mama Krystal, Dhatu dan Papa Kai itu menaiki ribuan anak tangga yang tersusun rapi tersebut. Tangga yang akan mengantarkan mereka ke puncak Gunung Sikunir.

"Aduh, Jendra." Mama Krystal berteriak panik saat melihat Jendra tersandung dalam perjalanannya. "Dek, Ujin nggak papa?"

"Ujin capek, Ma." Jendra yang menggigil mulai merengek karena capek dan juga terjatuh barusan.

"Istirahat dulu ya, sayang." Kata Mama Krystal menyuruh Jendra untuk beristirahat sebentar.

"Ujin, masih kuat nggak? Kalau diem aja nanti makin dingin." Srestha bertanya pada Jendra yang masih mengatur napasnya.

"Iya, ayo lanjut aja kak."

Jendra mengikuti langkah Srestha, tapi semakin tinggi jalan yang mereka lalui, jalur menuju puncak view point golden sunrise semakin tertutup kabut tebal.

"Papa, nggak keliatan." Kata Srestha menoleh ke belakang. Senter yang ia bawa pun nggak bisa menembus kabut tersebut.

"Iya, kak. Hati-hati jalannya. Jendra pegangan kakak Ta ya." Papa Kai dari belakang berkata menyuruh Srestha untuk terus berjalan menembus tebalnya kabut.

"Mama, Ujin capeeeeek, dingiiiiin." Jendra mulai merengek dan menangis karena udara semakin dingin dan juga jalur pendakian yang semakin ekstrim.

"Iya sayang, sebentar lagi ya." Mama Krystal yang sebenarnya juga tidak tau mereka sudah sampai mana hanya bisa menenangkan Jendra.

"Sabar Ujin, sebentar lagi sampe kok." Srestha yang menggenggam erat tangan Jendra juga ikut mendiamkan Jendra.

"Dhatu, masih kuat dek?" Mama Krystal menoleh dan Dhatu hanya mengangguk.

"Kita berhenti aja di view point terdekat aja, kak. Kasian Jendra." Kata Papa Kai melihat kondisi Jendra yang sepertinya nggak kuat melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi.

"Iya, Pa."

Srestha kembali berjalan menembus kabut, berniat berhenti di view point yang paling dekat tapi saat ia melihat tempat pemberhentiannya, ada ratusan pengunjung juga di depannya.

Ternyata mereka sudah ada di view point pertama di Puncak Sikunir untuk melihat sunrise.

"Sampai, Ujin. Istirahat ya, jangan nangis lagi." Kata Srestha pada Jendra yang masih sesenggukan.

Papa Kai dan Mama Krystal bernapas lega melihat ratusan orang di sana. Beberapa lainnya melanjutkan perjalanan ke view point kedua. Di puncaknya sudah sangat padat sehingga banyak yang memilih di view point pertama dan kedua saja.

Papa Kai mencari tempat untuk melihat sunrise, yang tidak tertutup pepohonan. Ia melihat kompat untuk mencari posisi agar menghadap ke arah matahari terbit.

"Di sini aja, jangan terlalu dekat tebing ya. Kabutnya tebal." Papa Kai menyuruh semuanya mendekat kepadanya tapi nggak boleh untuk mendekati tebing karena kabut yang tebal membuat pandangan mereka terbatas.

Mereka sekeluarga menunggu dari jam setengah lima pagi sampai setengah enam pagi, ditemani kabut tebal dan udara dingin yang menusuk tulang.

Untungnya Mama Krystal membawa teh panas yang ia letakkan di dalam termos kecil sehingga sambil menunggu mereka bisa menikmati minuman panas tersebut.

"Pa, ini masih lama nggak sih? Dedek udah dingin banget." Dhatu yang sekarang sudah makin kedinginan bolak balik melihat jam tangannya. Kabut belum juga turun dan mataharinya juga belum juga muncul.

"Iya, Pa. Turun aja yuk Pa. Ujin kedinginan."

"Sabar Dhatu sama Ujin, kakak udah cari tau katanya mataharinya biasanya muncul jam setengah enaman. Jangan nyerah dulu dong." Kata Srestha menyemangati kedua adiknya.

"Tapi itu pada turun. Ayo kita turun aja." Kata Jendra sambil menunjuk rombongan yang sepertinya menyerah untuk menunggu sunrise.

"Iya, Pa. Tadi ada yang bilang kabutnya nggak turun jadi percuma nggak keliatan." Dhatu ikut menambahkan.

"Sabar ya sayang, kita tunggu sebentar lagi." Papa Kai menenangkan kedua anaknya yang sepertinya sudah akan menyerah menunggu sunrise.

"Iya, kita tunggu sebentar lagi ya. Kan tadi naiknya udah susah payah, sayang. Masa mau turun gitu aja?" Mama Krystal ikut menambahkan, menyemangati kedua anaknya tersebut.

Nggak lama terlihat semburat-semburat tipis dari arah timur. Srestha langsung menunjuk ke arah tersebut pada kedua adiknya.

"Tuh tuh ada cahaya keliatan, bentar lagi dek. Sayang loh kalo kita turun." Srestha berkata antusias.

"Ya udah deh." Jendra pasrah juga akhirnya.

Karena cukup banyak yang menyerah dan memutuskan untuk turun, suasana di Puncak Sikunir tersebut justru menjadi lebih lega. Sudah banyak orang yang mulai memasang tripod untuk mengabadikan datangnya sang surya.

"Papa, itu mataharinya." Jendra berkata dengan semangat saat melihat semburat keemasan muncul, terlihat memukau dari Puncak Gunung Sikunir.

Semakin lama semburat keemasan itu semakin jelas terlihat, dikelilingi kabut yang malah menambah keindahan golden sunrise tersebut.

"Whoaaaaa, indah banget." Dhatu terpuka dengan keindahan sunrise di hadapannya.

"Pa, bagus bangettt." Mama Krystal juga nggak kalah kagumnya.

Srestha, Dhatu dan Jendra langsung membuka hapenya untuk merekam terbitnya matahari tersebut. Mengabadikan momen yang luar biasa indah tersebut.

"Ayo kalian, sini Papa fotoin." Kata Papa Kai menyuruh ketiga anaknya berfoto dengan latar belakang sunrise. Mereka pun berpose dengan background semburat keemasan tersebut.

"Mama sama Papa juga dong. Sini Ta fotoin." Srestha menyuruh Mama dan Papanya juga untuk berfoto sebagai kenang-kenangan mereka.

"Bagus banget, Pa." Kata Srestha saat selesai memotret kedua orang tuanya.

"Misi Mas, boleh minta tolong fotoin." Kata Papa Kai pada salah satu pengunjung, bermiat meminta tolong agar bisa foto berlima.

"Oh iya." Seorang pemuda menerima kamera dari Papa Kai dan mengatur posisi keluarga Papa Kai agar menghasilkan foto yang bagus.

"Makasih ya, Mas."

"Makasih ya, Kakak." Dhatu dan Jendra ikut berterima kasih pada orang yang sudah mengambilkan foto keluarga mereka.

"Sama-sama."

*

Puas berfoto-foto di atas akhirnya mereka sekeluarga turun dan menikmati sarapan di salah satu warung makan yang mulai buka.

"Seneng nggak kalian?" Tanya Papa Kai saat mereka selesai sarapan dan kembali ke tenda.

"Seneng banget, Pa. Tadi pagi Ta sebenernya juga udah males lanjutin naiknya soalnya dingin banget. Tapi ternyata pas di atas bagus banget." Srestha berkomentar tentang dinginnya udara yang membuatnya juga hampir menyerah untuk melanjutkan perjalanan.

"Iya. Ujin juga, jalannya susah banget. Ujin nangis tadi." Jendra teringat dirinya yang tadi menangis karena merasa sangat lelah dan kedinginan.

"Makasih ya, Pa. Seru banget jalannya naik gitu dan susah tapi Dhatu seneng banget deh." Dhatu juga ikut berkomentar mengenai perjalanannya menuju ke Puncak Sikunir tadi.

"Mama juga seneng banget, anak-anak Mama pantang menyerah ya." Mama Krystal memuji ketiga anaknya yang bisa bertahan untuk menantikan sunrise tadi.

"Iya betul kata Mama, Papa bangga sama kalian. Seru ya liburan kayak gini."

"Iya Pa, kapan-kapan lagi ya Pa." Srestha berkata disambut dengan antusias oleh Dhatu dan Jendra.

Papa Kai dan Mama Krystal mengangguk kemudian tersenyum saat melihat ketiga terlihat sumringah.

"Ih Papa merem." Komentar Srestha saat ia melihat hasil foto-foto tadi.

"Yah, ini Ta belum siap."

"Ini Ujinnya nguap, hehe." Jendra berkomentar melihat hasil foto kakaknya.

"Kakak, ini nih bagus yang difotoin sama kakak tadi." Dhatu menunjukkan beberapa foto mereka berlima.

"Ih Mama sama Papa romantis banget." Kata Srestha menunjukkan foto Papa dan Mamanya di depan sinar matahari pagi.

"Relationship goals banget, yoii pokoknya."

***

Continue Reading

You'll Also Like

67.1K 8.4K 64
Spin off from #Defabian and Seducing Mr. Julien. Joanna Tan, seorang wanita pebisnis berusia 55 tahun yang tidak pernah memiliki keinginan untuk men...
STRANGER By yanjah

General Fiction

225K 25.7K 33
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
Cafuné By REDUYERM

General Fiction

59.8K 6K 27
(n.) running your fingers through the hair of someone you love Ayyara pernah memiliki harapan besar pada Arkavian. Laki-laki yang ia pilih untuk menj...
99.5K 203 12
hai gays cerita ini khusus menceritakan sex ya, jadi mohon yang pembaca belom cukup umur skip saja☺️🗿, sekumpulan cerita dewasa 18++