Whiffler [END]

By ArlenLangit

358K 25.6K 2.8K

21+ | Update Sebisanya | Terhubung dengan Equanimous #3 "If distance is what I have to overcome to be with yo... More

Tante Cantik | 1
Tersenyum Usil | 2
Si Usil | 3
Urusan | 4
Bersertifikat | 5
Pembantu Jaman Now | 6
Tercyduk | 7
Fantasy Gila | 8
Fantasy Gila 2 | 9
Simba | 10
Jemput | 11
Stay | 12
Ternoda | 13
Datang Dan Pergi | 14
Ketahuan | 16
Masa| 17
Jijik | 18
Turunan | 19
Tak Bersuara | 20
Dikabulkan | 21
Kembali Pulang | 22
Hutang Hati | 23
Dunia Sudah Berubah| 24
Ngawur | 25
Proses | 26
Perkataan | 27
Dimulai | 28 [End]

Membantu | 15

8.7K 720 80
By ArlenLangit

Guru memberikan materi yang sudah diberikan dua hari yang lalu, para murid maju mengumpulkan tugas mereka. Chilla senang bisa mengerjakan tugas itu, karena telah dibantu kakak kelasnya yang baik, Izann. Bu Yasna meminta murid barunya itu mengambil kitab pelajaran di perpustakaan, tetapi karena masih baru belum hapal untuk pergi ke sana. Bu Yasna lantas meminta Erchilla yang mau kembali ke bangkunya untuk menemani Sivan ke perpustakaan.

"Chilla bisa bantu ibu? Temani Sivan ke perpustakaan ambil kitab pelajaran yang Chilla juga dipinjami, mau ya?" tanya Bu Yasna pada Erchilla.

"Bisa," kata Chilla menaruh pensilnya di meja dan tersenyum tipis ke arah Bu Yasna dan Sivan.

"Sivan ikut Chilla ya ke perpustakaan, ini daftar buku yang harus kamu ambil, segera kembali ya kalau sudah." Bu Yasna memberikan perintah.

"Iya, Bu." Sivan menjawab dan berjalan mengikuti Erchilla.

Sivan mensejajari langkah Erchilla, gadis kecil yang sedikit muram itu ditengoknya. Chilla yang menoleh ke samping sedikit teekejut oleh perilaku Sivan, teman barunya di kelas.

"Kenapa?"

"Enggak apa, kita belum berkenalan. Namaku Sivan," kata Sivan.

"Aku tahu kalau namamu Sivan," kata Chilla.

"Lalu namamu?" tanya Sivan.

Erchilla mempertontonkan bedge di dadanya, "Ini namaku, bisa dipanggil Erchilla atau Chilla."

"Salam kenal, Chilla." Sivan berkata, gadis itu mengangguk dan tetap berjalan sedikit menunduk. "Awas!"

Sivan menarik lengan Erchilla ke sisinya tepat, hampir saja gadis itu menabrak rak sepatu. Gadis itu terkejut, menoleh ke Sivan dan apa yang tadinya akan ditabraknya.

"Jalan itu pakai mata dan kaki harus sinkron, jangan menunduk." Sivan memberitahu Chilla.

"Iya, maaf. Terima kasih, Sivan."

"Sama-sama." Sivan tersenyum.

Erchilla mengajak Sivan ke ruangan besar berpintu ganda, ada lelaki penjaga perpustakaan dan arsip yang berjaga di bali meja kayu, di atasnya ada komputer yang kadang digunakannya bermain Soliter. Chilla menyapa penjaga dan Sivan memberikan kertas berisi daftar kitab apa saja yang harus diambilnya. Penjaga itu mengarahkannya ke deretan rak di lorong pertama. Sivan berjalan ke sana, sementara Erchilla awalnya duduk pun mendekat.

"Bahasa Indonesia 1a, matematika 1a," kata Sivan mengambil kitab-kitab di rak. Sivan melihat kitab di atas tubuhnya, perlu kursi atau tangga untuk bisa menggapainya.

"Kau butuh ini agar bisa ambil," kata Chilla datang membawa kursi plastik berwarna hijau. "Sini aku bawakan."

"Terima kasih, aku kira kamu enggak mau bantu aku, kamu terlihat sedih gitu, murung dan melamun." Sivan menaiki kursi plastik itu dan mengambil buku kitab.

"Iya, kamu tahu enggak Dean, itu anak lelaki yang duduk di bangku depanku, dia itu lagi sedih karena Nael pindah sekolah, dia jutek sama aku." Chilla bercerita sambil menyandarkan bahunya di rak.

"Jangan kausandari raknya, nanti kedorong trus raknya jatuh gimana? Duduk saja di sana, bentar lagi selesai," kata Sivan menunjuk ke meja bundar bersekat dicat menarik di atas karpet.

Erchilla duduk di sana, bersila dan menaruh kitab-kitab Sivan di meja, membukanya sekilas daripada duduk tanpa melakukan apapun. Sivan duduk di samping Chilla, melihat gadis itu cantik dan imut.

"Aku enggak tahu Dean itu siapa, masih sehari aku sekolah. Emang kenapa dengannya?"

"Aku suka main sama dia, tapi kalau dia sukanya main sama kakak kelasnya, di rumah juga main sama Kak Zena, dia jadi baik dan manis kalau dengannya."

"Dan kalau sama kamu dia jadi jutek gitu?"

"Iya gitu." Chilla menghela napas.

"Enggak apa, 'kan masih ada teman lain, dan aku." Sivan memberikan senyuman pada Chilla.

"Boleh, Sivan mau jadi teman Chilla?"

Sivan mengangguk, "Ayo, kita ke penjaga perpus, ini sudah selesai."

Sivan mengajak Chilla ke penjaga perpustakaan, meminjam buku-bukunya dan membawanya ke kelas. Bu Yasna melihat kedua muridnya datang, memberikan tugas yang sama seperti murid lain dan memintanya mengerjakan sekarang juga. Dean yang menoleh sekilas ke arah Chilla dan Sivan pun abai kembali, melipat tangannya dan menundukkan kepala lagi.

Chilla kembali ke bangkunya, bangkunya sepi ternyata teman sebangkunya tadi telah berpindah bangku, Rara meminta maaf. Chilla kembali sedih, anak lelaki di depannya jutek, Rara pun memilih duduk di bangku lain. Ia menoleh ke samping, Sivan tersenyum manis dan memberikan jempolnya pada Chilla, perlahan gadis kecil itu merasa baik-baik saja. Ada orang lain selain Izann yang bisa membuatnya merasa baik-baik saja.

Bel istirahat berbunyi, Fahri mengajak Sivan ke kantin bersama. Sivan menoleh ke bangku Chilla, tidak menemukan gadis kecil itu di sana juga dengan anak lekaki di depannya. Sivan diajak Fahri ke ruangan seperti aula yang besar, di sana seluruh murid berjajar sesuai jenis kelamin mereka. Sivan dan Fahri berbaris memanjang di barisan lelaki, matanya melihat ke arah barisan anak perempuan, menemukan Chilla di sana, saat menoleh ke arahnya, Sivan memberikan jempolnya. Erchilla menunjukkan jempolnya juga pada Sivan, pertanda Ia baik-baik saja. Jempol Chilla turun dan melihat wajah anak lelaki tampan bernama Dean.

Chilla melambaikan tangannya pada Dean, menyapanya, sayangnya yang disapa justru abai. Dean yang berdiri dengan teman lelaki sekelasnya berjarak empat anak dari Sivan pun tak pedulikan sapaan Chilla. Dean mengambil nampan yang diberikan koki kantin, bersamaan dengan Zena yang juga mengambil nampan, melihat ada banyak bangku yang sudah ditempati.

"Dean, udah dapat bangku?"

"Belum, Kak Zena juga?"

"Oh, itu ada yang kosong!" seru Zena menuding bangku di mana Chilla duduk.

"Enggak, eh, Kak Zena!" seru Dean yang akan menolak, tapi Dean akhirnya menuruti langkah Kak Zena.

Di bangku panjang itu sudah ada sejumlah murid lain, tapi masih bisa menampung beberapa muri lagi. Chilla senang sekali Dean mau datang dan duduk dengannya. Zena tersenyum pada Chilla, menyapanya dan duduk, tapi berbeda dengan Dean yang enggan duduk di sini.

"Dean juga ambil capcay? Chilla juga ambil. Dean mau baso enggak? Punya Chilla dapat banyak nih!" tawar Chilla pada Dean.

"Enggak, Dean udah cukup ini." Dean berkata jutek.

"Chilla, boleh kakak duduk di sini?" tanya seseorang.

Chilla menoleh ke samping kirinya, "Kak Izann! Boleh dong, ayo duduk aja Kak."

"Terima kasih, halo Zena, Dean."

Zena tersenyum, "Kukira sudah dapat bangku duduk."

"Sudah, tapi tahu Chilla di sini, pindah ke sini." Izann menaruh nampannya tersenyum ke Zena.

"Oh begitu," kata Zena pada Izann.

"Aku kira belum dapat tempat duduk, Chil." Suara anak lelaki lain di samping kanan Chilla, Sivan.

"Eh, Chilla ini enggak ada yang nempati 'kan? Boleh kita duduk di sini?" tanya Fahri.

"Duduk aja, kosong kok." Chilla memberitahu.

Sivan dan Fahri duduk di samping Chilla, menoleh ke arah anak lelaki yang lebih besar di sisi kiri Chilla. Sivan tersenyum tipis, lebih tipis daripada dinding yang seolah memisahkan mereka.

"Oh ya, di kelas Chilla ada murid baru, namanya Sivan." Chilla bercerita pada Izann.

"Oh ya?" tanya Izann menoleh ke arah Sivan, raut wajahnya menjadi berbeda.

"Ini Sivan, Sivan ini Kak Izann teman Chilla juga."

Sivan menaruh sendoknya, mengulurkan tangannya pada Izann dengan ramah. "Aku Sivan, Kak. Salam kenal."

"Izann," kata Izann yang menatap Sivan lain.

Zena pun tak mau kalah, dia memperkenalkan dirinya sebagai teman Chilla juga meski beda kelas dan tingkatan. Izann menatap sedih ke arah Sivan, anak lelaki teman sekelas Chilla yang sudah dikenalnya lebih dari siapapun di sini, berubah tak mengenalinya. Jam makan siang hari ini lebih lama dari biasanya, karena setiap pertengahan minggu wakil kepala yayasan memberikan sedikit tambahan jam istirahat agar para murid bisa melepaskan ketegangan, terutama murid kelas enam yang sering mengikuti try out.

Izann mensejajari Sivan di depan papan pengumuman di lobi sekolah, di mana informasu terbaru ada di sana. Sivan tahu siapa yang berdiri di sisinya, tapi tetap membaca cerita pendek yang ditempel di mading.

"Lama kita tak jumpa, bagaimana kabarmu?"

"Kabarku seperti yang Kak Izann lihat, baik."

"Jangan berlaku seperti kita adalah orang lain, Sivan."

Sivan menoleh, "Apa aku kurang sopan pada kakak kelas?"

Izann merasa terluka melihat tatapan Sivan yang tak mengenalinya, "Kita adalah-"

"Aku tidak paham apa yang Kakak katakan?" tanya Sivan.

Izann kaget sampai mengerutkan keningnya, matanya menatap heran Sivan yang tersenyum seolah bukan adik kandungnya. Di sisi lain, Zena yang melihat Izann dengan Sivan yang mengobrol terlihat serius pun mendekat.

"Izann!" seru Zena yang mendekat. "Kalian ngobrolin apa? Kok serius sekali?"

"Obrolin cerita itu, Kak Zena. Coba Kakak baca, ceritanya bagus loh," kata Sivan tersenyum menunjuk ke mading.

"Iya, aku udah baca emang ceritanya bagus, kelompokku yang bikin." Zena tersenyum merekah.

"Wah bagus itu, aku suka. Oh ya, Sivan mau cari Chilla dulu," pamit Sivan pada Zena dan Izann.

Zena menatap Izann yang menatap kepergian Sivan aneh pun bertanya. "Ada apa? Kalian enggak bertengkar 'kan?"

"Enggak ada kok," kata Izann yang melihat Sivan mendekati Erchilla.

Zena merasa aneh saja melihat sikap Izann dan Sivan berbeda. Tapi, Ia tak mengerti kenapa sikap mereka berbeda satu sama lain. Erchilla masih saja mendekati Dean, merayunya agar tetap bisa ceria seperti sebelumnya, tapi akibat perginya Nael moodnya menjadi buruk. Dean tak segan meminta Chilla pergi, yang terakhir sampai mendorong Chilla hingga jatuh. Sivan membantu Chilla berdiri, menatap Dean tak suka karena sampai mendorong Chilla.

"Dean kok gitu sih?" sedih Chilla.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Sivan.

"Enggak apa," jawab Chilla membersihkan rok seragamnya.

"Kau tidak perlu sampai mendorongnya jatuh, dia enggak melukaimu 'kan?" tanya Sivan pada Dean.

"Aku udah bilang jangan dekat-dekat, tapi dia dekat mulu!"

"Chilla enggak usah dekat Dean, kalau dia enggak mau didekati sama aku aja mainnya, ayo kita pergi!" Sivan menarik tangan Chilla pergi.

"Ganggu aja! Dasar centil!" Dean mengomel.

"Dean kok gitu sih, Dean dorong Chilla sampe jatuh," kata Chilla dengan suara kecilnya, bulir air matanya keluar.

Sivan meminta Chilla duduk dan mengusap air matanya, "Sudah jangan nangis, nanti imutnya ilang."

"Chilla kenapa nangis?" tanya Izann.

"Didorong Dean tadi," jawab Chilla.

"Aku ke sana dulu," kata Sivan yang pergi menjauh. Izann melihat kepergian Sivan hanya bisa mengerutkan kening dalam diam.

Kraukk... kraukk... kraukk... batakonya masih ada, ada yang mau nyemil nemenin Nyak? Di atas anu banget ya, tegang! Setegang gigi Nyak nyemilin batako.

Izann dan Sivan bersitegang euy! Kasih spoiler dikit ah, E, anu... Sivan bukan rivalnya Dean dan Izann ya, dia temen Chilla yang paling care, intinya gitu.

Continue Reading

You'll Also Like

56.2K 9K 31
Seluruh anggota keluarga dibuat terkejut kala mengetahui Alena mendatangi klinik untuk melakukan aborsi demi menggugurkan janin yang tengah bersemaya...
69.6K 3.2K 40
Warning!! Hanya untuk pembaca di atas umur 20 tahun. Mohon Bijak! (21+) Menghadapi pertengkaran di saat malam pertama, bukanlah hal yang diinginkan s...
231K 21.2K 37
Spin off Crazy & Sweet Agreement Joshua Arsen Antonie atau yang kerap disapa Arsen, pernah merasakan apa yang dinamakan cinta. Dulunya ia melabuhkan...
31.6K 1.2K 21
Pernikahan adalah hal yang sakral. Sama halnya bagi Alin dan Dani. Menikah adalah keinginan mereka, hanya saja tak ada yang tau perasaan keduanya. ...