Whiffler [END]

Por ArlenLangit

357K 25.6K 2.8K

21+ | Update Sebisanya | Terhubung dengan Equanimous #3 "If distance is what I have to overcome to be with yo... Más

Tante Cantik | 1
Tersenyum Usil | 2
Si Usil | 3
Urusan | 4
Bersertifikat | 5
Pembantu Jaman Now | 6
Fantasy Gila | 8
Fantasy Gila 2 | 9
Simba | 10
Jemput | 11
Stay | 12
Ternoda | 13
Datang Dan Pergi | 14
Membantu | 15
Ketahuan | 16
Masa| 17
Jijik | 18
Turunan | 19
Tak Bersuara | 20
Dikabulkan | 21
Kembali Pulang | 22
Hutang Hati | 23
Dunia Sudah Berubah| 24
Ngawur | 25
Proses | 26
Perkataan | 27
Dimulai | 28 [End]

Tercyduk | 7

15.2K 984 56
Por ArlenLangit

Bonus Multimedia.

Alanza menarik napasnya sambil menunduk, meski akhirnya tertawa dan menghela napas lega karena baru lolos dari dua satpam di Benecio. Sejak ada kejadian hilangnya Chilla di pabrik, dua satpam yang biasanya hanya mengontrol beberapa kali saja mendadak merubah rute pemeriksaan. Di luar, silir angin menggerakkan pelan rambut panjang Alanza. Sepasang mata lain terkesima oleh sosok boneka silicon yang dimasuki roh Alanza.

Lelaki itu masih di tempat, menatap wanita cantik bergaun merah di depannya. Alanza mendongak, menyadari ada sepasang sepatu di depannya. Sebuah wajah yang tak asing di matanya, karena terlalu sering bertemu. Alanza berdiri sempurna, bertatap mata dengan sosok berpendar yang bisa ditemuinya di semua tempat di dunia ini.

"Kabur lagi?"

"Aku mau main di luar, sesak di dalam." Alanza mengibaskan roknya yang lebar dengan kedua tangan.

"Dan pergi selayaknya manusia?"

"Aku masih jadi manusia, bukan jadi burger kok," kata Alanza polos meraba wajahnya.

Daryn tersenyum kecil, "kau tidak kangen ragamu?"

"Hhh, aku kangen bisa makan dengan kedua tanganku, tapi mau gimana lagi? Aku juga enggak bisa kembali ke ragaku," gerutu Alanza.

"Makanya sering dicoba!"

Alanza menoleh ke Daryn sambil menatap kesal, "kau kira aku enggak coba gitu? Dan sedangkan kau, hanya lihat dari balik pintu, enggak mau bantu, sekarang ngomel-ngomel. Dih!"

Daryn terkejut, terbata dan mengikuti langkah Alanza cepat, "kau tahu aku di sana dari mana? Aku enggak di sana!"

Alanza menoleh lagi tapi tetap sambil berjalan, "kau kira aku enggak tahu? Enggak tempe atau ayam? Kau di sana ngintip doang! Kadang tertawa, ngeselin!"

"Salah lihat mungkin! Atau itu Arswen!"

"Dokter Arswen baik, dia sering kasih aku permen cokelat enak, enggak kayak kamu, ngeselin!" Alanza mengomel tapi setelahnya Ia mengaduh karena menabrak tiang penunjuk jalan.

Daryn tertawa, tapi ditahannya dan mengelus kening Alanza yang merah, "sakit ya? Sini aku usap."

"Udah tahu pake tanya segala! Sudah jangan ikuti aku, aku mau pergi!" Alanza menampik tangan Daryn yang akan mengusap keningnya, menoleh lagi untuk memastikan Daryn tidak mengikutinya.

Sedangkan sepasang mata anak kecil melihat perdebatan keduanya dengan mata melongo, mengabaikan es krim di tangannya yang meleleh. Di matanya, Alanza bicara dan mengomel sendirian, sambil menoleh ke samping atau ke belakang. Alanza yang melewati anak kecil tersebut kemudian berjalan mundur, berhenti demi melihat seksama ekspresi anak lelaki bertopi kabaret itu.

"Hei, es krimmu meleleh," kata Alanza menuding ez krim vanila yang meleleh dari wafernya.

Anak lelaki itu masih syok, "kakak ngomong sama siapa tadi?"

"Oh itu, tadi sama... e, anu, ah itu latihan drama buat... anu, pentas seni! Ya, ya, ya, pentas seni." Alanza beralasan.

"Kakak.... itu siapa? Hantuu! Hantuuu!!" tanya anak lelaki itu melempar wafer es krim ke udara dan lari.

Alanza yang sedang tidak fokus ke hal lain selain es krim yang terlihat lezat pun segera menyelamatkannya. Sedangkan Daryn di belakang Alanza yang membuat anak kecil tersebut tunggang langgang hanya melongo. Alanza menjilat es krim tidak sampai meluber ke luar wafer.

"Dasar hantu sok polos!"

"Aku dengaaarr!" Alanza berseru sambil melangkah layak anak kecil yang girang mendapatkan es krim gratis.

Beberapa orang lelaki yang berpapasan dengan Alanza melihat tak berkedip, melihat seksama bagaimana gadis cantik yang mengenakan percing di hidungnya itu menjilat es krim dengan lidahnya yang merah muda. Lelaki berkemeja abu-abu itu sontak membayangkan yang iya-iya, jika Alanza tengah menjilati benda lain, yang awalnya kecil jadi membesar dan bisa mengeluarkan cairan.

Tapi, semuanya buyar ketika wajah garang Daryn menghalangi pandangannya. Pria bertperut sedikit membuncit itu menarik senyumnya dan terkejut bukan main. Ia memundurkan tubuhnya dan mengusap air liur yang hampir menetes dari sudut bibirnya.

"Yang kau imanjinasikan itu calon isteriku! Awas saja kau berani berbuat lagi, kupenggal kau!" Daryn menatap garang.

"E, e, anu, enggak kok, Mas!" seru pria itu pergi terbirit-birit.

"Dasar manusia banyak dosa! Sarchie ke mana sih, kok masih aja manusia macam gitu hidup, bernapas pula!" Daryn mengomel.

Anak kecil si empunya es krim lari menyerobot meja bertaplak sambil menungging, menyembunyikan kepalanya dan berteriak ketakutan. Ibunya yang tengah melayani pembeli di kedai kecilnya melirik sekilas pada puteranya.

"Nadav, kau itu kenapa? Nadav, ibu sedang repot loh, jangan berulah!" seru seorang wanita bercelemek kuning.

"Ada hantu, Ibu. Hantunya matanya tiga! Hidungnya bolong, mulutnya selebar gang!"

Ibunya memberikan bungkus kertas karton cokelat pada pembeli, "itu badut kali, Nadav! Kalau enggak orang, kalau orang enggak punya lubang hidung justru serem 'kan?"

"Hu hu hu, Nadav takut, Bu. Suruh pergi!"

"Hmm, ada-ada saja si bocah."

Alanza yang mendengar debatan anak kecil pemilik es krim dengan ibunya pun pergi setelah mengunyah wafer terakhir hingga bersendawa. Ia melenggangkan kakinya riang, hendak ke Marisa Mall kembali, atas janji yang diucapkannya pada gadis kecil yang cantik, Erchilla. Tapi, tak sampai langkah ke lima, Alanza terjatuh, sepatu hak tingginya patah.

Daryn yang sedari tadi mengikutinya dari belakang pun mendekat, wujudnya bisa dilihat dan disentuh selayaknya manusia pada umumnya. Tangannya yang hangat menyentuh kaki Alanza, khawatir dan melepas sepatu merah mengkilap itu.

"Aww, aww hati-hati, Bung!"

"Harusnya aku yang bilang gitu ke kamu, hati-hati kalau melangkah! Tingkah kayak cacing lagi demo pake sepatu high heels segala!" gerutu Daryn memijat kaki Alanza.

"Kamu ngikutin aku? Stalker aku?"

"Kakimu enggak apa, hanya saja pasti boneka ini nantinya akan lecet, jangan buat curiga selama ini bukan tubuhmu, ingat kau itu roh tanpa keputusan jelas!"

"Ih, kamu ngomel mulu, sebel." Alanza bangkit dengan kesal, melihat sepatu tinggi merahnya tak bisa dipakai lagi pun mencari alternatif lain.

"Harusnya kau itu... hmm, pergi ke mana lagi dia ini!" Daryn tak melihat Alanza di depannya lagi.

Bayangan Alanza terlihat memasuki sebuah toko yang menjual beragam sepatu. Daryn menggelengkan kepalanya, melihat sepatu Alanza yang patah di bagian tungkai. Seseorang mengitari Daryn, aromanya harum dan khas, kakaknya.

"Jadi... dia yang membuat adikku enggak betah di rumah? Merubahnya menjadi stalker dan superhero?" tawa kecil seorang pria yang berkaus lengan panjang biru tua dilipat ujungnya.

Daryn tercyduk, "enggak juga, hanya kebetulan kau datang aku sedang bantu dia, jatuh."

Kakak kedua Daryn tertawa kecil, "kau menyukainya?"

Daryn segera mendongak, perasaannya diketahui oleh kakak keduanya, tentu saja itu juga akan segera diketahui oleh kakaknya yang lain, apalagi mereka punya ikatan batin yang kuat.

"Aku masih tengah mencari raga yang cocok denganmu, yang bisa membuatmu jadi hidup lagi, seperti kami."

"Aku tahu itu sulit, dan entah di mana raga itu berada bukan?" Daryn mendesah, harapan terbesarnya bisa menjadi manusia seperti kakaknya. Daryn mengambil sebelah sepatu Alanza yang tergeletak di jalanan.

"Eggy sudah temukan beberapa kandidat, hanya perlu sedikit urusan untuk bisa membawanya ke lab, jadi kau hanya perlu menunggu beberapa hari lagi." Kakak kedua Daryn memberi tahu. "Tapi, soal jodoh... itu benar sudah terputus, dan aku tidak bisa melihat dengan siapa cintamu berakhir."

Daryn menatap kakaknya pilu, mengeraskan rahangnya kemudian melempar pandangannya pada toko yang masih didatangi Alanza. "Aku berharap itu dia. Tapi, jika tidak dengannya, mungkin ada pandangan lain soal itu. Jangan dipersulit bukan?"

"Aku akan segera urus identitas barumu, temani Pak Juan temui Melvin*, dia butuh bantuanmu sedikit." Kakak kedua Daryn menepuk pundaknya dan pergi.

Daryn tersenyum pilu menatap sepatu Alanza yang patah, hatinya sama seperti patahan sepatunya. Matanya menatap ke arah toko sepatu itu, tampak Alanza tengah mencoba sepatu yang dibantu pelayan toko.

Gelas yang pecah, jika disatukan lagi tetap akan berbeda sentuhannya, masih menyandang gelas pecah. Dan itulah kita saat ini, bersama tapi sudah berbeda rasanya. Kita tetap berseberangan, kau di jalanmu, dan aku di jalanku.

Daryn membawa pergi sepatu itu, tak mengikuti ke mana Alanza pergi. Sementara Alanza merasa senang karena kakinya tak terasa kasar menapak lantai bumi. Ia menengok ke kanan dan ke kiri sekeluarnya dari toko, guna melihat apakah pria tampan berpendar itu masih mengikutinya, ternyata tak terlihat. Maka, Alanza pun pergi melangkah riang dengan sepatu kets warna putih yang baru dibelinya.

Alanza menghentikan taksi yang menurunkan penumpang, memberitahu sopir agar mengantarnya segera ke Marisa Mall. Ia tak sabar menemui gadis kecil bernama Erchilla, merasa sudah jatuh cinta dengan gadis kecil yang baru dikenalnya.

♧♧

Pintu ruangan itu tergeser ke samping, ruangan yang terletak jauh di belakang yang hanya didatangi seorang suster yang memeriksanya rutin setiap dua jam sekali. Laporan kesehatannya selalu diserahkan pada Silas Daylan setiap harinya, dialah kandidat raga yang akan dimiliki Daryn. Silas membaca ulang identitas pria yang tengah koma dan tak memiliki harapan hidup lagi itu.

Pintu itu terbuka lagi, seorang yang ditunggu Silas datang, pria yang ada hubungan masa lalu dengan Monica** itu mensejajari Silas. Pria yang selalu berpakaian hitam menoleh ke arah Silas serius.

"Kau yakin akan melakukannya?"

"Ya, semuanya sudah dipersiapkan," jawab Silas.

"Kau tahu benar resikonya, tidak seserius itu, tapi hanya satu yang harus kau ketahui. Jika dia masuk, dia seutuhnya manusia biasa, deretan keistimewaannya sebagai manusia padanya (raga) sudah ada daftarnya. Termasuk kedua sisi manusia."

"Aku dan Pak Juan yang akan mengurus sisanya." Silas mengiyakan.

"Termasuk juga dalam hitungan, bagaimana dia akan mati, itu digariskan selayaknya ia terlahir kembali." Sarchie mengingatkan.

Silas berbalik, matanya tak benar lurus menatap Sarchie, melainkan setengah ke arah lain, pada sosok yang bersandar di dinding luar ruangan.

"Itu juga diketahuinya, kau urus ini dan kuurus sisanya." Silas memberikan stempel emasnya pada Sarchie, menggeser pintu dan pergi tanpa menoleh ke arah adiknya yang sedari tadi mendengar.

Sarchie menerima stempel emas Silas pun mendesah, "hmm, yang gadis bernama Alanza belum selesai, ini ditambah tugas lagi. Tugas dan tugas. Ish!"

Daryn tak mendengar ada suara lagi di dalam, kakinya melangkah masuk, berhenti pada ujung brankar. Netra cokelatnya menatap seorang pria yang terbaring di sana dalam ketidaksadarannya. Tangan Daryn menyentuh identitas di ujung brankar, raga yang akan ia miliki atas nama Asyraf, tanggal lahirnya sama dengannya dan beberapa hari lagi adalah ulang tahun mereka.

Daryn membuka genggaman tangan kanannya, patahan sepatu Alanza ada di dalamnya. Kemudian digenggamnya lagi dengan erat, seakan tak mau melepasnya.

"Jalan kita benar berseberangan," lirih Daryn pada keheningan.








* Melvin : suami dari Irene Vasalika [Irene]
** Monica or Elizabeth : isteri Lynch or puteri Sarchie.

Seguir leyendo

También te gustarán

172K 8.9K 51
[Proses Revisi] Persahabatan antara Oliv, Raisa, Naufal dan Dimas tak asing lagi ditelinga murid SMA Nusa Bangsa. Bagaimana bisa Oliv yang kalem dan...
206K 10.3K 47
[+21] ✨steamy romance story✨ Davina berharap segera memiliki anak di umur yang terus bertambah. Alih - alih mendapatkan anak, ia malah mendapati keka...
401K 32.4K 34
[ MATURE CONTENT: 21+] Seorang ibu satu anak yang harus berpisah dengan suaminya karena satu dan lain hal. Menjadi wanita kuat, melakukan apapun send...
31.9K 2K 31
Pernikahan yang baru seumur jagung itu kini berada di ujung tanduk. Mereka menikah bukan karena perjodohan, tapi karena saling mencintai. Namun apa...