Yellow Autumn (Sudah Terbit)

By IsnainiIbiz

2.6M 130K 4.8K

Tersedia di Gramedia terdekat. Atau bisa dibeli di shopee : Ibiz Store, Tokopedia : IbizStore atau hubungi a... More

Prolog
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Sekilas Info
INFO UNPUBLISH
Vote Cover
Pemenang Vote Cover
Open PO Novel Yellow Autumn
YA Tersedia di Gramedia

Satu

99.5K 6.7K 151
By IsnainiIbiz

"Pokoknya Mama tetap nggak setuju kamu kuliah di Solo," cetus Rahmawati, ibu Vania, di sela-sela makan malam keluarga.

Suapan Vania terhenti. Sendok yang berisi nasi dengan rendang kesukaannya diletakkan kembali ke atas piring porselen. Selera makan gadis itu mendadak hilang karena ucapan ibunya. Padahal baru tiga suapan, rasanya dia sudah tidak berminat lagi untuk melanjutkan.

Sudah tiga hari sejak pengumuman Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), Rahmawati tetap dalam mode penolakannya. Kebahagiaan Vania yang diterima menjadi salah satu mahasiswi sebuah universitas negeri di Solo seakan terempas saat sang ibu menolak keras jika putri semata wayangnya tetap kuliah di kota budaya itu.

Vania memang diam-diam memilih jurusan yang ada di sebuah universitas negeri di Solo untuk pilihan pertama dan kedua. Sedari awal, gadis itu ingin belajar hidup mandiri. Dia sudah merasa jenuh dengan sikap overprotektif dari Rahmawati. Setidaknya dengan kuliah di Solo, jauh dari kedua orangtua, Vania akan bisa memulai hidup lebih mandiri. Dia bahkan sengaja memilih pilihan kedua yang grade-nya tidak terlalu tinggi agar peluang diterima menjadi lebih besar. Gadis itu cukup sadar diri dengan kemampuan otaknya yang tergolong biasa saja. Meski hanya diterima untuk pilihan kedua—yaknidi program studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP), dia tetap bersyukur karena keinginannya untuk bisa hidup mandiri akan segera terkabul. Sayang, wanita paruh baya yang duduk di depannya itu belum juga menyetujui hingga sekarang.

Beruntunglah, Setiawan, ayah Vania, langsung memberikan izin setelah gadis itu mengungkapkan alasan mengapa dia memilih kuliah di Solo. Tidak seperti ibunya yang terlihat meremehkan jurusan yang Vania pilih, Setiawan justru menghormati pilihan putrinya. Bagi pria paruh baya itu, jurusan apa pun yang dipilih, asal ditekuni, pasti akan maju. Vania bersyukur memiliki ayah seperti Setiawan. Selama tiga hari ini pun, ayahnya selalu berusaha membujuk Rahmawati agar mengizinkan putrinya pergi ke Solo untuk menuntut ilmu.

"Lagian, bukannya Mama nyuruh kamu pilih yang ada di Jakarta, kenapa malah milih yang di Solo? Mama kecewa sama kamu karena bohongin Mama," tuduh Rahmawati sedikit kesal.

Vania memilih diam. Lidahnya sudah lelah untuk menimpali penyataan Rahmawati. Toh, apa yang dikatakan ibunya itu hampir selalu sama. Tetap menolak dan mengungkapkan kekecewaannya.

Vania jelas tidak merasa membohongi ibunya. Ketika wanita berukuran lebar dengan rambutnya yang selalu digelung itu menyarankan untuk memilih Jurusan Psikologi dan Farmasi di univesitas negeri yang ada di Jakarta, Vania hanya diam saja, meski dalam batinnya dia mengungkapkan penolakannya.

"Kamu kuliah di Jakarta aja. Di universitas swasta juga nggak apa-apa," putus Rahmawati sepihak.

"UKT-nya udah telanjur dibayar, Ma." Vania akhirnya bersuara, mencoba mengingatkan Rahmawati jika Uang Kuliah Tunggal sudah dibayar.

Selepas mendapat izin dari ayahnya, Vania langsung melakukan register secara online. Begitu UKT ditetapkan, ia meminta Setiawan untuk menransfer saat itu juga. Pekerjaan Setiawan sebagai senior manager di salah satu operator seluler membuat UKT yang dibayar Vania masuk salam kelompok yang paling tinggi.

"Nggak masalah. Ketimbang kamu kuliah di sana," timpal Rahmawati tidak mau tahu.

"Udahlah, Mam. Kita ini lagi makan. Biar makannya diselesaiin dulu, baru lanjut lagi," ujar Setiawan yang sedari tadi menyantap makan malamnya mencoba menengahi.

Rahmawati melirik ke arah pria berbadan tambun yang duduk di sampingnya dengan mimik sebal. "Mama juga kecewa sama Papa. Kenapa Papa malah ngizinin Vania kuliah di Solo, sih? Kalau ada apa-apa sama dia gimana? Di sana nggak ada satu pun kerabat kita lho, Pap," tukasnya dengan sorot yang tajam.

"Nanti juga ada temen-temen kuliahnya yang bisa jagain dia. Mama nggak perlu khawatir soal itu. Anak kita, kan, bukan ansos," ujar Setiawan enteng.

"Tapi, tetep aja beda kalau ada kerabat kita yang tinggal di sana, Pap," kilah Rahmawati keukeuh.

Vania mendorong kursi ke belakang. Dia merasa tidak perlu terlibat di antara perdebatan kedua orangtuanya.

"Kamu mau ke mana, Vania?" tanya Rahmawati begitu melihat Vania sudah berdiri.

"Mau tidur. Pusing dengerin Mama sama Papa debat terus," ucap Vania sembari melenggang menuju tangga.

Rahmawati menyandarkan punggung lebarnya ke kursi. Dia menghela napas panjang. Sebagai ibu, sebetulnya dia tidak ingin menghalang-halangi Vania menggapai cita-citanya. Dia hanya tidak mau putri kesayangannya itu berada jauh darinya, apalagi sampai hidup sendirian di kota asing tanpa ada sanak keluarga yang tinggal di sana. Rahmawati tidak akan tega membiarkan Vania hidup seorang diri. Dia pasti akan selalu diliputi rasa cemas dan waswas memikirkan keadaan putrinya di tempat yang jauh, bahkan berjarak ratusan kilo meter dari rumahnya.

Sikap overprotektif Rahmawati pada Vania bukan tanpa alasan. Demi menanti hadirnya Vania di tengah keluarga, mereka sampai menunggu hingga delapan tahun lamanya. Itu pun dengan segala upaya baik medis maupun non medis yang begitu melelahkan dan menguras kesabaran. Jika selama ini Rahmawati bersikap terlalu protektif dan memanjakan putrinya, bukankah itu wajar?

"Papa tadi udah pasang status di WA. Banyak yang japri, sih. Tapi, anak temen-temen Papa rata-rata kuliahnya nggak di Solo. Ada sih satu. Tapi, bulan depan udah wisuda," ungkap Setiawan kemudian.

“Tuh, kan? Cuman nyariin temen kenalan buat Vania aja nggak ada. Gimana Papa bisa tega ngebiarin anak kita kuliah di sana?” Emosi Rahmawati sudah tidak terbendung lagi.

“Bukan nggak ada, Mam. Belum nemu aja. Kan, Papa baru pasang WA story siang tadi,” timpal Setiawanmasih optimis.

Ponsel yang diletakkan di atas meja tiba-tiba bergetar. Setiawan mengambil benda pipih itu. Alis tebalnya bertekuk heran begitu layar sentuh itu menampilkan sebaris nama yang sudah lama tidak menghubunginya. "Tumben dia nelepon," gumamnya penasaran. Apa mungkin karena status di WhatsApp-nya? Dia mencoba menebak-nebak sendiri.

Rahmawati melirik sekilas. Sedikit penasaran dengan siapa yang menelepon.

"Halo, assalamu'alaikum,” sapanya setelah menggesertanda hijau.

"Wa'alaikum salam. Gimana kabarnya, Mas?" balas suara di seberang. Seseorang yang menelepon itu memang tiga tahun lebih muda darinya.

"Kabar baik, Pam. Kamu gimana kabarnya? Udah lama sekali kita nggak ketemu, ya?"

Rahmawati menegakkan tubuhnya. Dia menoleh begitu nama panggilan itu disapa suaminya. Meski lama tidak bertemu, dia jelas tahu siapa sosok di seberang itu.

Pria itu adalah Pambudi, tetangga yang dulu pernah tinggal di sebelah rumah mereka saat masih di perumnas Klender, Jakarta Timur. Sejak kepindahan Pambudi dan keluarganya delapan tahun silam ke Semarang, komunikasi di antara mereka memang sempat merenggang karena kesibukan masing-masing—meskipun masih menyimpan nomor HP. Selama ini, komunikasi mereka sekadar saling berbalas ucapan mohon maaf lahir batin di Hari Raya. Hanya itu. Selebihnya sekadar berbasa-basi menanggapi WA story pun tidak pernah. Meskipun Setiawan tahu, nama “Pambudi” terkadang masuk dalam salah satu teman kontaknya yang melihat statusnya.

"Aku tadi baca status di WA, ternyata Vania keterima kuliah di Solo ya, Mas?" tanya Pambudi hanya untuk memastikan lagi. Dalam status tersebut, Setiawan memang menyebut Vania diterima kuliah di Solo.

“Iya, Pam. Tapi, nggak tahu mau diambil atau nggak. Mamanya dari kemarin nggak setuju kalau Vania kuliah jauh.”
Rahmawati sontak menatap tajam suaminya. Sementara yang ditatap hanya melirik sekilas. “Pikirku, kalau Vania udah punya temen kenalan yang kuliah di sana, kan kami nggak perlu khawatir lagi.”

"Wah, kebetulan, Mas.” Suara di seberang sempat terjeda sejenak. “Masih ingat sama Raka? Dia juga kuliah di Solo, lho. Sama-sama Fakultas Pertanian juga."

Di WA story, Setiawan juga menulis bahwa Vania diterima di Fakultas Pertanian.

"Oh, ya?" Mendengar ini, sontak Setiawan menjadi semringah. Karena jarang berkomunikasi, Setiawan bahkan tidak berpikir untuk menanyakan langsung pada Pambudi apakah putranya itu juga kuliah di Solo."Ternyata Raka juga kuliah di Solo. Tahu gini, aku langsung nanyain ke kamu, Pam."

Mereka terus terlibat obrolan. Sampai tak terasa sudah setengah jam berlalu. Panggilan diputus setelah mengucap salam. Setiawan terus menyunggingkan senyumnya. Ada kelegaan yang meruah. Rahmawati yang masih diliputi rasa penasaran, tampak menunggu suaminya menceritakan isi percakapan mereka.

"Mama masih inget sama Raka, kan?"
Rahmawati mengangguk.

"Dia sekarang kuliah di Agrobisnis semester lima. Se-fakultas sama Vania. Kalau ada Raka, Papa bisa tenang. Raka bisa jagain Vania selama kuliah di Solo. Papa harap Mama nggak perlu khawatir lagi."

Rahmawati hanya diam. Dia terlihat berpikir sejenak. Dulu selama mereka bertetangga, Raka memang dekat sekali dengan Vania. Raka-lah yang selalu menjaga Vania selama di sekolah. Sejak kepergian adik Raka yang saat itu berumur lima tahun karena demam berdarah, Vania seolah menjadi pengganti adik bagi Raka. Mengingat kepedulian Raka pada Vania, Rahmawati perlahan terbuka dengan pilihan putrinya. Sebagai ibu, sudah seharusnya dia mendukung keinginan putri semata wayangnya itu. Bukan malah menentang karena alasan kekhawatiran yang tidak berdasar.

Tbc

***

Gimana? Gimana? Kamu udah ikut PO belum? 🤭

Continue Reading

You'll Also Like

Amare By v

Romance

25.3K 1.8K 58
Amare (n.) A feeling of deep romantic or sexual attachment to someone. Cinta itu aneh. Kamu tidak tahu apa alasannya muncul atau menghilang. Kamu jug...
43.7K 3.1K 33
Ardhito Putra Narendra. Bungsu dan cucu terakhir dari keluarga Narendra pemilik Horison Grup. Setelah terlambat menyadari perasaannya pada sahabat ma...
11.5K 470 2
Judul awal LELAH di ubah menjadi KALA LELAH MENYAPA
4.5M 171K 32
[Telah diterbitkan oleh Namina Books. Tersedia di Gramedia & PlayStore] Link Playstore: https://play.google.com/store/books/details?id=ssDEDwAAQBAJ K...