wanita lain ( End )

Por kan_rahasia

590K 24.9K 1K

Sedang di (REPOST) Jika mendapati isi bab yang tidak beraturan ceritanya mohon maaf ya. Apa yang akan kalian... Más

Satu
Dua
tiga
empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat belas
Lima belas
Enam belas
Tujuh belas
Delapan belas
Sembilan belas
Dua puluh
Dua puluh satu
Dua puluh dua
Dua puluh tiga
Dua puluh empat
Dua puluh lima
Dua puluh enam
Dua puluh tujuh
Dua puluh delapan
Dua puluh sembilan
Tiga puluh
Tiga puluh satu
Tiga puluh tiga
Tiga puluh lima
Tiga puluh enam
Tiga puluh tujuh
Tiga puluh delapan
Tiga puluh sembilan
Empat puluh
Empat puluh satu
Empat puluh dua
Empat puluh tiga
Empat puluh empat
Empat puluh lima
Empat puluh enam
Empat puluh tujuh
Empat puluh delapan
Empat puluh sembilan
Lima puluh
Lima puluh satu
Lima puluh dua
Lima puluh tiga
Lima puluh empat
maaf
tanya

Tiga puluh dua

8.8K 426 42
Por kan_rahasia

"Tambah lagi!" teriak dokter Galih panik pada suter.

Sedangkan dokter Galih berulang kali menggesek gesekan dua benda menyerupai setrikaan itu pada dada Leon yang telanjang.

Bluk..

Tubuh Leon ikut terangkat keatas beberapa detik sebelum kemudian jatuh terhempas lagi.

"Lagi!"

Bluk...

Tiiiiiiiiiiiitttttttt...........

Monitoring itu berdenging nyaring membuat ketegangan seluruh perawat dan dokter.

Dokter Galih menggeleng lemas lalu mengisyaratkan pada seluruh perawat agar melepaskan seluruh alat dari tubuh Leon.

Dokter Galih menarik masker putih dari wajahnya. Keringat menyembul mengiasi wajah bulatnya.

                        •••••••••

"Ada apa..?" Geisa mengalihkan pandangan pada lalu lalang kendaraan di jalan raya yang dikepuli  polusi.

Entah kenapa hatinya merasa teriris sesuatu yang terasa perih.

Ilham mengulum senyum sambil menaroh gelas kopi yang baru saja di isapnya. Kepulan asap menari nari di atas kentalnya cairan hitam itu.

Bukan hal yang menyegarkan jika di nikmati siang hari yang bolong seperti ini bagi sebagian orang yang tidak menyukainya.

"Aku boleh minta tolong?" tatapan matanya tidak terlepas pada wajah Geisa.

"Tolong apa?"

"Coba kamu baca pesan ini!" Ilham meletakan ponsel hitam di hadapan Geisa. Membuat pandangan mata wanita itu turun terarah.

Alisnya mengkerut bertaut. Bibir merahnya yang sejak tadi tertutup rapat dan hanya sesekali terbuka kini bergerak.

"Baca saja!" pinta Ilham.

Tangan Geisa terangkat bergerak mengambil ponsel itu. Beberapa detik ekspresinya hanya datar sebelum kemudian wajahnya terangkat menatap Ilham.

"Maksudnya?"

"Menurut keterangan saksi mata kejadian itu tepat pukul.17 lewat dan pesan masuk itu pun sekitar pukul 17.20-"

"Langsung ke intinya!" potong Geisa, Ilham mengangguk.

"Indri pingin aku menyeret wanita itu. Dia yakin kalo ada sesuatu yang terjadi sebelum kecelakaan itu."

Geisa menatap bingung pada Ilham. "Tidak ada hal luar biasa yang terjadi sebelum kecelakaan itu. Aku yakin mereka hanya berduaan dan bermesraan itu saja!"

"Kenapa kamu bisa yakin seperti itu?" Ilham menegakan posisi duduknya.

"Bukannya Indri juga sudah melihat secara live cctv di layar laptop waktu liburan dulu. Dan ... Dan hanya hal itu yang aku rasa mereka lakukan."

"Tapi wanita itu tidak bersama Leon, Ges. ... bahkan di sini Leon menyuruh seseorang untuk menangkap dan menyekapnya."

"Apa sih yang Indri mau. Bertanya seperti orang bodoh pada wanita itu atau orang yang mengirim pesan ini? Geisa mendengus pelan. "Leon selingkuh dan itu sudah fakta!"

"Karna Indri butuh penjelasan wanita itu di pengadilan nanti. Dia juga berpikir kalo wanita itu ada sangkut pautnya dengan kecelakaan ini."

"Ini kecelakaan Ham, real kecelakaan. Bukan karna wanita itu." Geisa mendorong pelan kursi yang di dudukinya lalu berdiri.

"Aku tidak punya banyak waktu untuk mengurus ini. Seharusnya kamu pergi ke polisi bukan pada saya!" Geisa beranjak menarik tas lalu pergi meninggalkan Ilham yang hanya mengusap pelipisnya, pasrah melihat punggung Geisa yang melenggang pergi mendorong pintu kaca cafe dan berlari melambai tangan pada sebuah taxi yang kebetulan lewat.

Kenapa sikap dia berubah. Bukannya kalo denger nama Indri dia sangat bersemangat? gumam Ilham yang kembali menyeruput kopinya.

                         •••••••••

"Bagaimana Dok?" Indri, Hana, dan Sania melontarkan pertanyaan yang sama. Ketiganya berdiri menghampiri dokter Galih saat pintu di buka dari dalam.

Dokter Gilang menggeleng lesu. Bibirnya tertutup rapat dengan pandangan bingung.

"Apa Dokter?" Hana lalu menerobos masuk melewati dokter sambil menjerit memanggil manggil, "Leon sayang. Leon anak Ibu!"

Sania mengikuti langkah Hana, menepuk pelan bahu Indri sekali lalu melenggang masuk.

"Yang tegar ya Bu!" dokter Galih mengangkat sebelah tangan menepuk halus pundak Indri lalu pergi.

Indri terpaku, suaranya entah hilang kemana bersamaan lidahnya yang kelu. Kakinya terasa bergetar hebat bersamaan rembesan cairan panas yang langsung menggenangi kelopak matanya menyamarkan pandangannya. Dengan sisa  tenaga Indri melangkahkan kakinya gontai mendorong pintu.

Secepat itukah kamu pergi? Sebelum kamu merasakan sakit ini.

Sekelibat bayangan langsung singgah menghampiri Indri. Berbagai momen momen indah, pahit dan duka berselang seling datang dan pergi. Seperti sebuah kaset usang lama yang termakan  waktu.

Indri sendiri memang sudah membulatkan tekat untuk menggugat cerai Leon. Hidup membesarkan anaknya bersama adik dan mamanya.

Namun kabar duka itu tetap saja menyakitkan hatinya. Memberikan luka yang entah Indri sendiri sulit memahaminya.

Memori memori usang   terus berputar. Indri berdiri bisu di samping Leon yang tertidur dengan wajah pucat.

Hanya lelehan cairan panas yang turun sebagai kata kata ungkapannya.

Kedua tangannya terlalu lemas untuk terangkat menyentuh tubuh dingin yang sudah tidak bernyawa.

Sania berdiri merangkul bahu Indri. Wanita itu sama bisunya yang saat ini meraung raung dan terus berontak menggoyah goyahkan tubuh Leon hanya Hana.

Satu suster terus mondar mandir melepaskan beberapa alat infus dan selang oksigen.

Kedinginan dan kesepian seketika menyergap Indri. Kehamilannya yang masih muda sangat rentan harus di sembunyikannya dari semua pihak tanpa elusan tangan sang suami.

Keringat dingin mulai menyembul memenuhi wajahnya. Warna warna itu mulai semakin memudar terlihat.

Cahaya hitam cerah itu kini sudah mulai menjadi satu titik hitam. Hingga beberapa saat kemudian cahaya itu redup dan menghilang.

Bersamaan tubuh Indri yang mulai oleng dan pandangannya mulai berputar putar samar sebelum kemudian ambruk tidak sadarkan diri.

Sania memekik saat tubuh Indri tidak sadarkan diri terkulai di samping ranjang Leon.

Suster yang baru saja melepas beberapa selang langsung berlari membantu menupang tubuh Indri.

"Di sopa saja Bu!" seru suster sambil membantu Sania menidurkan tubuh Indri.

Hana mengangkat kepalanya tegak tegak sambil mengusap air matanya. Tatapannya tajam lurus pada Indri yang tidak sadarkan diri.

"Dasar wanita yang hanya bisa bikin ribet orang!" gerutunya lalu berjalan menghampiri.

Sania menolehkan wajah kesal."Apa yang barusan kamu bilang?"
Sania berdiri sedangkan Indri langsung di periksa suster di tangannya sebuah botol minyak kayu putih diarahkan kedekat hidungnya.

Dengan sabar. Sesekali suster itu berseru memanggi menepuk nepuk pelan pipinya.

"Memang benar apa yang saya bilang. Apa anda keberatan?" Hana maju menantang.

Tidak akan ada lagi ekting baik untuk sekedar pura pura seperti rencananya waktu malam. Harapannya hilang dan pergi saat  Leon sudah meninggalkan dirinya dan dunia ini.

"Anak saya tidak pernah meribetkan anda. Atau hidup anak anda."

"Lihat dia!" Hana menunjuk Indri. "Saat suaminya meninggal. Dia justru malah pingsan dan merepotkan."

"Jaga bicara anda nyonya Hana!" Sania melangkah mendekat menunjuk wajah Hana. "Apa anda tahu kabar Indri menantu anda?"

Hana diam. Hanya bisa menyaring ucapan Sania. Keningnnya mengkerut halus.

Sania tersenyum masam. "Benar bukan. Anda terlalu sibuk memikirkan kekuasaan harta anak saya. Anda terlalu berbahagia tanpa memperhatikan keadaan anak saya."

"Tidak ada yang berubah nyonya. Indri tidak ada perubahan apa apa. Bertahun tahun tetap seperti itu dan itu."

"Tidak?" bantah  Sania cepat keningnya mengkerut halus. "Anda tidak tahu jika menantu anda hamil?" kepala Sania tertarik mundur tatapan matanya membulat sempurna ekspresi wajah antara kaget, kesal dan tidak percaya. Kata katanya sedikit di tekan lebih jelas saat mengatakan kata 'hamil'.

Kepalanya menggeleng geleng tidak mengerti, dengusan kasar terdengar dari bibirnya yang tertarik menjungkingkan senyum.

"Hamil?" ulang Hana tidak terlalu percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.

Hana melirik Indri yang tengah di tangani suster.
"Indri hamil?" Hana bertanya pada Sania sambil menatap penuh harap.

"Iah! Kenapa? Kamu tidak tahu dan ternyata kamu memang hanya mertua obsesi harta anak saya saja Hana." jawab Sania mantap.

"Aku bakal punya cucu?" Hana tertawa lebar dunia yang baru saja pergi meninggalkan dirinya kini terasa datang lagi menghampiri."Aku akan dapat keuntungan besar!" serunya tertawa lebar.

Aggrr..."

Sania menoleh kebelakang saat suara seseorang meringis. Di tatapnya ternyata Indri tersadarkan diri  dari pingsannya.

Suster langsung berdiri dan mengambil air putih di atas nakas yang langsung dia berikan pada Indri.

Sedangkan Hana. Dia langsung menjangkau Indri dengan senyuman lebar. "Indri anak Ibu!" serunya sambil berdiri dan mengusap pucuk kepala pelan.

Namun kamu terlambat Hana! Kekuasaan tidak akan saya jatuhkan pada tangan cucu saya jika Indri tidak cepat mengurus perceraian sebelum akta kematian Leon di buat." gumamnya yang hanya menatap kesal sikap Hana.

Indri yang tidak tahu apa apa hanya tersenyum bingung mendapat perlakuan mertuanya.

"Sebaikan ibu istirahat dulu. Permisi saya harus kembali mencabut beberapa alat dari tubuh pasien!" suster beranjak setelah dapat anggukan Indri dan Hana.

                         •••••••

Di kantin rumah sakit Gilang duduk menyandar pada sandaran kursi kayu yang membentang panjang. Kakinya menjulur lurus kedepan dengan tatapan menadah ke atas, ke atap kantin rumah sakit.

Di depannya. Di atas meja beberapa gelas kopi yang sudah kosong menyisakan serbukan.

Pikirannya melambung jauh. Entah kenapa sejak malam kemarin yang ada dalam bayangan Gilang hanyal Gebi.

Ada rasa yang tiba tiba datang berloncatan di dalam hatinya untuk melangkah pergi menemukannya dan menangkap penyekap yang mengirim pesan pada Leon orang yang tidak salah lagi pasti orang bayaran Leon.

Ada rasa khawatir yang berbaur dengan rasa benci. Benci karna Gebi tetap kekeh tidak mempedulikan dirinya yang dengan lantang pernah bilang kalo dia menyukainya.

Aggrr... kenapa gue harus mikirin dia?" Gilang mengacak rambutnya kesal.

Wanita itu adalah wanita simpanan. Wanita yang ternyata adalah perusak pernikahan kakanya sendiri dan wanita itu adalah wanita yang selama ini harus dia seret ke depan mba mba yang selalu kasih transperan uang yang ternyata kakanya sendiri.

Gue harusnya benci dan tidak perlu mimikirin dia! Seharusnya gue buang jauh jauh dia dalam pikiran gue. Seharusnya gue lebih bahagia dia dalam penyekapan orang dan mendengar kabar nanti jika dia meninggal.

Seharusnya dan memang seharusnya! Tapi kenapa semua bertolak belaka kenapa justru gue khawatir sama dia?.

Agkkhh...

                        ••••••••

"Masih pusing?" Hana terus merajuk di samping Indri. Mengusap sisa sisa air mata di wajah menantunya yang membuat kerutan bingung di dahi Indri berlipat.

"Nggak papa ko Bu. Aku bisa sendiri." Indri  mejauh membuat jarak diantara duduknya.

Sedangkan Sania, wanita itu terus duduk dengan wajah sebal di pojok sopa yang terpisah menyaksikan suster yang mondar mandir untuk melepas setiap alat yang belum terlepas.

Namun baru saja tangan suster terjulur pada dada Leon yang telanjang untuk mencabut beberapa alat yang tertempel. Suara decitan monitoring yang nyaring berdenging membuat seluruh pandangan tertuju pada layar monitoring yang menampilkan garing garis lurus ke atas berjalan dan juga pada Leon yang terbaring.

Tit.. tit... tit... tit... tit...

"Leon!!" seru Sania, Hana dan Indri bersamaan. Hana beranjak berdiri bersamaan Indri.

Suster langsung memencet bel biru sebagai alat pemanggil dalam keadaan darurat kemudian memeriksa denyut nadi tangan Leon yang sudah tidak terpasang jarum infus.

Seorang suster kemudian berlari sambil memanggil dokter. "Dokter... dokter Galih!" serunya menyambar pintu.

_____________

Maaf ya thour gak tahu nama nama alat dokter hehe kaya yg buat di tempel ke dada terus orang terangkat ah pokonya apa thor gak tahu hehe maaf ya.

Vomen nya kok sepi ya thor jadi galau

Seguir leyendo

También te gustarán

138K 909 4
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
751K 27.7K 32
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
453K 38.7K 59
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
699K 1.1K 3
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...