MY POSSESSIVE LECTURER (Suda...

By LianFand

2.3M 155K 9.5K

Hanya cerita aneh tentang perjodohan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Klise. Tidak ada yang istimew... More

Prolog
1
2
3
4
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
18
19
20
21
22
23
24
26
28
29
31
32
33
34
On Google Play Book

25

57K 5K 372
By LianFand

"KAU?" aku melotot melihat laki-laki berpostur jangkung yang berdiri tepat di depanku dengan cengiran yang masih kuingat dengan jelas bagaimana menyebalkannya dia.

"Ya aku. Kau masih ingat bukan, Kiara?" senyum lebarnya membuatku mengetatkan geraham menahan kesal.

"Mau apa kau di sini?" tanyaku curiga.

"Mencarimu," jawabnya santai sambil menyeringai senang.

Duh, satu masalah belum selesai, masalah baru datang! Super sekali, Kiara!

"Dari mana kau tau aku kuliah di sini?"

"Kebetulan aku melihatmu di depan kampus tadi," senyumnya mengembang penuh.

"Untuk apa mencariku?"

"Rindu maybe," jawabnya santai sambil mengedikkan bahunya.

"Rindu gundulmu! Jangan asal bicara, ya! Kita saja baru sekali bertemu!" sewotku sebal.

"Hahaha... kamu galak banget Kiara. Aku semakin suka!" kekehnya bersedekap memandangku.

"Heh! Dengar ya Pak, Mas, Mbah, Bang... jangan ganggu aku! Aku gak suka!" semburku berkacak pinggang.

"Arkalendra, Kia. Namaku Arkalendra. Jangan panggil Pak karena aku baru dua puluh empat tahun. Panggil mas? Hmm.... sebenarnya aku tidak suka... tapi buat kamu bolehlah... dan Mbah? Fiuuhh.... aku harus membawamu ke dokter mata. Aku masih muda dan ganteng... masa dipanggil Mbah? Kalo Bang... jangan deh... nanti dikira abang ojek..."

Aku memutar bola mataku jengah. Cowok satu ini sangat-sangat menyebalkan. Hmm.... jadi pengen nendang tulang keringnya deh!

"Huh! Bodo amat!" aku menggeser langkahku dan berniat melewatinya. Tapi ia justru ikut bergeser ke arah aku bergerak dan selalu begitu setiap aku bergerak.

"Maumu apa sih? Minggir! Aku mau lewat!" bentakku dengan suara meninggi.

"Mau kemana sih? Ikut dong," seringainya membuatku ingin membenamkan mukanya ke sayur sop Bu Kantin.

Aku mendengus kesal. Sesekali aku mellihat ke sekeliling berharap Mas Dewa tidak muncul tiba-tiba untuk menggantikan Bu Marla.

"Ke toilet!" cetusku mendorong tubuhnya ke pinggir dan berlari menuju toilet.

Dalam toilet aku hanya berdiam diri dan memainkan ponselku.

Me
Nom, Bapak Dosen yang terhormat sudah masuk kelas?

Nomnom
Lagi ngabsen. Sepertinya dia lagi bad mood.

Nomnom
Sudah pulang?

Me
Perjalanan. Thanks.

Aku mematikan ponselku dan bergegas keluar dari toilet.

"Sudah?"

Aku nyaris melompat ke belakang karena terkejut.
Kenapa orang ini masih di sini?

"Kenapa masih di sini?" bentakku sebal sambil berjalan meninggalkannya dan ke luar dari halaman kampus.

"Kan nungguin kamu," jawabnya santai mengekoriku.

Aku berbalik dan berkacak pinggang memandangnya sengit.

"Dengar ya, berhenti di sini! Jangan mengikutiku! Paham!"

"Ckckck.... kamu makin menggemaskan!" ia menggeleng-gelengkan kepala, menatapku dengan mata berbinar.

Rasanya kepalaku mau pecah. Aku bisa hipertensi jika semakin lama di sini.
Segera kuhentikan taksi yang kebetulan lewat.

"SAMPAI JUMPA LAGI KIARA!" teriaknya melambai-lambaikan tangan dengan noraknya.

Duh! Kenapa banyak laki-laki gila di sekelilingku? Kututup wajahku menutup rasa panas yang menjalar di wajahku.

.

.

.

💟💟💑💟💟

.

.

.

Aku menggeliat terganggu dengan sentuhan-sentuhan di kepalaku.
Sepulang dari kampus tadi aku langsung pulang ke rumah Mama. Sepi. Yang ada hanya Bi Minah yang sibuk di dapur.
Mama dan Papa sedang ke luar kota untuk urusan bisnis.
Aku terlelap dengan mudah ketika mencium aroma bantalku yang harum lembutnya selalu kusuka.

Perlahan kubuka mataku. Hampir aku menjerit ketika mendapati Mas Dewa tersenyum menatapku. Tangannya tidak berhenti mengusap kepalaku.

"Sudah lebih baik?"

Aku memandangnya bingung sebelum akhirnya aku menyadari bahwa pasti Naomi mengatakan kalau aku tidak ikut kuliah Mas Dewa karena sakit.

Perlahan aku menghindar dari sentuhannya dan duduk bersandar di tumpukan bantal. Kutatap wajahnya. Debaran di dadaku kembali terasa. Apa benar aku mulai mencintainya? Tapi kenapa mencintai itu menyakitkan?

"Kenapa Ra? Kata Naomi kamu sakit perut? Kita ke dokter ya?" bujuknya mengulurkan tangan hendak menyentuh pipiku. Aku segera menahan tangannya. Aku takut terjatuh semakin dalam.

"Aku mau menginap di sini, Mas," ujarku menggeleng menjawab bujukannya.

"Ara, kita pulang saja ya?"

Aku kembali menatapnya.
Pulang? Dan kembali membiarkan diriku menjadi bahan ejekan dan tatapan merendahkan dari Rima?

'Asal kau tau gadis manja, Mas Ganendra itu milikku! Sampai kapanpun ia milikku!'

Aaaaghh! Kenapa suara itu masih saja melintas di otakku? Kenapa aku tidak bisa menghapusnya?

Aku menggeleng cepat. Begitu cepat sampai aku merasa sedikit pusing.

Mas Dewa menatapku kecewa.

"Ara, seorang istri itu seharusnya berada di samping suaminya," Mas Dewa memandangku tajam. Tapi aku hanya diam. Aku tidak mau perempuan itu menginjak-injak harga diriku lagi.

"Aku mau di sini, Mas. Kalau Mas Dewa mau pulang, pulang saja. Toh itu rumah Mas Dewa kan? Aku mau tetap di sini," aku menggeleng dengan keras kepala.

"Kenapa Ra?"

Aku menunduk tidak menjawab.

Dengan ekor mataku aku melihat Mas Dewa menggeser duduknya mendekatiku.

"Ara, pulang sama Mas ya?" gigih juga dia membujukku. Tapi aku tidak mau luluh!

Aku menggeleng lagi.

"Aku mau di sini, Mas. Mau tinggal di rumah ini lagi. Sama Mama dan Papa. Aku nyaman di sini," tolakku.

""Tapi Mas mau kamu ada di samping Mas."

"Ya sudah. Mas ikut tinggal di sini saja," sahutku memeluk guling dengan erat, bergulir memunggunginya.

"Ya nggak bisa begitu, Ara. Kita kan sudah punya rumah sendiri. Masa Mas mau numpang tinggal di sini?"

"Kalau Mas nggak mau ya nggak apa-apa. Mas pulang aja ke rumah Mas. Toh ada Rima yang bisa memenuhi apa yang Mas butuhkan," ketusku menggigit bibir ketika rasa nyeri itu kembali mencubit.

"Begini saja, malam ini kita tidur di sini. Tapi besok kita balik ke rumah ya?"

Aku tetap menggeleng.

"Nggak! Aku nggak mau kembali ke rumah itu. Aku nggak mau terus-menerus direndahkan oleh kesayangan Mas itu!" aku sedikit membentak menahan sesak ketika mengungkapkan apa yang mengganjal di hatiku. Bobol sudah pertahananku.

Hening.
Tidak ada gerakan maupun tanggapan dari Mas Dewa.
Perlahan aku menyeka airmata yang mengalir dengan beraninya tanpa kusuruh.

"Kamu nggak nyaman kalau ada Rima di rumah?" tanya Mas Dewa kemudian. Ada nada menyesal dalam suaranya.

Aku bergerak duduk membelakanginya. Mencari sendal kamar kesayanganku dengan karakter stich berwarna biru dan mengenakannya.

"Ra," Mas Dewa menahanku.

"Mas, bukannya aku tidak mau memahami kalau Mas berhutang budi pada Rima dan Bu Merry. Aku cukup tau diri kok. Aku orang baru dalam hubungan kalian yang sama sekali tidak bisa kumengerti. Kenapa Mas Dewa tidak menikah saja dengan Rima? Dia mencintai Mas Dewa, karena itu dia selalu mencari-cari kesalahanku," aku berbalik dan menatapnya. Apakah aku sungguh-sungguh sudah mencintai Mas Dewa? Kalau tidak, kenapa rasanya sakit saat aku mengatakan semua itu?

"Ara, Mas tidak mungkin menikah dengan Rima. Mas-"

"Aku tau. Mas terpaksa menikah denganku karena Mama Mala. Seharusnya Mas bisa menjelaskan semua itu pada Mama Mala. Hubungan kita tidak perlu sejauh ini kalau Mas mau mengatakan yang sebenarnya pada Mama Mala. Bukankah dari dulu aku selalu menentang perjodohan ini?" potongku cepat. Kenapa sih akhir-akhir ini air mataku gampang sekali mengalir? Dengan kasar aku menyeka air mata yang tidak bisa kutahan. Aku merentak berdiri, berusaha menyembunyikannya.

"Ara," Mas Dewa membelalak dan buru-buru bangkit, berjalan memutari setengah tempat tidur, menarikku dan membenamkanku dalam dekapannya.

Tiba-tiba saja aku menjadi sangat cengeng. Menangis sesenggukan tanpa bisa kucegah.

.

.

.

💟💟💑💟💟

.

.

.

Aku membuka pintu depan dan mendapati wajah kusut Mas Dewa. Ia tadi pamit pulang untuk mengambil beberapa bajunya.
Ya, Mas Dewa memutuskan untuk menuruti kemauanku menginap di rumah Mama Papa. Tapi kenapa wajahnya terlihat kesal dan kusut begitu? Apa dia tidak senang? Bukankah tadi aku tidak memaksanya menginap bersamaku?

"Kenapa Mas?" tanyaku mengerutkan kening.

Mas Dewa memandangku dan tersenyum seperti dipaksakan.

"Tidak ada apa-apa, Ara. Cuma ada masalah sedikit di rumah," jawabnya.

Pikiranku langsung mengarah pada Rima.

"Rima tidak mengijinkan Mas menginap di sini?" tebakku mengira-ngira.

"Dia tidak berhak melarang Mas untuk bersama dengan istri Mas!" dengusnya kesal.

"Lalu kenapa Mas terlihat kesal?" aku penasaran dengan apa yang terjadi di antara mereka berdua.

"Rima bilang Mas bodoh karena menurutimu untuk menginap di sini," Mas Dewa merangkul bahuku dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menenteng tas yang pasti berisi keperluannya untuk beberapa hari di sini. Mengajakku menuju ke kamarku.

"Aku tidak memaksa Mas Dewa untuk tinggal bersamaku di sini," kataku mengernyit tidak terima dengan tuduhan Rima.

"Mas tau, Ara. Mas yang ingin menemanimu di sini," ujarnya sambil menutup pintu kamarku dan meletakkan tas yang dijinjingnya di atas meja, lalu berbalik hingga kami berhadapan.

Tiba-tiba saja Mas Dewa memelukku, membenamkan wajahnya di ceruk leherku.

"Ada apa Mas?" aku bingung melihat tingkahnya.

"Maafkan Mas. Mas tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu," kata-katanya terdengar timbul tenggelam di leherku.

Aku terdiam. Sebelum aku mengetahui tentang Rima, aku pikir bisa menjalani hari-hariku bersama Mas Dewa meski tanpa cinta.
Tapi semakin aku menyadari bahwa cinta itu mulai tumbuh dalam hatiku untuk Mas Dewa, aku harus berhadapan dengan Rima. Aku tau bagaimana Rima meng-klaim Mas Dewa sebagai miliknya, aku tau Rima menyimpan rasa suka pada Mas Dewa. Mungkin ia mencintai Mas Dewa sejak lama. Apa aku harus membiarkan itu semua? Mungkin kalau dulu ya, aku akan membiarkan semua itu di depan mataku. Tapi sekarang, setelah perasaanku mulai berubah, apa aku bisa menahan semua begitu saja tanpa sakit hati?

Mas Dewa melepaskan pelukannya dan memandangku dalam-dalam.
Jantungku berdebar. Mas Dewa mendekatkan wajahnya. Sangat dekat.
Kupejamkan mataku ketika bibirnya menyentuh bibirku dan menciumku sangat lembut.

Perlahan kubuka mataku ketika Mas Dewa melepaskanku. Ada sesuatu yang berbinar dalam sorot matanya.

"Mas sayang kamu, Ra."

Aku tertegun.
Apa benar Mas Dewa sayang padaku? Sayang? Tapi kenapa dia suka sekali membentakku?

"Mas bohong!" kudorong dada kerasnya

"Kok bohong?"

"Mas suka membentakku. Mas suka memarahiku. Itu berarti Mas tidak sayang padaku. Mas menyayangi Rima. Mas tidak pernah memarahinya, selalu lembut dan sabar padanya," aku menyangkal ucapannya. Ya karena itu yang kurasa selama ini.

"Ara, Mas memarahimu itu karena Mas sayang sama kamu-"

"Mana ada sayang kok marah-marah? Bentak-bentak? Yang ada Mas Dewa itu gak sayang! Mas Dewa cuma mau memenuhi kewajiban Mas saja sebagai suami," sambarku cemberut.

Mas Dewa terkekeh, kembali memelukku.

"Maafin Mas ya, Ra. Habisnya kamu suka mancing kemarahan Mas sih. Sudah dikasih tau Mas gak suka kamu dekat-dekat cowok lain, eh malah berduaan dengan Galaksi!"

"Galaksi cuma mau menghiburku, Mas. Dia sahabatku! Kalau aku nggak kesal sama Mas waktu itu, aku juga nggak akan berduaan dengan Galaksi!"

"Kamu kan bisa bilang sama Mas kalau kamu kesal," sahutnya sabar.

Baru kali ini dia sabar begini. Aneh!

"Mana bisa bilang? Mas menakutkan kalau marah," kilahku mencibir.

Mas Dewa tertawa dan mengecupku sekilas.

"Kamu menggemaskan sekali, Ara. Mas jadi pengen ehem-ehemin kamu," ucapnya membuatku membelalak. Apa hubungannya?

"Eh? Apa hubungannya Mas? Mas saja yang mesum!" gerutuku mencoba mengelak dari serbuan bibir Mas Dewa.

Tapi apa daya? Mas Dewa dilawan? Mana bisa? Yang ada aku kalah telak di bawah kungkungan tubuh sebesar kingkong itu!

.

.

.

💟💟💑💟💟

.

.

.

"Mas cinta kamu, Ra."

Mataku terbuka lebar. Kantuk yang tadi menyerangku, menguap entah kemana.

"Eh?" aku menoleh melihatnya tidak percaya.

Mas Dewa tersenyum, mengeratkan pelukannya. Tubuhnya menempel makin lekat padaku. Posisi begini membuatku tidak bisa leluasa bergerak. Mas Dewa memelukku dari belakang. Kakinya mengait kakiku. Tangannya mendekap mengunci pinggang dan perutku, membuat usapan-usapan lembut melingkar-lingkar di perutku.. Punggung telanjangku menempel bak lintah di dadanya.

"Mas! Tangannya jangan kemana-mana!" kupukul pelan tangannya yang merayap naik dan menyentuh dadaku.

"Kenapa sih, Sayang? Ini kan milik Mas," bantahnya tetap meremas gundukan dadaku.

Aku bergerak-gerak gelisah, menahan desahan yang sudah naik ke tenggorokanku.

"Kalau kamu gerak-gerak terus, Mas gak jamin bisa berhenti, Ara," bisiknya menjilat telingaku.

Aku bergidik geli. Sesuatu menusuk punggung bawahku.

"M-mas... aku capek," suaraku tercekat.

Baru saja kami selesai ehem-ehem. Masa Mas Dewa sudah tegang lagi? Eh, tapi mana pernah Mas Dewa mau ehem-ehem sekali? Dasar dosen mesum!

"Mas masih mau lagi, Sayang. Salah kamu selalu menggoda Mas," bisiknya mencubit puncak dadaku.

Aku meringis merasakan sakit dan nikmat bersamaan.
Kenapa jadi aku yang salah?

"Tapi kan tadi baru saja-.... eh... M-massss..... lohh....ihh..." protesku terhenti oleh tangan Mas Dewa yang menarik kakiku ke atas dan menyelinapkan miliknya kembali ke dalamku.

"Hangat, Ra. Kamu punya mantra apa sih sampai bikin Mas ketagihan kamu begini," desisnya mulai menggerakkan pinggulnya.

Aku mendesah merasakan gairah yang dengan cepat merambat naik.

"M-mas..." aku memejamkan mata saat Mas Dewa semakin cepat bergerak.

Sebelah tangan Mas Dewa melingkar di perutku, sebelah lagi terus memainkan bukit dadaku, sementara miliknya makin keras menghunjamku.
Hingga Mas Dewa melenguh kasar ketika ia menghentak kuat dan memelukku erat, menyemburkan aliran hangat di dalamku, membarengiku mengejang mencapai puncak.

Tubuh Mas Dewa merelaks, mengendurkan pelukannya meski tidak melepaskanku sama sekali, bahkan miliknya masih di dalamku.

"Mas cinta kamu, Sayang," Mas Dewa mengecup bahuku,

"Mas serius?" tanyaku meyakinkan diri bahwa Mas Dewa benar-benar mengatakan dengan kesadaran penuh.

"Mas harap kamu segera hamil, Sayang. Agar keluarga kita semakin lengkap dan sempurna," bisiknya menyusurkan tangannya di pinggang dan pinggul telanjangku.

"Tapi aku masih kuliah, Mas," sahutku memejamkan mata kelelahan. Hatiku memuai kerena ada kebahagiaan yang mengalir masuk menyentuh hatiku.

"Tidak apa-apa kan, Sayang?" ia mengecupi bahuku lagi.

"Mas..."

"Hmm?"

"I-itu kenapa masih di situ," bisikku malu merasakan milik Mas Dewa mengganjal di bawah sana.

"Biarkan saja di sana. Dia masih mau di sana. Biar dia istirahat sebentar," Mas Dewa menjilat sepanjang leher hingga telingaku.

"Maksud Mas?"

"Mas masih kangen, Ara."

Mataku membulat ketika rasa mengganjal itu makin menjadi. Milik Mas Dewa perlahan-lahan kembali membesar keras.

ASTAGA! MAS DEWA!

.

.

.

To Be Continued. . . .

.

.

.

Yeaayy.... akhirnya selesai satu part lagi...
Semoga masih pada belum bosan dengan Ara dan Mas Dewa...

Belum puas sama mesumnya Mas Dewa?
Atau sama polosnya Kiara?
Hmm.... atau masih pada kangen sama Rima?

Hihihi....

Makasih karena kalian udah sangat antusias dengan cerita ini.
Makasih juga buat vote dan comment kemarin... luar biasa...

.

Love,
Lianfand 😙




Continue Reading

You'll Also Like

520K 23K 46
WARNING....[21+] Aku tidak bisa membenci mu sebesar Aku mencintaimu... Aku tidak bisa pergi jauh dari mu. Walaupun aku tau . Kamu hanya menjadikan ku...
673K 36.9K 31
[Break] Back in June P.S : konflik ringan jadi bagi yang tidak menyukai masalah yang biasa biasa saja bisa meninggalkan story ini
1M 47.1K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
657K 18.7K 37
WARNING 21+ Arabella seorang mahasiswi cantik yang agak tomboy. Dijebak dalam situasi sulit oleh pengusaha tampan, yang ingin menitipkan benih pada r...