As Always, I Love... (Eternit...

By Nureesh

10.3K 1.5K 114

Stand alone. Tidak perlu membaca buku pertama untuk memulai buku ini. Buku pertama dari seri Eternity adalah... More

Sinopsis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Special Order!

11

344 69 5
By Nureesh


Aku mematikan mesin mobil dan melangkah keluar. Udara pagi menyambut, bersama sinar matahari yang terasa hangat namun tidak menyengat. Kukatakan pada petugas untuk mengisi penuh bahan bakar mobil, lalu membuka tas. Saat itulah, aku menyadari ada sesuatu yang salah.

Dompetku tidak ada.

Aku terus mencari, bahkan mengeluarkan seluruh isi tasku di jok, namun tidak ada. Aku berusaha mengingat kapan terakhir kali menggunakannya. Saat membayar makan siangku di restoran, aku yakin masih menggenggam dompetku. Lalu ketika turun dari taksi, aku menggunakan beberapa pecahan uang dua puluh ribu yang selalu kusimpan di kantong kecil dalam tas. Jadi, dompetku hilang sebelum aku naik taksi.

Dengan hati sibuk mengucapkan sumpah serapah, aku menelepon Rayen yang untungnya langsung diangkat setelah dering pertama.

"Ray, lo di mana?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Masih di apartemen," jawabnya. "Lo sudah berangkat?"

Aku menghela napas lega. "Gue di pom bensin seberang apartemen. Please, ke sini sekarang. Dompet gue hilang. Gue nggak bisa bayar."

"Tunggu sebentar," balas Rayen sebelum memutuskan sambungan.

Tak sampai sepuluh menit kemudian, Rayen sudah berdiri di hadapanku. Dia membayar tagihanku, lalu duduk di kursi pengemudi. Untung saja pagi ini pom bensin tidak terlalu ramai, sehingga aku tidak menciptakan antrean mengular.

"Dompet lo hilang di mana?" tanya Rayen setelah menjalankan mobilku.

"Kalau gue tahu namanya bukan hilang, tapi ketinggalan," jawabku.

"Terus dompet lo isinya apa aja?"

"Semuanya," jawabku lemas. "KTP, SIM, credit card...."

Rayen mendesah. "Kita bolos hari ini. Lo harus bikin surat kehilangan dan—"

Ponselku berdering. Nomornya tidak tercantum di kontak dan aku tidak mengenalinya.

"Halo?" sapaku ragu.

"Lyrra?"

Suara itu sekali lagi membekukanku.

"Jangan ditutup," ucapnya cepat. "Saya dapat nomor ini dari kartu nama di dompet kamu. Bisa kita ketemu?"

Tanpa sadar tanganku mengepal.

"Di mana?" balasku akhirnya.

"Restoran kemarin, satu jam lagi. Bisa?"

Aku mengiakan, lalu memutus sambungan sebelum wanita itu bisa mengatakan hal lain. Kupejamkan mata. Merasa lelah bahkan sebelum benar-benar bertatap muka dengannya.

"Ly? Ada apa?" tanya Rayen.

"Kita nggak perlu bikin surat kehilangan. Dompet gue ketemu," jawabku lemah.

"Bagus dong. Tadi yang telepon orang yang nemuin dompet lo?"

"Ya."

Aku bisa mendengar kebingungan Rayen dengan jelas ketika dia berkata, "Terus kenapa lo lesu gini? Harusnya lo senang, kan? Dompet lo ketemu. Kita jadi nggak perlu repot ngurus apa pun."

Kuhela napas panjang. Tentu saja aku akan senang, jika orang yang menemukan dompetku bukan wanita itu. Wanita yang sudah mengubah hidupku menjadi neraka empat belas tahun yang lalu. Wanita yang mengingkari janji, juga membohongiku. Wanita yang sudah meninggalkanku tanpa penjelasan sedikit pun.

"Ly?" panggil Rayen. "Jadi, kita harus ke mana?"

"De Licious," jawabku lirih, menyebutkan salah satu restoran dekat kantor kami.

Rayen mengemudikan mobil tanpa kata setelahnya.

***

Aku melangkah memasuki restoran dan memandang berkeliling. Berusaha sepenuhnya mengabaikan debar jantungku yang menggila. Aku mulai berpikir keputusanku yang meminta Rayen untuk menunggu di mobil salah. Aku membutuhkan seseorang untuk menemaniku. Namun di sisi lain, aku masih belum siap untuk membagi satu bagian hidupku ini dengan siapa pun, bahkan Rayen yang sudah bersamaku selama belasan tahun.

Kutarik napas dalam-dalam seraya mengelap telapak tangan pada rok yang kugunakan. Setiap kali menghadapi situasi yang tidak bisa kuprediksi atau tidak kuinginkan, telapak tanganku mudah berkeringat. Lalu kulanjutkan langkah menuju sudut restoran yang berada di area merokok.

Apa dia merokok sekarang?

Apa dia pernah memikirkanku sekali saja sejak kepergiannya?

Apa dia hidup dengan lebih bahagia setelah meninggalkan aku dan Ayah?

"Lyrra...."

Ibu berdiri ketika aku sampai di hadapannya. Tanpa kata aku duduk, sama sekali tidak memandang ke arahnya. Dompetku tergeletak di atas meja. Bersama kertas-kertas berisi desain undanganku. Kini aku bisa mengingat dengan lebih jelas. Kemarin, karena panik, tanpa sengaja aku meninggalkan dompet dan kertas-kertas itu. Sungguh bodoh. Seandainya aku lebih hati-hati, aku tidak perlu duduk di sini sekarang.

Duduk bersama masa lalu yang selalu menjadi mimpi burukku.

Setelah lama waktu berlalu, setelah banyak hal buruk kutanggung, setelah aku mampu melanjutkan hidupku ... dia kembali. Dia kembali di hadapanku.

Dia, ibuku. Ibu kandungku. Ibu yang meninggalkanku sendirian, selama empat belas tahun, tanpa pernah mencoba untuk menghubungiku satu kali pun. Ibu yang telah membuangku. Ibu yang tidak menginginkanku.

Ibu....

Ada begitu banyak yang ingin kusuarakan. Kutanyakan. Kuteriakkan. Namun pada kenyataannya, aku hanya terus mematung. Bersamaan dengan itu, ribuan kenangan membanjiriku, menenggelamkanku dalam ombak bernama masa lalu, tanpa ampun. Satu kenangan berhasil menginvasi benakku. Menampilkan gambar sejernih kristal, diikuti pemutaran suara dari suatu malam. Di satu masa ketika aku masih memilikinya dalam hidupku.

***

"Ibu, kenapa Ayah berubah?" tanyaku sebelum Ibu melangkah keluar dari kamar. "Kenapa ... kalian berubah?"

Ayah tak lagi tidur di rumah. Setiap kali pulang, dia pasti bertengkar dengan Ibu. Aku akan duduk di sudut kamar, menangis dalam diam. Memohon agar semuanya hanya sekadar mimpi buruk. Meski pada kenyataannya, mimpi buruk itu adalah hidupku.

Seumur hidup, tidak pernah kulihat kedua orang tuaku bertengkar seperti itu. Pertengkaran yang tidak hanya menghiasi rumah kami dengan teriakan tanpa henti, namun juga mengisi hati kami dengan sayatan perih. Aku tidak pernah benar-benar tahu penyebab mereka menjadi dua orang paling membenci di dunia ini, namun aku hanya ingin mereka berhenti. Aku ingin mereka kembali saling mencintai.

Ibu berbalik, meski tubuhnya tetap berdiri di bingkai pintu kamarku. Kedua matanya menatapku lembut, dengan sebuah senyum penuh pengertian menghiasi bibirnya. Senyum yang membuatku merasa tenang, juga nyaman. Membuatku merasa hal buruk apa pun yang terjadi padaku akan mampu kuhadapi selama aku memiliki Ibu.

"Suatu saat nanti, kamu akan mengerti, Lyrra. Ada banyak luka yang bisa membuat seseorang berubah. Menjadi pribadi yang berbeda, sama sekali bukan dirinya...."

Aku tertegun. "Ayah punya luka?"

Mengangguk, Ibu melanjutkan, "Sama seperti Ibu. Kami saling melukai. Luka bukan sesuatu yang bisa dihindari dari hidup. Setiap manusia yang bernapas pasti akan merasakannya. Tapi ... jangan biarkan luka menenggelamkan kamu, Lyrra. Kamu harus ingat bahwa masih ada banyak orang yang mencintai kamu, yang jauh lebih berharga daripada luka itu. Kamu hanya harus bertahan sedikit lebih lama untuk orang-orang itu. Dan, biarkan waktu yang menyembuhkan luka...."

Tiba-tiba setetes air mata melintasi wajah Ibu. Tanpa perlu dikatakan, aku tahu maksud Ibu. Jangan seperti Ayah dan Ibu. Jangan seperti Ayah dan Ibu yang memendam luka, lalu membiarkan luka itu menenggelamkan mereka. Membuat mereka jauh dari orang-orang yang mencintai mereka. Luka yang pada akhirnya berhasil melukai hati lain di sekitar mereka; aku.

Tanpa berpikir panjang aku bangun dari tempat tidur dan memeluk Ibu. Kubiarkan air mataku mengalir. Mengeluarkan segala sesal, sedih, juga rasa takut yang tak bisa kusuarakan.

"Jangan pergi, Ibu.... Jangan tinggalin aku...." Isakku perih.

Karena sungguh, aku tidak akan mampu bernapas lebih lama lagi jika aku pun kehilangan Ibu.

"Ibu sayang kamu, Lyrra...." Balas Ibu dengan pelukan yang semakin erat. "Ibu nggak akan pernah ninggalin kamu. Nggak akan pernah...."

Kuurai pelukanku untuk menatap wajah Ibu.

"Ibu janji?" bisikku.

Senyum itu kembali menghiasi bibirnya. "Ibu janji."

***

Janji itu dihancurkan oleh dirinya sendiri. Janji semu. Janji yang membuatku terluka semakin dalam. Luka itu juga meninggalkan bekas yang mengerikan. Bekas yang tidak akan pernah bisa kututup, tak peduli seberapa banyak bahagia yang kurasakan. Dia sudah berhasil membuatku selalu meragukan orang-orang di sekitarku. Aku tak henti diikuti ketakutan bahwa orang-orang yang kucintai akan meninggalkanku, sama seperti yang dilakukannya.

"Lyrra."

Panggilan itu memecahkan kebekuanku.

"Lyrra, bagaimana kabar kamu?" tanya Ibu. Suaranya bergetar seakan menahan rindu.

Bohong. Itu bohong. Dia tidak merindukanku. Bagaimana mungkin dia merindukanku, jika sejak awal dia tidak menginginkanku?

Jika sejak awal dia sudah berencana untuk meninggalkanku.

"Lyrra," panggil Ibu. Senyumnya terulas, mencoba meyakinkanku.

Namun pada kenyataannya, senyum itu hanya semakin menyakitiku. Mengingatkanku betapa dulu aku sangat menyayanginya. Betapa aku berharap dapat hidup bersamanya, selamanya.

"Kamu sudah besar, Lyrra. Kamu ... cantik. Yah, kamu selalu cantik. Kamu anak Ibu yang paling cantik," ucap Ibu lirih. "Ibu senang lihat kamu sehat dan ... baik-baik aja—"

"Nggak," selaku dingin. "Aku nggak baik-baik aja. Nggak setelah aku lihat Ibu lagi. Aku nggak baik-baik aja."

"Lyrra—"

"Buat apa Ibu minta aku datang ke sini?" tanyaku. "Aku rasa hidup Ibu nggak kekurangan sekarang. Ibu bisa minta sopir Ibu atau siapa pun buat ngantar dompetku, kan?"

"Ibu ... kangen kamu, Lyrra. Ibu kangen kamu. Sudah bertahun-tahun—"

Aku tersenyum datar. "Empat belas tahun, Bu. Empat belas tahun. Dan, Ibu baru ingat aku sekarang?"

Napas Ibu tercekat. Ekspresi terkejutnya sungguh hebat.

"Ibu selalu ingat kamu, Lyrra," jawab Ibu. "Kamu anak Ibu."

Aku menggeleng.

"Nggak ada Ibu yang tega ninggalin anaknya. Nggak ada...." Kutarik napas. "Nggak ada Ibu yang dengan kejam ngebiarin anaknya hidup sendiri. Nggak ada Ibu yang dengan gampangnya melanggar janji—"

"Ibu nggak ninggalin kamu."

Saat itulah ketenangan semu yang melingkupiku hancur. Segala emosi dalam hatiku tumpah ruah. Membuatku menyuarakan segala kalimat yang kutahan.

"Terus apa yang Ibu lakuin empat belas tahun yang lalu? Apa?!" seruku. "Ibu pergi tanpa penjelasan sedikit pun! Ibu pergi tanpa aku! Apa itu namanya, Bu? Apa?!"

Ibu mulai menangis. Bahunya bergetar karena isak.

"Ibu nggak sanggup, Lyrra.... Ibu nggak sanggup bertahan lebih lama hidup dalam kebohongan," ucap Ibu. "Ayah kamu berbohong, Lyrra—"

"Jangan," potongku tajam. "Jangan coba-coba nyalahin Ayah. Ibu yang pergi. Ibu yang salah. Ibu yang bohong. Ibu nggak pernah niat buat nepatin janji itu, kan? Dari awal, Ibu memang berencana ninggalin aku."

"Ibu nggak pernah ninggalin kamu, Lyrra! Semua ini salah ayah kamu! Dia yang salah! Dia berbohong selama belasan tahun, dia menyakiti Ibu. Dan, dia merebut kamu dari Ibu," balas Ibu.

"Aku nggak hilang ingatan, Bu. Aku ingat dengan jelas hari itu. Hari Ibu pergi tanpa penjelasan sedikit pun—"

"Ibu berencana untuk jemput kamu, Lyrra. Ibu datang lagi. Ibu nggak akan pernah sanggup ninggalin kamu. Tapi ayah kamu nggak ngasih Ibu kesempatan buat ketemu kamu setelah perceraian itu," sela Ibu.

"Berhenti bohong!" seruku. "Bukan Ayah, tapi Ibu. Semua ini salah Ibu. Dan, jangan sebut Ayah lagi, karena dia sudah tenang. Aku nggak pernah ngerasa selega ini setelah kepergian Ayah. Tapi, aku lega sekarang. Karena Ayah nggak perlu lihat Ibu lagi. Nggak perlu ngerasain rasa sakit yang Ibu bawa di hidup kami."

Ibu terhenyak. "Ayah kamu—"

"Ya. Dia meninggal dua minggu yang lalu." Kutatap Ibu dengan jantung yang berdetak semakin cepat. Membuat sesak. Setetes air mata melintasi wajahku.

Sungguh sulit bagiku menerima kenyataan bahwa wanita yang melahirkanku, yang mengajariku dan mengisi hari-hariku, dengan mudah menelantarkanku. Aku memang tidak tahu apa masalah yang sesungguhnya terjadi di antara Ayah dan Ibu, namun haruskah mereka menyakitiku dalam prosesnya? Aku mencintai mereka sama besar. Aku hanya ingin hidup bahagia bersama mereka. Tak pernah sekalipun kukira, keinginan sederhanaku akan berubah menjadi hal paling mustahil untuk diwujudkan.

"Lyrra, maaf," pinta Ibu dengan suara parau. "Maaf karena Ibu nggak berjuang lebih keras buat kamu. Ibu ... nggak berdaya waktu itu. Kamu tahu Ibu yatim piatu. Setelah bercerai dari ayah kamu, Ibu harus menghidupi diri sendiri dan itu bukan kehidupan yang Ibu mau buat kamu. Kamu berhak dapat yang terbaik dan—"

"Dan, setelah hidup Ibu membaik, Ibu tetap nggak mau aku," selaku. "Ibu tetap nggak jemput aku. Apa Ibu tahu? Aku masih berusaha cari Ibu satu tahun setelah perceraian itu, tapi aku nggak tahu Ibu di mana. Nggak ada seorang pun yang bisa aku tanya. Pilihan apa lagi yang tersisa buat aku selain bertahan sama Ayah? Sekarang, berani-beraninya Ibu nyalahin Ayah buat keegoisan Ibu?"

Air mata mengaliri wajahnya, sementara bibirnya berusaha kembali menjelaskan.

"Aku nggak peduli," potongku tajam. "Penjelasan apa pun yang Ibu kasih sekarang sudah nggak penting lagi. Ibu terlambat empat belas tahun buat penjelasan ini."

Tangisku melahirkan isak dan aku membencinya. Aku benci terlihat lemah di hadapan Ibu. Apalagi jika kuingat fakta dia memilih meninggalkanku agar bisa mendapat hidup bahagianya. Bagaimana bisa dia melakukan itu padaku? Mengapa dia tega melakukannya pada darah dagingnya sendiri?

Mata-mata penasaran mulai menoleh ke arah kami. Namun aku tidak peduli. Hatiku terlalu sakit. Kuraih dompet di atas meja dengan cepat, lalu bangkit berdiri.

"Aku harap Ibu bahagia setelah ninggalin aku. Aku harap Ibu nggak hidup dengan mimpi buruk ... seperti aku," ucapku lirih. "Dan, aku harap kita nggak akan pernah ketemu lagi."

***    

Hai hai hai!

Naskah ini masih terombang-ambing di suatu penerbit. Aku sudah ngajuin dari Juli tahun lalu, sudah coba follow up beberapa kali dari bulan Februari kemarin, tapi sampai sekarang belum ada kabar juga *nangis di pojokan* 

Mohon doanya supaya Rayen segera nyusul Fathan ya!

Continue Reading

You'll Also Like

623K 62.3K 31
Pernikahan Rhea dan Starky hanya berlangsung selama tiga tahun. Meskipun mereka telah dikaruniai seorang putra, ternyata Starky belum juga bisa usai...
1.2M 115K 51
[ SEKUEL SHAKA ] Tentang Shaka Tanuwijaya yang kehilangan arah hidupnya. Tentang bagaimana Shaka menjalani hidupnya setelah kehilangan seseorang. Sha...
819K 72.1K 56
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...
322K 18.5K 24
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...