11

342 69 5
                                    


Aku mematikan mesin mobil dan melangkah keluar. Udara pagi menyambut, bersama sinar matahari yang terasa hangat namun tidak menyengat. Kukatakan pada petugas untuk mengisi penuh bahan bakar mobil, lalu membuka tas. Saat itulah, aku menyadari ada sesuatu yang salah.

Dompetku tidak ada.

Aku terus mencari, bahkan mengeluarkan seluruh isi tasku di jok, namun tidak ada. Aku berusaha mengingat kapan terakhir kali menggunakannya. Saat membayar makan siangku di restoran, aku yakin masih menggenggam dompetku. Lalu ketika turun dari taksi, aku menggunakan beberapa pecahan uang dua puluh ribu yang selalu kusimpan di kantong kecil dalam tas. Jadi, dompetku hilang sebelum aku naik taksi.

Dengan hati sibuk mengucapkan sumpah serapah, aku menelepon Rayen yang untungnya langsung diangkat setelah dering pertama.

"Ray, lo di mana?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Masih di apartemen," jawabnya. "Lo sudah berangkat?"

Aku menghela napas lega. "Gue di pom bensin seberang apartemen. Please, ke sini sekarang. Dompet gue hilang. Gue nggak bisa bayar."

"Tunggu sebentar," balas Rayen sebelum memutuskan sambungan.

Tak sampai sepuluh menit kemudian, Rayen sudah berdiri di hadapanku. Dia membayar tagihanku, lalu duduk di kursi pengemudi. Untung saja pagi ini pom bensin tidak terlalu ramai, sehingga aku tidak menciptakan antrean mengular.

"Dompet lo hilang di mana?" tanya Rayen setelah menjalankan mobilku.

"Kalau gue tahu namanya bukan hilang, tapi ketinggalan," jawabku.

"Terus dompet lo isinya apa aja?"

"Semuanya," jawabku lemas. "KTP, SIM, credit card...."

Rayen mendesah. "Kita bolos hari ini. Lo harus bikin surat kehilangan dan—"

Ponselku berdering. Nomornya tidak tercantum di kontak dan aku tidak mengenalinya.

"Halo?" sapaku ragu.

"Lyrra?"

Suara itu sekali lagi membekukanku.

"Jangan ditutup," ucapnya cepat. "Saya dapat nomor ini dari kartu nama di dompet kamu. Bisa kita ketemu?"

Tanpa sadar tanganku mengepal.

"Di mana?" balasku akhirnya.

"Restoran kemarin, satu jam lagi. Bisa?"

Aku mengiakan, lalu memutus sambungan sebelum wanita itu bisa mengatakan hal lain. Kupejamkan mata. Merasa lelah bahkan sebelum benar-benar bertatap muka dengannya.

"Ly? Ada apa?" tanya Rayen.

"Kita nggak perlu bikin surat kehilangan. Dompet gue ketemu," jawabku lemah.

"Bagus dong. Tadi yang telepon orang yang nemuin dompet lo?"

"Ya."

Aku bisa mendengar kebingungan Rayen dengan jelas ketika dia berkata, "Terus kenapa lo lesu gini? Harusnya lo senang, kan? Dompet lo ketemu. Kita jadi nggak perlu repot ngurus apa pun."

Kuhela napas panjang. Tentu saja aku akan senang, jika orang yang menemukan dompetku bukan wanita itu. Wanita yang sudah mengubah hidupku menjadi neraka empat belas tahun yang lalu. Wanita yang mengingkari janji, juga membohongiku. Wanita yang sudah meninggalkanku tanpa penjelasan sedikit pun.

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang