8

363 76 4
                                    


Tiga jam kemudian aku berjalan memasuki restoran. Kalimat sapaan bernada lantang yang berasal dari Anggit menyambutku. "Ly! Kenapa lo tambah kurus?!"

Beberapa pengunjung restoran yang duduk di sekitar kami menolehkan kepala. Mungkin terkejut mendengar suara sahabatku yang bisa mengalahkan petir itu.

Aku tersenyum, lalu mengulurkan tangan dan memeluknya erat.

"Gue nggak tambah kurus. Lo yang tambah gendut," balasku.

Anggit tertawa, membalas pelukanku sama erat. Dia tahu aku hanya bercanda. Anggit adalah salah satu gadis paling beruntung di dunia ini, karena tidak peduli seberapa banyak dia makan—dan porsi makannya memang banyak—tubuhnya tidak pernah terlihat gemuk.

Aku dan Anggit bertemu di kantin pada awal masa kuliah. Dia lebih tua satu tahun dariku dan mengambil jurusan Desain Grafis. Suatu hari tanpa sengaja aku menumpahkan minuman di atas kertas-kertas yang merupakan tugas pentingnya. Alih-alih marah, Anggit justru tertawa. Hampir mencapai histeria. Membuatku benar-benar bingung dan ketakutan setengah mati.

"Tugas itu memang nyiksa! Untung lo siram, kalau nggak pasti gue bakar tuh kertas-kertas!" kata Anggit pada saat itu.

Aku menyuarakan permintaan maaf, namun Anggit mengibaskan tangannya tidak peduli. Aku yang masih merasa bersalah terus meminta maaf, hingga akhirnya Anggit memintaku untuk menemaninya mengerjakan tugas itu. Aku pun menuruti permintaannya dan selama dua jam kami bersama, tugas itu tetap tidak selesai karena kami sibuk mengobrol. Kini, dua belas tahun setelah hari itu, aku sudah menjadi arsitek dan Anggit bekerja sebagai ilustrator di salah satu penerbit buku terbesar Indonesia.

"Lo nunggu lama ya?" tanyaku seraya menjatuhkan diri di kursi yang berada di hadapan Anggit.

Menggeleng, sahabatku itu menjawab, "Sudah biasa. Lo sendirian?"

"Rayen lagi ada kerjaan penting. Nggak bisa ninggalin kantor."

Hening.

"Apa?" tanyaku tidak mengerti.

"Padahal gue nanya tunangan lo. Kenapa lo malah jelasin Rayen?" balas Anggit.

Aku mengerjap.

"Gue mau pesan kopi," ucapku cepat. Aku menunjuk gelas Anggit. "Lo mau nambah?"

Sahabatku menggeleng, lalu aku memanggil pelayan dan memesan kopi hitam kesukaanku.

"Irene bilang kita harus Girl's Night karena lo sudah masuk kerja lagi," kata Anggit begitu pelayan pergi membawa pesananku. "Dia juga sebenarnya mau ikut lunch tadi, tapi nggak bisa ninggalin toko karena ada pegawainya yang sakit."

"Nanti kalian atur aja, gue tinggal ikut," sahutku.

Anggit mengeluarkan berbagai kertas berisi desain untuk undangan pernikahan. Kami mulai terlibat diskusi mengenai warna, pola, bahkan font yang digunakan. Aku memang khusus meminta bantuan Anggit untuk mendesain undangan. Dia sangat mengerti seleraku dan yang paling penting, selalu sabar menghadapi segala protes dariku.

"Gue bawa dulu ya? Nanti malam Juan ke apartemen gue. Biar dia milih juga," ucapku.

"Kabarin aja kalau lo sudah milih nanti. Revisi pun boleh," balas Anggit. Dia mulai membereskan barang-barangnya.

"Lo langsung balik ke kantor?" tanyaku.

"Nggak. Gue sengaja hari ini ngantor setengah hari, mau pulang ke rumah. Nyokap bawel banget, telepon terus dari minggu kemarin," jawab Anggit.

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang