1

1.1K 92 3
                                    


Rayen tidak ada di apartemennya.

Menghela napas, aku melangkah mundur hingga tubuhku menyentuh pintu apartemen di belakang. Apartemenku. Alih-alih masuk ke dalam, aku justru menurunkan tubuh hingga duduk di lantai. Kupandangi pintu di seberang tanpa fokus, sementara ingatanku berlari pada kejadian semalam. Aku larut dalam lamunan.

Hanya ada satu pertanyaan yang menguasai benakku di tengah suara riuh tepuk tangan. Apa yang baru saja kukatakan?

Mengerjap, aku melayangkan pandangan pada Rayen. Sama seperti orang-orang di sekitarku, dia pun bertepuk tangan. Di tengah gemuruh sorak juga tawa, aku mencoba membaca ekspresi wajahnya. Namun senyum di bibirnya menutupi perasaan apa pun yang mungkin dia miliki. Hanya ada wajah bahagia.

Dia bahagia untukku karena aku menerima lamaran kekasihku.

Dan, aku mendapat jawaban atas pertanyaanku. Aku baru saja berkata ya untuk pria yang mengucapkan kata cinta padaku lebih dari satu tahun lalu. Pria yang memberiku pelukan menenangkan. Pria yang mampu menerima kehadiran Rayen sebagai sahabatku. Juga pria yang menawarkan sebuah hidup baru untukku. Masa depan untuk kami.

"Lyrra," panggil Juan dengan satu tangan menyentuh pipiku. "Terima kasih."

Bibirku mengulas senyum, sementara tubuhku menerima pelukan yang diberikan olehnya. Kuredam jerit dan godaan dari teman-teman kami, lebih memilih meresapi detak jantung Juan. Degupnya sangat cepat. Mungkin jantungku juga berdetak secepat itu.

"Kamu nggak bisa ya, nunggu sampai semua orang pulang?" bisikku kemudian.

Juan tertawa, melepas pelukannya, lalu mengecup keningku. Membuat sorakan semakin keras. Mendatangkan kalimat-kalimat menggoda. Aku mengabaikan kehebohan di sekitar, meski tetap saja wajahku terasa memanas. Telapak tanganku bahkan sudah berkeringat.

"Aku nggak mungkin ngelewatin kesempatan buat ngumumin ke seluruh dunia kalau kamu calon istriku sekarang," jawab Juan dengan satu kedipan mata.

Aku membalas dengan tawa. "Kamu ternyata bisa norak juga ya?"

"Cuma sama kamu kok," jawabnya kalem.

Setelah itu, acara ulang tahun Juan pun berubah menjadi acara pertunangan kami. Orang-orang mengucapkan selamat, juga mendoakan agar pernikahan kami lancar. Aku menyambut setiap ucapan dan doa itu dengan senyum lebar, juga kata terima kasih.

"Ly! Lo bakal married!"

Jeritan itu disusul pelukan erat. Anggit, sahabatku sejak kuliah, memang tidak mengenal kata pelan. Suaranya selalu saja lantang.

"Congrats, Lyrra! Gue sama Anggit bakal bantu lo sampai hari H demi menghindari kemungkinan lo berubah jadi bridezilla!" Irene menimpali tak kalah ceria. Dia memelukku dan Anggit sekaligus.

Beberapa detik kemudian, dua sahabatku itu melangkah mundur. Membiarkan seseorang maju dan mengganti tempat mereka.

Rayen.

Dia mengulurkan tangan pada Juan dan berkata, "Semoga lo dikasih kesabaran yang banyak buat ngurusin anak manja satu ini."

"Rayen!" protesku.

Juan menyambut uluran tangan Rayen. Mereka tertawa bersama.

"Gue harus berterima kasih sama lo," ucap Juan pada Rayen. "Karena lo sakit waktu itu, Lyrra nekat pergi keluar meskipun hujan, nabrak gue di depan apotek, dan yah ... klisenya kita hari itu bawa kita ke hari ini. Seandainya lo nggak sakit, mungkin gue nggak akan pernah ketemu Lyrra."

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang