13

256 51 2
                                    

Aku sedang menyesap kopi ketika bel apartemen berbunyi. Kulangkahkan kaki menuju pintu sambil melirik jam dinding berwarna merah di ruang tamu yang menunjukkan pukul enam kurang sepuluh.

Siapa yang bertamu di waktu sepagi ini pada hari Minggu?

Begitu pintu terbuka, aku menghela napas. Tentu saja. Hanya ada satu orang yang mungkin bertamu sebelum jam enam pada pagi hari.

"Apa?" tanyaku tak ramah.

"Gadget free day," jawab Rayen seraya melangkah masuk ke dalam apartemenku.

Gadget free day adalah rutinitas khusus yang kami miliki sejak beberapa tahun lalu. Ketika bersama dan salah satu dari kami mengumumkan kata itu, berarti tidak ada yang boleh memegang ponsel hingga kami berpisah. Kami tidak pernah mengucapkannya secara langsung, namun rutinitas ini adalah cara kami untuk menghilangkan stres. Hanya ada kami berdua. Sederhana, apa adanya, tanpa dunia yang diselimuti permasalahan.

Aku mengikuti Rayen berjalan ke dapur. Tanpa ragu dia meraih gelas kopiku, lalu menyesap isinya.

"Pahit banget," komentarnya seraya meraih gula dan menuangkannya dengan begitu banyak ke dalam gelasku.

"Rayendra Kendavaz! Itu kopi gue!" jeritku gemas.

"Jadi punya gue setelah gue minum," sahutnya ringan.

Aku menghela napas kesal, lalu meraih gelas lain dan mengisinya dengan kopi yang masih tersisa dari mesin kopi.

"Sini, gue tambah gula," kata Rayen dengan tangan terulur. "Atau mau susu sekalian?"

Kupeluk gelas erat-erat.

"Jangan rusak mood gue kalau lo masih mau punya rambut besok," ancamku.

"Gue heran kenapa lo suka banget kopi pahit," ucap Rayen seraya membuka lemari es dan meraih jeruk. Berbeda denganku yang berantakan dan masih mengenakan piama, Rayen sudah terlihat segar dengan rambut setengah basah. Sahabatku itu mungkin menyebalkan, namun untuk urusan kebersihan, dia tidak pernah sembarangan.

"Gue lebih heran lagi ada orang yang suka minum kopi sambil makan jeruk," sahutku.

Rayen duduk di kursi pantry. Sibuk mengunyah jeruk.

"Dan, gue heran lebih dari heran," balas Rayen. "Kenapa orang yang nggak suka jeruk punya jeruk di kulkasnya?"

Aku memutar mata. Rayen tahu satu-satunya alasanku memiliki jeruk di lemari es adalah karena dia menyukainya. Aku menyediakan buah itu untuknya.

"Mau?" tawarnya padaku.

Langsung kujawab dengan satu gelengan kepala.

Sejujurnya, kami berdua adalah dua orang yang benar-benar bertolak belakang. Rayen suka kopi manis, aku suka kopi pahit. Rayen suka buah jeruk, aku tidak suka. Rayen suka mendengarkan musik, aku lebih suka menonton film—selain horor tentunya. Dan, masih banyak contoh lainnya. Entah bagaimana kami bisa bersahabat sampai sekarang.

"Juan yang nyuruh lo ke sini?" tanyaku. "Buat jadi baby sitter gue?"

Karena seorang Rayendra Kendavaz hampir tidak pernah menghabiskan akhir pekan dengan mengurung diri di dalam rumah. Tidak, itu sama sekali bukan gayanya. Jika tidak pergi bersama salah satu dari sekian banyak gadis yang hanya dia akui sebagai teman, biasanya Rayen pergi olahraga.

Sahabatku menjawab dengan senyum miring di wajahnya. "Sejak kapan gue mau disuruh-suruh?"

Aku mendengus. Pertanyaan retoris, karena jawabannya sudah jelas tidak ada. Rayen bukan tipe orang yang mau mengikuti permintaan orang lain. Dia memiliki agendanya sendiri dan tidak ada seorang pun yang bisa mengaturnya.

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang