2

480 82 4
                                    


Aku menemukan Juan dan Ayah di kebun belakang. Mereka berdua duduk berhadapan dengan gelas-gelas yang kuyakin tak tersentuh isinya. Kuhentikan langkah tepat di pintu, menyadari bahwa dua pria berbeda usia itu sedang terlibat pembicaraan serius hingga tidak menoleh karena kehadiranku. Aku pun tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan dengan jelas, namun sebuah memori menyelinap ke benakku.

Membawaku pada hari aku bertemu dengan Juan.

***

Hari itu Rayen terkena flu. Dia bahkan tidak bisa turun dari tempat tidur. Kepalanya pusing, tubuhnya demam, dan tenggorokannya sakit. Setiap musim penghujan datang, penyakit itu memang teman setia Rayen.

Saat itu, aku tidak bisa menghubungi dokter yang biasanya datang memeriksa Rayen—sahabatku tidak akan mau menginjakkan kaki di rumah sakit dalam keadaan sadar—maka satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah berlari ke apotek untuk membeli obat. Karena terburu-buru, aku menabrak Juan di pintu masuk. Ponsel yang digenggam Juan jatuh tanpa hambatan ke aspal yang keras, disusul guyuran air hujan yang turun dengan deras. Merasa tidak enak, aku pun bersikeras untuk mengganti biaya perbaikan ponselnya atau bahkan menggantinya dengan yang baru. Aku memberikan kartu namaku dan kami berpisah.

Sampai satu minggu setelahnya, Juan tidak menghubungiku. Aku berpikir, mungkin dia benar-benar tidak ingin berurusan denganku lagi. Namun menjelang akhir minggu, aku justru bertemu dengan Juan di sebuah restoran.

"Lho, kamu?" gumamku terkejut.

Juan tersenyum. "Waktu kamu masuk tadi, saya pikir salah lihat. Tapi, ternyata memang benar kamu. Apa kabar?"

"Saya tunggu telepon dari kamu," sahutku tanpa menjawab pertanyaannya. "Kamu tahu nggak, saya justru makin ngerasa bersalah karena kamu nggak minta ganti rugi."

Senyumnya sama sekali tidak luntur ketika dia membalas, "HP saya baik-baik aja. Water resistant. Jatuhnya juga bukan dari lantai tiga, so let's just say all is fine."

Aku menatapnya sangsi.

"Omong-omong, kamu sendiri?" tanyanya kemudian.

Sambil mengangkat bahu, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. Sesungguhnya aku tidak berniat mencoba restoran baru ini sendiri, tapi Rayen yang seharusnya menemaniku justru membatalkan janji di detik terakhir. Dan, malang sungguh tak bisa ditolak, restoran itu penuh.

Belum sempat aku memutuskan untuk pergi, Juan memanduku ke salah satu meja di sudut restoran yang sudah memiliki tanda "Reserved".

"Memang boleh kita duduk di sini?" tanyaku bingung.

Juan mengangguk. "Saya tinggal minta meja lain buat tamu yang mejanya kita pakai ini."

Kebingunganku makin menjadi. "Kamu bisa ngelakuin itu?"

Tidak ada jawaban. Masih senyum tipis yang tersungging di wajah tampan Juan. Dia pun memanggil pelayan dan kami memesan makanan. Setelah berbincang selama satu jam, barulah Juan mengakui bahwa dia bukan sekadar pegawai. Restoran itu miliknya. Pantas saja dia tidak membutuhkanku untuk membelikannya ponsel baru.

Di tengah obrolan mengenai jenis pasta yang kami sukai, Juan bertanya, "Boleh saya tahu makanan apa yang menurut kamu paling enak di dunia?"

Aku mengerjap. Terdiam sesaat.

"Makanan yang nggak perlu saya masak sendiri," jawabku bercanda.

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang