4

399 81 2
                                    


"Ly, gue lupa, bayinya Hana cewek apa cowok?"

Pertanyaan dari Rayen itu membuatku tertawa. Sudah lima menit kami memutari toko perlengkapan bayi dan dia baru menanyakannya.

"Gue kira lo sibuk nunjukin barang-barang warna biru dari tadi karena tahu bayinya Hana cowok," jawabku.

Sahabatku itu mengerjap, lalu terkekeh dengan ekspresi bangga. "Jadi, benar kan tebakan gue? Habis si Hana pas hamil jelek banget. Kata nyokap gue, kalau ibunya pas hamil jelek berarti anaknya cowok."

Aku menepuk bibir Rayen. "Sembarangan aja kalau ngomong."

Dengan cepat Rayen balas menepuk bibirku. "Kan ketularan lo."

Untungnya, sebelum kami benar-benar bertengkar, seorang pegawai toko mendekati kami.

"Ada yang bisa saya bantu?" sapanya ramah dengan senyum tipis.

Aku baru akan menjawab ketika Rayen menyela, "Jaket buat bayi cowok di mana ya, Mbak?"

Pegawai itu membawa kami ke barisan baju-baju mungil yang tergantung dan memenuhi dinding bagian belakang. Aku hampir memekik demi melihat betapa menggemaskan baju-baju bayi itu. Satu hal yang kusukai dari Rayen, dia tidak pernah memaksaku untuk segera memilih ketika berbelanja. Dengan sabar dia akan menunggu, bahkan tak segan memberi pendapatnya. Mungkin karena terbiasa harus menemani ibu dan kakak perempuannya belanja, dia jadi terlatih. Namun pada dasarnya Rayen memang orang yang menyenangkan, terbukti dari temannya yang banyak dan dari segala usia.

"Yang mana, Ly?" tanya Rayen seraya memperlihatkan padaku dua jaket. Yang satu berwarna biru, sementara yang lain cokelat muda.

"Cokelat," jawabku langsung. "Sekalian kaus kali ya, Ray? Lihat ini, gambarnya gajah lucu banget."

Rayen melirik kaus yang kupegang, lalu mengangguk. "Yang mana lagi?"

"Sudah berapa bulan, Bu?"

Pertanyaan itu membuatku berhenti memilih dan menoleh. Pegawai toko yang menurut name tag-nya bernama April tersenyum, membuat lesung di kedua pipinya terlihat jelas. Jika dilihat dari wajahnya, kemungkinan besar usianya berada di atasku.

"Maaf?" balasku tak paham.

"Kandungannya sudah berapa bulan?" ulangnya. "Karena pilih baju dan jaketnya khusus laki-laki, berarti sudah USG dan jenis kelaminnya terlihat jelas ya? Beruntung sekali. Dulu saya baru tahu setelah anak saya lahir, soalnya setiap diperiksa selalu tertutup kakinya."

Aku terperangah, lalu menatap Rayen dengan mata melebar. Anehnya, sahabatku itu tidak bereaksi. Dia balas menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan, justru cenderung kosong. Seakan fokusnya tidak ada di sana.

"I-ini...." Aku tertawa gugup. "Ini bukan buat saya. Saya nggak hamil. Dan, dia bukan suami saya."

"Oh!" Ekspresi terkejut menguasai wajah April. "Maaf, saya kira kalian sudah menikah. Karena terlihat serasi dan romantis."

Kali ini aku tidak repot-repot membalas. Romantis dari segi apa? Dia bahkan menghampiri kami setelah kami saling menepuk bibir masing-masing dengan ganas. Sama sekali tidak manis, apalagi romantis. Sungguh, aku dan Rayen selalu terlihat konyol karena kami tidak pernah malu berdebat di muka umum.

Beberapa saat kemudian, aku dan Rayen melangkah keluar dari toko perlengkapan bayi. Sahabatku itu masih diam seribu bahasa, membuatku dengan tak sabar menyikut perutnya.

"Lo kok bengong?" tanyaku. "Lapar ya, makanya pasang tampang bego? Tapi memang sempat kalau mau makan dulu? Filmnya lima belas menit lagi, kan?"

Rayen menggeleng. "Nggak lapar. Ayo, langsung ke atas aja."

Meskipun sahabatku itu mengaku tidak lapar, aku tetap membeli popcorn berukuran besar. Dulu, awal aku mengenal Rayen, dia selalu menghabiskan makanan apa pun yang kumiliki hingga saat ini aku terbiasa membeli dalam jumlah lebih. Untung saja penampungan dalam perut sahabatku itu besar, jadi aku tidak perlu khawatir membuang makanan.

"Gila, ini kok ramai ya?" gumamku begitu duduk di kursi tengah dekat tangga. Aku dan Rayen memang anti menonton dari kursi terlalu atas, terlalu bawah, atau terlalu pojok. "Senin lho ini. Filmnya segitu heboh?"

Rayen meraup segenggam popcorn, kemudian berkata, "Ide ceritanya menarik sih, sutradaranya juga sudah bikin beberapa film keren sebelumnya. Jelas lumayan hype. Lagian filmnya sudah mulai tayang dari akhir minggu lalu. Lo sih nggak mau gue ajak nonton midnight."

Aku mencibir. Di mana ada orang waras yang tidak suka film horor namun bersedia menontonnya pada tengah malam? Akhirnya aku memusatkan perhatian untuk memakan popcorn sebelum sahabatku menghabiskan semuanya. Lagi pula begitu film dimulai, aku punya firasat tidak akan terlalu berselera untuk mengunyah camilan.

"Kenapa lo nggak ajak pacar baru lo?" tanyaku kemudian. Trailer film-film yang akan datang sedang tayang di layar. "Siapa ya? Anita, bukan? Anak finance yang baru itu?"

Rayen menjawab, "Kapan gue punya pacar?"

Aku mencubit lengannya. "Lo kan pulang bareng dia terus beberapa minggu kemarin. Jangan PHP-in anak orang mulu sih, nanti kena karma, lho."

"Sudah kena kok," sahutnya santai. "Lagian gue nggak PHP. Dari awal gue sudah bilang sama dia, kita nggak akan lebih dari sekadar teman jalan. Kalau dia baper, ya bukan salah gue."

Kutatap wajah sahabatku yang kini diterangi cahaya dari layar. Sepak terjang Rayen sebagai pria tanpa komitmen memang cukup terkenal di kantor. Tidak sampai membuatnya dicap pria brengsek, karena dia memang selalu menerangkan pada gadis-gadis itu bahwa dia tidak menginginkan hubungan serius, jadi aku pun tidak pernah ikut campur. Sungguh, itu haknya. Namun dengan ulang tahun ke-30 kami yang semakin dekat, ibu Rayen sering mengeluh padaku. Beliau meminta agar aku menasihati anak laki-lakinya, tidak ingin Rayen menghabiskan hidup hanya dengan bermain-main.

"Lo masih nggak bisa move on dari Natalia?"

Begitu nama itu kusuarakan, Rayen berhenti mengunyah. Dia menatapku tanpa jeda. Bukan berarti aku senang mengungkit nama itu, namun aku harus tahu akar permasalahan keengganan sahabatku untuk menjalin hubungan serius sebelum bisa membantunya.

"Ray?" panggilku.

"Mind your own bussiness, Ly," sahutnya datar. Raut wajahnya mengeras. "Cuma karena lo bakal nikah, bukan berarti gue harus buru-buru ngikutin jejak lo. Apa yang lo anggap baik, belum tentu baik buat orang lain. Jangan egois."

Aku terhenyak. Ada sesuatu yang terasa menohok hatiku. Akhirnya kami pun diam. Film dimulai dan Rayen sama sekali tidak mengacuhkanku. Tepat saat perih di mataku mulai tak tertahan dan akan menggulirkan air mata, Rayen menyandarkan kepalanya pada bahuku.

"I'm sorry. Really sorry," ucapnya pelan, namun jelas. "Gue tahu lo ngomong gitu karena peduli. Maaf sudah kasar tadi. Jangan nangis ya. Harusnya lo tabok aja gue. Lebih baik gue kena pukul daripada harus bikin lo nangis."

Setetes air mata tetap mengalir di wajahku, namun Rayen tidak tahu bahwa alasannya sama sekali berbeda dari yang diduganya.

"Ly? Sudah dong, jangan nangis," bujuknya seraya menangkup wajahku.

Aku menepis tangannya dan meraup popcorn, lalu menimpuknya. "Sebelum keluar, lo harus beresin yang berceceran di lantai."

Meski mengerang, Rayen tidak protes lebih lanjut. Dia tahu itu hukuman untuknya. Aku pun tersenyum, lalu meletakkan kepalaku di bahunya. Bersama Rayen memang menyenangkan dan semudah bernapas, namun ada kalanya begitu berat dan terasa menyesakkan.

Saat ini adalah salah satunya.

***

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang