6

400 81 9
                                    


Aku benci pemakaman. Alasan utamanya sederhana; karena di pemakaman ada terlalu banyak air mata.

Aku sudah berteman baik dengan tangis sejak orang terpenting dalam hidupku pergi belasan tahun lalu. Aku tahu betapa besar sesak yang mengiringi tetesan air itu. Sungguh tahu. Meski tahu, bukan berarti aku terbiasa.

Ketika makam Ayah sudah tertutup sempurna, mereka mulai memelukku dan mengucapkan belasungkawa. Tubuhku menjerit, memintaku untuk berkata tidak. Ayahku seharusnya masih ada. Ayahku tidak mungkin tega membiarkanku sendirian. Namun nyatanya aku tetap diam. Hanya membiarkan air mataku menetes perlahan, tanpa suara.

Ayahku sudah tiada.

"Lyrra?"

Panggilan dari suara lembut itu membuatku mendongak. Di hadapanku berdiri Tante Nia. Wajahnya sembab. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa perasaannya, ditinggal pergi oleh suami untuk yang kedua kali. Namun aku tidak bisa membantunya, karena rasa sesak di dadaku saja tetap tidak bisa kuenyahkan.

"Ayah kamu...." Setetes air mata mengaliri wajah Tante Nia. "Semalam sebelum tidur, Ayah kamu minta supaya saya ngasih ini ke kamu."

Aku menerima kotak yang diulurkan Tante Nia. Kotak itu berwarna cokelat, ukurannya sedikit lebih kecil dari kotak sepatu. Aku tidak bisa menebak isinya, karena beratnya sama sekali tidak memberi petunjuk. Atau bisa dikatakan hampir tidak ada beratnya.

"Saya nggak tahu bahwa ini permintaan terakhirnya," bisik Tante Nia. "Dia baik-baik aja semalam. Tapi pagi ini waktu saya coba bangunin ... ayah kamu...."

Tangis Tante Nia tidak terbendung lagi. Dia terisak-isak dengan suara yang menyayat.

"Saya nggak tahu apa isi kotak itu. Tapi, saya berharap kotak itu bisa bantu kamu melewati semua ini, Lyrra."

Aku menatap Tante Nia, berusaha untuk mengatakan sesuatu, namun tidak ada suara yang keluar. Lalu tanpa kusangka, Tante Nia tersenyum. Tentu saja senyumnya itu sangat menyedihkan. Dukanya sama sekali tidak tersembunyikan.

"Saya cuma mau kamu tahu, kamu tetap anak saya," ucap Tante Nia. "Kapan pun kamu mau, kamu bisa pulang. Rumah itu tetap rumah kamu."

Setelah itu Tante Nia pergi. Meninggalkanku yang sekali lagi menangis di pelukan Juan. Menangisi kepergian ayahku. Menangisi ketidakmampuanku untuk melepaskan masa lalu. Juga menangisi hatiku. Karena aku tetap tidak tahu ke mana harus pulang.

Aku kehilangan satu-satunya orang tuaku, tempatku untuk pulang, selamanya.

***

Sepi menyelimuti kamarku yang bernuansa biru. Jam menunjukkan pukul dua dini hari, namun aku masih tidak bisa memejamkan mata. Aku sudah berhenti menangis sejak tadi sore. Aku ... entahlah. Seperti ada satu bagian yang hilang dari tubuhku. Meninggalkanku dengan kekosongan. Membuatku tidak utuh.

Ponselku berdering. Sejak mendengar berita kepergian Ayah, aku masih menggunakan mode yang sama. Jadi, yang meneleponku saat ini pasti Rayen.

"Halo?" sapaku.

"Nggak bisa tidur?" balasnya dari ujung sambungan.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Hm."

Hening sesaat.

"Mau gue temenin?" tawarnya. "Tengah malam gini jalanan pasti nggak macet, gue bisa sampai di apartemen dalam waktu kurang dari setengah jam."

Betapa ingin aku menjawab ya. Sungguh ingin menjerit bahwa aku membutuhkannya. Namun aku tidak bisa melakukannya. Aku akan menjadi sangat egois jika aku meminta Rayen menemaniku malam ini. Ada seseorang yang lebih membutuhkannya dibanding diriku.

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang