21

635 72 5
                                    

Tubuhku terasa hangat. Terlalu nyaman. Aku beringsut semakin dekat, mendesah ketika sebuah pemikiran melintasi benakku.

Rumah. Aku menemukan rumah.

Sebuah sentuhan lembut di pipiku membuat kesadaranku terkumpul. Sentuhan itu bergerak lembut, nyaris seringan bulu. Menyusuri tulang pipiku, turun ke rahang, lalu berhenti di bibirku. Perlahan, kabut kantuk yang menyelimutiku pergi. Kedua mataku terbuka, hanya untuk menemukan sepasang mata hitam sedang menatapku lekat.

Rayen.

Aku berada dalam pelukannya.

Kami bertatapan begitu lama. Aku tidak tahu persis apa yang kami cari, namun tidak ada satu pun dari kami yang bergerak menjauh. Aku tidak mundur, begitu juga Rayen. Satu lengannya memelukku erat, sementara yang lain menyentuh wajahku.

"Lo ingat film The Vow?" tanya Rayen lirih.

Tentu aku ingat. Film itu adalah salah satu film paling romantis yang dimainkan oleh Channing Tatum. Karakter yang dimainkannya berjuang keras untuk membuat istrinya—yang menderita amnesia karena kecelakaan—mengingat kembali cinta mereka. Aku bahkan tidak bisa berhenti menangis selama menonton film itu, fakta yang selalu digunakan Rayen untuk mengejekku hingga berbulan-bulan setelahnya.

"Gue sering berharap ingatan gue juga hilang," ucap Rayen kemudian. "Amnesia parsial atau seluruhnya, gue nggak peduli. Gue cuma mau berhenti. Gue nggak mau ingat apa pun lagi. Terutama tentang lo."

Aku terpaku. Mataku nanar menatap Rayen yang masih sibuk menelusuri wajahku dengan ujung jemarinya.

"Tapi akhirnya gue sadar, harapan itu sia-sia. Bukan karena gue nggak mungkin amnesia, tapi karena gue tahu gue nggak akan pernah bisa lupain lo. Perasaan yang gue punya ini ... sekalipun gue amnesia dan nggak ingat apa pun, gue yakin perasaan gue nggak akan hilang. Mustahil hilang. Gue bakal tetap ngerasain ini," lanjut Rayen dengan suara tersiksa.

Rayen tidak bahagia. Aku membuatnya tidak bahagia.

"Ray—"

"Gue nggak akan lupa," bisik Rayen. "Gue nggak bisa lupa...."

Lalu kepala Rayen menunduk.

Dan, bibirnya menyentuh bibirku.

Selama sesaat, aku lumpuh. Sungguh tidak mampu melakukan apa pun. Karena bagaimana bisa aku menjauh dari satu-satunya hal yang selama ini aku mimpikan dalam tidur? Aku jeritkan dalam hati?

Satu-satunya hal yang kuinginkan, namun tak kan pernah kumiliki.

Tanganku menyentuh dada Rayen dan kupaksa tubuhku untuk menjauh. Bibir kami terpisah. Meskipun hanya sentuhan ringan, napas kami berkejaran. Tanpa membuang waktu aku beringsut keluar dari tenda. Mencoba menormalkan laju pernapasanku.

Rayen ikut keluar dan menarik tanganku.

"Lyrra—"

"Stop," selaku tegas. "Anggap aja kejadian ini nggak pernah ada. Kita harus ke kantor. Gue nggak mau telat."

Rayen menyentak tanganku hingga aku kembali menatapnya.

"Kejadian ini ada, Lyrra. Gue cium lo dan—"

"Berhenti!!!"

"Lo yang harus berhenti!" balas Rayen. "Lo harus berhenti bohong! Apa lo nggak sadar semua kebohongan ini sia-sia? Hati kita nggak bisa bohong!"

Kutatap Rayen penuh amarah.

"Hati? Hati siapa, Ray? Kita? Cuma gue! Lo nggak pernah cinta gue! Lo tertekan dan gue adalah pelarian, itu kan yang lo bilang dulu? Dan, sekarang ... setelah hidup gue sempurna, lo mau gue ngebuang semuanya gitu aja?"

Rayen tidak menjawab. Kugunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan segalanya. Setiap jerit yang kutahan selama bertahun-tahun. Setiap doa yang tidak pernah terkabul. Juga setiap tetes air mata yang kutahan sepanjang waktu.

Dan, kubawa Rayen pada kejadian sepuluh tahun yang lalu....

***

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang