15

223 54 0
                                    

"Ly!"

Seruan itu menarikku kembali dari kenangan.

"Apa sih teriak-teriak?" protesku pada Rayen yang duduk di hadapanku.

"Lo nge-zone lama banget. Gue takut lo kesurupan," jawab Rayen dengan dua alis terangkat tinggi. "Mikirin apa, sih?"

Aku menggeleng.

"Mikirin yang aneh-aneh, kan? Dari muka lo kelihatan banget," kejarnya dengan mata menyipit.

"Ih, memangnya gue kayak lo yang otaknya nggak punya saringan," balasku sebal.

Rayen tertawa.

Kuraih kulit jeruk yang tergeletak di atas meja, lalu kulempar pada Rayen. Sahabatku itu berhasil mengelak, sekaligus mengubah tawa ringannya menjadi tawa penuh kemenangan.

"Payah, ngelempar dari jarak segini aja nggak bisa," ejeknya sambil memungut kulit jeruk yang kulempar dan melemparnya kembali padaku.

Sayangnya, sejak kecil refleksku tidak pernah bagus. Kulit jeruk itu mengenai pipiku.

"Rayen!" seruku.

"Makanya, jangan semedi terus di kamar. Lo harus olahraga atau sebelum lo berumur 40 tahun, lo bakal jadi nenek-nenek beneran," balas Rayen ringan.

Aku mencibir. Sama sekali tidak tertarik pada ajakan Rayen yang menyebalkan itu. Aku tidak suka olahraga. Aku bahkan membenci mata pelajaran olahraga semasa sekolah, karena aku selalu jatuh ketika berlari dan tidak memiliki talenta lain selain berhitung juga menggambar. Aku tidak seperti Rayen yang menguasai segala hal yang dipelajarinya. Aku hanya Lyrra, gadis sederhana yang mencintai gambar.

"Jadi, hari ini lo mau ngapain?" tanyaku. "Ngerecokin gue seharian?"

Rayen mengangkat bahu. "Lo mau ngapain? Khusus hari ini gue bakal jadi sahabat yang baik dan nemenin lo."

Satu alisku mencuat naik, sementara mataku menatapnya dengan curiga.

"Kenapa lo tiba-tiba baik?" balasku. "Kepala lo baru kejedot? Atau kebanyakan gula bisa menimbulkan efek bodoh sekarang?"

Berdecak, sahabatku itu menarikku menuju sofa dan menyalakan televisi.

"Lo bahkan boleh pilih film apa pun yang mau lo tonton," ucapnya ringan.

"Ray...."

"Gue tahu, ada yang ganggu pikiran lo." Dia memotong cepat. Mata gelapnya menatapku lekat. "Lo nggak mau cerita ke gue? Nggak apa-apa. Gue nggak akan maksa. Tapi apa pun masalah lo, apa pun alasan itu, gue cuma mau lo tahu gue nggak akan ke mana-mana."

Mataku terasa memanas. Bukan hanya pengertian yang dia beri atas sikapku kemarin, namun aku tahu dia menemaniku hari ini karena aku tidak lagi memiliki acara sarapan bubur bersama Ayah. Bahkan tanpa perlu kukatakan, dia tahu hari Minggu pagi masih cukup sulit untuk kulalui seorang diri. Selaput bening mulai mengaburkan pandanganku. Jadi, kuraih remote dari tangan Rayen dan memindah-mindahkan saluran.

"Mending lo colokin harddisk gue deh," kataku seraya berdeham, mencoba menghilangkan gumpalan emosi dari suaraku. "Gue mau maraton nonton Iron Man, Captain America, terus"

"Lagi?!" seru Rayen tak percaya. "Ly, lo sudah nonton film-film itu ribuan kali!"

Aku meluruskan kaki di sofa, lalu menjawab, "Gue nggak minta lo ikut nonton."

Tanpa protes lebih lanjut, Rayen mengikuti permintaanku. Dia kembali dan memilih duduk di sofa yang kududuki. Alhasil, kini kakiku berada di pangkuannya. Tangannya mulai memijat kakiku, mengendurkan otot-otot di sekitar tumitku. Bisa kurasakan ujung-ujung jemari Rayen yang permukaannya sedikit kasar. Namun hal itu tidak mengurangi rasa tenang yang kini melingkupi. Aku justru merasa senang karena jari-jari itu benar-benar kukenal. Jari-jari itu tidak sempurna dan milik Rayen seutuhnya.

"Apa sih yang bikin lo cinta banget sama film superhero?" tanya Rayen begitu Robert Downey Jr. pada layar terkena ledakan di tengah padang pasir.

"Apa yang bikin lo anti banget sama film superhero?" balasku santai.

"Karena intinya sama. Orang biasa jadi pahlawan, ngelawan penjahat, terus menang. Film-film macam ini tuh nggak ke mana-mana, Ly. Apalagi film yang nyatuin semua karakter superhero itu. Sumpah, rubish ba— aw! Kok gue ditendang?!"

Kupandangi dia dengan wajah galak terbaikku. "Sekali lagi lo ngehina mereka, bukan cuma perut lo yang kena tendang. Lagian selera orang kan beda-beda. Kalau lo nggak suka, mungkin lo yang kurang punya imajinasi atau—"

Satu tangannya bergerak cepat memegangi betisku, sementara yang lain berlari pada telapak kakiku. Aku langsung menjerit karena geli, namun cengkeraman Rayen sangat kuat. Gelak tawa tak bisa kutahan. Aku terus memberontak hingga pada satu titik, akhirnya kami terjatuh dari sofa.

"Ray! Resek banget, deh!" omelku seraya memukuli bahunya. "Lo kan tadi yang ngotot mau nemenin gue! Kenapa malah gangguin mulu?!"

"Lo yang mulai," balasnya dengan cengiran lebar. Dia pasti puas sudah berhasil membuatku marah-marah.

Aku mencibir. "Lo tuh duluan!"

Kami pun terbahak. Sungguh tidak penting. Hal-hal konyol yang baru saja kami lakukan seharusnya sudah tidak dilakukan orang-orang yang berada di usia akhir dua puluh. Meski kapan pun aku bersama Rayen, aku tidak bisa menahan diri. Dia selalu memiliki ide-ide aneh dan memaksaku mengikutinya. Dia membuatku lupa umur, lupa waktu, juga melupakan segala hal yang mengganggu pikiranku.

Setelah kami kembali duduk dengan posisi semula, Rayen berkata, "Gue tahu lo terbuka sama semua jenis film, selain horor pastinya. Tapi, obsesi lo sama film superhero ini nggak bisa gue pahami. Lo nyaris nggak pernah nonton ulang film lain, nggak peduli seberapa perfect menurut lo film itu. Tapi kenapa Iron Man dan kawan-kawannya beda?"

Dengan mata terfokus pada layar televisi, aku menjawab, "Karena nonton film semacam ini mindless, Ray. Beberapa orang pilih nyanyi, baca, atau olahraga sebagai pelarian. Nah, ini cara gue. Lo nggak harus ngerti."

Hening. Sahabatku tidak melakukan sesi tanya-jawab lagi. Kami meresapi sunyi diiringi suara dari film yang sedang berputar, sampai bel apartemenku berbunyi.

"Oh, ada tamu. Tolong buka pintunya, Ray," pintaku.

Rayen memberi satu gelitikan singkat di kakiku—yang membuatku memekik—lalu menggerutu, "Dasar malas."

Tak lama suara langkah terdengar dan Juan berdiri di hadapanku.

"Di mana HP kamu?"

Pertanyaan bernada serius itu membuatku seketika menegakkan tubuh. Rayen yang muncul di belakang Juan melayangkan pandangan penuh arti.

Aku dalam masalah.

***

Hai hai haiiii, gimana kabar kalian? Semoga masih setia menanti Rayen ya~

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang