As Always, I Love... (Eternit...

By Nureesh

10.3K 1.5K 114

Stand alone. Tidak perlu membaca buku pertama untuk memulai buku ini. Buku pertama dari seri Eternity adalah... More

Sinopsis
1
2
3
4
5
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Special Order!

6

403 81 9
By Nureesh


Aku benci pemakaman. Alasan utamanya sederhana; karena di pemakaman ada terlalu banyak air mata.

Aku sudah berteman baik dengan tangis sejak orang terpenting dalam hidupku pergi belasan tahun lalu. Aku tahu betapa besar sesak yang mengiringi tetesan air itu. Sungguh tahu. Meski tahu, bukan berarti aku terbiasa.

Ketika makam Ayah sudah tertutup sempurna, mereka mulai memelukku dan mengucapkan belasungkawa. Tubuhku menjerit, memintaku untuk berkata tidak. Ayahku seharusnya masih ada. Ayahku tidak mungkin tega membiarkanku sendirian. Namun nyatanya aku tetap diam. Hanya membiarkan air mataku menetes perlahan, tanpa suara.

Ayahku sudah tiada.

"Lyrra?"

Panggilan dari suara lembut itu membuatku mendongak. Di hadapanku berdiri Tante Nia. Wajahnya sembab. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa perasaannya, ditinggal pergi oleh suami untuk yang kedua kali. Namun aku tidak bisa membantunya, karena rasa sesak di dadaku saja tetap tidak bisa kuenyahkan.

"Ayah kamu...." Setetes air mata mengaliri wajah Tante Nia. "Semalam sebelum tidur, Ayah kamu minta supaya saya ngasih ini ke kamu."

Aku menerima kotak yang diulurkan Tante Nia. Kotak itu berwarna cokelat, ukurannya sedikit lebih kecil dari kotak sepatu. Aku tidak bisa menebak isinya, karena beratnya sama sekali tidak memberi petunjuk. Atau bisa dikatakan hampir tidak ada beratnya.

"Saya nggak tahu bahwa ini permintaan terakhirnya," bisik Tante Nia. "Dia baik-baik aja semalam. Tapi pagi ini waktu saya coba bangunin ... ayah kamu...."

Tangis Tante Nia tidak terbendung lagi. Dia terisak-isak dengan suara yang menyayat.

"Saya nggak tahu apa isi kotak itu. Tapi, saya berharap kotak itu bisa bantu kamu melewati semua ini, Lyrra."

Aku menatap Tante Nia, berusaha untuk mengatakan sesuatu, namun tidak ada suara yang keluar. Lalu tanpa kusangka, Tante Nia tersenyum. Tentu saja senyumnya itu sangat menyedihkan. Dukanya sama sekali tidak tersembunyikan.

"Saya cuma mau kamu tahu, kamu tetap anak saya," ucap Tante Nia. "Kapan pun kamu mau, kamu bisa pulang. Rumah itu tetap rumah kamu."

Setelah itu Tante Nia pergi. Meninggalkanku yang sekali lagi menangis di pelukan Juan. Menangisi kepergian ayahku. Menangisi ketidakmampuanku untuk melepaskan masa lalu. Juga menangisi hatiku. Karena aku tetap tidak tahu ke mana harus pulang.

Aku kehilangan satu-satunya orang tuaku, tempatku untuk pulang, selamanya.

***

Sepi menyelimuti kamarku yang bernuansa biru. Jam menunjukkan pukul dua dini hari, namun aku masih tidak bisa memejamkan mata. Aku sudah berhenti menangis sejak tadi sore. Aku ... entahlah. Seperti ada satu bagian yang hilang dari tubuhku. Meninggalkanku dengan kekosongan. Membuatku tidak utuh.

Ponselku berdering. Sejak mendengar berita kepergian Ayah, aku masih menggunakan mode yang sama. Jadi, yang meneleponku saat ini pasti Rayen.

"Halo?" sapaku.

"Nggak bisa tidur?" balasnya dari ujung sambungan.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Hm."

Hening sesaat.

"Mau gue temenin?" tawarnya. "Tengah malam gini jalanan pasti nggak macet, gue bisa sampai di apartemen dalam waktu kurang dari setengah jam."

Betapa ingin aku menjawab ya. Sungguh ingin menjerit bahwa aku membutuhkannya. Namun aku tidak bisa melakukannya. Aku akan menjadi sangat egois jika aku meminta Rayen menemaniku malam ini. Ada seseorang yang lebih membutuhkannya dibanding diriku.

"Gue nggak apa-apa," jawabku akhirnya. "Night, Ray."

Aku tidak menunggu balasan Rayen dan memutuskan sambungan. Bangkit berdiri, kulangkahkan kaki menuju meja di sudut kiri kamar. Meja itu dipenuhi berbagai peralatan gambar dan tumpukan kertas. Namun fokusku hanya tertuju pada kotak yang diberikan Tante Nia saat pemakaman.

Perlahan, aku duduk. Tanganku menyusuri permukaan kotak dengan lembut. Tergoda untuk membuka penutupnya, meski tak juga bergerak.

Apa isinya? Apa yang Ayah tinggalkan untukku?

Aku menghela napas, lalu menelungkupkan kepala di meja. Meskipun berduka, setidaknya aku tahu Ayah pergi dengan mudah. Dia pergi dalam tidurnya. Dia tidak kesakitan. Mengetahui itu saja sudah cukup untukku sekarang.

Tentu, aku masih sedih. Aku masih menangis. Masih merasa tidak percaya bahwa kini aku benar-benar seorang diri. Namun hidup terus berjalan dengan atau tanpa kesedihanku, dan aku harus menerimanya.

Kepalaku terangkat. Kupandangi kotak peninggalan Ayah dengan nanar.

Sanggupkah kubuka kotak itu sekarang? Apa yang akan kutemukan di dalamnya? Akankah isi dari kotak itu meringankan dukaku? Atau justru hanya menambah sayatan baru? Yang mana? Jawaban apa yang benar? Dan, mengapa aku begitu takut untuk membukanya?

Hingga pagi menjelang, aku tetap tidak mendapat jawaban. Dan, kotak itu tetap tidak terbuka.

***

Aku menghentikan mobil dan memandang keluar jendela. Rumah itu sudah berubah. Dulu, catnya berwarna oranye pudar, bukan karena termakan usia tapi karena dia menyukainya. Sengaja memilih warna pudar itu.

Dia—yang tak pernah ingin kuingat, namun selalu mengikuti setiap langkah—menghias rumah dengan warna-warna pastel juga barang-barang yang lucu. Kamarku dicat ungu, dengan langit-langit berwarna biru muda yang dilukis awan-awan gemuk. Aku juga masih ingat karpet bergambar Minnie Mouse yang dibelinya khusus untuk kamarku.

Kini, rumah yang menjadi tempatku pulang hingga akhir masa SMP dilapisi oleh warna putih. Halamannya dipenuhi mainan anak-anak, satu hal lain yang sangat kontras karena aku tidak pernah memiliki banyak mainan. Dia memastikan bahwa aku menghabiskan waktu untuk belajar dan menggambar. Bukan berarti aku tidak suka karena melakukan apa pun bersamanya sangat menyenangkan. Lebih membuatku bahagia dibanding makan es krim atau bermain kejar-kejaran.

Dia adalah seluruh duniaku. Pusat hidupku.

Melihat rumah itu, yang meskipun tak lagi menjadi milikku dan sudah berubah, tetap saja membuatku merasa sudah pulang. Aku bisa membayangkan senja yang kuhabiskan untuk menunggu Ayah sambil membantunya memasak. Begitu Ayah membuka pintu, aku pasti langsung berlari menyambut. Wajah lelah Ayah akan berganti senyum. Kami akan makan malam dengan makanan yang lezat, obrolan hangat, juga tawa yang mengudara.

Sebenci apa pun aku mengingatnya, tetap saja kenangan itu ada. Aku pernah bahagia di sana, bersamanya. Tak peduli seberapa keras aku berusaha untuk melepaskan, masih tersisa bagian dari diriku yang terus bertanya-tanya. Mengapa aku harus selalu ditinggalkan?

Dering ponsel membuatku lepas dari pikiran yang berkecamuk. Tanpa sadar, aku sudah meneteskan air mata dan terisak-isak di dalam mobil. Begitu melihat nama Rayen tercantum di layar, aku segera menarik napas dalam-dalam.

"Kenapa, Ray?" tanyaku.

"Lo ke mana?" balasnya. "Gue datang ke apartemen dan lo nggak ada."

Aku mendesah. "Lo tahu gue ambil cuti. Buat apa nanya lagi?"

"Tapi, lo ke mana?" kejar sahabatku. "Lo pergi tanpa bilang apa pun ke gue. Lo sama Juan?"

"Gue ke Bandung," jawabku akhirnya. "Sendiri. Juan tahu gue butuh waktu buat menenangkan diri. Sori gue lupa ngabarin lo. Gue balik ke Jakarta minggu depan."

Hening. Bisa kubayangkan wajah Rayen yang berkerut cemas. Meski sering membuatku kesal, tak bisa kupungkiri dia adalah orang yang paling peduli padaku.

"Fine, gue nggak bakal ganggu lo," ucap Rayen. "Tapi lo harus janji buat langsung telepon gue kalau ada apa-apa. Termasuk kalau lo susah pup."

Sebuah tawa kecil lolos dari bibirku. "Apa kata lo deh. Sudah ya, gue masih di jalan ini."

"Ly?"

Urung memutuskan sambungan, kutunggu kelanjutan ucapan sahabatku itu.

"Kenapa, Ray?" tanyaku.

"Cepat pulang. Jangan lama-lama di sana. Gue tunggu."

Begitu telepon ditutup, tanpa daya kubiarkan tanganku terkulai di pangkuan. Kedua mataku kembali memandangi rumah yang sudah bukan milikku. Membiarkan rindu dan perih berkumpul, memaksa tetes bening turun.

Aku tersenyum pilu dan memanggil dua orang yang tak lagi berada dalam hidupku.

***    

Halooo! Aku agak sedih, Rayen nggak dapat sambutan hangat. Hahaha tapi nggak apa-apa, aku bakal tetap post sampai tamat. Jangan lupa tinggalkan jejak dan ajak teman kalian buat baca yaa ^^

Continue Reading

You'll Also Like

433K 30.2K 41
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
319K 33.7K 50
Update setiap: Selasa, Kamis, dan Sabtu Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya...
931K 45.7K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
1.6M 230K 45
Semua terlihat sempurna di kehidupan Maudy, seorang aktris papan atas yang juga dikenal sebagai kekasih Ragil, aktor tampan yang namanya melejit berk...