As Always, I Love... (Eternit...

Par Nureesh

10.3K 1.5K 114

Stand alone. Tidak perlu membaca buku pertama untuk memulai buku ini. Buku pertama dari seri Eternity adalah... Plus

Sinopsis
1
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Special Order!

2

484 82 4
Par Nureesh


Aku menemukan Juan dan Ayah di kebun belakang. Mereka berdua duduk berhadapan dengan gelas-gelas yang kuyakin tak tersentuh isinya. Kuhentikan langkah tepat di pintu, menyadari bahwa dua pria berbeda usia itu sedang terlibat pembicaraan serius hingga tidak menoleh karena kehadiranku. Aku pun tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan dengan jelas, namun sebuah memori menyelinap ke benakku.

Membawaku pada hari aku bertemu dengan Juan.

***

Hari itu Rayen terkena flu. Dia bahkan tidak bisa turun dari tempat tidur. Kepalanya pusing, tubuhnya demam, dan tenggorokannya sakit. Setiap musim penghujan datang, penyakit itu memang teman setia Rayen.

Saat itu, aku tidak bisa menghubungi dokter yang biasanya datang memeriksa Rayen—sahabatku tidak akan mau menginjakkan kaki di rumah sakit dalam keadaan sadar—maka satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah berlari ke apotek untuk membeli obat. Karena terburu-buru, aku menabrak Juan di pintu masuk. Ponsel yang digenggam Juan jatuh tanpa hambatan ke aspal yang keras, disusul guyuran air hujan yang turun dengan deras. Merasa tidak enak, aku pun bersikeras untuk mengganti biaya perbaikan ponselnya atau bahkan menggantinya dengan yang baru. Aku memberikan kartu namaku dan kami berpisah.

Sampai satu minggu setelahnya, Juan tidak menghubungiku. Aku berpikir, mungkin dia benar-benar tidak ingin berurusan denganku lagi. Namun menjelang akhir minggu, aku justru bertemu dengan Juan di sebuah restoran.

"Lho, kamu?" gumamku terkejut.

Juan tersenyum. "Waktu kamu masuk tadi, saya pikir salah lihat. Tapi, ternyata memang benar kamu. Apa kabar?"

"Saya tunggu telepon dari kamu," sahutku tanpa menjawab pertanyaannya. "Kamu tahu nggak, saya justru makin ngerasa bersalah karena kamu nggak minta ganti rugi."

Senyumnya sama sekali tidak luntur ketika dia membalas, "HP saya baik-baik aja. Water resistant. Jatuhnya juga bukan dari lantai tiga, so let's just say all is fine."

Aku menatapnya sangsi.

"Omong-omong, kamu sendiri?" tanyanya kemudian.

Sambil mengangkat bahu, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. Sesungguhnya aku tidak berniat mencoba restoran baru ini sendiri, tapi Rayen yang seharusnya menemaniku justru membatalkan janji di detik terakhir. Dan, malang sungguh tak bisa ditolak, restoran itu penuh.

Belum sempat aku memutuskan untuk pergi, Juan memanduku ke salah satu meja di sudut restoran yang sudah memiliki tanda "Reserved".

"Memang boleh kita duduk di sini?" tanyaku bingung.

Juan mengangguk. "Saya tinggal minta meja lain buat tamu yang mejanya kita pakai ini."

Kebingunganku makin menjadi. "Kamu bisa ngelakuin itu?"

Tidak ada jawaban. Masih senyum tipis yang tersungging di wajah tampan Juan. Dia pun memanggil pelayan dan kami memesan makanan. Setelah berbincang selama satu jam, barulah Juan mengakui bahwa dia bukan sekadar pegawai. Restoran itu miliknya. Pantas saja dia tidak membutuhkanku untuk membelikannya ponsel baru.

Di tengah obrolan mengenai jenis pasta yang kami sukai, Juan bertanya, "Boleh saya tahu makanan apa yang menurut kamu paling enak di dunia?"

Aku mengerjap. Terdiam sesaat.

"Makanan yang nggak perlu saya masak sendiri," jawabku bercanda.

Namun Juan menganggapnya serius karena detik berikutnya dia tersenyum.

"Kalau saya masak buat kamu, apa kamu mau makan malam sama saya lagi?" tanyanya tanpa ragu.

Itulah awal mula hubungan kami. Minggu berikutnya, Juan memasakkanku makan malam dan kami membicarakan segala hal. Untuk pertama kalinya aku menemukan pria yang benar-benar bisa membuatku melupakan kenyataan itu.

Kenyataan bahwa satu-satunya hal yang kuinginkan tak kan pernah kumiliki.

***

Sebuah sentuhan di bahu merenggutku dari lamunan. Ketika menoleh, kulihat ibu tiriku berdiri di sisiku dengan senyum ragu. Senyum yang beberapa kali kulihat pada wajah anak-anaknya. Wajah mereka memang tidak terlalu mirip, namun satu senyum itu nyaris identik terhadap satu sama lain.

"Kenapa berhenti di sini, Lyrra?" tanyanya.

Aku melayangkan pandangan pada Ayah dan Juan yang masih berbincang, lalu kembali fokus pada Tante Nia. Dia menikahi ayahku sekitar sepuluh tahun yang lalu. Meski terbilang cukup lama, aku tidak pernah bisa memanggilnya dengan sebutan selain "Tante Nia". Untungnya, tidak ada seorang pun yang mempermasalahkan hal itu karena sungguh sulit bagiku membiasakan panggilan baru.

"Juan sudah lama sampainya, Tante?" tanyaku kemudian.

"Belum," jawabnya. "Paling lima belas menit sebelum kamu. Ada apa? Tumben ayah kamu telepon Juan dan ngajak ngomong serius gitu."

Aku memberi senyum tipis, lalu berjalan menghampiri Ayah dan Juan. Mereka sama-sama mendongak ketika mendengar kedatanganku.

"Lyrra," ucap Ayah.

Aku menarik kursi di sisi Juan dan duduk.

"Kenapa Ayah nggak minta aku buat datang juga?" tanyaku.

Ekspresi di wajah Ayah berubah. Tatapan matanya lekat padaku. Tanda bahwa kali ini dia benar-benar serius.

Bagus. Aku pun begitu. Aku sudah lelah menebak keinginan Ayah. Aku memang anaknya, namun aku telah dewasa. Ayah sendiri yang dulu selalu berkata bahwa aku bisa menikahi siapa pun, selama pria itu baik dan mencintaiku. Kini, ketika Juan sudah menunjukkan kesungguhannya, apa masalah Ayah?

"Ayah harus bicara dengan Juan," jawab Ayah beberapa saat kemudian.

"Ayah bisa bicara sama aku juga," balasku. Kugenggam tangan Juan yang berada di atas meja. "Aku dan Juan sepakat buat nikah tahun ini. Apa pun yang mau Ayah bicarakan, bisa Ayah bicarakan sama kita berdua."

Ayah menatap tangan kami, sebelum akhirnya kembali menatap Juan.

"Saya mencintai Lyrra, Om," ucap Juan tanpa ragu. Diiringi ketulusan di setiap katanya. "Saya belum pernah seyakin ini dalam hidup saya. Beberapa orang bilang pernikahan bukan hal yang mudah. Tapi saya yakin, selama pernikahan itu saya jalani bersama Lyrra, semua akan baik-baik aja. Karena kami saling mencintai."

Aku menatap Juan dengan senyum di bibirku. Sementara Juan mengeratkan genggaman tangannya.

"Bagaimana dengan kamu, Lyrra?" tanya Ayah.

Aku menegakkan tubuh, lalu menjawab, "Aku juga yakin. Aku terima lamaran Juan dengan seluruh pertimbangan itu."

Ada sesuatu dalam mata Ayah yang berubah ketika mendengar jawabanku itu. Aku tidak tahu apa, namun rasanya ... menyedihkan. Karena aku tahu Ayah sedih. Tapi, kenapa? Apa yang salah? Apa yang membuat Ayah sedih?

"Ayah...." Kuulurkan tanganku yang bebas ke seberang meja. Ayah menyambutnya. "Aku tetap anak Ayah selamanya. Dengan atau tanpa status istri seseorang, aku tetap Lyrrani Bestari. Anak perempuan Ayah yang paling cantik. Benar, kan?"

Ayah mengangguk. Dia menepuk tanganku lembut, lalu bangkit berdiri.

"Ayah merestui kalian," ujar Ayah. Matanya kembali fokus pada Juan. "Tapi kalau satu detik aja kamu bikin anak saya nggak bahagia, jangan harap kamu bisa jalan pakai dua kaki lagi."

Juan tersenyum, lalu mengangguk. Sementara aku bangkit berdiri dan memberikan pelukan untuk Ayah. Dia menerimanya dengan satu helaan napas.

"Kamu harus bahagia, Lyrra. Janji sama Ayah. Kamu harus bahagia," bisik Ayah.

Aku mengangguk di dadanya. Menahan air mataku mati-matian.

Karena entah mengapa, aku mendapat firasat bahwa janji itu akan sangat sulit untuk kutepati.

***

Haloooo! Kebetulan aku lagi sempat, jadi buru-buru update bab 2. Gimana? Kepo lanjutannya nggak?

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

203K 13.1K 74
Ternyata memang benar, garis antara cinta dan benci itu nyaris tak ada. Dari yang bukan siapa-siapa bisa menjadi teman hidup.
820K 72.1K 56
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...
91.9K 13.2K 21
"Dokter Kama. Dokter benar dapat fellowship ke Australia?" tanyaku tanpa basa-basi. Ugh aku sebaiknya bertanya ia dari mana bukan? Namun otakku menga...
944K 2.6K 6
Kisah Perselingkuhan penuh gairah, dari berbagai latar belakang Publish ulang di wattpad!