Iris [SUDAH TERSEDIA DI TOKO...

By beliawritingmarathon

8.5M 771K 141K

Bagi Iris, Rangga adalah dunianya. Sementara bagi Rangga, Iris adalah semestanya. Keduanya jatuh cinta dengan... More

Prolog
01 | Iris Sayang Rangga 1 2 3
02 | Toilet dan Mimpi Buruk
03 | Eyang dan Kinan
04 | Selamat Malam, Rangga
05 | Namanya Rangga Dewantara
06 | Tuan Putri
07 | Kelinci Patah Hati
08 | Kita Akan Selalu Sama
09 | Mimpi Buruk Paling Panjang
10 | Yang Terbuang
11 | Go-Cinta
12 | Aku Kelinci Malang
13 | Bendera Perang
14 | Sebuah Tantangan
15 | Beauty and The Beast
16 | Tentang Sepasang Mimpi
17 | Rangga Dewantara VS Nicholas Saputra
18 | Pelaku Sebenarnya
19 | Teru-Teru Rangga
20 | Mengenai Kata Sempurna
21 | Aku Rangganya Iris
23 | Kenangan Kembang Api
24 | Jalan Pintas
25 | Ulang Tahun Eyang
26 | Tentang Pilihan
27 | Dua Bayangan di Cermin
28 | Pentas Seni
29 | Happy Birthday, Iris
30 | Maaf Sebenar-Benarnya Maaf
31 | Menuju 01 Januari
32 | Menuju Pukul 00.00
33 | Tepat Tengah Malam
34 | Di Ujung Keletihan
35 | Syarat Jatuh Cinta
36 | Berhenti Jatuh Cinta
37 | Iris Harus Tahu
38 | Dalam Pelukan Bunda
39 | Sampai Ketemu Nanti Malam
40 | Satu Malam Terakhir
Epilog
Ada yang Mau Novel Gratis?
Pengumuman Testimoni IRIS
Special Order

22 | Alasan Jatuh Cinta

166K 16.8K 2K
By beliawritingmarathon

Akhirnya Iris harus merasakan efek dari diet ekstrim yang beberapa bulan ini ia jalani. Tak tanggung-tanggung, dokter Galan—dokter yang menanganinya— mengatakan bahwa Iris mengalami gastritis akut dan juga gejala tipes. Kebiasaannya menunda waktu makan, memforsir energinya, begadang semalaman sampai stress dianggap sebagai pemicu terbesarnya. Akibatnya, ia harus diopname sampai keadaannya membaik.

"Nah, Iris, nanti sore kalau hasil lab sudah keluar saya ke sini lagi, ya, kamu istirahat aja dulu. Jangan pikirin macam-macam, karena sebenarnya stress bisa memperparah peradangan lambung kamu, loh." Dokter Galan mengingatkan dengan nada bersahabat. Dari perawakannya, Iris menilai dokter tampan ini mungkin belum genap tiga puluh tahun. "Jangan lupa makannya juga dijaga, jangan makan yang macam-macam dulu, ya!"

Iris menganggukan kepalanya patuh. Dokter muda itu tersenyum, lalu berpamitan pada papa dan Ares yang menunggu di sofa. Setelah dokter Galan keluar barulah papa dan Ares mendekati bangkarnya.

"Aduh, anak papa, bikin papa jantungan aja, papa kira kamu kenapa, untung sekolah langsung bawa kamu ke rumah sakit ini." Papa mengusap kepala Iris lembut. Sedangkan Ares tampak sibuk, merapikan beberapa barang di dalam nakas.

"Maaf ya, pa," gumam Iris tak enak hati.

"Nggak apa-apa yang penting kamu cepat pulih."

Tadi, setelah ia pingsan di ruang teater, Iris memang langsung dilarikan ke rumah sakit Permata Harapan. Rumah sakit yang sama dengan tempat mamanya dirawat. Entah siapa yang menghubungi papa dan Ares, karena setelah ia mendapatkan seluruh kesadarannya, papa dan Ares sudah menatap wajahnya dengan raut khawatir di  bangkar UGD tadi.

"Pa, Ares ke rumah dulu ya, ambil bajunya Iris," kata Ares sambil menyandang ranselnya di sebelah bahu. Sebelum pergi cowok itu menyempatkan diri mengacak rambut saudaranya. "Cepet sembuh bocil."

"Papa tadi dari kantor?" tanya Iris selepas kepergian Ares. Cewek itu bangkit dari posisi tidurnya, agar lebih leluasa mengobrol dengan papa.

"Papa memang sudah jalan pulang, mau ke mama, eh tiba-tiba Rangga telepon, ngabarin kamu pingsan di sekolah."

"Rangga yang telepon papa?"

Papanya menganggukan kepala. "Iya, tadi dia di sini kok, sama Katya sama dua teman kamu lainnya, tapi kayaknya tadi mereka keluar dulu sebentar."

"Dua teman?" Iris mengerutkan dahinya bingung. Ia tak memiliki cukup banyak teman dekat yang bisa menyempatkan diri menjenguknya.

Namun, seolah menjawab pertanyaannya, pintu kamar tiba-tiba saja diketuk. Dari baliknya muncul sosok Rangga, bersama Katya, Arsen dan Lavina.

"Nah, itu dia anaknya!" papa Iris langsung bangkit melihat kedatangan teman-teman anaknya.

"Assalamuallaikum om," Rangga menyapa riang, lalu menyalimi tangan papanya, disusul oleh Katya, Lavina dan Arsen yang melakukan hal yang sama. Tanpa disuruh, Rangga berinisiatif untuk mengenalkan teman-teman Iris.

"Kenalin om, yang ini mah nggak usah lah ya, om udah tahu lah yang suka nyusahin Iris, Katya." Rangga menepuk pelan bahu Katya, yang dibalas cewek itu dengan delikan galak. Lalu ia mengalihkan tangannya pada Lavina dan Arsen. "Ini Lavina, nah, kalo yang nggak seganteng Rangga ini namanya Arsen, om!"

"Ih, enak aja!" Lavina sontak berseru. Namun langsung merapatkan bibirnya kembali, saat tersadar di depannya masih ada papa Iris. Papanya Iris hanya tertawa melihat kelakuan teman-teman anaknya.

"Nah, udah ada nak Rangga, papa ke kamar mama dulu ya?" Papa Iris mengelus puncak kepala anaknya penuh sayang, lantas beralih pada Rangga. "Rangga, om titip Iris ya?"

"Duh, om, kalau om ngomongnya gitu terus rasanya Rangga mau langsung panggil jadi papa."

Iris melotot mendengar celetukan pacarnya, sementara papanya hanya tertawa lalu berpamitan dengan teman Iris lainnya. "Mari Katya, Lavina, Arsen, om duluan."

Setelah mengantar om Farhan—papanya Iris keluar—barulah Rangga menumpahkan seluruh kekhawatiran yang tadi ia redam.

"Iyiiis, kamu kenapa, siii?" Rangga mencebikan bibirnya. Mode lebaynya sudah dimulai.

"Tau Ris, lo kenapa, sih? Gue tadi lagi sama Adnan, langsung ke sini denger lo pingsan," kata Katya sambil menjatuhkan diri di pinggir ranjang Iris.

"Adnan?" Lavina bertanya bingung, membuat Katya langsung meruntuk dalam hati. Ia lupa di sini ada Lavina dan Arsen.

Sadar bahwa Katya membutuhkan pertolongan, Iris langsung membelokan topik percakapan mereka. "Kak Lavina, kak Arsen, kok bisa ada di sini?"

"Ah, iya tadi kamu pingsan di belakang aku soalnya," ujar Lavina sambil meraih kursi di samping nakas, namun seperti gerak refleks, Arsen langsung mengambilnya lalu meletakannya di samping ranjang. Lagi-lagi, Iris tak bisa menahan senyum melihat perhatian kecil Arsen yang sering orang lewatkan. "Kebetulan rumah sakit ini rumah sakit papaku, dokter yang tadi periksa kamu itu abangku, bang Galan."

"Wah, iya? Pantas, senyumnya kayak familier," ujar Iris dengan mata berpedar.

"Iya, makanya gue sebel dengarnya." Alih-alih Lavina, justru Rangga yang menyahut. Cowok itu merenggut seperti anak kecil. "Bilangin abang lo tuh Lav, jangan kecentilan! Awas aja kalau meriksanya sekalian mod—aw, sakit Iyis!"

Rangga mengembungkan pipinya protes. Tapi Iris tak menghiraukannya, ia justru menyengir lebar, merasa tak enak pada Lavina.

"Jangan didengerin ya, kak, Rangga suka ngawur emang."

Lavina mengibaskan tangannya cuek. "Tenang aja, tiga tahun kenal dia udah tahan banting kok aku."

"Oh, iya, Ris, nyokap lo dirawat di sini juga kan?" tanya Katya tiba-tiba.

"Oh ya? Mama kamu dirawat di sini juga?" tanya Lavina antusias. "Dimana?"

"Di atas kak, di ruang Anggrek."

"Sakit apa?"

"Koma, pasca kecelakaan." Iris tetap tersenyum, tapi nada pahit itu ketara dalam suaranya. Ia tak pernah terbiasa membicarakan mama tanpa merasa sesak. "Udah lebih dari setahun, mama dirawat di sini."

"Maaf, aku nggak tahu," tukas Lavina tampak merasa bersalah, di sampingnya Arsen mengusap bahunya lembut. Meski Lavina tak pernah berniat menjadi seorang dokter, namun tumbuh di sebuah keluarga yang mencintai dunia kedokteran, membuatnya paham. Hanya ada dua hal yang dinantikan oleh orang yang sudah koma hingga berbulan-bulan; sebuah keajaiban atau malaikat maut yang menjemput. Menyedihkanya, kebanyakan pasien berakhir pada opsi yang kedua. "Nama mama kamu siapa? Biar nanti aku coba minta papaku mengirim orang-orang terbaiknya."

"Nama mamaku Lalisa Walanda, tapi nggak usah kak, dokter Haidar udah baik banget, kok."

Kini Arsen dan Lavina tampak terkejut, sebelum senyuman terkembang di bibir Lavina. "Dokter Haidar tuh papaku tahu, Ris! Ih kita jodoh banget, sih!"

"Bagooos, kesannya makin gede aja ya, peluangnya abang lo ngedeketin pacar gue!" Rangga mencebikkan bibirnya membuat mereka semua tertawa—kecuali Arsen yang hanya menarik ujung bibirnya.

Lima belas menit kemudian, Lavina, Arsen dan Katya berpamitan pulang. Acara sekolah belum selesai, tapi sepertinya Rangga tak berniat kembali ke Nusa Cendekia.

"Mereka beneran udah pulang kan, ya?" Rangga menjulurkan kepalanya dari balik pintu, memastikan bahwa teman-temannya sudah tak terlihat.

"Mau ngapain?" tanya Iris sambil memicingkan matanya. Gerak-gerik Rangga tampak mencurigakan.

Bukannya menjawab pertanyaan Iris, cowok itu malah tersenyum bandel. Ia meraih tasnya lalu mengeluarkan dua kotak paket panas McDonalds yang wanginya langsung menyebar ke seluruh ruangan.

"Lo mau makan?" tanya Iris heran.

Rangga mendorong overbed table dari ujung ruangan. Meletakannya antara dirinya dan Iris di atas bangkar.

"Bukan gue yang mau makan, tapi kita," katanya sambil menyengir lebar. Rangga membuka sebungkus kotak tersebut, dan merobek sisinya agar Iris lebih mudah makan, lalu meletakkannya di depan Iris. "Gue mau keluarin dari tadi, tapi tadi dimarahin Lavina mulu, katanya lo harus makan makanan sehat. Beh! Makanan rumah sakit mana ada rasanya, ntar Iyisku malah nggak makan-makan."

Iris tertawa mendengar celotehan Rangga. Tubuhnya lemas, lidahnya pahit, tapi entah kenapa ayam goreng yang dibawa Rangga sedikit mengguggah seleranya.

"Nih, makan biar pacarku cepat sehat!" katanya setelah selesai dengan kotak Iris, lalu beralih pada makanannya sendiri. Sebelum Iris menyentuh ayamnya, Rangga menahan tangannya. "Et, doa dulu Cinta."

"Met makan, Iyis," katanya setelah ia selesai berdoa dengan suara keras-keras. Persis seperti anak TK yang menghafal di TPA.

Iris mulai mengunyah ayam gorengnya pelan-pelan. Sedangkan Rangga masih tampak sibuk memisahkan kulit dengan dagingnya. Kulit ayam goreng McDonalds selalu menjadi bagian favorite Rangga yang ia makan belakangan. Cowok itu bahkan rela bertengkar dengan Rindu hanya karena perihal 'kulit ayam goreng'.

"Lo ngapain tiba-tiba ikut lomba puisi?" tanya Iris teringat lomba yang tadi mereka tinggalkan.

"Gimana? Suka nggak? Sekarang gue udah lebih keren kan, daripada Rangganya Cinta?" kedua alis Rangga naik turun menggoda Iris, membuat tawa Iris pecah seketika.

"Itu puisi paling konyol yang pernah gue dengar, sih," Iris menjeda sejenak, membiarkan semburat merah muda menyebar di pipinya. "Tapi itu juga puisi paling gue suka."

"Duh, Yis, jangan blushing gituuu, jantung gue langsung ada gempanya nih," kata Rangga hiperbolis. Iris memutar bola matanya tanpa menghilangkan senyum di bibirnya.

"Terus gimana? Menang ngg—ak?" kalimat Iris sempat terpotong karena ia terkejut melihat Rangga memindahkan kulit ayam milik cowok itu ke kotak miliknya.

"Tadi kata Bule nggak menang, payah tuh jurinya pada nggak ngerti seni," gumam cowok itu cuek, sambil terus memindahkan kukit ayamnya, bahkan hingga remah-remahnya.

"Ga, kenapa kulit ayamnya lo pindahin?"

"Ya, biar lo makannya banyaklah."

"Ih, bukan itu!" seru Iris gemas. "Maksudnya, ini kan kesukaan lo, kata lo ayam goreng bukan ayam goreng tanpa kulitnya, terus kenapa lo malah kasih ke gue?"

"Bukti cinta dong~" katanya menyengir lebar. "Bohong tuh, orang yang bilang level cinta tertinggi adalah merelakan orang yang kita cintai bahagia bersama orang lain, bleh! Yang bener itu, level cinta tertinggi adalah merelakan kulit ayam McDonalds untuk orang yang kita cintai." Rangga berkelakar panjang lebar, lalu mulai menguyah daging ayam miliknya. Teori cinta untuk seorang Rangga Dewantara memang sesederhana dan seabsurd itu.

Normalnya, Iris akan tertawa terbahak-bahak. Tapi kulit ayam McDonalds, puisi yang tadi Rangga bacakan, serta usaha yang selama ini cowok itu lakukan untuk memenangkan hatinya, membuat pertanyaan yang selama ini mengendap di tempurung kepala Iris, tercetus begitu saja.

"Ga, kenapa sih, lo bisa jatuh cinta sama gue?" tanya Iris serius. "Please jangan bilang tanpa alasan, karena gue mau sesuatu yang jelas."

"Emang enggak," Rangga mengedikkan bahunya. "Karena lo lucu, lo cantik, lo gemesin, lo baik, karena apa lagi ya?" cowok itu tampak berpikir.

"Ga, gue serius, ih!"

Sadar bahwa Iris tengah dalam mode serius, Rangga menghentikan aktivitas makannya, lalu menatap Iris lekat-lekat.

"Gue juga serius, Iyis," katanya penuh kelembutan. Lensanya mengarah ke arah Iris, agar Iris bisa membacanya secara transparan. Memastikan bahwa tak ada satupun dari kalimatnya yang merupakan kebohongan. "Gue sayang sama lo karena banyak alasan. Awalnya, karena gue gemes lihat lo lari pas lagi ospek. Alasan kedua, karena lo suka marah-marah sama gue, dan itu lucu. Alasan ketiga, karena nggak ada satupun orang yang bisa bikin gue deg-degan cuma karena dia senyum. Ah, banyak deh, kalau gue sebutin satu-satu, bisa-bisa kita baru selesai besok pagi."

"Kalau semua alasan itu menghilang, gimana?" tanya Iris pahit. "Apa lo juga bakal berhenti sayang sama gue?"

Kini Rangga yang menatap Iris penuh keseriusan. Seakan-akan semua kalimat yang akan terkata dari bibirnya adalah sebuah hukum mutlak yang tak bisa diganggu gugat.

"Gue jatuh cinta sama lo dengan alasan, maka kalau alasan itu menghilang, gue akan mencari ribuan alasan lainnya untuk tetap mencintai lo. Selalu, dan akan selalu seperti itu." Rangga menukas yakin.

Iris tercenung cukup lama, kata-kata itu meresap dalam hatinya. Membuatnya ikut bertanya-tanya, sebesar apa perasaannya untuk Rangga?

Apa jika suatu saat nanti alasan-alasannya untuk mencintai Rangga juga menghilang, ia akan tetap mencari alasan-alasan lainnya agar mereka bisa bertahan?

Apa cintanya pada Rangga sebesar cinta Rangga untuknya?

Iris masih terdiam, dan Rangga masih menatapnya lamat-lamat. Sampai sebuah suara menginterupsi keduanya.

"Iris, siapa yang suruh lo makan junk food?" tanya Ares tajam. Tanpa perlu jawaban, Ares sudah tahu siapa penyebabnya.

Dan seperti hukum alam, dimana ada Ares dan Rangga, maka di sana pasti ada keributan.

"Ya, kan daripada Iris nggak mau makan, lo mau tanggung jawab?" bela Rangga ketika Ares menatapnya penuh penghakiman.

"Lo pulang aja deh mendingan, daripada bikin Iris tambah sakit, apa perlu gue panggil security buat ngusir lo?!" seru Ares dongkol.

"Yeu, bilangin aja, memang gue takut?!"

"Ris, suruh pacar lo pulang, kek!"

"Ris, bilangin bocah bau kencur ini ya, gue udah dapat izin dari bokap lo."

"Dasar bocah cangkalang!" seru Ares kesal.

"Wah, gila, songong banget ini belalang sembah!"

Pertengkaran itu tak berhenti sampai setengah jam kemudian, dan Iris hanya bisa meringis pasrah melihat keduanya.

Sayangnya sampai Ares dan Rangga kelelahan berargumen, sampai Rangga pamit pulang di malam harinya, bahkan sampai esok, esok, dan esoknya lagi, Iris tetap tak mendapat jawaban atas pertanyaan yang tadi diajukan hatinya.

Apa cintanya cukup besar, untuk membuatnya bertahan?

—————

A/N:

Yihaaaa!

Double update, yuhuuuuuu~

Gimana gimana part 22?

Semoga suka yaaaa.

Masih kesel sama Gaga?

Tenang aja tenang, di part-part selanjutnya kalian kayaknya bakal lebih kesel lagi.

Anyway, yang lihat postingan aku di ig tentang mantan, itu bukan bocoran Iris kok. Ahahaha.

Itu cuma tulisan random aja.

Kalau soal bocoran Iris, niatnya aku mau posting di snapgram aku, secara berkala.

Mudah-mudahan setiap hari, karena maunya mah aku update tiap hari. Ahahhaha.

14 hari menuju ending Iris, aku belum siap berpisah dengan Gaga. :')

Yaudahlah yaaaa!

Jangan lupa follow ignya:

See u when i see u!

Gws kesayangannya Gaga!

Salam sayang,
InnayahPutri

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 251K 60
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
1M 98.5K 53
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.7M 226K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
5M 268K 60
Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarganya yang tahu pun langsung mengusirnya...