My Name Is Zeon

By zoolanderzariuszack

32.7K 2.1K 267

Zeon is brighter than Neon... Kisah detektif aneh dengan asisten yang sama anehnya dalam kumpulan kasus aneh... More

Meet Zeon
Meet Client
Zeon's Case : Mole I
Zeon's Case : Mole II
Zeon's Case : Mole III
Zeon's Case : Mole IV
Zeon's Case : Miss Call I
Zeon's Case : Miss Call II
Zeon's Case : Miss Call III
Zeon's Case : Miss Call IV
Zeon's Case : Miss Call V
Zeon's Case : Miss Call VI
Zerry's Notes : Mr.Z
Zeon's Case : Men In Pink I
Zeon's Case : Men In Pink II
Zeon's Case : Men In Pink III
Zeon's Case : Men In Pink IV
Zeon's Case : Men In Pink V
Zerry's Notes : Mr.G

Meet Me

4.9K 159 35
By zoolanderzariuszack

Aku tidak percaya kalo bumi itu bulat.

Bahkan sampai kedua orang tuaku hampir bercerai gara-gara menyangka aku atheis, aku masih saja mempertahankan pendapatku itu.

Aku bertanya kepada diriku sendiri, "kenapa dengan kedua orang tuaku itu sehingga mereka meributkan pendapatku?"

Ayahku bilang, "kamu tahu, Thomas Alfa Edison telah membuktikan kalau bumi itu bulat. Kamu tahu apa buktinya? Setelah ia menyimpulkan bumi itu bulat makanya lampu pertama yang ia ciptakan berbentuk bulat."

Aku tidak bisa menerima kesimpulan itu.

Ibuku bilang, "kamu tahu, globe di ruang kantor kepala sekolah kamu berbentuk bulat. Itu adalah miniatur dari bumi yang juga bulat."

Aku pun tidak bisa menerima kesimpulan itu.

Keesokan harinya, mereka berdua ribut gara-gara ayahku mengatakan teori globe adalah miniatur dari bumi menurut ibuku adalah lelucon yang tidak lucu. Ibuku kemudian berteriak dengan mengatakan Thomas Alfa Edison itu tidak menciptakan mesin uap berbentuk bulat.

Aku tidak tahu siapa yang harus benar-benar ku bela?

Pada dasarnya, ini bukan soal kebenaran yang didukung oleh fakta-fakta. Tetapi ini soal kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Mengeluarkan pendapat itu adalah kata yang tepat untuk mengambarkan pribadiku yang kritis dan inovatif.

Sebut saja namaku Zerry.

Zerry Setiawan.

Aku rasa kedua orang tuaku memilih nama itu untukku sebagai harapan mereka agar aku bisa menjadi orang yang setia nantinya. Dan hal itu benar terbukti, karena aku selalu setia pada pendapatku.

Padahal sebenarnya aku lebih berharap namaku Zerry Rupawan, sehingga aku mungkin bisa menjadi artis. Atau tidak Zerry Jutawan, aku bisa jadi kaya raya. Daripada sekarang aku bernama Zerry setiawan yang hanya bisa setia dan tidak bisa selingkuh. Tapi apakah arti sebuah nama?

Aku juga masih heran kenapa ada teman ayahku menamai anaknya, Hartawan Tegar Beriman. Apa maksudnya? Apa yang ia harapkan dari anaknya itu? Aneh...Aneh...Aja.

Oh ya, satu lagi nama aneh yang aku tidak bisa habis pikir adalah salah satu nama teman smp ku dulu. Namanya, Cendy Kiawan. Tapi orangnya ngga punya sama sekali tampang seorang cendikiawan.

Aku sekarang berusia kurang lebih dua puluh satu tahun. Aku anak pertama dari tujuh bersaudara yang kesemuanya perempuan. Oh ya, ada satu hal unik tentang aku dan ke enam saudariku.

Ceritanya begini.

Ayahku punya obsesi untuk mempunyai delapan anak dan menamai ke delapan anaknya sesuai abjad yang ada pada namanya itu. Nama ayahku Zakharia. Makanya aku sebagai anak pertama mewakili huruf pertama dari mananya yaitu Z.

Begini silsilah keluargaku.

Zerry, Annie, Kaori, Helen, Anna, Rini, dan Ike.

Tentu saja, kurang satu huruf yaitu A. Dan itulah penyesalan terbesar ayahku sepanjang hidupnya. Ia tidak peduli betapa sengsaranya ibuku melahirkan dan memberi ketujuh anaknya makan.

Ia pernah hampir saja mengadopsi anak yang mempunyai nama Ananda dua tahun lalu gara-gara obsesinya itu, tetapi kami semua melarangnya. Dan setahun kemudian, ayahku datang padaku dan berterima kasih padaku karena telah melarangnya melakukan adopsi itu.

Malam itu ayahku berkata padaku, "Zer, terima kasih telah melarang papa untuk mengadopsi Ananda tahun lalu, papa menyesal sekarang."

Aku hanya tersenyum.

Aku bilang padanya bahwa aku bangga ia sudah sadar akan kesalahan yang dulu. Lalu ia menjawab, "papa sadar sekarang kalau perbuatan itu salah."

"Itulah yang Zerry maksud dulu."

"Benar."

Aku mengangguk setuju.

"Kalau saja papa sampai jadi mengadopsinya papa akan menyesal."

"Benar."

"Kamu tahukan kenapa papa tidak melakukannya?"

"Papa peduli dengan kami semua."

Ayahku mengeleng, "bukan karena itu."

"Lalu?"

"Papa baru tahu ternyata Ananda itu bukan nama aslinya."

Aku mengeryitkan mataku.

"Nama aslinya Lerian. Kalau dia jadi adikmu, kalau nama depannya dipakai jadi kombinasi keluarga kita, nanti nama kombinasi keluarga kita berantakan karena menjadi ZAKHARIL. Aneh kan?"

Begitu ya?

Okey...Okey...Okey...

Sekarang aku selesai menceritakan kisah perkenalanku yang tidak terlalu spesial. Aku tahu kalau aku menceritakannya, ceritaku bisa menjadi novel.

Aku sedang berada di sebuah ruang tunggu yang cukup berisik. Semua orang di ruangan ini berjalan lalu lalang melewatiku tanpa menyapaku sama sekali. Seorang memegang map atau kertas tebal. Seorang mundar-mandir tanpa arah dengan handphone melekat di kuping. Lalu seseorang lainnya duduk. Okey, aku ralat tentang semua orang di ruangan ini lalu lalang. Everybody made mistakes.

Perempuan yang duduk itu tidak lama menerima telepon, mengangguk-angguk lalu berkata kepadaku untuk segera masuk. Aku menanggapinya untuk segera masuk perlahan menuju sebuah ruangan yang perempuan itu tunjuk.

Ruangan kecil penuh kaca, seorang pria duduk penuh gaya.

Katanya, "Silahkan duduk."

Aku duduk tepat di hadapannya. Aku tersenyum sedikit lalu ia pun membalasnya. Ia memperhatikanku dari atas rambut sampai di atas perut, mengingat meja menutupi bagian perut ke bawah.

"Zerry Setiawan, benar namamu begitu?"

"Benar sekali pak."

"Dan kamu ke sini untuk melamar kerja?"

"Tentu saja pak, masa melamar anak bapak?"

Kata orang, candaan adalah cara bijak untuk melepaskan kegugupan. Aku hanya tersenyum bahkan sedikit tertawa sambil melihat pria di hadapanku itu, tapi kelihatannya ia tidak tertawa. Mukanya ditekuk sebelah, matanya sedikit memerah dan aku harus merevisi perkataanku lagi. Kata orang, candaan yang tidak bijak adalah cara buruk untuk melepaskan kemarahan.

"Kamu suka bercanda ya?"

Aku mengangguk kikuk.

"Saya tidak."

Doomday....!!!!

* * *

Ya. Aku tidak diterima.

Tiga kali dalam minggu ini aku tidak diterima gara-gara bos dari setiap perusahaan yang aku lamar tidak punya selera humor.

Apa salahnya sih rasa humor itu?

Semua harus merasakannya.

Coba bandingkan! Kita semua setuju semua rasa itu menyenangkan. Asin, manis, pahit, asam, humor. Nah... rasa humor itu bagian dari kehidupan. Seperti sayur asin tanpa garam, seperti sayur asem tanpa asem, sama seperti itulah interview tanpa humor.

Okey. Aku salah.

Dan ini adalah kesempatan terakhirku dalam minggu ini untuk mendapatkan pekerjaan.

Kita percepat penjelasannya. Intinya sekarang aku sudah berada di ruangan interview lainnya, sebuah perusahaan kecil yang sebenarnya aku sendiri masih belum tahu bergerak di bidang apa?

Pria berkepala botak seperti telur itu bertanya, "kamu lulusan smk?"

"Iya pak."

"Jurusan?"

"Mesin."

"Mesin?"

"Iya pak."

"Maksud kamu otomotif?"

"Iya pak."

"Dan kamu mau bekerja di sini? Dengan kemampuan mesin yang kamu punya itu?"

"Iya pak."

Pria itu mengelengkan kepalanya, "baik, tidak masalah."

"Iya pak."

"Lalu kamu bisa menguasai office?"

"Dalam arti apa pak?"

"Dalam office?"

"Ya."

Aku jelas sekali tahu maksud pria botak yang mengaku bernama pak Ronny ini. Aku menyakinkan diri dengan mengangguk dan memberi kata penegasan yang cukup memukau menurutku, "tentu saja pak."

"Bagus, itu yang saya perlu."

"Iya pak."

Aku bukannya ingin mengecek, hanya memastikan maksud pak Ronny tadi. Makanya aku bertanya sambil menunjuk tangan, "pak, saya perlu sedikit konfirmasi saja nih."

"Silahkan?"

"Mmm....Maksud perkataan bapak tadi mengenai office itu. Saya menangkapnya dengan pengertian yang tidak perlu bapak ragukan lagi. Bapak ingin saya menguasai kantor ini, seperti mafia menguasai sebuah kota. GTA...Kayak di games....benar..."

Pak Ronny mengerutkan alis dan melihatku dengan tatapan yang sama seperti ketiga pria yang menolakku beberapa waktu lalu. Aku kebetulan baru menyelesaikan perkataanku, "....Kan?"

Aku menelan ludah.

Ia berkata lagi, "kamu sekolahkan?"

"Tentu saja pak."

"Dan bukankah di sekolah sudah diajarkan bagaimana caranya mengunakan Microsoft Office bukan?"

"Oh maksud bapak yang itu."

"Kamu tahu Word kan?"

Aku mengangguk lalu berkata, "sebuah kata?"

"Excel?"

"Vocalis Gun n Roses?"

"Oke."

Pak Ronny terdiam dan lalu perlahan berkata, mengeleng-gelengkan kepalanya, "saya tidak tahu bagaimana kamu bisa lulus sekolah?"

"Saya mengikuti ujian dan lulus."

Pak Ronny mengangkat tangannya, "cukup!!! Saya bukan bertanya kepada kamu. Itu bukan sebuah pertanyaan. Itu sebuah statement atau pernyataan."

"Tapi bagi saya itu sebuah pertanyaan pak."

"Baiklah, Zerry Setiawan."

"Ya pak."

"Tampaknya kesabaran saya sudah habis, baik..."

Aku tahu ini terjadi lagi. Kegugupanku bisa membuat aku melakukan hal tergila di dunia.

Pak Ronny melanjutkan, "kamu saya terima."

Aku hampir saja meloncat karena kegirangan, baru pertama kali dalam hidupku, aku diterima bekerja. Aku melihat ke arah pak Ronny yang sudah tersenyum melihatku.

"Benarkah pak?"

"Ya."

"Saya tidak menyangka saya bisa bekerja di sini pak."

"Saya juga. Tidak menyangka. Bahkan jauh....jauh dan jauh sekali dari sangkaan saya, saya bisa menerima kamu bekerja di sini."

"Terima kasih pak."

"Oke, memang ini terlambat. Tapi, saya ingin tahu berapa gaji yang kamu inginkan?"

"Jujur pak, saya pikir itu terserah bapak..."

"Bagus kalau begitu..."

"...Tapi saya memikirkannya juga."

"Benar. Silahkan kemukakan pendapatmu!"

"Mmm...Saya bingung, terserah bapak saja....saya hanya...terserah bapak..."

"Okey. Kalau begitu saya akan kasih kamu perbulan..."

"....Hanya mungkin saya memang harus memikirkannya juga."

Pak Ronny sebenarnya terlihat mulai agak geram, tatapi aku pikir itu mungkin memang default wajahnya.

"Silahkan!!!"

"Saya ingin meminta gaji yang cukup saja. Setidaknya cukup untuk menghidupi ke enam adik saya..."

Pak Ronny agak terkejut, "enam???"

Aku mungkin terlihat agak keterlaluan. Baik, aku akan mengurangi tangungan pak Ronny, "lima pak."

"Lima?"

"Empat."

Pak Ronny menyipitkan matanya, "empat?"

"Kalau begitu tiga pak."

"Tiga?"

"Oke....Bagaimana kalau dua?"

"Dua?"

"Oke....Bapak menang. Saya meminta gaji cukup untuk menanggung satu adik saya. Dan bapak bertanggung jawab untuk menjelaskan kepada kelima adik saya yang lainnya."

"Apa???"

"Okey, biar saya yang nanti menjelaskan."

Aku mengaruk-garukkan kepala sambil melihat ke arah pak Ronny yang sudah kehabisan nafas. Aku tidak mengerti mengapa ia terlihat tidak terlalu pintar buatku.

Aku lupa menanyakan sebuah pertanyaan kecil, "oh ya pak. Saya lupa menanyakan satu hal kepada bapak."

"Apa itu?"

"Apa sebenarnya pekerjaan saya?"

"Mmm....."

"Apa pak?"

"Kamu harus menjadi asisten pribadi anak saya!"

"Asisten dalam bentuk apa pak?"

"Asisten detektif."

"Tukang selidik menyelidik, detektif seperti itukah?"

"Ya. Saya sudah membukakan sebuah agensi detektif dan meminta ijin kepada kepolisian untuk menjadikan anak saya seorang detektif suasta."

"Untuk menyelidiki kasus yang nyata?"

"Iya dong, hanya saja ada batasan-batasannya."

"Maksud bapak apa ya?"

"Jujur saja saya sudah pusing menjelaskan pada anak saya kalau membuka agensi detektif itu hal terbodoh yang pernah ia lakukan, tetapi ia tidak mau tahu. Saya sudah bertanya pada salah satu pemimpin kepolisian bagaimana prosedur pembuatan agensi? Ia bilang, ia harus pernah masuk kepolisian."

"Anak bapak sudah pernah masuk kepolisian?"

"Hampir, tapi tidak jadi."

"Jadi..."

"Ijin agensi boleh dibuat, tapi ia tidak boleh menyelidiki kasus kriminalitas, seperti pembunuhan, perampokan atau sejenisnya."

"Kalau begitu buat apa ya repot-repot membuat agensi?"

"Sudahlah," pak Ronny mengeleng-gelengkan kepalanya, "intinya saya mengontrak kamu selama 1 tahun, saya akan mengaji kamu penuh selama 3 tahun, apapun yang akan terjadi."

"Saya tidak dapat menangkap maksud bapak."

"Saya tidak peduli agensi itu laku atau tidak, menghasilkan untung atau tidak, dan tutup atau tidak? Intinya kamu harus tetap menemani anak saya itu. Itu pekerjaanmu."

"Saya mengerti."

"Baik. Besok datang ke alamat ini!"

Pak Ronny memberi selembar kartu nama, tertulis rapi dengan alamat lengkapnya.

"Detektif Zeon."

Continue Reading