AQUA World

By PrythaLize

1.2M 166K 43.2K

[Fantasy & (Minor)Romance] Seluruh umat manusia tahu kenyataan bahwa volume air di bumi semakin naik dan mene... More

B
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
18
19
20
21
22
23
24
25

17

37.6K 6K 2.5K
By PrythaLize

[Before you read this chapter, please kindly drop an emoticon of your emotion in this inline].

Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tentang dirimu.
Tetapi, kau sangat berharga, bagiku dan bagi semuanya.


Kegelapan yang seolah tidak ada ujungnya, masih menguasai malam ini.

Ada lebih dari lima orang yang mengikuti Dillon, sudah termasuk kami. Mereka membawa penerangan kecil yang hanya bisa menerangi kurang lebih beberapa meter di depan kami.

Nael yang cemas dengan keadaan temannya, langsung membuka penerang yang ada di jam tangannya. Itu lebih membantu, karena selanjutnya sinar dari lampu itu memang diciptakan untuk menyorot lebih jauh.

Dan berkat itu pula, kami bisa melihat Yyil yang berbaring di atas papan angin dalam keadaan tidak berdaya. Ada pula Zuo yang berjongkok di depannya, melihatnya dengan tatapan sangat cemas. Zuo langsung membantu Yyil untuk duduk, begitu melihat orang-orang mulai berdatangan.

"Ada apa?" tanya Bryon, ikut berjongkok untuk memeriksa keadaan Yyil.

"Tadi saat kami sedang berjalan, tiba-tiba Yyil tersandung sesuatu. Lalu saat sudah jatuh, ada sesuatu yang menarik rambut Yyil dan berusaha menyeret Yyil sampai ke ujung," jelas Zuo selaku saksi yang juga berada di tempat saat kejadian berlangsung, mewakili Yyil menjawab, karena tampaknya gadis itu terlalu lemas untuk menjawab pertanyaan saat ini.

Bryon menurunkan penerangannya ke papan angin yang tengah mereka pijak, namun cahaya minim yang dibawanya kurang membantu. Nael yang menyadari hal itu langsung menyorotkan senter ke arah yang sama.

Ada sela panjang di atas papan angin yang berakhir sampai ke ujung dengan lebar tiga sentimeter. Dipercaya sebagai sumber masalah yang diceritakan oleh Zuo barusan.

"Ini ulah makhluk air," simpul Bryon dengan kening berkerut.

"Yyil baik-baik saja, kan?" tanyaku kepada Zuo-karena sepertinya Yyil memang tidak bisa menjawab saat ini.

"Tidak apa-apa, dia belum sempat terseret masuk ke dalam air," jawab Zuo, lalu mengusap rambut Yyil. "Aku memotongnya, maaf, Yyil."

Yyil menggeleng pelan, namun tidak mengatakan apapun.

"Mereka memang sering menarik rambut korbannya untuk menyeretnya ke air," sahut seorang warga lain yang mengikuti kami untuk memeriksa keadaan, "Saran kami, sebaiknya kau juga memotong rambutmu."

Mereka jelas berbicara kepadaku, karena hanya akulah satu-satunya orang di sini yang memiliki rambut sedada. Aku hanya bisa mengangguk menanggapi, karena aku masih ingin hidup lebih lama daripada mati konyol karena diseret tenggelam.

Aku harus lebih waspada, karena Dillon sudah memberikan petunjuk kepadaku, bahwa aku adalah salah satu dari sekian banyak manusia hidup yang telah ditargetkan untuk ditenggelamkan oleh makhluk air.

"Bawa teman kalian di tempat peristirahatan," pinta salah satu warga yang membuat Zuo langsung mengangkat Yyil.

Malam itu, kami tidak jadi melaksanakan misi kami untuk mendaratkan salah satu makhluk air seperti yang telah kami rencanakan sebelumnya. Jujur saja, aku sedikit lega karena kami tidak jadi melakukannya.

Tetapi, rencana adalah rencana. Aku tahu kalau aku harus melakukannya lagi, nantinya.

*

Pagi yang lain telah datang. Aku menghabiskan waktuku untuk merasa cemas, mungkin Nael dan Zuo juga merasakan hal yang sama, karena saat aku keluar dari tenda peristirahatan kami, Nael dan Zuo sudah berada di luar, duduk di atas papan angin, entah membicarakan apa.

"Selamat pagi," sapaku kepada mereka berdua.

"Pagi," balas Nael dan Zuo bersamaan.

"Sedang membicarakan apa?" tanyaku sembari mengikuti mereka berdua duduk di atas papan angin.

"Kami membicarakan insiden semalam," balas Nael.

"Zuo melihat makhluknya?" tanyaku yang dibalas dengan anggukan oleh Zuo.

"Iya, dari dalam air. Matanya biru dan menyala," jelas Zuo, terlihat menggali memori lebih lanjut tentang kejadian yang dilihatnya semalam. "Aku sempat mencoba menghentikannya dengan menarik tangannya, tapi tangannya sangat licin dan dingin."

"Mereka mungkin tidak memiliki perasaan, untuk melakukan hal tidak manusiawi seperti itu," gumam Nael.

"Mereka bukan manusia," sahutku.

Ada sesuatu di dalam tenggorokanku yang seperti menusuk setiap sisi leherku, menahan kata-kata yang sebenarnya menyesakkan hati. Aku tidak ingin mengatakan hal seperti ini, rasanya seperti mengelompokkan semua makhluk air itu sebagai sesuatu yang sama, tidak memiliki hati dan perasaan.

Nael menyandarkan sebelah pipinya pada lututnya, menatap ke arahku, "Aku tidak tahu apa yang Dillon katakan kepadamu, tapi aku tahu kalau kau sedang mengkhawatirkan sesuatu."

"Aku tidak mengkhawatirkan apapun," jawabku.

"Kau tidak bisa berbohong, Skye," ucap Nael.

Seharusnya aku tahu bahwa aku tidak bisa berbohong di depan dua senior ini. Mereka tidak mungkin hanya orang yang biasa-biasa saja. Mereka bisa bahasa sandi dan banyak hal lain yang orang awam tidak pernah pelajari, termasuk membaca bahasa tubuh.

Zuo ikut menatap ke arahku, seolah tengah meneliti. "Iya, ada apa denganmu? Apa yang kau cemaskan?" tanyanya.

"Aku hanya ..."

Mataku terpejam erat, kata-kataku tertahan di tenggorokan. Ini bukanlah hal yang bisa dibicarakan dengan tenang, di hadapan orang seperti ini. Bagaimana jika mereka tahu bahwa aku tidak memberitahu mereka sama sekali mengenai ini? Mereka akan kecewa.

Kenyataan bahwa ada setengah hatiku yang menolak usul Dillon untuk membantu mereka menangkap makhluk air itu membuatku membenci diriku sendiri. Belum lagi memahami diriku sendiri, seseorang dari sisi diriku juga memperingatkan bahwa aku harus melakukannya, agar tidak ada korban lain seperti Yyil.

Mengapa aku tidak bisa merasa yakin dengan diriku sendiri?

Aku tidak bisa hidup terus-terusan seperti ini, dalam keadaan tertekan karena tidak tahu harus memihak kepada siapa. Makhluk air yang biasanya menyerang kota ini bukanlah makhluk yang baik, namun ada Ath yang menyelamatkanku saat aku berada di tengah-tengah keputusasaan yang membawaku terombang-ambing. Tidak memihak pada kaumku jelas juga adalah hal yang salah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

"Aku tidak tahu apa yang kulakukan sekarang, aku juga tidak tahu mengapa aku bisa berada di sini, di kota asing yang tidak pernah kupikirkan eksistensinya!" seruku yang membuat Zuo dan Nael tersentak kaget.

Nael yang tadinya menyandari pipi pada lututnya langsung duduk tegak, "Skye, kami tidak bermaksud untuk mendesakmu. Tenanglah."

"Ada apa ini?" Dillon tiba-tiba datang entah darimana, langsung duduk bersila di sampingku. "Apa yang kau tangiskan? Temanmu kan baik-baik saja."

Aku tidak sedang menangis, bahkan tidak ada sedikitpun titik air yang turun dari pelupuk mataku. Tetapi aku tidak menyanggah perkataan Dillon, karena sesungguhnya aku memang sedang ingin menangisi segala batas dan ketidakmampuan kami.

"Ayo, naik. Akan kuajak kalian keliling."

Aku tidak langsung bangkit. Kakiku sepertinya melemah tanpa sebab dan emosiku yang masih berkumpul menjadi satu, sepertinya tidak bisa menahan diriku untuk mengungkapkan hal yang menggangguku lebih lama lagi.

"Skye, kalau kau tidak segera naik, kulempar ke air, lho," ancam Dillon yang membuat Nael dan Zuo memelototinya. "Apa? Ini candaan umum di Kota Apung."

"Sungguh, itu tidak lucu," ungkap Nael menghela napasnya.

Aku juga sempat tersentak kaget karena candaan Dillon. Dillon menganggap kami adalah tamunya, yang mana halnya jika dia mengusirku, kami harus kembali ke lautan dan hanya bisa kembali ke dunia gelap tanpa kepastian yang antah berantah itu. Seketika, rasa sesakku digantikan oleh rasa ngeri.

Segera saja aku bangkit dari dudukku daripada menunggu Dillon benar-benar melemparkanku ke dalam air di pagi buta seperti ini.

Meskipun matahari baru menampak seperempat dirinya, namun Kota Apung tampaknya tidak menunggunya muncul sepenuhnya terlebih dulu. Banyak yang sudah melakukan aktivitas untuk bisa tetap bertahan hidup.

"Ini ujung pertama," ujar Dillon.

Saat sampai di ujung pertama, aku baru menyadari bahwa kota Apung berbentuk segitiga. Tali yang menahan ujung ini bukanlah tali tambang seperti tali yang kami temukan di salah satu pegunungan, namun rantai hitam kecoklatan yang telah sedikit berkarat dan berlumut.

Dillon menjelaskan bahwa ujung yang kami datangi kemarin adalah ujung kedua. Hanya ujung kedua yang ditahan oleh tali tambang, sedangkan ujung pertama dan ujung ketiga ditahan oleh rantai. Alasan mereka melakukan itu adalah karena katanya Kota Apung pernah dalam kondisi tidak seimbang karena ujung kedua pernah lebih berat dibandingan ujung yang lain. Namun semuanya sudah teratasi, karena semuanya sepakat untuk menyesuaikan keadaan.

Sementara untuk penyebutan tempat dari berbagai mata angin untuk mempermudah kegiatan penduduk di Kota Apung, mereka semua telah sepakat untuk menjadikan ujung pertama sebagai utara.

"Kalau tenda besar itu?"

Aku bertanya setelah menunggu Dillon tak kunjung menjelaskan apa fungsi dari tenda besar yang diletakan di tengah-tengah itu. Keberadaannya terlalu mencolok untuk diabaikan. Dillon juga hanya menjelaskan tentang jam-jam yang tepat untuk masuk ke dalam air. Waktu yang paling dilarang untuk masuk ke dalam air adalah senja sampai dini hari.

"Oh, itu ...," gumam Dillon. "Di sana kami menyimpan obat-obatan dan minuman penghangat. Kalian mau ke sana?"

Tentu saja, aku yang sangat antusias dengan hal itu. Aku tahu persis bagaimana pengobatan modren dilakukan, namun tidak dengan pengobatan yang ada di tempat yang tergolong sedikit primitif seperti ini. Itu memancing keingintahuanku dalam sekejap.

"Mau!" Kami bertiga membalas dengan kompak.

Dillon pun membawa kami menuju tenda besar yang sedikit kumuh dan gagah itu. Kami bertiga membuntuti dari belakang, saling berpandangan. Mungkin Zuo dan Nael juga sama penasarannya denganku dan mungkin mereka juga sedang menebak-nebak apa metode yang melakukan untuk pengobatan mereka selama ini.

Dillon menyikap tenda, sehingga kami bisa melihat sedikit isi di dalamnya.

"Ayo, masuk."

Ada banyak tabung transparant dengan ukuran yang sama, mengelilingi satu tenda. Masing-masing tabung berisi cairan yang warnanya bervariasi, mulai dari yang bening hingga coklat pekat. Aromanya juga sangat tajam dan menusuk hidung, membuat kami bertiga refleks menjepit hidung kami masing-masing dengan jari kami.

Dillon membuka salah satu toples itu. Aromanya semakin menguar di satu tenda. Rasanya aku ingin segera melarikan diri keluar dari sana dan membincangkan semua obat-obat itu tanpa perlu melihatnya. Dengan sebuah wadah, Dillon mengaduk cairan itu, lalu mengangkat wadah yang terisi oleh cairan itu.

"Ini minuman penghangat dan penambah tenaga. Tiga teguk."

Dillon menyerahkannya terlebih dahulu kepadaku dan kebetulan aku memang sedang kedinginan, hal itulah yang membuatku menerima minuman itu dan meneguknya pelan-pelan. Kucoba memanipulasi pikiranku dengan berpikir bahwa minuman itu tidak memiliki rasa, karena aku tidak ingin mengingat bagaimana cita rasanya.

Dan Dillon tidak berbohong. Walaupun lidah sampai tenggorokanku masih merasakan betapa pahitnya minuman itu, pelan-pelan aku merasa tubuhku semakin hangat.

"Wah, ini manjur sekali," komentarku.

Selanjutnya, Nael dan Zuo juga meminum minuman yang berwarna coklat itu. Pada tegukan terakhir Zuo, Dillon akhirnya memberikan kami sebuah pertanyaan.

"Apakah kalian tahu, minuman itu terbuat dari apa?"

Detik yang sama pula, aku teringat bahwa tidak ada apapun di sini selain ...,

"Ikan?!" tanyaku dengan suara keras, ingin menyalahkannya jika memang itu jawabannya. Kupikir Nael dan Zuo juga memikirkan jawaban yang sama.

"Meleset jauh," ucapnya yang membuat kami bertiga menghela napas lega.

Dillon menutup toples, lalu melanjutkan, "Jadi minuman ini adalah hasil dari endapan kuda laut, berbagai jenis reptil, cangkang kura-kura-"

"Sudah, cukup sampai di sana!" Zuo menghentikan ucapan Dillon sebelum minuman itu berputar-putar di perut kami dan kembali naik ke tenggorokan.

Jiwa Nael sudah terbang entah ke mana, saat mengetahui bahwa dia baru sana meminum sesuatu dengan kandungan hewan. Kami tidak memakan daging, tetapi rasanya seperti sudah melakukannya.

Usai dari itu, kami mengelilingi Kota Apung sampai siang. Dillon memperkenalkan tradisi yang biasanya dilakukan oleh penduduk Kota Apung, yaitu bermeditasi. Hal itu dilakukan agar tetap tenang dan fokus, tampaknya hal itu masih menjadi tradisi walaupun air telah naik drastis.

Ternyata, kemarin Bryon juga menjelaskan hal yang hampir serupa, tentang kebiasaan penduduk Kota Apung untuk memeriksa ketenangan ombak dan lain sebagainya.

"Dill, kau mau makan atau tidak?" tanya Bryon dari kejauhan.

Dillon menggangguk kepalanya, lalu menoleh ke arah kami, "Mau bergabung?"

"Tidak, terima kasih," balas Nael cepat-cepat.

"Aku tidak hanya bertanya kepadamu," balas Dillon yang membuat Nael menatapnya kesal.

"Aku juga, tidak dulu," gumam Zuo sambil berkontak mata dengan Nael. "Lagipula kami harus melihat keadaan Yyil."

Aku menggunakan alasan yang sama, untuk menghindari tawaran Dillon. "Ah, iya, kami mau melihat Yyil. Mungkin lain kali."

Dillon akhirnya mengangguk, "Baiklah kalau begitu."

Kepergian Dillon membuat kami bertiga menghela napas bersamaan. Sisa pil kenyang kami hanya tinggal beberapa, dan sepertinya dalam waktu dekat, kami harus membuka sekardus pil kenyang yang telah kami bawa sebelumnya dari helikopter yang jatuh.

Lalu setelah semuanya habis, mau tak mau kami harus mempelajari cara memakan ikan yang baik dan benar.

Mimpi buruk yang lain akan mengejar kami.

*

Yyil sudah kembali normal saat senja. Kali ini dia tidak lagi berjalan jauh-jauh dari kerumunan yang sedang menyantap makan malam-walau sebenarnya mereka makan senja, bukan makan malam.

Kami berempat membuat satu kubu untuk memisahkan diri dengan orang-orang yang memakan ikan-karena saat kami bergabung dengan kelompok Dillon dan Bryon, kami mendapat kepala ikan bakar dari kubu lain. Mereka memberikan kami masing-masing satu kepala dan akhirnya kami memberikannya kepada Dillon dan Bryon. Itu adalah pengalaman yang mengejutkan.

"Tadi kami sudah melihat lubang tempat kau jatuh semalam sudah mereka perbaiki dengan material-material aneh," lapor Zuo kepada Yyil.

Yyil yang rambutnya semula memiliki panjang sepinggang, kini hanya tinggal sebahu. Tadi, Yyil memintaku memotongnya agar lebih rapi, tetapi aku menolaknya karena aku bahkan tidak tahu cara memotong poniku.

"Kejadian kemarin lebih mengerikan daripada disuruh uji nyali untuk meloncat dari gedung sekolah," ungkap Yyil.

Aku pernah dengar dari salah satu temanku yang masuk di club hiking. Salah satu syarat untuk lulus dari club itu adalah memberanikan diri meloncat dari atap sekolah (rata-rata sekolah punya 20 lantai). Sedangkan untuk klub pertahanan hidup, syarat agar bisa lulus adalah berhasil bertahan hidup tanpa alat modren. Aku belum lulus dan kini harus bertahan hidup, ini menyedihkan.

Selanjutnya, mereka membicarakan beberapa hal yang tentu saja tidak kumengerti. Sejak awal, kami bukan dari kota yang sama, atau sekolah yang sama, atau bahkan club yang sama. Mereka adalah kelompok pendaki dan aku adalah kelompok pertahanan hidup, jadi kupikir wajar saja kalau pembicaraan kami tidak menyambung.

"Skye," panggil Dillon dari belakang yang membuat jantungku serasa meloncat dari tempatnya.

Aku berbalik, "Iya?"

"Kemari," pintanya.

Nael mengerutkan kening, lalu menatap ke arahku, "Ada apa lagi dengan Dillon?"

Entah hanya sekadar firasatku atau memang kenyataannya, tetapi tampaknya Nael dan Dillon tidak saling menyukai satu sama lain.

"Sebentar," gumamku sambil bangkit dari dudukku, lalu menatap ke arah Yyil, "aku punya sedikit urusan dengan Dillon, mungkin aku akan kembali ke tenda agak lama. Kau tidur duluan saja."

"Baiklah," jawab Yyil yang pada akhirnya membuatku pergi dari sana.

Aku segera menghampiri Dillon, Bryon dan beberapa orang di sana. Ada beberapa pemuda dan ada beberapa gadis, mereka semua menatap ke arahku dengan tatapan aneh.

"Jadi pendatang baru ini yang akan menggantikanmu menjadi umpan?" tanya seseorang yang membuatku langsung menoleh histeris ke arah Dillon.

Kuharap dia tidak lupa saat aku mengatakan kepadanya bahwa aku hanyalah gadis 49 detik!

"Iya, dia juga sudah ditandai oleh makhluk air lain," ucap Dillon yang membuat mereka semua terkejut menatapku, tak terkecuali Bryon.

"Wah! Dia telah ditandai, tetapi masih selamat. Kau hebat! Maaf sudah meragukanmu tadi," ucap orang-orang itu, membuatku yang bingung semakin kebingungan.

"Sudah berapa lama kau ditandai?"

Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya makhluk air menandai manusia, lantas bagaimana caranya aku tahu Ath sudah menandaiku berapa lama?

Fakta lain yang membuatku merasa tersakiti, karena Ath malah melakukan hal yang tidak pernah kuduga dan membuatku menjadi target semua makhluk air di bawah sana. Mereka semua mungkin sedang membuat pertaruhan tentang siapa yang berhasil menarik kakiku terlebih dahulu.

"Dillon, kau yakin?" tanya Bryon yang sepertinya membaca gelagatku yang ketakutan.

"Hm ... kalau kalian kurang yakin, bagaimana kalau kami berdua menjadi umpan?" tawar Dillon yang membuatku memucat. Aku hampir saja pergi dari sana dan menolak semua yang telah kusetujui.

Hatiku belum siap. Ternyata, aku baru benar-benar merasa gugup saat hendak melakukan praktek yang sesungguhnya.

"Dua umpan sama dengan dua makhluk air. Tidak buruk." Mereka semua menyetujui, rasanya keadaan semakin buruk saja.

Mereka semua membawa penerangan yang sama dengan yang dibawa oleh Bryon kemarin malam. Langit semakin menggelap dan hal yang sama terjadi dengan keberanianku. Aku juga semakin takut.

"Tenang, Skye, aku tidak akan membiarkanmu mati tenggelam," hibur Dillon--yang sesungguhnya tidak membuatku merasa tenang sama sekali.

Yang lain ikut menimpali, "Iya, Dillon belum pernah gagal menjadi umpan. Kau ada di sampingnya, tenang saja."

Meskipun mereka telah mengatakan hal itu, aku tetap tidak bisa tenang. Pikiranku dipenuhi oleh berbagai macam rekaman kegagalan dan semua ingatan yang terus bermunculan tentang betapa mengerikannya lautan ini.

Mereka mengikat tali tambang di perutku, aku bisa merasakan seluruh perutku menjadi mual.

"Apa sudah kencang?" tanya seseorang kepadaku, yang kubalas dengan anggukan.

"Kau sudah siap?" tanya Dillon.

Belum.

Hanya aku yang diikat. Mereka bilang Dillon sudah biasa menjadi umpan tanpa perlu ikatan. Mereka bilang aku membutuhkannya karena mereka bisa menarikku ke atas, sesegera mungkin.

"Kita hanya akan mencobanya sekali," ucap Dillon lagi.

Satu-satunya hal yang terbesit dalam pikiranku hanyalah menjadi umpan segera mungkin. Dengan begitu, aku tidak perlu lagi menghadapi keadaan yang sama dengan latar langit yang lebih gelap.

"Aku siap," ucapku pada akhirnya.

Aku dan Dillon turun ke air, mengapung lebih dulu karena aku harus mendengarkan instruksi Dillon terlebih dahulu sebelum menyelam ke dalam.

"Kau hanya perlu menahan napasmu. Kalau kau merasa ada yang menarik kakimu, tarik tambang yang mengikat di perutmu agar mereka segera menarikmu ke atas. Paham?"

Penjelasannya terlalu jelas, karena aku menyimak sambil memekakan semua tubuhku. Saat ini saja, aku sudah merasa seseorang akan menarik kakiku ke bawah, namun tampaknya itu tidak akan terjadi dengan cepat, karena kami baru saja masuk ke dalam air.

Aku mengangguk.

"Baiklah." Dillon melemparkan senyum. "Satu, dua, tiga."

Aku memasukan kepalaku dalam air, menahan napas sambil memejamkan mata. Ada sebuah fakta aneh yang kurahasiakan tentang diriku sendiri. Setiap aku menahan napas sambil memejamkan mata, aku selalu berhasil melakukannya daripada saat aku membuka mata. Itulah alasanku memejamkan mata saat ini.

Dillon tahu kalau aku hanya gadis 49 detik, jadi kupikir Dillon tidak akan memintaku untuk menahan napas lebih dari itu.

Seharusnya begitu, iya.

Aku merasakan rambutku mengambang ke atas. Di dalam air, rambutku menjadi sangat ringan. Tiba-tiba saja aku teringat dengan insiden yang terjadi dengan Yyil kemarin malam. Ada yang menarik rambutnya dan berusaha menariknya ke dalam air. Rambutku masih panjang dan tiba-tiba saja aku menyesal karena tidak memotongnya tadi.

Bagaimana kalau nanti mereka menarik rambutku lebih dulu?

Kukencangkan peganganku pada tali tambang yang mengikat perutku dan sisa tambangnya masih terhubung ke atas. Aku hanya perlu menariknya jika aku merasa terancam. Jika makhluk air itu menarik rambutku, aku hanya perlu menarik tali tambang.

Ya, itu yang harus kulakukan.

Oh ... sudah berapa lama aku di dalam air dan menahan napas?

Apakah sudah tiga puluh detik? Atau malah baru sepuluh detik?

Sepertinya aku sudah berpikir agak lama, namun rasanya paru-paruku masih bisa bertahan untuk beberapa puluh detik ke depan.

Kapan ada yang menarik kakiku?

Airnya dingin sekali.

Aku ingin ini segera berakhir.

Kapan ya?

Ini sudah berapa lama, ya?

Apakah aku sudah berhasil melewati rekor rata-rataku?

Aku ingin bernapas.

SREK.

Kaki kananku terasa berat. Ada sesuatu yang sama dinginnya dengan suhu air, melingkari pergelangan kakiku. Aku masih memejamkan mata, namun aku sangat yakin bahwa ...,

Ada makhluk air yang kakiku!

Langsung saja kutarik tali tambang itu kuat-kuat agar mereka menyadari bahwa sudah ada makhluk air yang datang menarik kakiku ke bawah.

Pelan-pelan, mereka menarikku ke atas. Aku sudah bisa merasakan ubun-ubun kepalaku sudah menyentuh permukaan air, namun tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba saja tarikan dari bawah ikut menguat.

Aku nyaris saja membuang semua napasku. Kucoba untuk tetap tenang dan bersabar menunggu mereka semua menarikku ke atas.

Tim pemburu kembali menarik tali yang mengikat perutku dan pelan-pelan ubun-ubun kepalaku berhasil menyentuh permukaan air lagi. Hanya beberapa kali tarikan lagi dan mereka berhasil membawaku bertemu kembali dengan oksigen.

Makhluk air yang menarik kakiku tidak membiarkan hal itu terjadi. Aku kembali ditarik ke bawah.

Perutku mulai terasa sakit karena tarikan yang berasal dari atas dan bawah. Keduanya menarikku dalam keadaan yang berlawanan dan rasanya perutku bisa terbelah menjadi dua, jika ini terus berlangsung.

Mereka kembali menarik dari atas lagi. Kekuatan tarikan dari bawah juga tidak berkurang sama sekali.

Pelan-pelan, tali yang mengikat perutku mulai meluncur naik karena licin.

Aku mulai panik, namun tetap menahan diri untuk tidak membuka mulut dan melepaskan napas banyak-banyak.

Tali itu sudah hampir lepas dari tubuhku. Beruntungnya, aku masih bisa mengapit tali tambang dengan kedua tanganku agar aku tidak perpisah dari tali. Selain itu genggaman tanganku pada tali juga ikut menguat.

Tarikan dari atas dan bawah semakin terasa menyakitkan. Aku benar-benar berharap bahwa Tim Pemburu segera menarikku ke atas.

Napasku makin lama semakin habis dan pikiranku mulai panik. Aku meronta dalam air, walaupun itu tidak membantu sama sekali. Ingin sekali kujangkau tanganku ke permukaan air, tetapi aku sadar bahwa aku tidak bisa melakukan itu.

Satu kali saja aku mengangkat kedua tanganku, tali tambang itu akan lolos dari tubuhku dan itu artinya aku menciptakan mautku sendiri.

Ah, sebenarnya saat aku menyetujui Dillon untuk menjadi umpan, aku sudah menciptakan mautku.

Keadaan semakin menegang, saat kurasakan kedua tanganku mulai dipaksa untuk menjauh dari sisi tubuhku. Makhluk air ini memaksaku untuk berhenti mengapit tali tambang itu. Saat itu, aku baru menyadari hal yang janggal.

Kakiku masih ditarik ke bawah dengan kencang, dan tanganku yang dipaksa untuk terangkat ke atas, ditarik oleh dua arah yang berbeda.

Ada berapa makhluk air yang menargetkanku saat ini?

Tanganku sudah nyaris terangkat 90 derajat. Aku masih memejamkan mataku karena aku tahu, saat aku membuka mata, aku pasti tidak akan bisa menahan napas lebih lama lagi.

Tangan kananku masih berpegangan pada tali tambang dan kini aku sudah bisa merasakan tangan kananku sudah berada di atas permukaan air.

Kuberanikan diriku untuk membuka mataku.

Dua pasang mata biru yang sangat dekat denganku, menatapku dengan tatapan tajam. Tatapan matanya sangat berbeda dengan mata biru yang pernah kulihat sebelumnya. Mereka berdua masih berusaha untuk membiarkan tali itu lolos dariku.

Dan sialnya, usaha mereka berhasil. Tali itu berhasil lolos dari tubuhku.

Pelan-pelan, peganganku pada tali tambang semakin menjauh, lalu lingkaran tambang yang tadinya mengikat tubuhku, secara kebetulan bisa tersangkut di leherku.

Keadanku saat ini ... kehabisan napas dan terkalungkan oleh tali tambang seperti menggantung diri.

Kali ini napasku terasa habis dan aku mulai memberontak sesuai naluri manusia yang mulai menyadari bahwa tubuh sedang dalam bahaya besar.

Sesak yang teramat sangat mulai sangat terasa. Seluruh tubuhku tidak lagi bergerak berdasarkan kemauanku.

Hanya ada satu hal yang terbesit di pikiranku saat ini.

Aku akan mati, aku akan mati.

Dan samar-samar, dalam pandanganku yang mulai menggelap, aku bisa melihat ...

Ratusan titik biru yang menyala terang, berada di lautan hitam yang gelap,

Tengah menatap ke arahku, dari bawah sana.

Hanya ada satu tangan yang menarik pergelangan kakiku, namun sisanya berpegangan pada makhluk air yang menangkapku.

Nama lengkapku Skye Miltown, umurku 15 tahun, dan aku sangat menyukai warna biru.

Dan tampaknya aku akan mati sebentar lagi.

Rupanya, nasibku bisa semenyedihkan ini.

***TBC***

25 Juni 2018

[A/N]

Hai.

Waah, aku deg-degan sekali mengetik ini.

Apakah kalian senang karena scene dag-dig-dug seperti chapter awal telah kembali?

INI BARU GANTUNG. Yang kemarin-kemarin mah, nggak gantung-gantung amat.

Hip hip, horay!

Ini 3700+ lebih. Ternyata kalau seharian fokus nulis, bisa sebanyak ini. Biasanya banyak yang capek kalau baca sebanyak ini, tapi semoga kalian nggak capek ya. Cukup paus aja yang capek karena ngetik banyak wkwkwkw.

Drop your emoticons of your emotion after you read this story.

How's our AQUA World today? <3

Mata 313k
Bintang 41.8k

See you in Aqua, two weeks again <3

Big of loves,

Cindyana

(Ikon paus menyusul)








*

Curhat, skip aja.

[Oke, biarkan aku curhat setelah kerja kerasku.

Di chapter kemarin, saat aku promosi APPETENCE di lapak Aqua World, aku mendapat komen seperti ini.

"Hah? Bikin cerita baru lagi? Aqua World sama Revive aja belum kelar. Makin lama dong updatenya." (emoticon bete)

Dan kalian yang komen itu, mungkin kalian nggak baca ceritaku yang itu, jadi kalian nggak tau apa yang sedang aku lakuin sejak Mei. Aku bakal jelasin langsung aja.

Kuakui aku emang jarang banget update Aqua World sama Revive. Topiknya berat. Aku nggak kuat kalau disuruh update rutin.

Sebenarnya aku mau unpublish Revive, tapi aku yang dasarnya nggak tegaan sama reader Revive, jadi aku TIDAK ngelakuin itu.

Member NPC juga sangat percaya sama aku, mereka yakin aku bisa namatin keduanya dengan baik tanpa perlu pake acara unpublish segala.

(BTW NPC BAKAL OPMEM BULAN JULI NANTI. Untuk info lebih lanjut, pantengin aja IG atau wattpadnya).

Jadi, bulan April akhir kemarin, saat sedang di depan komputer kantor, aku merenung mikirin banyak hal. Aku kerja, aku kuliah, aku nulis, dan aku punya kehidupan sosial. Mengapa aku tidak bisa mengontrol semuanya?

Aku putuskan untuk mengeluarkan ADK Series 1 - MIZAPH bukan tanpa alasan. Aku ingin nulis tanpa beban. Tujuannya juga agar aku terbiasa nulis setiap hari, soalnya aku sudah rada lupa bagaimana cara nulis panjang dan rutin.

Mizaph berakhir dengan chapter rata-rata 800 kata dan aku berhasil update Aqua dan Revive masing-masing sekali selama bulan Mei. Kupikir itu pencapaian yang bagus, jadi aku memutuskan buat melanjutkan ADK series 2 - APPETENCE.

Karena adanya event MWM (Marathon Writing Month), akhirnya aku menambah jumlah kata di APPETENCE, rata-ratanya 1000 kata, agar aku makin terbiasa nulis setiap hari.

APPETENCE juga bakal tamat bulan ini, lalu bulan depan aku akan melanjutkan ADK 3.

Dan jujur, sebenarnya komenan kalian benar. Mungkin bagi kalian updateanku bakal makin siput, tapi realitanya, malah sebaliknya, kan?

Untuk bulan ini aku telah berhasil publish 2 kali untuk Aqua dan Revive.

Nggak perlu cari siapapun yang komen begitu atau apa. Aku nggak marah, beneran. Di sini aku hanya mau ngasih tau kalau aku nulis bukan untuk satu orang. Aku juga nulis untuk diriku sendiri.

Dan lihat! Karena aku nulis Mizaph dan Appetence tiap hari, aku bisa nulis 3700 words hari ini!

Besok senin, aku kerja dan kuliahku mulai lagi, aku juga akan lebih berusaha lagi].

^ Will be delete one week from now on.

FYI, gegara curhat panjang lebar, wordsnya jadi 4200 lol.

Continue Reading

You'll Also Like

102K 8.5K 15
"Kalau aku mau putus, gimana?" "Sayang, lo tahu, kan, kalau gue nggak akan kabulin itu? Lo punya gue! Dan, lo nggak akan bisa kemana-mana dengan gela...
9.8M 1.2M 60
"Sumpah?! Demi apa?! Gue transmigrasi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga?!" Araya Chalista harus mengalami kejadian yang menurutnya tidak masuk a...
849K 83K 29
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
2.8M 266K 78
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya.