[✓] Best Friends

By uniessy

39.3K 4.3K 376

Sekuel dari Novel QUEENNORA yang semoga bermanfaat ❤ More

Quote
Best Friends
1. Ayah Ibu Kekasihku
2. Memilih Pemimpin
3. Pembeda Pembela dan Pencela
4. Beri Udzur
5. Teman Hijrah
6. Bangga Dengan Aib
7. Move On
8. Menolak Tapi Mendukung
9. Setelah Hijrah
10. Kenapa Ngga Bisa Cinta?
11. Penghibur yang Tak Terhibur
13. Berat
14. Fitnah Dajjal
15. Itsar
16. Lengah
17. Berterima Kasih
18. Kenapa?
19. Hadiah Terbaik
20. Faqqih
21. Bagaimana Jika
22. Jaga Menjaga
23. Nabi Tidak Nonton Konser
24. Jangan Salah Bela
25. Ternyata Terjadi
26. Beda Lajur
27. Tidak Peduli Sekitar
28. Tergelincir
29. Tiada Manfaat
30. Kriteria Suami Idaman
31. Teroris Pengecut
32. Pintu Surgamu Bukan Beban
33. Berpengaruh
34. Bucin
35. Soal Sesat
36. Luar Biasa

12. Tahan Lisan

1K 119 18
By uniessy


Serial BEST FRIENDS – 12. Tahan Lisan

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2018, 30 Januari

-::-

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ketika berbicara dengan Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu,

"Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?" Jawabku: "Iya, wahai Rasulullah." Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda, "Jagalah ini". Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?" Maka beliau bersabda, "Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?"

[HR. Tirmidzi no. 2616. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih ]



Kami menggegas langkah menuju pintu utama rumah sakit elite yang hari ini kami datangi. Aku dan Nora, tentu saja. Tujuan kami datang ke rumah sakit ini adalah untuk mengunjungi kakak dari teman kampus kami yang dirawat. Kudengar kalau tidak salah, dia sakit kanker usus.

Innalillaahi wa innailayhi rooji'uun...

Jujur saja, perutku langsung melilit begitu mendengarnya.

Teman kami namanya Diva, dan kakaknya bernama Debi. Yeah, kalau aku tidak salah dengar sih.

Diva tidak masuk kampus kemarin dan hari ini. Usut punya usut ternyata menemani ibunya menunggui kakaknya yang akan dioperasi kemarin sore. Nah, sekarang Nora mengajakku untuk menjenguknya.

"Hak sesama muslim, Queen. Jika ia sakit, kita harus menjenguknya. Allah suka itu," kata Nora ketika aku tanya kenapa kita harus menjenguknya. Maksudku, yang sakit kan kakaknya, bukan Diva-nya.

Tapi baiklah, lagipula aku tidak ada kesibukan lain lepas jam kampus siang ini. Kami bertolak ke rumah sakit menggunakan taksi dan tiba di rumah sakit sekitar jam sebelas. Setelah bertanya pada sekuriti ke mana kami harus pergi untuk mencapai ruang ICU, akhirnya di sini kami sekarang. Di depan lift yang akan mengantar kami ke lantai 33.

Nora memeluk beberapa penganan yang dia beli untuk diberikan kepada keluarga yang menunggu di sana. Dia tidak membeli buah-buahan untuk pasien. Tidak, dia membeli roti dan susu untuk asupan bergizi keluarga pasien yang menunggui pasien dengan setia. Mereka pasti kebanyakan makan makanan instan atau siap saji, bukan?

Di lantai 33, Diva menerima kami dengan senyuman. Kendati matanya bengkak bukan main. Dia pasti tidak tidur senyenyak kami malam tadi.

"Wa'alaykumussalaam," kata Diva dengan semringah yang dia upayakan. "Terima kasih banyak kalian sudah datang."

"Ah, bukan apa-apa," kata Nora, memeluk Diva dan ibunya, bergantian denganku.

"Bagaimana keadaan kakakmu? Keadaanmu juga, dan ibumu?" Nora bertanya sembari menoleh pada ibunya Diva yang terlihat sudah mulai renta. Setahuku Diva punya kakak-kakak lain yang lebih besar dan sudah menikah.

"Alhamdulillaah, operasinya berjalan lancar. Hanya saja dia belum sadar," jawab Diva. "Kalian ingin bertemu dengannya? Dia bisa diajak bicara meski mungkin tidak ada respons berarti."

"Ya, Ibu sering bicara padanya selepas dia operasi. Hanya memastikan bahwa dia tidak merasa sendirian..." kata Ibunya Diva.

Kami berdua mengangguk. Senang mendengar bahwa operasi berjalan lancar.

Setelah mendapat izin untuk menjenguk Debi, kakaknya Diva, aku dan Nora memasuki ruang perawatan. Ada beberapa pasien di sana. Diva mengantar kami dan sedikit menceritakan perihal kakaknya.

Bahwa kakaknya ternyata bukan hanya sakit kanker usus, tapi juga kanker rahim dan rahimnya harus diangkat.

"She is a good person," kata Diva ketika kami sudah keluar dari sana. "Dia sangat sayang pada Ibu, apalagi padaku... Tapi kenapa Tuhan memberikan cobaan seperti ini padanya? Pada kami?"

Pertanyaan Diva terdengar seperti kalimat protes. Aku melirik Nora yang wajahnya tak kalah sedihnya. Dia memeluk Diva dengan erat.

"Jangan pernah menyalahkan Allah, Diva," pesan Nora, masih memeluk Diva. "Minta pada Allah, agar kau dan keluargamu dikuatkan. Ingat kisah para Nabi. Dan hanya orang-orang terpilih yang Allah tempatkan di tempat-tempat penting..."

Diva menangis. Nora juga.

Well, aku juga.

Jikalau sudah berhadapan dengan takdirNya yang mungkin tak sejalan dengan apa yang kita inginkan, manusiawi jika kita ingin marah. Tapi kemudian kembali lagi, kita marah pada siapa? Sedangkan takdir ini ditetapkan olehNya.

Intinya, seperti yang Nora selalu bilang padaku, itulah makna dari hadits Nabi; Laa taghdhab wa lakal Jannah. Jangan marah maka bagimu surga.

Mungkin situasi seperti ini masuk dalam kondisi yang seharusnya tidak boleh marah.

Tapi, itulah manusia...

"Kakakku memang gemuk. Dia sering disebut gemuk di tempatnya bekerja atau di kalangan teman-temannya. Dan lagi usianya sudah lewat dari usia normalnya orang-orang menikah. Dia sering diledek dan membawa cerita itu ke rumah."

Diva duduk sembari menyeka air matanya. Ibunya sedang tidak ada di tempat tadi kami bertemu. Mungkin ke toilet.

"Memang kenapa kalau dia gemuk? Toh dia yang membuatku bahagia. Dia memperhatikanku dengan baik. Aku bangga mempunyai kakak sepertinya. Lalu tiba-tiba aku mendapatinya dengan penyakit-penyakit seganas itu. Dia bukan orang yang sembarang makan ini itu, aku tahu betul tentang itu. Dia menjaga makanannya makanya aku tidak mengerti kenapa dia bisa sakit separah ini..."

Isakan Diva terdengar. Nora memeluknya lagi.

"Allah Maha Baik, Diva. Dia akan memberi yang terbaik pada setiap hamba yang baik sangka padaNya," kata Nora. "Aku tahu ini tidak mudah jika sedang berada dalam kondisi yang diuji. Tapi percayalah, semua ini akan berlalu."

Isakan Diva terdengar melemah. Kemudian dia mengangguk, "Terima kasih, Nora, atas pengingatnya. Kau sungguh baik," Diva melirikku, "kau juga. Queen. Terima kasih kedatangannya."

Aku hanya mengangguk dan mnegulas senyum. Tidak seberapa lama, kami pamit pulang. NOra berpesan agar Diva tetap menjaga sangka baiknya pada Allah Azza wa Jalla.

Keluar dari lift, kulihat wajah Nora masih saja mendung.

"It is a sad news, to hear," kataku.

Nora menggeleng. Dia menghampiri satu bangku dan duduk di sana. Mengambil air minum dalam tas dan mengembuskan napas perlahan. Aku ikut duduk di sampingnya.

"It is pathetic, Queen," sanggah Nora. Sukses membuatku mengernyitkan kening.

"Meaning?"

"Kau tahu, kasus dari kematian Jonghyun, lalu sakitnya Kak Debi..." kata Nora. "Mereka depresi."

Keningku makin mengerunyut. Kalau kasusnya Jonghyun sih jelas dia depresi. Tapi Kak Debi?

"Dari mana kau bisa menduga demikian?"

Nora angkat bahu, "Dari hasil meneliti sekitar. Kau pernah dengar, ada orang yang perlahan-lahan mati, sebab putus cinta? Depresi menggerogoti dirinya dengan begitu sadis, Queen, karena ditinggal oleh orang yang dia sayang," kata Nora kemudian. "Sepupu nenekku dari pihak ibu, setahun yang lalu wafat karena kanker rahim di pengujung usianya. Padahal usianya sudah nyaris 70 tahun. Kutebak dia depresi."

"Kau, eung---tebak?"

Maksudnya begini, okelah ayahnya Nora dokter. Tapi Nora selalu bilang bahwa dia tidak ada minatnya sama sekali dengan dokter-dokter dan segala macam. Nah, sekarang dia menebak-nebak penyakit.

"Nenekku itu sudah puluhan tahun ditinggal suaminya yang meninggal dunia. Hidupnya berjalan biasa. Dia sehat dan sering berkunjung ke rumahku. Belakangan sebelum wafat, diketahui dia mengidap kanker rahim, padahal selama 68 tahun hidupnya dia sehat-sehat saja. Dua tahun terakhir masa hidupnya, dia bolak balik menjalani pengobatan ke sana-sini," jelas Nora. "Kau tahu, aku ingat di usianya yang 68 kala itu, anaknya yang paling dia sayang, dan menyayanginya, meninggal dunia. Ibuku bilang, bahwa anaknya itu tempatnya berkeluh kesah, tempatnya bercerita, dan anaknya yang amat sangat bertanggung jawab dibanding anak-anaknya yang lain. Dari sanalah aku menebak, nenekku depresi ditinggal pergi anak kesayangannya."

Aku masih berpikir ketika Nora melanjutkan.

"Kau lihat, puluhan tahun dia ditinggal pergi suaminya, tapi dia bertahan sebab ada orang yang mengerti dirinya dengan amat baik. Lantas, ketika orang itu pergi, dia menjadi sendirian..." Nora menitikkan air mata. Kurasa Nora juga sayang sekali dengan neneknya itu. "Kau tahu Nabi Yakub Alayhissalaam? Bukankah matanya buta akibat sedih anaknya Yusuf pergi dan tak kembali? Setiap dari kita jika menyimpan kesedihan, akan sangat berbahaya untuk diri kita sendiri. Itulah mengapa sebaiknya kita menjaga agar kekuatan pikiran kita untuk tetap stabil."

Aku mengerjap, baru paham ke mana arah pembicaraan Nora sekarang.

Terngiang tadi kata-kata Diva, bahwa kakaknya sudah melewati usia di mana perempuan biasanya sudah menikah.

Mungkin ada banyak pertanyaan kapan nikah kepada kakaknya itu?

"Lisan orang memang berbahaya. Sayangnya, sebagai makhluk sosial, kita sulit menghindari dari keburukan lisan orang lain," kata Nora lagi. "Kau tahu, ada kasus seorang ibu tega menghabisi nyawa anak-anaknya? Karena dia depresi. Tidak ada yang memahaminya, dan mungkin lingkungan sekitar sungguh tidak mendukungnya. Hidup di zaman sekarang benar-benar harus mempunyai iman setebal baja."

"Yeah, right. Mereka bicara kejam seperti tidak punya hati, dan empati."

Helaan napas Nora terdengar. Dia meneguk air minumnya lagi.

"Aku sering ditanya oleh sanak saudara, kapan lulus kuliah, lantas tentang nilai-nilai semesterku. Nanti akan dibandingkan dengan nilai semester anak-anak mereka."

"Haha," Nora tertawa garing. "That's pathetic. Seringnya orang bertanya bukan karena mereka peduli, tapi hanya untuk pamer."

Aku mendengus sebal. Tapi memang kebanyakan orang begitu sih!

"Kau ingat, RasulAllah Shallallaahu 'Alayhi Wasallam pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari; Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah. Nah, ini maksudnya. Kalau kita tidak bisa melontarkan ucapan-ucapan baik, sebaiknya kita diam. Tahan lisan. Aku sungguh heran dengan orang yang bertanya kapan seseorang menikah, hanya karena dia sudah menikah. Atau bertanya kapan seseorang punya anak, hanya karena dia punya anak. Atau malah bertanya kenapa seseorang bercerai dan malah menyalahkan temannya sebagai pasangan yang tidak becus terhadap pasangannya, hanya karena rumahtangganya baik-baik saja..."

Aku setuju.

"Saudaraku pernah ribut sampai tidak teguran satu sama lain sekian tahun, hanya karena satu pihak tidak terima anaknya disebut lamban dalam pertumbuhan hanya karena pihak satunya membanggakan anaknya yang sudah bisa ini itu dan segala hal, padahal kedua bocah itu usianya sama," aku tertawa miris. "Padahal saat orangtua mereka ribut, kedua anak mereka asik main bersama."

"Itulah," Nora menyeka air matanya. "Kak Debi pasti menyimpan sedih yang banyak karena orang di sekitarnya mungkin repot bertanya kapan dia menikah? Mungkin, itu tebakanku. Tapi biasanya begitu. Saudaraku sampai memusuhi saudaraku yang lainnya hanya karena pertanyaannya tak jauh dari kapan menikah setiap kumpul keluarga. Maksudku, orang akan menikah ketika sudah ditetapkan Allah untuk menikah, benar?"

Aku mengangguk cepat.

"Lalu Kak Debi bisa jadi depresi juga karena orang-orang asik menyebut dirinya gemuk. Padahal gemuk itu bukan dosa besar, Queen. Standar cantik yaitu tinggi, putih, dan langsing diciptakan oleh orang-orang kapitalis. Mereka mengusung pendapat itu hingga banyak orang berlomba menjadi seperti apa yang mereka giring untuk percaya."

Aku terdiam.

Kepalaku rasanya dihantam kenyataan yang konyol. Bukankah anggota girlband-girlband yang ada di Korea Selatan itu tubuhnya nyaris serupa?

Dan seluruh dunia berpikir bahwa itu standar cantik. Padahal...

"Sampai mereka lupa, bahwa kesehatan lebih utama," lanjut Nora. "Depresi menggerogoti kesehatan mereka dari dalam. Bisa dibilang, depresi lebih sadis daripada virus HIV yang sama-sama merontokkan sistem kekebalan tubuh. Depresi lebih jahat karena korbannya selalu berusaha agar terlihat biasa saja di hadapan semua orang. Padahal mereka hancur di dalam. Dan mereka pikir mereka bak-baik saja, mungkin hanya hati dan pikiran yang tercabik. Nyatanya lebih parah dari itu..."

Bayangan Kak Debi yang terbujur diam dengan selang-selang di sekujur tubuh, hadir lagi.

Dari sosmed-nya Diva, yang kulihat adalah kakaknya yang begitu penyayang. Mungkin rentang usia mereka yang cukup jauh, membuat Debi menyayangi Diva seolah dia adalah anaknya sendiri. Ya, Diva lahir ketika Debi kelas 2 SMA.

"Tapi setidaknya," Nora lagi-lagi menyeka air matanya dengan tisu yang kuberikan barusan. "Kita belajar banyak dari sini. Belajar untuk mengerem lisan kita, Queen. Jangan asal berkomentar, atau bertanya pertanyaan yang mungkin bisa membuat orang yang ditanya sakit hati. Kalau mau peduli, silaturahim lah ke rumahnya, kunjungi dia. Bukan membandingkan hidupnya dengan hidup kita. Karena hidup tiap orang tentu beda-beda. Tak sama, dan tak akan pernah sama. Tahan lisan, Queen. Sungguh, dari lidah dan kemaluan kita mendapat banyak hisab nantinya. Naudzubillaahimindzalik. Semoga Allah menjauhkan kita dari yang demikian."

Aku mengamini.

Aku tahu, dan paham, yang Nora maksudkan.

Nora tidak pernah sekali pun memanggilku dengan panggilan buruk. Justru dia memanggilku dengan panggilan sayang; Yaa Ukhtayya. Hihihi...

Nora selalu bisa melihat kebaikan di diri setiap orang. Euhm, kurasa karena dia sudah belajar untuk ber-husnuzhan atau berbaik sangka; kepada manusia lain, dan kepada Rabb-nya.

Dia pernah memarahiku yang berkomentar kenapa banyak sampah bertebaran, apakah orang-orang itu tidak berpikir bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Kau tahu apa katanya?

"Komentarmu tidak akan menyelesaikan permasalahan sampah yang bertebaran ini. Kalau kau mau, pungut sampahnya dan buang di tempatnya. Kalau tidak, bagaimana jika kita lewati saja?"

Aku hanya bungkam. Nora biasanya mengambil sampah yang ia temui jika itu bungkus permen atau makanan ringan. Tapi yang kami temui adalah sampah basah dan kami sedang tidak membawa kantung plastik. Jadi, ya kami lewati saja.

Atau ketika dia marah ketika aku mencela artis yang melepas hijabnya. Dia bilang; Allah yang meletakkan hidayahNya pada kita, dan Allah yang berkehendak untuk mencabutnya. Maka tugas kita adalah terus meminta Allah agar kita senantiasa diberi hidayah, bukan mencela orang lain dengan menuduhnya membuang hidayah begitu saja.

"Kita ini manusia, dan manusia itu hina, Queen. Yang membuatnya mulia adalah iman kepada Allah azza wa jalla. Lantas untuk apa kita menghabiskan waktu kita untuk menghina orang lain yang jelas memang sudah hina, terlebih lagi kita sendiri juga sudah hina sama seperti mereka. Mengapa kita tidak menggunakan waktu yang ada untuk mendekat pada Allah Subhanahu wa Ta'ala?"

Dan saat itu dia melanjutkan dengan pertanyaan yang membuatku kian mengatupkan rahang.

"Memang sudah seberapa banyak hafalanmu? Seberapa lama berdirinya kau dalam shalatmu? Seberapa besar sedekahmu?"

Tuh kan, dia kerap menyebalkan!

Tapi aku sayang. Hehehe...

Yaa Rabb, mohon jaga lisan kami. Biarkan dzikir menghiasi daripada kata-kata yang mungkin menjadi buruk untuk orang lain.

[]

Itulah manusia, ia menganggap perkataannya tidak berdampak apa-apa, namun di sisi Allah bisa jadi perkara besar. Allah Ta'ala berfirman,

"Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar."

[ QS. An Nur: 15 ]

Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.




Continue Reading

You'll Also Like

52.2K 3.1K 47
Bagaimana jadinya jika harus dipertemukan lagi dengan manusia yang bernama 'MANTAN'. Bertemunya kembali bukan hanya sekedar pertemuan biasa, tapi per...
1.2K 137 39
Kisah tentang perjalanan hidup Nayla Syarifah, yang diawali dengan pertemuannya dengan Rendy Ananta Dika, dan Deni Arya Candra.
579K 70.2K 19
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...
1.2M 25.5K 7
PROSES PENERBITAN. "Datangmu seperti hujan. Tanpa kondisi jua tanpa permisi. Tiba-tiba." Sebelumnya, ia tak pernah berpikir akan menjadi seperti saat...