BALAPAN

By shisakatya

149K 24.2K 5.3K

Masalah dalam hidup seperti bayangan. Semakin kencang kau lari, semakin jauh kau pergi, masalah akan selalu m... More

Jerman tanpa teman
Masih tentang mereka
Family
Arti hadirmu
Wahai sahabatku
Rayuan setan
Ikuti kata hatimu
Numpang PROMO MAS AGAM
Dia tetap sahabatku
Yang sabar ya kakak
Iri tanda belum bersyukur
Baperan amat lo
Panggilan di hati
Mungkin kita berbeda pemikiran
Menjadi lebih baik tidak perlu diobral
Kamu tidak sendiri, kawan
Iblis salah jalan
Ketakutan Agam
Dengarkan menggunakan hatimu
Sudah bersyukur hari ini?
Tujuan hijrah Barra
Iri karena aku mau
Ayo hijrah bersamaku
Kita bisa karena percaya
Nilai aku dengan baik
Keluhan para penghijrah
Cerita cinta para sahabat
Aku Menyerah
Akhirnya kau memahamiku
Bahagia menjadi sahabatmu
Sosok perempuan di mata mereka
Rahasia hidup
Jangan pernah melupakanku

Semua yang dilihat berbeda

3.9K 744 144
By shisakatya

Tidak semua hal harus kau pikirkan. Biarkan salah satunya terlarut dalam waktu. Agar kau paham apa arti sebuah pilihan.


"Ibuu.." panggil Wahid dengan senyuman ketika melihat sosok perempuan yang tidak dia duga-duga akhirnya datang ke negara tempat dia melanjutkan sekolahnya. Di samping perempuan yang Wahid panggil Ibu, terlihat seorang laki-laki turut melambai ke arahnya dengan sebuah ponsel yang menyala di tangannya.

Langkah Wahid yang awalnya begitu ringan ingin mendekati Ibunya nampak terhenti. Dia menyamarkan senyum kecewanya sejenak, lalu menghapus pikiran buruk apapun tentang sosok laki-laki yang selama ini dia panggil Ayah.

"Alhamdulillah, akhirnya Ibu ketemu kamu juga," ucap perempuan bernama Umi itu. Walau usianya sudah berkepala empat, namun bagi Wahid, Ibunya itu masih terlihat begitu muda. Apalagi gaya berpakaiannya yang tidak jauh berbeda dengan para sepupu perempuannya, membuat Wahid yakin bila masih banyak laki-laki yang bersedia mencintai Ibunya itu.

"Kamu baik-baik aja kan sayang?" tanya Umi memeluk tubuh Wahid erat.

"Bu, Wahid bukan anak kecil lagi." ucapnya risih.

"Kamu tetap putra kecil Ibu." ungkap Umi jujur. "Lagian kenapa kamu nggak tinggal di rumah kita aja sih sayang. Kenapa harus pindah tempat tinggal segala,"

Wahid terkekeh. Sebelum menjawab pertanyaan Ibunya, dia sempat melirik Ayahnya yang masih sibuk menghubungi seseorang dengan ponselnya.

Jujur saja ada perasaan kesal ketika Wahid melihatnya. Selalu saja sikap Ayahnya seperti ini. Sibuk dengan urusan lainnya, padahal ada keluarga yang membutuhkan perhatiaan laki-laki itu juga.

Namun menurut pendapat Wahid, Ayahnya benar-benar tidak pernah jera. Apalagi pernah terjadi moment ketika Ayah dan Ibu Wahid mengalami insiden kehilangan buah hati mereka, sama sekali tidak dijadikan pembelajaran sedikitpun.

Sang Ayah masih saja mengutamakan hal lainnya jika dibandingkan dengan keluarga. Entah apa alasan dari sang Ayah melakukan semua itu, karena sampai detik ini pun Ibunya tidak pernah memberitahu apapun kepada Wahid.

"Wahid mau mandiri, Bu."

"Mandiri bukan berarti membuat khawatir orang tua, sayang. Setiap saat Ibu cuma bisa berdoa, semoga putra Ibu selalu dilindungi olehNya,"

"Memang doa yang paling Wahid perlukan, Bu. Doa biar sehat, kuliah lancar. Dan bisa banggakan Ibu,"

"Itu pasti, Nak. Orang tua mana yang lupa mendoakan anaknya sendiri," sahut Umi bahagia. Dia merangkul bahu Wahid, lalu memberikan kode kepada suaminya dengan senggolan melalui sikunya.

Hans, Ayah dari Wahid pun mengangkat ibu jarinya tanda mengerti kode yang diberikan oleh istrinya.

Walaupun masih sibuk dengan panggilan di ponselnya, Hans tetap siap siaga membantu Umi untuk membawakan koper mereka berdua. Berjalan menyusuri dalam bandara menuju sebuah mobil yang sudah Wahid persiapkan untuk menjemput kedua orang tuanya.

"Kamu lihat siapa?" tanya Umi pada Wahid yang tersenyum-senyum sambil melirik sesuatu.

"Lihat Ayah, Bu."

"Yah begitulah Ayahmu. Kelihatan cuek tapi dia perhatian." jawab Umi tanpa ragu. "Ayahmu memang bukan sosok laki-laki sempurna. Dia pernah melakukan kesalahan, dan membuat semuanya hancur berantakan. Tapi..." gantung Umi pada cerita singkatnya. "Tapi Ibu bangga padanya. Meski sulit. Meski dia sudah kehilangan banyak kepercayaan dari orang-orang sekitarnya. Dia sampai sekarang tidak pernah ragu. Dia tetap menjadi dia. Nggak berubah. Nggak mendadak jadi alim atau seolah-olah menjadi ustad yang menyiarkan banyak hadits-hadits. Dia tetap seorang Ayah, dan seorang suami. Hanya saja dia sering membagi kisahnya kepada orang lain agar tidak terjerumus kedalam lubang yang sama seperti dirinya," cerita Umi.

"Ya.. Ayah memang begitu," ucap Wahid setuju.

"Itulah yang harus kamu pelajari darinya. Jangan ceritakan apapun kepada orang lain jika itu bukanlah kisahmu. Karena kita ini cuma manusia. Yang sering kali melebihkan sesuatu dan mengurangi sebuah kebenaran. Agar kelihatan cerita itu sempurna,"

Kepala Wahid mengangguk cukup cepat. Satu hal lagi yang dia dapatkan dari nasihat Ibunya. Dan sudah harusnya dia terapkan dalam kehidupannya sehari-hari.

***

"Gam..." panggil Barra sambil mengetuk pintu kamar sahabatnya itu.

Baru saja keduanya selesai membicarakan sosok Wahid, sahabat mereka yang belum kunjung pulang meski hari sudah malam. Dan ternyata ketika Barra mengecek ponselnya, ada sebuah pesan dikirim oleh Wahid sejak sore tadi yang berisi bila laki-laki muda itu tidak pulang malam ini.

"Apa?" tanya Agam dengan kedua mata menatap Barra tajam.

Barra sekilas tersenyum, "si Wahid nggak pulang, Gam." ucapnya sambil menggoyangkan ponsel yang berisi pesan dari Wahid.

"Terus?"

"Iya, ini dia kirim pesan." cengirnya.

"Lo itu ibunya dia?"

"Bukan."

"Bapaknya?"

"Ya bukan juga. Gue masih muda begini, masa dibilang bokapnya oli samping," seru Barra.

"Ya udah. Terus apa masalahnya?"

"Ya kan, gue kasih tahu lo gitu kalau Wahid nggak pulang. Biar lo nggak khawatir," aku Barra jujur.

Barra menaikkan kedua alisnya ketika suara tawa Agam menjadi balasan dari kalimatnya. "Gue nggak peduli, Bar. Dia mau pulang atau nggak. Dia bukan anak kecil lagi, dia juga bukan perempuan, dia bahkan bukan adik gue. Terus nggak ngaruh apa-apa juga lo tunjukin pesan dia ke gue. Nggak penting. Paham lo?"

"Kok lo gitu banget, Gam? Gimana pun dia sahabat kita. Apa salahnya sih lo bilang makasih ke gue karena udah kasih tahu info dia. Lagi pula niat dia baik kok kasih kita info. Kan bisa aja kita melapor ke polisi karena dia nggak pulang." ungkap Barra kecewa. "Gam, lo bisa kan sedikit aja tunjukin rasa perhatian lo. Gue nggak paham sama pikiran lo sekarang, lo tuh kayaknya benci banget sama Wahid. Padahal dia juga nggak melakukan apa-apa,"

Agam menarik napasnya dalam sebelum menjawab kalimat kekesalan Barra. "Apapun yang lo bilang, gue nggak peduli. Mau gue nggak perhatian, atau terkesan cuek, itu hanya sebuah penilaian yang lo kasih."

"Tapi, Gam!! Dia itu orang Indonesia. Dia tinggal di mana lagi kalau bukan sama kita-kita? Dia orang nggak mampu, Gam. Biasanya lo orang yang paling depan untuk bantu apapun bagi orang lain yang kurang mampu. Tapi kenapa sama Wahid beda? Dia juga manusia, Gam. Walau wajahnya mulus begitu, tapi gue udah periksa kok dia real manusia."

"Dia orang nggak mampu? Kata siapa?" tanya Agam dengan ekspresi menahan tawa.

"Kata gue barusan!!!"

"Mulai besok, lo belajar lagi menilai orang lain. Gue tahu lo anak sastra. Yang paling pintar berkata-kata. Tapi jangan sampai kata-kata lo berubah menjadi kebohongan belaka. Ngerti lo?"

Barra terlihat memikirkan kata-kata Agam. Dia mulai tidak yakin atas apa yang ada di otaknya. "Emang dia bukan anak orang miskin?" tanya Barra perlahan.

Agam mendorong tubuh Barra menuju ke dalam kamar Wahid. Lalu membuka pintu kamar itu lebar-lebar. "Buka mata lo lebar-lebar,"

"Apaan yang harus gue lihat? Sarung kotak-kotak gambar gajah itu? Elah itu mah sarung murah,"

"Bukan itu!!!" ucap Agam sedikit membentak.

"Terus apa?"

"Lihat lagi dengan jelas!!!"

Kedua manik mata Barra bergerak ke kiri dan ke kanan, memastikan apakah ada barang-barang mewah yang terlihat. Namun tidak ada satupun dari barang mewah yang dimiliki oleh Wahid. Semua masih taraf standar yang mampu dimiliki oleh semua orang. Lantas apalagi yang harus Barra perhatikan?

"Apa?" tanya Barra kembali.

Agam mengarahkan jari telunjuknya ke arah sebuah bingkai foto di atas meja belajar Wahid. Di sana terdapat beberapa orang seusia Wahid nampak berfoto bersama dengan latar sebuah gedung perusahaan bertuliskan AL KAHFI GROUP.

"Lo lihat kan?" tanya Agam memastikan Barra melihat apa yang dia tunjuk.

Sahabatnya itu mengangguk, dia memang melihat ke arah apa yang Agam tunjuk. Namun fokusnya bukan ke arah nama perusahaan yang menjadi background foto. Melainkan ke arah seorang perempuan muda yang sudah menjadi fokusnya sejak pertama kali melihat.

"Lo udah tahu sekarang orang seperti apa dia?"

"Dia sempurna..." gumam Barra dengan hati yang berdebar semakin tak menentu.

***
Continue..

I'm falling in love.. I'm falling in love with youu..

Ciee elah, barra.. Whakakaka.. Untung agam nggak tahu ya kalo lo salpok..

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 244K 58
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
143K 13.9K 49
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
101K 5.6K 56
Ini tentang Nazira Shafira Aulia yang harus mengalami cinta segitiga dengan sepasang saudara kembar. Mereka adalah Farhan Habibie Alfaqih dan Farzan...
59.2K 4.7K 31
Lagi asik-asiknya panen mangga eh malah denger lelaki ngucap akad pakai namanya??? HAH! KOK BISA? .... ⚠️ FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ ... Di keluarga...