BALAPAN

By shisakatya

149K 24.2K 5.3K

Masalah dalam hidup seperti bayangan. Semakin kencang kau lari, semakin jauh kau pergi, masalah akan selalu m... More

Jerman tanpa teman
Masih tentang mereka
Family
Arti hadirmu
Wahai sahabatku
Rayuan setan
Ikuti kata hatimu
Numpang PROMO MAS AGAM
Dia tetap sahabatku
Yang sabar ya kakak
Iri tanda belum bersyukur
Panggilan di hati
Mungkin kita berbeda pemikiran
Menjadi lebih baik tidak perlu diobral
Kamu tidak sendiri, kawan
Semua yang dilihat berbeda
Iblis salah jalan
Ketakutan Agam
Dengarkan menggunakan hatimu
Sudah bersyukur hari ini?
Tujuan hijrah Barra
Iri karena aku mau
Ayo hijrah bersamaku
Kita bisa karena percaya
Nilai aku dengan baik
Keluhan para penghijrah
Cerita cinta para sahabat
Aku Menyerah
Akhirnya kau memahamiku
Bahagia menjadi sahabatmu
Sosok perempuan di mata mereka
Rahasia hidup
Jangan pernah melupakanku

Baperan amat lo

4.4K 735 157
By shisakatya

Apapun yang diawali dengan kemarahan pasti akan berakhir dengan penyesalan.

Hari Jum'at pagi ini terlihat berbeda. Kondisi tubuh Wahid nampak terlihat tidak sehat. Berulang kali laki-laki itu bersin sambil menyelimuti tubuhnya dengan kain sarung.

Suhu udara di Jerman pada bulan Desember ini memang sangat tidak bersahabat. Apalagi bagi Wahid yang tubuhnya belum terbiasa, harus perlahan-lahan menyesuaikan diri lebih dulu.

Untung saja kampusnya sedang libur musim dingin. Jika tidak mungkin Wahid akan menyerah untuk datang ke kampusnya itu.

"Hachiiimmmm..."

"Innalillahi.." suara Barra menyahut.

"Lo pikir gue mau mati. Pakai innalillahi segala," gerutu Wahid tak suka.

Hidungnya sudah memerah karena berulang kali diusap dengan tisu agar menyumbat cairan yang selalu berkunjung ketika flu melanda.

"Hahaha. Terus apa? Tapi setahu gue innalillahi itu bukan cuma buat orang meninggal," sahut Barra mencoba membenarkan ucapannya.

"Ya tapi bukan itu jawabannya. Gila lo mah,"

Wahid diam tak ingin menanggapinya lagi. Dia melirik Agam yang masih sibuk berkutik di dapur tanpa suara sedikitpun.

Memang dari mereka bertiga, untuk urusan dapur, Agam adalah juaranya. Masakan yang dia buat selalu membuat Wahid dan Barra ketagihan.

"Ye gitu aja ngambek loh." suara Barra kembali.

"Nggak penting ngambek masalah begitu," sambung Wahid nampak semakin menggigil dengan suhu ruangan yang terlihat 15 derajat. Padahal temperatur suhu sudah dinaikkan oleh Agam agar kondisi Wahid tidak semakin memburuk. Tetapi bagi Wahid semua rasanya sama saja.

"Gam, udah belum. Gue mau minum obat,"

"Bentar lagi selesai. Nggak usah ribut lo!!"

Bibir Wahid mencibir. Memang julukan Mamak tiri cocok sekali disematkan kepada Agam. Walau tubuhnya kekar, namun untuk masalah kebersihan dan makanan yang baik, dia rajanya.

Karena masih menunggu cukup lama, Wahid mulai tertarik melihat kegiatan yang Barra lakukan dengan laptopnya. Sedari tadi Barra terlihat sibuk mengetik-ngetik sesuatu yang Wahid tidak tahu itu apa.

Untuk itu Wahid mencoba mendekat, membaca perlahan-lahan setiap kata yang dirangkai Barra hingga menjadi kalimat yang indah.

"Hayo.. Baca apa lo, bocah!!!" suara Barra mengagetkan.

"Kurang ajar lo. Kaget gue!!" pukul Wahid pada bahu Barra yang duduk di atas karpet bulu berukuran sedang dekat sofa ruang televisi mereka. "Buat apaan lo?"

"Menurut lo apa?" tanya Barra balik sembari membiarkan Wahid membaca tulisan di layar laptopnya.

Wahid menyipitkan mata. Membaca setiap kata yang mengandung kata tersirat penuh makna.

Alangkah anehnya jalan pikiranku ini..
Yang entah mengapa tak pernah memiliki akhir seperti keinginan hati..
Walau seribu bayang hadir dalam mimpi..
Diakhir kisah ini..
Aku hanya berharap ada dirimu menunggu dengan segenap rindu di hati..

"Itu curhat?" tanya Wahid dengan sebelah alis terangkat.

"Kalau menurut lo curhat nggak papa." kekeh Barra.

"Gue serius. Itu apaan? Gue nggak ngerti bahasa-bahasa aneh begitu," balas Wahid malas.

Barra membisu. Memeluk kedua kakinya, lalu memandang jauh ke arah jendela yang menampilkan suasana putih di luar sana karena tertutup salju.

"Ini prosa,"

"Hm.. Lalu?" ulang Wahid bertanya karena tidak paham.

Dia bisa melihat Barra tertawa geli. Lalu menepuk paha Wahid yang tertutup oleh kain sarung.

"Ah, dasar anak SMP, mana paham lo soal cinta,"

Dalam satu lirikan, Wahid mencibir kesal. Mengapa sahabatnya satu ini bisanya hanya menghina saja kerjaannya.

"Tapi bagus nggak? Mulus kan ya kalau dikirim buat seseorang. Yah walau mulusnya nggak kayak muka lo. Tapi gue yakin ini indah," ucap Barra membanggakan diri.

Wahid tak menjawab. Dia berjalan ke arah dapur di mana Agam sudah menyajikan makanan yang baru saja selesai dia masak.

"Hid, asem banget lo. Malah kabur gitu aja. Mana bau banget lagi!!! Lo bukan flu itu mah, cuma nahan boker aja!!!" amuk Barra kesal.

Kali ini Wahid cekikikan puas. Kapan lagi dia bisa membalas sahabatnya itu. Selagi ada amunisi kenapa tidak dikeluarkan?

"Sorry deh. Gue mau boker nanggung. Mau makan dulu. Biar nanti yang keluar sekalian gitu," kekehnya semakin geli.

Agam sekilas melirik, tetapi mengabaikan kembali. Ia seakan tidak peduli dengan candaan kedua sahabatnya.

"Jangan lupa minum obat, lo."

"Beres!!!" satu suapan besar sup ayam yang Agam buat lolos masuk ke dalam mulutnya. Dia tersenyum lebar menandakan makanan tersebut nikmat rasanya.

"Bar, nggak makan?"

"Dia kenyang hirup gas beracun," celetuk Wahid geli.

"Enak aja, lo. Gue makan. Mau simpen tulisan gue dulu. Nanti hilang semua, gue nangis!!"

"Hari ini lo di rumah aja kan?" tanya Agam melirik Wahid yang fokus menunduk, untuk menghabiskan makanannya.

"Pengennya sih gitu, tapi..." gantung Wahid pada kalimatnya. Dia ragu membahas hal ini di depan Barra dan Agam, karena dia tidak ingin kedua sahabatnya ini menjadi salah sangka kembali. "Tapi gue mau sholat jum'at," cicit Wahid pelan.

Sejenak Wahid menunggu respon Agam, tetapi semua itu bagaikan angin lalu untuknya. Lalu ketika ia melirik Barra, laki-laki itu tengah sibuk sendiri dengan ponsel di tangannya.

"Lo sama Barra nggak mau ikut gue sholat jum'at?" tanya Wahid memberanikan diri. Setidaknya dia sudah mengajak untuk menuju kebaikan walau setelahnya dirinya akan dihina atau dicaci maki.

"Wahid, Wahid...!!! Gue sama Agam udah 2 tahun ini nggak kenal apa itu sholat. Apalagi sholat jum'at. Gue sih ingetnya cuma sholat jenazah, siapa tahu lo mau gue contohin. Tapi harus lo yang berbaring di depannya,"

"Gue lagi nggak bercanda Barra!!!" ucap Wahid agak membentak.

Kali ini Agam menghentikan makannya. Dia menatap Wahid dengan tatapan tidak suka, "gue rasa nggak ada yang perlu dijadikan bahan bercandaan di sini."

"Itu. Barra, gue ngomong apa, dia malah jawab apa!!!" balasnya terpancing emosi.

Karena merasa sudah tidak nyaman, Agam bangkit dari kursinya. Mencoba melangkah untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Gam, lo pasti salah paham lagi kan? Serius, kenapa sih di sini nggak ada keterbukaan masalah agama? Memang apa salah gue kalau sekarang gue ajak kalian buat sholat? Kecuali kalian memang nggak punya agama!!!"

"Lo...!!!!" tunjuk Agam tepat di kening Wahid. Dia mendorongnya cukup kuat, dengan segenap emosinya. "Nggak usah ikut kayak orang-orang yang sering bilang hanya jahat di mulut bukan di hati. Tapi kalau lo sendiri punya agama, lo seharusnya tahu setiap kata yang keluar dari mulut itu berasal dari hati!!! Jadi nggak perlu yang namanya ceramahin gue!!!"

Tubuh Wahid mengkerut di tempat. Jujur saja dia ketakutan melihat kemarahan Agam yang berhasil dia pancing hanya karena masalah agama. Biasanya Agam adalah sosok laki-laki paling tenang dalam menanggapi masalah. Namun tidak untuk masalah agamanya.

"Lo sih. Kulit doang mulus, tapi mulut lo bergerigi. Mendingan gue, kelihatan nggak baik tapi gue puitis banget orangnya," sahut Barra berusaha mencairkan suasana setelah Agam masuk ke dalam kamarnya.

"Alah, puisi mulu yang lo bahas. Lo mau tahu nggak apa yang lebih puitis dari puisi lo itu? Gesekan kedua kaki gue dibalik sarung yang bakalan gue basuh pakai air wudhu sebelum sholat jum'at di masjid!!!" tutup Wahid setengah kesal.

Selalu saja akhirnya seperti ini bila dia membawa topik agama dalam percakapan dengan kedua sahabatnya.

***
Continue..
Hahaaa..
Belom.. Belom kena kerayu sama wahid.. Hahaha.. Kudu sabar.

Membasuh kotoran di kulit, memang yang terbaik diusap dengan cara perlahan-lahan. Sehingga tidak melukai kulit itu sendiri.

Continue Reading

You'll Also Like

381K 21.7K 85
"Manusia saling bertemu bukan karena kebetulan, melainkan karena Allah lah yang mempertemukan." -Rashdan Zayyan Al-Fatih- "Hati yang memang ditakdirk...
12K 2.4K 2
[A DAN Z UNIVERSE] Dibaca berurutan: A dan Z, ATHARRAZKA, ATHARRAZKA 2: Aryan, ATHARRAZKA 3: Zyana. Zyana Falisha Atharrazka, anak perempuan semata w...
4.8M 294K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...
528K 68.6K 34
SEQUEL OF 'Astagfirullah, sabrina!' ‼️ baca dulu cerita emak bapaknya, biar paham sama alur. konflik mereka masih berkaitan . Tentang sepasang insan...