Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.7K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

48. Bidder

6.2K 771 88
By Cassigatha19

"Bawa jalang itu kemari! Aku tidak akan puas sebelum membabat habis rambutnya!"

"Tapi, nyonya.. bagaimana kalau tuan tahu?"

"Dia tidak akan kembali selama beberapa hari! Kalaupun marah, dia tidak akan melakukan apa pun padaku! CEPAT BAWA DIA KE SINI!!"

Dua orang pria secara kasar menyeret wanita itu. Dekapannya terlepas dari Var. Tidak peduli rontaan dan jeritan yang memenuhi paviliun samping, kepalanya dijambak sebelum akhirnya dipukuli berulang kali.

"Ibu! Ibu!"

"Diam kau! Atau kau mau dihukum mati seperti ibumu?!"

Tidak peduli ancaman yang diterimanya, Var tetap berusaha melepaskan diri. Lengan kurusnya dicengkeram terlalu kuat. Tangisnya kian menjadi. Di puncak isakannya, perut Var bergolak. Dia lantas beringsut, memuntahkan semua isi lambung. Mungkin bersamaan ketika wanita jahat tadi memangkas habis rambut perempuan yang dipanggilnya jalang.

Wajahnya ditampar lalu ditendang sebelum kemudian diludahi. Kalap, gaun yang membalut tubuhnya kemudian dirobek sampai tidak lagi berbentuk. Di tengah teriakan pilu itulah, beberapa pria di sana tertawa.

Neraka itu tidak berakhir dalam waktu yang singkat.

Tangan Var mengambang di udara, hendak meraih perempuan itu. Tapi terlambat.

Dia menyambar belati dari pria yang menindihnya. Pandangan perempuan itu mencari Var lalu tersenyum pedih.

Senyum yang terakhir kali dia sunggingkan sebelum tangan yang bergetar itu menikamkan ujung belati ke leher.

***

Var terkesiap. Laki-laki itu kontan terjaga di detik yang sama saat telinganya menangkap sinyal palsu. Seolah-olah barusan dirinya mendengar bunyi ujung yang tajam, membenam ke dalam kulit. Bukan tekanan yang halus. Sebaliknya, hujaman yang dia dengar amatlah tiba-tiba.

Var tidak pernah bisa siap melihat ataupun mendengarnya, meski serpihan ingatan itu datang padanya beberapa kali.

Mendesah, dia menyeka keringat di dahi. Disingkapkannya selimut, kemudian beralih ke meja untuk menuang air ke gelas. Air di dalamnya langsung tandas hanya dalam tiga teguk. Sekian lamanya dia tetap diam, bahkan membiarkan pikirannya kosong demi memulihkan ketenangan.

Jarang-jarang Var seperti ini. Hanya saat pikirannya terlampau berat, otaknya memutar lagi potongan ingatan yang mati-matian ingin dia lupakan. Tapi sekarang karena apa? Var tidak merasa memiliki beban yang mengharuskannya berpikir keras. Dia bahkan tidak mengalami mimpi itu ketika berurusan dengan perompak penjarah beberapa waktu lalu. Apakah ini semacam firasat?

Pemicunya hanya gara-gara Var hampir membunuh induk beruang itu?

Kelopak mata Var menutup sesaat sebelum membukanya perlahan. Pupilnya tidak lagi membesar. Sorotnya telah kembali normal.

Jantungnya seakan berhenti berdetak begitu mengetahui Silvana terperosok ke lubang yang dalam. Sementara di atas, tubuh beruang yang mungkin lima kali lipat dari tubuh Var itu bersiap menerkam. Kekalutan lagi-lagi menguasai Var. Tahu jika ledakan yang dihasilkannya tidak cukup membunuh makhluk buas itu, dia bersiap akan melenyapkannya lagi. Akan tetapi tubuhnya bergeming saat melihat anak-anak beruang itu di belakang induknya yang rebah.

Kasihan? Yang benar saja. Tangan Var telah kotor. Dia telah berkali-kali membunuh. Perasaan lembek seperti itu seharusnya telah menghilang dan tidak lagi membekas.

Bersamaan dengan air matanya yang telah lama terkuras habis.

***

Satu anak panah melesat. Ujungnya menancap pada tengah-tengah berkas jerami. Itu adalah anak panah ketiga yang berhasil mengenai sasaran—di luar delapan puluhan anak panah lain yang gagal. Tiap kali Silvana datang ke lapangan terbuka untuk berlatih, dia akan meletakkan seberkas jerami. Paham jika lontaran panahnya belum bisa jauh, Silvana pun memosisikan berkas tadi, dari yang mulanya jarak dekat ke jarak yang jauh.

Karena dia berlatih saat jam pengajaran berlangsung, jadilah dia sendirian di sana. Kecuali Cambyses yang mengamati sesekali—seperti kali ini. Laki-laki itu tengah berteduh di menara lonceng sementara hujan deras di luar. Silvana masih menembakkan panah, tidak peduli sekujur tubuhnya basah kuyup.

Suasana hati Silvana bisa diketahui dengan mudah. Cambyses bisa langsung mengartikannya lewat cuaca yang menaungi Gihon kini.

Gadis itu murung. Sudah tiga hari dia tidak bisa menemui Var. Kia hanya memberitahu jika Var tidak keluar asrama, kecuali untuk berlatih di sasana. Sia-sia saja kalau Silvana bersikeras menunggunya di Riget.

Panah dilontarkan lagi. Kali ini Silvana berhasil mengenai target. Tidak ada senyum senang terlepas dari kenyataan dia telah mengalami kemajuan. Napasnya sesak, efek dari rasa lelah juga karena berada di tengah deru hujan yang mengucur deras. Tangannya beringsut sambil menggenggam busurnya erat.

"Kau akan sakit kalau terus-terusan diam di situ." Suara seseorang laki-laki mengundang Silvana untuk menoleh. Tidak jauh darinya, seorang laki-laki berkulit pucat dalam balutan jubah tebal yang hangat tersenyum sambil menopang dagu. "Istirahatlah sebentar. Aku bisa membuatkanmu teh krisan."

Silvana belum mengiyakan atau menolak. Tahu-tahu dia telah terlanjur membuntuti laki-laki itu masuk ke ruang tata boga yang kosong. Di sana, Silvana dipinjami jubah kering yang hangat dan handuk. Laki-laki itu tetap diam saat mengambil air mendidih dekat perapian lalu menyeduhkan krisan kering untuk Silvana.

Ragu-ragu, tangan dingin Silvana menangkup cangkirnya yang panas.

"Apa kau salah satu peserta turnamen?" tanya laki-laki itu. Silvana menatapnya lama. "Ah, maafkan. Aku belum memperkenalkan diri ya? Namaku Derian."

Kenapa seorang siswa tidak mengenakan seragam padahal ini masih jam pengajaran?

"Aku bukan siswa," katanya lagi seolah mampu membaca pikiran Silvana. "Aku mengajar di sini."

Silvana bertingkah kikuk. Langsung saja dia menunduk sebagai pengganti salam yang tertunda pada laki-laki itu. Ah, dia terlihat begitu muda untuk disematkan panggilan guru. Umurnya mungkin di tengah rentang dua puluh lima sampai tiga puluh tahunan? Garis wajahnya menarik. Tapi hal itu tidak serta merta membuat Silvana ingin mengatakan sesuatu padanya.

Paham jika Silvana begitu canggung padanya, Derian pun tidak memaksa gadis itu bicara.

"Kalau suasana hatimu tidak sedang baik, kau bisa datang ke sini besok. Para siswa angkatan dua akan membuat kue kering. Kau bisa memberi kue buatanmu pada seseorang."

Silvana membuat kue kering? Seperti yang biasa dibuat para dayang manor untuknya ketika sore hari? Kue kering dengan bentuk yang lucu. Sewaktu dirinya dan Sira masih menyatu, dulu dia beberapa kali mencuri bahan dari ruang tata boga Emerald. Bahan-bahan itulah yang kemudian dimasaknya sesuai kesukaan lidahnya. Karena Silvana hampir tidak pernah memasak dan ingatan milik Quon pun telah pudar, hal itu sama sekali tidak terpikirkan.

Melihat binar mata Silvana yang berkilat, Derian tersenyum tipis. Gadis itu mengerjap kala Derian memundurkan kursinya lalu bangkit berdiri.

"Nikmati saja tehmu. Murid-muridku sudah menunggu."

Baru saja Silvana menyusulnya dengan bangkit berdiri dan menoleh, laki-laki itu berucap lagi ditambah senyum yang mampu membuat siapa pun bertanya-tanya.

"Sama-sama."

***

"Satu dua tiga! Satu dua tiga! Berikan bukti padaku kalau kalian mampu!" Seorang pria paruh baya menyemangati siswa-siswa didikannya yang tengah berlari mengitari lapangan. Dia bertepuk tangan sesuai hitungan. Aba-aba yang dilontarkannya cukup keras, bahkan akan terdengar sampai ke sudut terjauh gedung Ruby.

Apabila gedung pengajaran ramai, Silvana tidak akan ada di tengah-tengah mereka. Sebaliknya, jika sedang sepi, gadis itu akan menjadi penguasa tunggal. Dia akan mengacak-acak anak-anak panah hingga penjaga lapangan penasaran setengah mati siapa yang sudah menyulap tempat itu hingga mirip kapal pecah.

Untuk yang pertama kalinya setelah beberapa minggu ada di Ruby, Silvana bersemangat mengenakan seragam. Bukan kelas pengajaran yang dia tuju, melainkan ruang tata boga. Gadis itu datang saat para siswa tingkat dua masih berkerumun di luar ruang. Akhirnya dia bisa ikut bergabung tanpa disadari siapa pun—beberapa anak menyadari wajah asing Silvana, tapi memutuskan membiarkannya saja.

"Hei! Yang paling belakang! Jangan sampai ketinggalan! Jangan mengobrol terus!" tegur Guru yang masih memacu siswanya berlari. Baru saja mulutnya hendak membuka lagi, tiba-tiba ...

BLAAARR!!

Mereka semua saling berpandangan sambil melotot. Kebingungan, si Guru pun celingukan mencari arah sumber ledakan tadi. Tidak lama mereka melihat asap kehitaman membumbung tinggi di sayap kanan gedung. Ruang tata boga.

Para siswa di dalamnya menoleh ke belakang dan bergidik melihat Silvana yang terdiam menatap panci yang sudah tidak berbentuk. Seakan terkaget sendiri, muka gadis itu penuh jelaga dan rambutnya yang diikat mencuat berantakan. Padahal mereka baru sampai ke tahap mencairkan mentega.

Berkat ledakan itu pun, sudut ruang atas menjadi berlubang.

"Kenapa bisa meledak?" gumam salah satu siswa syok.

"Entahlah.."

Mulanya mereka berspekulasi jika ada sesuatu yang salah dengan kompor. Menenangkan Silvana supaya tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, mereka pun masih membiarkan gadis itu memegang perkakas dapur lainnya.

Mata Silvana masih berkilat saat dia selesai menguleni adonan. Siswa di sebelah membantunya sesekali, sembari mengawasi kalau-kalau ada sesuatu yang salah. Selesai mencetak adonannya yang tipis, Silvana memasukkannya ke dalam oven. Baru saja dia akan membereskan meja, panci kecil menggelinding dan jatuh.

Para siswa kontan menoleh lagi padanya dan melihat bagaimana gadis itu merangkak ke bawah meja demi memungut panci. Dan saat bergerak mundur itulah, tali celemeknya tidak sengaja melilit pintu oven. Papan besi dan kaca itu seketika terbuka tidak terkendali bahkan terbanting ke lantai. Panik, Silvana buru-buru berdiri. Sikunya menyenggol botol minyak hingga tetesannya jatuh ke pinggiran dalam oven.

Tak ayal, ledakan serupa petasan itu memorakporandakan meja paling belakang.

***

Lilac sedang membaca halaman demi halaman berkas laporan ketika seorang siswa mengetuk pintu ruangan. Gadis itu menyahut, mendapati seorang laki-laki di luar—untungnya bukan Ramsee.

"Ada apa?"

"Belakangan beberapa siswa mengeluh mendengar suara berisik dari sayap kanan asrama."

"Di mana itu?" Lilac mengernyit aneh.

"Ruang tata boga."

"Wajar kalau tempat itu berisik jika sedang digunakan."

"Bukan begitu, Nona.. Saya pun mendengarnya." Siswa itu berkata ragu-ragu. "Suaranya hanya terdengar waktu malam. Bukan hanya suaranya, baunya pun aneh."

"Katakan dengan jelas," kata Lilac tidak sabar. "Apa ada roh jahat yang suka mengacak-acak dapur? Dalga akan bersemangat mendengar ada jenis hantu baru," tambahnya sarkas.

Wajah siswa itu keruh. Lama sekali dia tidak mengucapkan apa pun lagi. Sementara Lilac pun mencoba kembali menekuri pekerjaannya. Sayang sekali keheningan yang kaku semacam itu membuatnya jengkel juga. Memutar otak, dia lalu memerintahkan dua siswa yang dipercayai untuk memeriksa apa yang terjadi ketika malam hari.

Tiga siswa—ditambah siswa yang hari ini menghadap Lilac kemudian datang diam-diam saat semua siswa dalam asrama tengah terlelap. Hal yang pertama kali mereka dapati saat membuka pintu dapur ...

Kobaran api yang menjilat-jilat.

Dan seseorang yang menari-nari di dalamnya dengan mengacungkan spatula kayu—bermain-main dengan api tadi.

***

Var menghampiri istal Nii sore itu. Dengan rona yang masih mendung, Var mengelus leher Nii beserta rambutnya yang memanjang. Kuda jantan tersebut mendengus sambil menghentak-hentakkan kaki. Kilat di matanya langsung mengingatkan Var pada seseorang. Kening laki-laki itu pun berkerut mengartikan tingkah Nii yang seperti sedang gusar.

"Kau kesal karena aku tidak mengajakmu jalan-jalan?" tebak Var asal. Nyatanya dia langsung dibalas dengan ringkikan Nii. Bingo! Dugaannya tidak meleset. "Baiklah.."

Var mengeluarkan Nii dari istal lalu menggiringnya keluar gerbang Gihon. Sembari menunggangi kuda itu, tanpa bisa dicegah Var mengingat Silvana. Sampai saat ini Var tidak pernah tahu di mana gadis itu secara pasti. Dalam bayangan Var, dia mungkin tidak ada bedanya dengan burung pengintai yang terbang ke sana kemari, dan hanya akan mendekati tuannya—orang yang memang ingin dia dekati. Di luar itu, Var pun tidak pernah tahu ke mana saja Silvana bersliweran.

Ketidaktahuan Var akan keberadaannya juga berakibat mereka tidak bisa saling menghubungi. Sudah lewat enam hari Var tidak menemui gadis itu. Bisa saja Silvana datang ke Riget lalu menunggu lama sekali, sampai akhirnya dia menyadari Var tidak akan datang. Saat ini pun, Var tidak ingin ke sana.

Entah kenapa dia marah pada diri sendiri karena telah menunjukkan sisi lemahnya pada gadis itu.

Setengah melamun menyusuri jalanan yang lumayan sepi, Var mengerjap ketika Nii menghentikan langkah. Padahal Var tidak sedang menarik tali kekang. Laki-laki itu pun hanya perlu sedikit memiringkan kepala untuk tahu sesuatu—tepatnya seseorang yang tengah menghadang mereka.

Beberapa langkah di depan, Silvana Burö mengembangkan senyum.

Oh, astaga. Kenapa gadis itu selalu muncul tiba-tiba? Var curiga kalau-kalau selama ini Kia menguntitnya sepanjang waktu untuk memudahkan Silvana menemuinya. Tampaknya Var pun harus berhati-hati jika benar Silvana memanfaatkan semua peluangnya dengan baik—amat baik malah.

Kia adalah siswa Zaffir. Kia berhubungan dengan Silvana. Silvana bisa mengawasi Var dengan bantuan Kia.

Sementara Var mengamati gerak-geriknya dengan sorot menyelidik, Silvana langsung melompat pada Nii dengan menempelkan dahi keduanya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Var sebelum akhirnya turun dari punggung Nii.

"Mencarimu," jawab Silvana tanpa mengalihkan perhatian dari Nii.

"Aku tidak akan heran jika kau langsung mencecarku dengan umpatan dan makian."

Tubuh Var yang menjulang tinggi mendekati gadis itu. Silvana masih tidak menoleh. berjarak hanya selangkah dari Silvana, Var mengernyit melihat bubuk putih menempel di garis rahangnya. Belum lagi tangannya yang mengusap dahi Nii. Jari-jari tangan itu bertambah buruk dari yang terakhir Var lihat.

Luka?

Tiba-tiba saja Var menyambar tangan Silvana. Gadis itu kontan terperanjat karena jari-jarinya kini menyorong ke wajah Var. Jantungnya berdegup kencang. Kenapa Silvana mengira jika sebentar lagi amarah laki-laki itu akan meledak seperti dapur Ruby malam tadi?

"Apa ini?" tuntut Var. Var langsung tahu jika luka seperti itu tidak berasal dari tangan yang kesakitan saat belajar memanah.

Gugup, Silvana buru-buru menarik tangannya. Dia merogoh sesuatu di balik jubahnya lalu mengeluarkan bungkusan kecil yang dia bawa siang tadi. Giliran Silvana yang meraih tangan Var, membuatnya menengadah kemudian meletakkan bungkusan tadi di atasnya.

"Aku membuatnya sesuai resep," katanya sambil menatap lekat pada Var. "Hanya itu yang bagus setelah aku membuat lainnya menjadi hitam dan tidak berbentuk lagi."

Penasaran, Var membuka ikatannya.

Hening.

"Anggap itu sebagai ucapan terimakasihku karena sudah mengajariku memanah."

Silvana menunggu cemas karena Var hanya mematung mengamati kue kering yang tidak-sungguh-sungguh-kering tersebut.

Var yang biasa, akan langsung menampik pemberian semacam itu. Ingatannya melayang lagi ke saat di mana dirinya pernah menepis pemberian Quon—bahkan menyeret tubuh mungil gadis itu karena tidak melepaskan rangkulannya dari kaki Var. Sementara pandangan Var tetap mengarah ke bawah, dia juga bisa memperhatikan Silvana yang tengah meremas tangannya sendiri yang kusam dan berubah kasar.

Kegugupan Silvana kian menjadi ketika akhirnya Var memasukkan satu gigitan kue ke mulut.

"Bagaimana rasanya?" tanya gadis itu ragu-ragu.

Pahit.

"Manis," balas Var singkat dan pelan.

Senyum puas langsung menghiasi bibir Silvana lagi.

"Apa perasaanmu sudah membaik?" tanyanya lagi.

"Mm."

"Apa karena memakan kue buatanku atau bertemu denganku?"

Pandangan Var menerawang. Kali ini untuk alasan yang benar-benar dipahaminya, dalam hatinya menjalar kehangatan yang asing namun menyenangkan.

Dengan gerak perlahan, Var menutup lagi bungkusan di tangannya. Tubuh laki-laki itu tambah mendekati Silvana, bahkan menghilangkan jarak di antara keduanya. Telapak tangan kiri Var menempel ke punggung Silvana, mendorongnya supaya tubuh mereka merapat. Silvana pun bisa merasakan hembusan napas laki-laki itu di atas kepalanya.

Mata Var memejam. Amat samar dia berbisik, "Dua-duanya."

.

.

.

"Put your empty hands in mine

Show me all the scars you hide

If your wings are broken,

Please take mine so yours can open too."

.

.

.

Happy New Year semuanya~~ 🙌🙌🙌

Saking sibuknya sampai-sampai jadi morning creature lagi akunya😴😅

Apa resolusi buat tahun 2018?

Aku? Tamatin Silver Maiden. How's that sound?

Oh, ada yang tanya soal video klip yang kucantumin di atas di beberapa chap? Nggak kepikiran nyantumin judul sama penyanyinya, kirain udah nongol sendiri pas disetel. 😂 For this chap: Stand By You - Rachel Platten

~Love, Agatha 😘

Continue Reading

You'll Also Like

20.4K 2.8K 24
Irina Eärwen adalah pembunuh bayaran dan ahli pedang yang berjiwa bebas. Hari-harinya diisi dengan berlatih bersama Sean, teman sehidup sematinya di...
1.7K 399 17
Malam itu Tristan membulatkan tekad untuk mengakhiri hidupnya. Dia lelah, dan tak ada yang mengerti kegelisahannya. Kakinya sudah berada di tepi gedu...
1.8M 55.5K 13
Highest rank #1 in Fantasy The Land of Wind Series #1 VERSI LENGKAP BISA DIBELI DI GOOGLE BOOK/PLAY (18+) Chao Xing tidak pernah menganggap jika dir...
218K 18.9K 19
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...