Curing Time

Galing kay nimskyyy

1.5M 123K 2.3K

Perjalanan 27 tahun dalam hidupnya, Ana masih berdamai dengan kesendiriannya. Pahitnya kisha masa lalu mengaj... Higit pa

SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN (DIA KEMBALI)
SEMBILAN
SEPULUH (SEBUAH PENGAKUAN)
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS - MAS YOGA BERCERITA
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS (PIRING PECAH!)
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH - "Bolehkah aku mendekapmu lebih lama?"
DUA PULUH SATU
DUA PULUH TIGA - Tisa, Si Rapuh
DUA PULUH EMPAT - I Will
DUA PULUH LIMA - END
Extra Part (i)
Extra Part (ii)
Extra Part (iii) END OF THE END!
NOTIFIKASI PENTING!
Kalau Kangen :)
Notifikasi Penting (lagi)!
Q&A Part!

DUA PULUH DUA - Deal

42.9K 3.7K 70
Galing kay nimskyyy

Hal yang sudah menjadi biasa bila dikemudian hari hilang lalu kembali lagi rasanya seperti pindah ke dimensi lain namun diisi oleh manusia-manusia yang sama -Ana

Menjadi teman makan. Itulah hal paling tepat yang bisa digambarkan oleh Tisa pada sahabatnya. Sejak hubungan Ana dan Adit membaik dua minggu yang lalu, hampir setiap makan siang dan makan malam Ana selalu bersama Adit. Persis saat mereka pertama kali menjalani pendekatan satu setengah tahun yang lalu. Menurut Tisa sih hal seperti itu terlalu norak, karena baginya buat apa cuma jadi teman makan bila status yang disandang hanya 'teman'. Suatu saat diantara keduanya akan bosan dan dengan mudahnya mencari 'teman makan' yang lain.

Ana bukannya tak memikirkan ucapan Tisa, namun ia sendiri sebenarnya bimbang tentang hubungan apa yang sedang ia jalani dengan Adit saat ini. Sejak ia menganggukkan kepalanya soal permintaan Adit dua minggu yang lalu, ia merasa telah salah. Tidak seharusnya ia membiarkan Adit untuk mengusik kembali kehidupannya. Yang benar adalah ia harusnya melepaskan, membiarkan Adit mundur dan mencari kebahagiaan dirinya. Bukan malah menjerumuskan Adit pada perasaan, yang Ana sendiri tak paham bagaimana ia harus membalasnya.

Ana tak memungkiri bahwa hatinya masih tetap ingin bersama. Namun perasaannya masih ingkar untuk mengatakannya. Sekalipun ia mencoba untuk menerima karena sejatinya ia sangat merindukan Adit berada di sisinya, namun ada sisi lain dari hatinya yang menolak. Ntah karena apa dan bagaimana, semuanya terasa samar.

Setiap perjumpaan mereka sebagai 'teman makan' pun Adit tidak sama sekali menyinggung hubungan mereka. Mereka hanya akan makan dan tertawa bersama berbagi cerita aktivitas mereka seharian. Tidak ada bahasan soal bagaimana hubungan ini akan dibawa nantinya. Dari poin ini saja Ana amat sangat ragu apakah Adit masih akan tetap menunggu beberapa langkah di depannya seperti yang Adit katakan sebelum mereka memutuskan untuk mengakhiri kisah mereka.

***

"Na ngerujak yuk." Tawar Mbak Abby asisten produser divisi news.

"Ih tumbenan? Lo ngidam apa mbak?" tanya Ana keheranan.

"Iya nih. Si anak kacang pengenan rujak." Ujarnya.

"Si anak kacang? Siapa?" tanya Ana bingung.

"Ihhhh, lo ga tau gue isi?" Mbak Abby mendengus kecut.

Ana nampak terkaget-kaget. Setahu Ana, Mbak Abby memang sudah menikah tujuh bulan lalu, namun suaminya merupakan seorang pekerja offshore sehingga jarang pulang. Jadi kabar kehamilan Mbak Abby ini lumayan cukup membuat Ana tercengang.

"Kapan bikinnya Mbak?"

"Suami gue liburan 2 bulan kemarin. Awal dia sampe langsung bikin. Eh trus ternyata dikasih sama Allah. Yaudah alhamdulillah." Jawab Mbak Abby dengan senyuman kebahagiaannya.

"Wuidiiihhh. Selamat ya Mbak, gak nyangka ditinggal-tinggal bisa juga isi. Kirain gue nyewa suami bayaran." Ana tertawa keras yang seketika langsung mendapat toyoran dari Mbak Abby.

"Sinting lo ah. Yuk lah ke bawah, gue pengen banget iniiihhh." Mbak Abby sudah merengek dan kemudian memaksa Ana menghentikan pekerjaannya. Draft susunan acara ulang tahun Nat Tv tampak berceceran di mejanya. Ana memang ditugaskan Mas Yoga untuk memeriksa susunan acara dan printilan acara lainnya. Ana bukan merupakan bagian dari team event planner, tetapi Mas Yoga menitahnya untuk mengoreksi acara tersebut.

"Mbak bentar gue ganti sendal dulu yak, kaki gue kayaknya bengkak deh." Ujar Ana dan kemudian ia segera mengganti sepatu kerjanya dengan sendal jepit yang memang khusus ia sediakan di kantor.

"Kenapa dah kaki lo?" tanya Mbak Abby cemas.

"Tadi pagi gue bego, jatoh dari tangga walk in closet gue pas habis ganti baju. Kirain biasa aja, eh ini kok barusan sakit."

"Eh iya bengkak loh Na. Yaudah nggak usah turun deh ya." Mbak Abby mengkhawatirkan kondisi kaki Ana.

"Ih nggak apa-apa, yuk lah gue juga udah ngiler ini sama rujak." Ana kemudian mengapit lengan Mbak Abby dan menyeretnya masuk ke dalam lift.

***

"Akhirnyaaa, anak gue ga ngeces. Jangan ngeces ya nak, nanti mama bakal usahain kalo kamu mau apapun mama turutin." Ucap Mbak Abby sambil mengelus-elus perutnya.

"Mau lo ntar kalo yang jauh-jauh gimana Mbak? Suami lo kan liburannya bentar lagi habis." Ana bertanya saat mereka kembali ke kantor.

"Ya gampang ada delivery atau nggak ojek online. Atau nggak kan ada lo, Tisa, Patrice, Indra, Billy, Dewi, Syaiful, Lyra, Tia, Syifa, Dewa, Shania, Tar......"

"STOP! Banyak banget sikkk." Suara Ana melengking disertai tanda dengan tangannya untuk membuat Mbak Abby berhenti.

"Intinya ada lo lo pada. Gue akan tenang." Ujarnya disertai dengan cubitan Ana di lengan Mbak Abby.

"Gak akan mau gue Mbak, biarin aja anak lo ngeces sampe gede. Hiyyyy." Ana bergidik yang disambut dengan toyoran lagi di kepalanya.

"Ana." Sebuah suara kemudian mengagetkan Ana dan Mbak Abby saat akan memasuki lift.

Seketika Ana terdiam, tubuhnya mendadak kaku. Mengapa lelaki ini harus datang ke sini? Ke kantornya? Mau apa lagi dia? Padahal Ana sudah bersusah payah menghentikan aktivitas otaknya untuk membenci pria yang saat ini berdiri tegap di depannya.

"Kenapa ke sini, Dio?" Suara Ana tiba-tiba merendah. Sebenarnya ia sudah ingin marah, namun ia sadar bahwa ini masih jam kantor dan Ana tak ingin memancing keributan di kantornya (again).

"Hmmm, maaf ganggu. Boleh ngobrol sebentar?" tanya Dio penuh harap.

Ana melirik ke arah Mbak Abby untuk meminta pendapat wanita itu. Seperti dapat mengontrol telepati, Mbak Abby segera meninggalkan Ana yang kemudian menuju sofa di lobi kantor mereka. Dio mengikutinya dari belakang.

"Kenapa? Ada apa?" Ana melembutkan suaranya. Ia sudah tak punya hasrat untuk membenci pria ini. Toh bayangan Dio sudah ia buang jauh, kecuali trauma yang masih belum kering, namun Ana yakin dengan usahanya luka itu akan kering dan jadi koreng.

"Hmmm, maaf aku dateng ke kantor kamu nggak bilang-bilang." Ujarnya. Nada suaranya juga sama rendahnya dengan Ana. Ada penyesalan yang amat dalam terlihat dari caranya berbicara pada Ana.

"Gini Na, aku mau ngasih ini ke kamu." Dio mengeluarkan sesuatu dari balik tas ransel coklat yang ia bawa, sebuah undangan. Mata Ana terbelalak menatapnya.

"Aku nikah minggu depan, sama jodoh pilihan mama." Ia melanjutkan ucapannya, membalas keterkejutan Ana. Sebenarnya Ana sudah tau sejak kejadian di Grazel waktu itu, namun tetap saja ia kaget karena Dio berani mengundangnya.

"Akhirnya ya Dio, kamu menemukan kebahagiaan kamu. Selamat atas pernikahanmu." Ana berujar memberikan selamat, tangannya terulur hendak menyalami Dio dan Dio pun membalasnya.

"Aku gak tau Na harus bahagia atau tidak, ini pilihan mama." Ujarnya lirih.

"Jangan gitu, berbahagialah Dio. Pilihan ibu itu tidak ada yang tidak baik. Ia akan selalu mementingkan kebahagiaan anak-anaknya." Ana berujar menasehati Dio yang saat ini Nampak seperti terpukul.

"Tapi kan yang aku mau kamu Na. Aku takut nggak bisa mencintai istriku seperti aku mencintai kamu." Dio menangkis ucapan Ana. Membuat hatinya berdesir. Sejahat itukah cinta mempermainkan perasaan mereka?

"Maka dari itu cintailah istri kamu lebih dari kamu pernah mencintai aku. Just let be. Aku disini sudah ikhlas. Aku ngga ingin memperpanjang keadaan sakitnya. Walau sampai sekarang aku belum bisa ngehilangin trauma itu, tapi aku akan secepatnya pulih. Kamu harus bisa pulih lebih dari aku karena kamu yang ninggalin aku." Ana terkikik walau dalam hatinya sangat pedih ia mengungkapkan hal itu.

"Sebegitu nyakitin ya aku na?" tanya Dio.

'Menurut lo? Sinting nih orang.' Ana memaki dalam hati.

"Sudahlah, aku akan datang ke pernikahan kalian. Laksanakan dan berbahagialah Dio. Kita sudah punya jalan masing-masing. Aku dengan jalan hidupku, dan kamu dengan keluarga kecilmu yang akan kamu bangun mulai minggu depan." Ana berseloroh seakan yakin bahwa hatinya tak akan tersakiti akan ucapannya.

"Apa nggak ada kesempatan buat aku lagi Na?" pertanyaan Dio yang kemudian sukses membuat Ana melotot.

"Nggak Dio. Sudah ya, aku akan selalu berdoa agar pernikahan kamu lancar nantinya."

"Terimakasih Na sudah mau memaafkan, maaf jika memang aku menyakiti kamu terlalu dalam. Kamu juga bahagia ya Na." ujar Dio lirih kemudian bangkit dari duduknya.

"Bawa pasangan kamu ya Na, aku mau tau siapa pria yang sembuhin luka kamu dari aku." Dio berujar saat mereka bersalaman.

Ana hanya tersenyum. Bingung akan membawa siapa. 'Siapa pria yang nyembuhin luka aku?' Ana berpikir keras dengan berusaha tidak melibatkan Adit dalam pikirannya.

***

"Eh eh eh ceuu, itu kaki kenapa diseret-seret?" Tisa yang baru selesai mem-fotokopi keheranan melihat Ana yang berjalan terseok-seok akibat kakinya yang bengkak.

"Kaki gue bengkak, tadi tuh perasaan ga sakit, eh kok ini nyeri ya?" Ana mengadu pada Tisa sambil berusaha menggapai kursinya. Ia ingin segera menjatuhkan pantatnya di kursi. Ia sudah tak sanggup untuk berdiri lama-lama.

"Ihh lo keseleo ya? Habis ngapain sih?" tanya Tisa yang kemudian meluruskan kaki Ana dengan bertumpu pada kursi kerja Mas Indra yang orangnya ntah kemana.

"Jatoh tadi di tangga walk in closet gue, ga sakit pas mau berangkat kantor. Pas tadi mau beli rujak eh bengkak."

"Hih ini manusia ceroboh banget sikkk. Gue panggilin tukang urut aja deh ya." Tawar Tisa.

Ana menggeleng. "Gausah, bentar lagi balik kok. Gue panggil tukang urut pas di apart aja." Tolak Ana halus. Lagian Ana memang berencana pulang cepat. Hari ini sebenarnya ia ingin beristirahat dengan tenang.

"Yaudah gue anter ya ke apartemen lo. Bawa mobil lo?"

"Bawa nih, apa gue tinggal aja ya? Ga sanggup ini nginjek gas nya." Ujar Ana pasrah.

"Iya gitu aja, gue anter ke apartemen lo."

"Iya bawel." Ana menjulurkan lidahnya yang kemudian dibalas dengan cubitan di pingganggnya.

Drrrttt drrrttt drrrrttt...

Ponsel Ana berdering, Id caller nya menunjukkan nama Aditya LW menari-nari indah.

"Halo."

"Halo Na, dinner bareng?" tanya Adit.

"Hmmm, aku mau langsung balik deh Dit kayaknya. Sorry ya. Tapi tumben tadi ngga ngajak lunch?" Ana bertanya. Bukan kegeeran bukan, namun karena kebiasaan mereka bersama saat lunch jadinya Ana penasaran saat Adit tadi tidak mengajaknya makan siang. Jangan salahkan Ana yang kepedean, salahkan keadaan yang tak memberi mereka kepastian.

"Oh, tadi banyak visite na, jadi di rumah sakit aja deh."

"Yaudah deh kalau kamu mau langsung balik. Tapi udah makan?" tanya Adit kemudian.

"Belum sih, tapi gampang deh." Jawab Ana pendek.

"Oke, take care ya Na." putus Adit sebelum akhirnya mematikan sambungan telfonnya.

***

"Yakin sampe lobi aja Noy? Gamau gue anter ke dalem?" tanya Tisa saat mereka masih berada dalam mobil Tisa.

"Nggak papa, kalau ngga kuat gue minta tolong satpam aja anterin. Udah, ntar bunda nyariin. Sana Tis." Ana keluar dari mobil Tisa dan memberi isyarat dengan tangannya agar Tisa segera meninggalkannya.

"Oke, hati-hati. Kalo ada apa-apa cepet kabarin gue ya." Tisa bertitah sebelum akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan kompleks apartemen Ana.

Ana merasakan kakinya semakin bengkak, jalannya juga tak lagi leluasa. Sehingga saat ini ia hanya bisa menyeretnya dengan paksa untuk masuk ke dalam benda kotak bernama lift itu.

Tangannya terus berpegangan pada penyangga lift. Rasa sakitnya makin tak tertahankan. Segera saat lift telah sampai di lantai unit miliknya, Ana menyeret kakinya untuk segera keluar dari lift.

Sesampainya di unit apartemen miliknya, ia tak mampu bergerak. Hanya mampu duduk berselonjor di sofanya. Rasa nyeri semakin menjadi, nyut-nyutan dan kakinya terasa berkedut. Ana semakin meringis kesakitan. Diambilnya ponsel dan dicarinya kontak tukang urut yang tadi diberikan oleh Tisa. Namun belum sempat ia menghubungi tukang urut tersebut, ponselnya berdering. Adit memanggilnya.

"Halo." Jawab Ana sambil meringis menahan nyeri.

"Aku di depan apartemen kamu, boleh bukain pintu?" tanya suara disebrang sana.

"Adit ngapain?" Ana bertanya seolah tak percaya.

"Bawa makanan, mau makan bareng."

"Hmmm, tapi Dit, buka aja deh key code nya. Aku ga sanggup jalan." Ana semakin meringis karena kakinya semakin nyeri.

"Kamu kenapa? Kodenya berapa?" Adit sudah panik, tergambar dari nada bicaranya.

Ana segera memberitahukan kode apartemennya, dan tak menunggu waktu lama sosok pria tampan itu sudah terlihat dari balik pintu.

"Duh Dit, maaf ya ga bisa bukain pintu." Ana segera menegakkan sandarannya dan meminta maaf kepada Adit.

"Kamu kenapa?" Adit menatap wajah pias Ana yang sepertinya terlalu banyak menahan nyeri dan kemudian tatapannya diarahkan ke kaki Ana. Bengaknya terlihat sangat nyata dan membuat Adit langsung menepikan bungkusan yang dibawanya.

"Ini kenapa? Ini udah gede banget bengkaknya." Adit mendesah panik.

"Keseleo. Aduhh!" Ana meringis saat Adit menyentuh bagian kakinya yang bengkak.

"Kok bisa? Kamu punya es batu kan?" tanya Adit. Masih terfokus pada kaki Ana yang bengkak, belum menatap Ana.

Dari samping, wajah Adit yang panik terlihat menawan. Matanya menyiratkan rasa cemas. Dalam hatinya, Ana berujar. Ia ingin Adit, sangat ingin. Bukan hanya sekedar raga namun juga jiwa. Ia ingin pria ini selalu ada di hari-harinya, setiap hari. Bukan hanya sekedar 'teman makan' yang Ana sendiri bingung akan status mereka.

"Punya." Ana hanya menjawab singkat. Pikirannya masih melayang, dan terfokus pada rambut-rambut halus yang kini menutupi rahang tegas Adit.

"Bentar ya." Adit beranjak dari tempatnya menuju dapur. Tak lama kemudian ia membawa sebaskom es batu dan handuk kecil yang tadi ia lihat di tumpukan laundry yang sudah bersih di samping kulkas.

Ana meringis dan mengaduh saat handuk dengan selipan es batu itu mengenai kakinya. Adit mengusapnya perlahan. Membuat Ana semakin yakin ia harus mengutarakan apa yang selama ini menjadi beban pikirannya.

"Dit."

"Hmmm. Kenapa? Sakit ya?" tanya Adit seraya melepaskan kompresan es batu di kaki Ana.

"Nggak kok." Ana kembali terdiam.

"Kenapa?"

"Dit, aku mau tanya." Ana memberanikan diri untuk memulai.

"Tanya apa?"

Hening.

Tak ada yang bersuara.

Adit menunggu Ana berbicara, sedangkan Ana menunggu hatinya mengizinkan mulutnya untuk berbicara.

"Aku boleh ngomong?"

"Dari tadi kamu udah ngomong Na. kalau ngga boleh mah udah dari tadi aku plester." Adit terkekeh dan membuat Ana memukul pelan lengan Adit. Senyum mengembang di bibirnya.

"Aku ngga tau mulainya gimana. Tapi maafin aku yang egois. Aku ngga paham bagaimana harus ngungkapinnya. Tapi aku......"

"Kamu apa?" Adit seakan tak sabaran mendengar pernyataan Ana yang terkesan digantung-gantungkannya.

"Aku takut kamu ngga bisa di samping aku lagi. Mau sampai kapan aku jadi 'teman makan' kamu terus? Kalau hanya itu kita sudahi aja sekarang. Aku belum sanggup harus sakit lagi. Aku takut ngga sanggup kalau besok kamu ketemu 'temen makan' yang lain Dit." Ana terkekeh sambil menatap wajah tegas Adit.

"Na." Adit seakan ingin menjawab semua keresahan hati Ana.

"Sejak kita putus aku pernah bilang kan, kalau kamu masih punya harapan akan hubungan ini aku akan lebih maju dari langkah kamu maju. Aku selalu di depan untuk menyambut kamu. Namun bila kamu masih butuh waktu, aku akan menunggu. Tapi jika kamu menyatakan mundur, aku akan lebih jauh mundur dan berjanji kalau bisa tidak tertangkap lensa mata kamu. Sekarang hanya kamu yang bisa jawab kita ini bagaimana. Aku menawarkan banyak pilihan. Karena bagaimanapun hati aku sudah menetapkan kamu. Mau kamu lari pun aku bakal kejar, kecuali kamu lari setelah pamit dan memohon aku untuk mundur. Aku ngga cukup sakit jiwa untuk ngejar-ngejar wanita yang nggak mau denganku."

"Aku tau kok kamu masih trauma, luka itu masih ada. Aku paham Na, jangan kira aku ngga paham. Aku ngga mau maksa karena aku tau yang namanya sayang itu bukan paksaan, yang namanya cinta ngga cukup sekedar ngomong cinta. Aku ngga tau cara ngungkapin cinta pake mulut Na. Aku cuma tau dari cara aku memperlakukan kamu. Tapi mungkin saat itu belum cukup nunjukin cintanya aku ke kamu ya?"

"Maaf ya, aku gak bisa romantis kayak cowo-cowo lain yang ke kafe bawa bunga se-gede mobil."

Ana terdiam. Tanpa sadar air matanya meleleh. Adit sebegitu menghargai perasaannya. Menghargai rasa sakitnya.

"Jangan samakan aku dengan masa lalu kamu. Ini beda. Aku belum tau bedanya seperti apa. Karena spesifikasi bedanya hanya kamu yang tahu. Aku mungkin bisa menyakiti kamu lagi dengan cara yang berbeda, namun sampai sekarang pun aku belum kepikiran buat nyakitin kamu. Aku selalu paksa otak aku untuk mikir, How I treat you, better as you want. How I care you more than you want. Dan bagaimana caranya aku bikin kamu tetap hidup saat menjalaninya sama aku."

"Karena aku tahu Na, kamu ga cukup makan cinta. You need a prove kan? Aku hanya ingin memupuk bukti, karena seorang dokter haram banget dituntut buat banyak janji. Janji yang tidak ditepati hanya akan menyakiti hati keluarga pasien. Aku gak pernah janji bakalan buat pasien aku hidup sampai akhir penanganan aku, aku hanya mengupayakan yang terbaik yang aku dan tim aku bisa. Selama Tuhan masih kasih kesempatan aku buat usaha, makan akan selalu aku lakukan."

"Begitu juga dengan kamu Na. sampai sejauh ini, Tuhan masih kasih aku kesempatan buat usaha. Tuhan maha baik ngga ngebiarin kamu pergi gitu aja dengan penolakan buat aku. Syukurku berlipat-lipat untuk itu."

Ana mendesah, air matanya sudah jebol perlahan. Dadanya sesak disertai gemuruh, hatinya berdesir hebat, "Tapi kenapa kamu ngga ada ngehubungin aku sebulan kemarin? Segitunya ngga mau ketemu aku?" tanya Ana disela tangisnya yang hening.

"Oh jadinya nungguin aku nelfon nih?" Adit menggoda Ana yang kini wajahnya sudah memerah dan segera menutupinya dengan bantal sofa yang berada di dekatnya.

"Kita perlu waktu, untuk tau kita rindu atau justru nyaman dengan perpisahan itu. Dan aku udah nemu point nya, kamu rindu aku. Karena aku juga rindu kamu." Adit terkekeh, Ana memukul dan mencubit lengan Adit.

"Sakit tau Na! Bakat nyiksa ya kamu Na?"

"Apa sih? Pulang aja sana!" Ana pura-pura marah namun wajahnya masih ia tutupi dengan bantal.

"Nanti rindu lagi susah loh, mending udah disini orangnya jadi kalau mau rindu gampang." Adit terus menggoda Ana.

"Kamu tuh ibaratnya pasien yang belum kelar aku tangani. Perlu visite terus menerus. Bedanya aku visite ngga cukup secara raga, hatiku juga perlu visite. Tapi visite hati tuh susah, suka kabur-kaburan. Untung stok sabar aku menggunung." Adit menyeringai dan langsung dibalas dengan wajah Ana yang memerah kembali.

"Dit, makasih ya." Ana berbisik lembut.

"Hmm?" Adit mendelik seakan bingung atas ucapan Ana.

"Terimakasih untuk sabarnya, mungkin stok sabar kamu kudu ditambah."

"Maksud kamu?" Adit bertanya seperti orang bego.

"Kamu gamau ngadepin aku lagi apa?" Ana mendengus dan melipat kedua tangannya di dada.

"Mau banget lah!!!!"

"Ini balikan?" tanya Adit dengan wajah super sumringah.

"Nggak." Ana menjawab tegas.

"Kok?" Adit tambah bingung. Ana tertawa mendapati wajah polos Adit.

"Kita mulai kayak baru lagi. Aku mau belajar mengikis trauma sampai tuntas, tapi kamu bantuin aku. Soalnya aku ga mau berjuang sendirian, aku butuh kamu sepertinya." Ana berujar mantap.

"Deal!"

Kapan kamu tahu bahwa hatimu sudah memilih hal yang tepat?

Saat kamu tahu bahwa cinta selalu punya kesempatan.



Yeaahhh akhirnya selesaiiiiii......

Eh udahan?
Mau udahan aja apa????

Yuk shay udahan



























Eeeeee tapi boong hehe.

Tapi udah ada tanda-tanda ending kok.

Buat yang dari kemarin gerem, kesel, marah, pengen nimpukin Ana yang susah banget hatinya di belokkin, suka overthinking, dan suka bikin keputusan sendiri, maap yakkk.

Tau kan ya namanya trauma? Nah Ana dalam kondisi trauma parah. Ya bayangin aja deh besoknya mau ijab kabul, lakinya menghilang (gue aja ngga mau mencoba bayangin, syerem!). Kondisi psikisnya jelas terganggu. Kalian aja pasti kalau putus cinta atau patah hati pasti punya trauma kan? Apalagi ini yang janji nikahnya sudah terpampang depan mata. Wajar banget dia susah percaya sama cinta selanjutnya. Meski di hatinya yang terdalam ia sangat butuh peran laki-laki dalam hidupnya, yang ada disampingnya selain ayahnya. Untuk Ana yang bisa membuka hati buat Adit itu sudah luar biasa loh. Jadi bila Ana bisa percaya Adit itu nilai tambah.

Gitu deh penjelasan sang author akan karakter Ana yang muter banget dan keras kepala. Hihi

Ohiya FYI aja, inshaAllah tahun 2018 gue punya cerita baru. Beda genre sih kayaknya, beda pembawaan juga. Semoga berkenan nantinya. So, buat yang belum follow, silahkan follow yak biar ngga ketinggalan kalau nanti gue udah posting cerita baru.

Tapi tenang, aku selesein Curing Time dulu baru nge post cerita baru kok.

Terimakasih buat semua masukannya ya, kalian editor terhebat. Bisaan banget ngoreksi tulisan aku yang bahkan aku sendiri udah ngga inget. Thanks a lot!!!

Regards,

Nimskyyy

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

81.7K 6.2K 47
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. ia tidak minus. seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. dia juga tidak punya kemampuan u...
326K 51K 29
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
477K 33.2K 43
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
993K 48K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...