Invalidite [Completed]

By Faradisme

30M 2.5M 509K

(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) #1 in Romance, 10 Januari 2018 Dewa Pradipta adalah 'dewa' dari s... More

Invalidite | 1
Invalidite | 2
Invalidite | 3
Invalidite | 4
Invalidite | 5
Invalidite | 6
Invalidite | 7
Invalidite | 8
Invalidite | 9
Intermède
Invalidite | 10
Intermède
Invalidite | 11
Invalidite | 12
Invalidite | 13
Invalidite | 14
Invalidite | 15
Invalidite | 16
Invalidite | 17
Invalidite | 18
Invalidite | 19
Invalidite | 20
Invalidite | 21
Intermède
Invalidite | 22
Invalidite | 23
Invalidite | 24
Invalidite | 25
Invalidite | 26
Invalidite | 27
Invalidite | 28
Invalidite | 30
Invalidite | 31
Invalidite | 32
Invalidite | 33
Invalidite | 34
Invalidite | 35
Invalidite | 36
Invalidite | 37
Intermède
Invalidite | 38
Invalidite | 39
Invalidite | 39 (Repost)
Invalidite | 40
Invalidite | 41
Invalidite | 42
Invalidite | 43
Invalidite | 44
Intermède
Invalidite | 45
Invalidite | 46
Invalidite | 47
Invalidite | 48
Invalidite | 49
Invalidite | 50
Invalidite | 51
Invalidite | 52
Invalidite | 53
Intermède (PENTING)
Invalidite | 54
Intermède
Invalidite | 55
Intermède : INFO PENERBITAN & VOTE COVER
PO NOVEL INVALIDITE SUDAH DIBUKA!
KENAPA MAU-MAUNYA BELI INVALIDITE?
INVALIDITE : DIFILMKAN
INVALIDITE SEGERA TAYANG

Invalidite | 29

495K 42.1K 6.3K
By Faradisme

Pernah terpikir sekali untuk pergi. Lalu berhenti pada hari dimana kamu datang membawa patahan hati. Memintaku memperbaiki. Bodoh sekali jika mau menerimanya.
Aku menerimanya.
Karena meski patah, hatiku berkata bisa membuatnya kembali sempurna.

***

Di ujung hari Pelita sering terdiam sendiri, memikirkan apa yang sudah terjadi. Ada yang baik. Ada juga yang kurang baik.

Ibunya pernah berkata, kalau yang kurang baik itu bisa saja hal baik bagi orang lain.

Misalnya, Pelita pernah pulang sekolah dengan rok penuh lumpur, akibat terkena cipratan genangan air di pinggir jalan sehabis hujan di depan sekolahnya ketika ia sedang menunggu angkot. Padahal ia memakai seragam baru hadiah dari ibunya.

Lalu terpikir seperti ini, bisa saja mobil yang melintas begitu cepat itu tengah buru-buru mengejar sesuatu. Entah kepentingan pekerjaan yang perusahaannya mau bangkrut atau bisa jadi mengejar seseorang di rumah sakit yang sekarat.

Hal baik bagi orang itu, bisa sampai di meeting penting dan menyelamatkan perusahaannya, atau bisa jadi sampai di rumah sakit tepat waktu. Kalau begitu apa artinya noda di roknya, kalau ternyata pemilik mobil itu bisa berjumpa untuk terakhir kalinya dengan saudaranya yang sekarat.

Sejak itulah Pelita tidak pernah mengartikan sebuah harinya dengan kata buruk. Karena bisa saja, harinya yang buruk menjadi alasan hari baik untuk orang lain.

Sama halnya ketika ia menemukan lukisannya tergeletak di lantai pagi ini.

"Ini rahasia kita. Jangan sampai ada yang tau," ujar Pelita berbisik. "Kayaknya tadi ada angin jadi lukisannya jatoh,"

"Angin apaan yang bisa bikin lukisan kamu kebelah jadi dua gini?" sahut Bobby. Ia mengambil lukisan itu dari lantai dan memeganginya. "Ini mau dikumpul besok, kan?"

"Aku bisa bikin lagi kok," Pelita lalu duduk di atas kursi, menyampirkan tongkat di sebelah kiri, memandang jam dinding di atasnya. "Masih ada 23 jam lagi sebelum di kumpul besok, hehe..."

Bobby tau benar jika memaksa Pelita mengatakan lukisannya yang hancur sebagai alasan kompensasi pemberian waktu lebih dan tidak mengumpul tugas adalah sia-sia. Jadi ia hanya bisa membantu menyiapkan kaki kanvas beserta kanvas dan juga seperangkat bak cat.

"Kadang tuh aku heran kenapa kamu bisa baik banget sama orang, Ta." Ujar Bobby mengambil kaleng cat di atas lemari yang cukup tinggi, membukanya dengan jari. "Kamu gak pernah marah emangnya?"

"Gimana ya," Pelita memilih beberapa kuas. "Aku cuma ngerasa nggak berhak marah. Semua orang punya alasan ngelakuin sesuatu, mau baik atau buruk. Aku cuma perlu memahami alasan mereka ngelakuinnya aja,"

"Dan alasan mereka ngancurin lukisan kamu adalah?"

Pelita berpikir sesaat sebelum tersenyum pada Bobby. Cowok itu sudah berhasil membuka kaleng cat dan menatapnya. "Mungkin dengan ngelakuin itu bisa membuat mereka senang. Bisa jadi lega."

"Dengan cara menjaili orang lain maksud kamu? Itu tindakan buruk namanya."

"Kalo urusan itu balik ke pertanggung jawaban mereka masing-masing. Kita sebagai sesama manusia, cuma kebagian tugas buat sabar aja." Pelita terkekeh. Sudah sering kali ia membahas ini dengan Bobby.

"Biar kita sering bahas ini, kayaknya aku gak bakal bisa ngerti cara berpikir kamu, Ta. Sekarang kamu pacaran sama Dewa. Aku yakin tambah banyak orang yang ngelakuin ini sama kamu."

Ya. Mungkin. Bukan hal yang biasa tentunya, bagi Pelita menjadi pusat perhatian. Meski ia menghadapinya dengan senyuman, tetap saja keterkejutan setiap kali ada orang yang menyapanya masih ada.

Rupanya, inilah efek 'gadis Dewa' yang pernah cowok itu sebutkan tempo hari. Entah darimana semua orang sudah tau hubungannya bersama Dewa. Seperti temannya ini.

"Aku sendiri jadi takut ngebayanginnya." Dengan kaleng cat di tangan Bobby berbalik, untuk kemudian menabrak seseorang. Kaleng yang menyimpan cat berwarna kuning itu sukses jatuh menggelinding di atas lain dengan sebelumnya mengotori baju orang di hadapannya.

"Lo punya hobi nabrak orang pake cat?" Dewa yang hari itu memakai t-shirt hitam mengeram kesal karena cat kuning tampak terlihat jelas di bajunya.

"Gak-gak se-sengaja," Bobby mendorong kacamatanya naik. Gugup. "Gue gak liat lo dateng. Sorry-sorry-sorry,"

Dewa menarik kerah baju Bobby, membawanya berdiri dengan ujung kaki. Tangannya yang lain pun sudah terkepal, siap memberi pukulan namun terhenti, oleh sebuah tawa merdu yang menghampiri telinganya.

Dewa menatap Pelita yang menutup mulutnya dengan tangan. Menahan tawa dengan cara menggemaskan.

Dewa lalu mendelik ke arah Bobby. "Untung cewek gue lagi cantik," kemudian melepaskan cengkramannya di baju Bobby. "Minggat lo!"

"Bobby jangan mau. Disini aja," sahut Pelita kemudian. "Dewa masih aja deh galak,"

"Dia ngotorin baju gue!" Kemudian menatap Bobby tajam. Mengisyaratkan dengan jelas jika Bobby harus pergi sebelum kebaikan hatinya pergi. Makanya, Bobby segera menyambar tasnya di atas meja.

"Bobby!" panggil Pelita dengan melongokkan kepalanya, karena Dewa menghalangi pandangannya.

"Nanti, kalo perlu bantuan kasih tau aja ya, Ta." Ujarnya.

"Gak ada bantu-bantuan, tai." Sergah Dewa menendangkan kakinya ke arah Bobby, tapi tidak sampai mengenai cowok itu.

"Bobby," Panggil Pelita lagi. Tidak ingin cowok itu pergi, tapi sepertinya Bobby lebih sayang nyawanya dengan langsung berlari menuju pintu dengan langkah pasti.

Jadilah keadaan yang paling dihindari Pelita sejak insiden tenggelam terjadi.

Dewa mendekati kursi tinggi Pelita. "Tadi pagi gak jawab telpon, terus berangkatnya gak mau dijemput." ujarnya bersidekap. "Kenapa?"

"Mungkin pas hapenya di tas. Nggak kedengeran jadinya," Pelita memutar kursinya menghadap kanvas. "Biasanya aku juga gak djemput kan?"

Oleh Dewa, kursi itu diputar lagi sehingga gadis itu kembali menghadapnya. Jika Dewa sudah sumringah dengan noda kuning di baju, Pelita mengerjap dengan tangan memegang kuas ketat. Seribu persen yakin bahwa Dewa sedang berniat menggodanya sekarang.

Dewa berdiri cukup dekat dengan kedua tangan bersandar di tepi kursi yang Pelita duduki. "Jangan ngindar cuma karena kejadian kemaren. Aku kan udah bilang gak bakal ngapa-ngapain kalo kamu gak mau,"

Pelita mencari sebuah jawaban, namun tidak menemukannya, hingga ia memilih mengangguk. Mengikis ujung kuas yang hampir mengering.

"Baju kamu kotor," tunjuk Pelita kemudian, teringat insiden tadi kembali memancing senyumnya. "Sini aku bikin bagus,"

Dewa kembali menegakkan tubuhnya ketika Pelita melukis tumpahan cat di baju Dewa. Membuat lengkungan panjang dengan dua titik baru di atasnya. "Aku gambarin emot senyum. Biar bisa nular sama yang pake baju," kekehnya.

Dewa menunduk. Mengikuti jalannya kuas Pelita dengan tertarik.

"Lagi ngapain tadi?" tanya Dewa kemudian.

Masih fokus dengan lukisannya di baju Dewa, Pelita menyahut. "Mau ngerjain lukisan. Besok udah dikumpulin soalnya."

"Gak ada yang aneh-aneh kan?"

Pelita tersenyum. "Enggak ada. Cuma tadi itu. Banyak yang nyapa, terus ngobrol kan," Pelita mencelupkan kuasnya ke dalam air. "Terus pada mau minta nomor hapenya Dewa."

"Jangan dikasih!" sahut Dewa cepat.

"Kenapa?"

"Nggak ada yang tau nomor aku sekalian Rendi-Gerka sama kamu. Aku gak mau diganggu mereka."

"Kenapa kamu selalu berpikir orang disekitar kamu itu akan ganggu? Mereka cuma mau temenan kok,"

"Jadi kamu kasih?!"

"Enggak sempet. Soalnya Bobby dateng nyuruh kesini." Pelita meletakkan kuasnya. Lalu menyentuh baju Dewa bagian depan dengan ujung jari. Terlihat bahagia dengan hasilnya. "Naa... Dewa coba liat. Jadi lucu,"

"Tambahin nama kamu di bawahnya,"

Pelita mendongak. "Buat apa?"

"Biar orang pada tau, cuma kamu alasan aku untuk senyum."

Pelita mengulum senyuman. Menormalan gedupan lalu mencelupkan kuasnya ke cat berwarna kuning, kemudian menulis namanya dengan ukuran yang lebih kecil. layaknya maha karya, ia menatap Dewa bangga.

"Kamu harus masuk kelas pakai baju ini," kekeh Pelita.

"Oke."

Pelita melongo. "Kamu serius? gak malu?" Padahal ia hanya mengatakannya sekedar bercanda.

Dewa mengambil kuas di tangan Pelita dan meletakkanbya di dalam kotak cat. Beralih mengusap pipi gadisnya.

"Apapun yang kamu minta,"

Pelita menggigit bibirnya. Menatap malu-malu pada Dewa yang tidak pernah lepas memandanginya itu. Lalu Dewa tiba-tiba saja mendekat. Sekejap Pelita gelagapan, segera saja ia tahan tubuh Dewa dengan dua tangan.

"Dewa mau ngapain?" Bisa dirasakannya semburat panas menghiasi pipinya sekarang.

"Cuma mau cium dahi. Boleh?"

Pelita semakin tertunduk tajam. "Kenapa nanya, sih. Dewa jadi bikin aku malu,"

Cowok itu terkekeh. Memegang sisi kepala Pelita lalu mengecup dahi gadis itu. "Ketemu lagi nanti," bisiknya rendah dan berlalu pergi menuju pintu.

Sedangkan Pelita, meremas roknya kuat demi mengontrol degup jantungnya yang menggila.

***

Pilihan Pelita ada dua. Angkat telpon dari Dewa sekarang juga, atau cowok itu akan mendatanginya. Dimana berhadapan dengan Dewa menjadi sulit baginya akhir-akhir ini.

"Halo," Pelita memilih pilihan pertama.

"Dimana?"

"Lagi di angkot, mau pulang."

"Jadi emang beneran gak mau bareng?"

Pelita yang sedang duduk dengan menilik ke luar jendela itu menjawab. "Lain kali, ya. A-ku mau ketemu ayah," Pelita menelan ludahnya. "Ka-tanya dia hari ini baru pulang dari rumah temennya,"

Dewa tidak langsung menyahut. Keterdiaman itu menambah ketidaknyamanan Pelita.

"Oke," sahut suara di seberang kemudian. "Kapan bisa ketemu?"

Nyatanya menghindari Dewa bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. "Besok? Kan hari kamis, tuh. Di ruang lukis kayak biasa,"

"Di rumah aku aja,"

"Oke." Yang ada di kepala Pelita sekarang adalah mengakhiri obrolan ini. Padahal cowok itu tidak ada di hadapannya tapi Pelita tetap saja berdebar hanya dengan mendengar suara Dewa.

"Hati-hati di jalan,"

"Kamu juga." Sahutnya dan langsung memutuskan telpon. Karena dia harus berhenti merasa bersalah dan juga karena tempat tujuannya hampir sampai.

"Mau berhenti di mana, mbak?" Tanya supir taksi itu.

"Di depan café di ujung, pak. Yang ada cowok berdiri itu,"

Ketika taksi berhenti di tempat yang diminta, pintu di sebelah Pelita terbuka dari luar. Cowok dengan sweater hitam hari itu menunduk memandangnya. Hanya memberi seulas senyum lalu membantu Pelita turun. Setelah memaksa Pelita agar cowok itu saja yang membayar taksi, mereka lalu memasuki café dan duduk di meja yang sudah dipesan.

"Kamu udah nunggu lama?"

Gilvy tersenyum. "Selama apapun aku selalu bisa nunggu kamu, Ta. Makasih udah mau dateng." Cowok itu membuka buku menu. "Kamu mau pesen apa?"

"Bisa kita langsung ngomong aja? Aku gak terlalu lapar, Gil."

"Kamu harus makan. Udah lama banget kita gak duduk semeja gini. Kamu terlalu sibuk sama bimbingan Dewa, sih."

Pelita menatapi tatakan piring di hadapannya. Memulai sebuah kejujuran memang kadang sulit, tapi memelihara ketidakpastian justru melipatgandakan sakitnya. Ia tidak ingin Gilvy harus merasakan itu.

"Gil," Pelita menarik napasnya. "Aku,-"

"Dewa tahu kamu disini?"

Terima kasih pada Gilvy yang mengingatkannya pada kebohongan yang baru saja ia lakukan. "Enggak, Dewa nggak tau."

"Aku kenal sama Dewa," ujar Gilvy memulai. "Udah cukup lama bahkan. Sejak kami masih kecil."

Pelita membelakakkan matanya. "Beneran?"

"Orang tuanya temenan sama orang tuaku. Kerja bareng. Sampai udah kaya sodaraan saking deketnya," Pelita semakin membulatkan matanya. "Cukup deket sampe aku tau gimana sifat Dewa yang sebenernya,"

"Kok kamu gak pernah cerita?" Pelita mencoba melihat kemana arah pembicaraan Gilvy.

"Kami deketnya dulu, bukan sekarang." Gilvy menarik diri dari sandaran kursi dan menopangkan siku pada meja. "Dewa berubah sejak orangtuanya meninggal karena kecelakaan. Sejak itu dia menarik diri dari semua orang. Menciptakan dunianya sendiri. Hidup sendiri. Melepaskan diri dari keluarga."

Pelita sampai tidak menyadari buku tangannya yang memutih karena terlalu kuat mengepalkan tangan.

"Aku tau, mungkin kamu bakal mikir ini cuma cara buat bikin kamu gak suka sama Dewa. Tapi yang aku mau cuma kamu gak disakitin, Ta. Dewa bukan seperti apa yang kamu lihat,"

"Gil, maksudnya apa sih? Kenapa Dewa bisa nyakitin aku?" Dewa tidak memiliki alasan untuk menyakitinya.

"Dewa gak pernah serius sama cewek. Dia gak pernah terlibat komitmen. Dia hanya mikirin dirinya sendiri. Hanya manfaatin semua cewek yang suka sama dia. Yang dilakuinnya dari dulu cuma tidur sama cewek lalu pergi ninggalin gitu aja. Cuma dipake buat seneng-seneng,"

"Gil!" tegur Pelita jengah.

"Aku hanya ngomongin kenyataan, Ta." Gilvy meletakkan tangannya di atas tangan Pelita. "Karena aku sayang sama kamu, walau kamu gak punya perasaan yang sama kaya aku."

Lagi, Pelita tersentak.

"Aku udah tau kamu pasti mau datang kesini karena mau nolak aku," ujar Gilvy sembari tersenyum kecil. "Anehnya, meski rasanya sakit, sayang aku ke kamu justru makin bertambah. Karena aku juga sadar, semakin sakit rasanya, semakin banyak juga sayang aku ke kamu."

Sekarang, Pelita seperti kehilangan lidahnya. Kosakata di dalam kepala entah menguap kemana. Terlalu banyak hal yang ia pikirkan dan tidak adanya tanggapan yang tepat untuk ia berikan.

"Gak papa, jangan pikirin itu. Aku bisa ngerti kenapa kamu gak suka aku. Mungkin karena aku salah mengambil peran dengan menjadi sahabat kamu terlebih dulu. Harusnya aku ngejar kamu dari dulu."

"Gil, maafin aku," ucap Pelita pelan. Entah harus bersyukur karena tidak harus mengatakan penolakannya secara langsung atau harus sedih karena Gilvy yang terlihat pasrah menerima.

"Tapi janji satu hal," Gilvy membuka buku menu. Sedangkan Pelita masih menatapnya lurus. "Jangan tolak ajakan makanku lagi, ya. Aku nggak siap kehilangan seorang teman."

***

TBC

H

oi... 😆

Longtimenoseee

Engga juga deng. Hehe

Makasih masih setia nungguin ini cerita update. Gadia dewa TOP banget dah

Emm... Seketika aku nggk tau mau nulis apa lagi 😅

Faradita
Penulis amatir yang lagi dengerin lagu kpop

Bos, jambak rambutnya nih.

KENAPA MEREKA HARUS SECOCOK ITU SIH KESEL GUE. 😡


Follow instagram mereka yah

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 170K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
1.1M 110K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
6.5M 446K 38
[SUDAH TERBIT DI COCONUTBOOKS] Tuhan menciptakan manusia saling berpasangan dan menutupi kekurangan masing-masing. Begitu pun dengan Aruna yang diper...
8.9M 855K 44
Damian Manuel Regata dan Daniel Manuel Regata, mereka kembar. Namun meskipun begitu, keduanya memiliki sifat yang saling bertolak belakang. Tak han...