Invalidite [Completed]

Od Faradisme

30M 2.5M 509K

(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) #1 in Romance, 10 Januari 2018 Dewa Pradipta adalah 'dewa' dari s... Viac

Invalidite | 1
Invalidite | 2
Invalidite | 3
Invalidite | 4
Invalidite | 5
Invalidite | 6
Invalidite | 7
Invalidite | 8
Invalidite | 9
Intermède
Invalidite | 10
Intermède
Invalidite | 11
Invalidite | 12
Invalidite | 13
Invalidite | 14
Invalidite | 15
Invalidite | 16
Invalidite | 17
Invalidite | 18
Invalidite | 19
Invalidite | 20
Invalidite | 21
Intermède
Invalidite | 22
Invalidite | 23
Invalidite | 24
Invalidite | 25
Invalidite | 26
Invalidite | 27
Invalidite | 29
Invalidite | 30
Invalidite | 31
Invalidite | 32
Invalidite | 33
Invalidite | 34
Invalidite | 35
Invalidite | 36
Invalidite | 37
Intermède
Invalidite | 38
Invalidite | 39
Invalidite | 39 (Repost)
Invalidite | 40
Invalidite | 41
Invalidite | 42
Invalidite | 43
Invalidite | 44
Intermède
Invalidite | 45
Invalidite | 46
Invalidite | 47
Invalidite | 48
Invalidite | 49
Invalidite | 50
Invalidite | 51
Invalidite | 52
Invalidite | 53
Intermède (PENTING)
Invalidite | 54
Intermède
Invalidite | 55
Intermède : INFO PENERBITAN & VOTE COVER
PO NOVEL INVALIDITE SUDAH DIBUKA!
KENAPA MAU-MAUNYA BELI INVALIDITE?
INVALIDITE : DIFILMKAN
INVALIDITE SEGERA TAYANG

Invalidite | 28

467K 45.1K 12.5K
Od Faradisme

"You're my favorite place to go to when my mind searches for peace."

- Dewa Pradipta -

"Oke, disini udah gak terlalu berisik. Gue bakal langsung ke inti," ujar Kris berdiri di antara ketiga laki-laki yang sudah duduk di sofa mengelilinginya. "Gue, seperti yang lo semua tau, suka banget sama konsep baru kita. Karena Pelita bawa 'wajah' baru buat brand gue. Dan manajemen yang lain juga sependapat. Jadi, buat next projek nanti kami mutusin cuma pake satu model doang,"

"Pelita?" Tanya Dewa menaikkan alis.

"Siapa lagi?" Kris mengibaskan selendangnya. "Ini gebrakan baru di dunia model. Bahkan, gue mau semua orang tau kalo Pelita pake tongkat. Lo tau kan maksud gue? Sesi pemotretan dimana Pelita gak harus menutupi kekurangannya."

Jika Gerka dan Rendi tampak antusias dengan usulan itu, Dewa justru terdiam.

"Sebelum lo nolak dan ngajak gue adu mulut," potong Kris dengan telunjuk lentiknya ke arah Dewa. "Manajemen juga memasukkan Pelita ke dalam list model yang akan mengikuti fashion show perdana kami."

"Aseli, sedaaap kan kata gue. A-nya tiga..." celetuk Gerka.

"Siyap, Kris!" Rendi membuat posisi gerakan hormat. "Kapan, tuh? Biar kita bisa siapin Pelita."

"Tanggal belum terbit. Gue kabarin secepatnya kalo udah fix," Kris yang menyadari keterdiaman Dewa lalu bertanya. "Gimana, Wa?"

Dewa mengendikkan bahunya. "Gue ngomong ke Pelita dulu. Baru ngasih jawaban ke lo."

Kris menerima dengan mengangguk, tak keberatan dengan itu. Begitu pula dengan Rendi dan Gerka, mereka mulai membahas konsep selanjutnya yang dijanjikan kris.

Dewa masih diam dengan pikirannya saat tiba-tiba saja suara musik di luar berhenti. Lalu digantikan dengan suara ribut terdengar.

"Apaan tuh? Ada maling di rumah lo, Ger?"

Dewa tau perasaan tidak nyamannya sejak masuk tadi berarti sesuatu. Oleh karenanya, ia langsung berdiri dan berlari keluar. Apa yang ia lihat pertama kali adalah semua orang berteriak di pinggir kolam. Meneriakkan nama gadisnya.

"Wah-wah, ngamuk dah tai."

"Sinting!"

Mungkin hanya umpatan Rendi dan Gerka itulah yang masih tertangkap oleh telinganya, karena Dewa sudah lebih dulu berlari secepat yang ia bisa lalu melompat ke dalam kolam.

Berat air memperlambat geraknya. Namun Dewa bersikeras melawan, berenang lurus menuju tubuh yang sudah tidak bergerak itu. Ia ingin secepatnya meraih Pelita. Tidak dipedulikan lagi dadanya yang sakit karena menghempas air terlalu keras tanpa persiapan menarik napas yang dalam terlebih dulu.

Gadisnya tidak boleh kenapa-napa.

Semuanya kabur, tapi Dewa berhasil meraih tangan Pelita yang dingin, kemudian membawanya berenang naik ke permukaan. Udara yang ia hirup panjang, tak jua melenyapkan kecemasan. Matanya perih karena tidak bisa menghapus air kolam dari wajah. Ia tidak ingin melepaskan Pelita.

Dewa menyadari Gerka juga masuk ke dalam air. Keduanya pun menyangga tubuh Pelita yang tak sadarkan diri itu ke tepi kolam. Di bantu Rendi, mereka bertiga membawa Pelita berbaring di permukaan kering.

Suara berdengung dari orang-orang di sekitarnya. Tidak jelas mengatakan apa. Gerka masih mengatur napas. Rendi panik memanggil bantuan. Tika sibuk menutupi tubuh Pelita dengan handuk. Semua orang ribut.

Tapi Dewa hanya fokus pada satu titik. Gadisnya. Yang tengah menutup mata. Cowok itu berlutut di samping kepala Pelita.

"Ta," Dewa menyentuh kedua pipi pucat yang tidak berseri lagi itu. "Pelita,"

Dewa benar-benar takut sekarang, karena Pelita tidak merespon. Dua tangannya saling terkait, lalu mulai memompa dada Pelita. Memberikan CPR walau dengan gemetar yang sekarang menerjang seluruh tubuhnya.

Seketika ingatan masa lalu menghampiri. Dewa tidak ingin mengulang kembali mimpi buruknya dengan menyaksikan orang yang dia sayangi pergi. Tidak pula Pelita. Ia kemudian mengangkat dagu Pelita, sedangkan tangan yang lain menjepit hidung gadis itu.

Tidak dipedulikannya keributan yang semakin ramai di sekitar. Hanya ada satu kepentingan Dewa sekarang yaitu melihat mata Pelita kembali melihat kearahnya.

Perlahan Dewa menunduk, lalu menutup bibir pucat itu dengan bibirnya. Memberikan napasnya untuk Pelita.

***

Tidak ada yang bicara. Semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi yang jelas, sumber aura menakutkan yang memenuhi seluruh ruangan berasal dari cowok yang tidak henti meremas rambutnya itu.

Tangannya gatal ingin menghancurkan sesuatu. Namun kekhawatirannya justru membuat Dewa malah tidak berdaya. Ketika dokter tiba, Pelita langsung di bawa ke kamar tamu dan di periksa.

Dewa bersumpah, akan membunuh Siska.

Hanya itu saja yang ada di benaknya setiap kali teringat denyut pelan yang ia rasakan di tubuh Pelita. Beruntung, Siska sudah dibawa pergi oleh Rendi. Membuatnya justru terkurung dalam rasa bersalah semakin parah.

"Kayaknya, entar gak usah bikin party di rumah gue deh." Ujar Gerka. Berusaha memecah sunyi. Namun Dewa sepertinya hampir melupakan segalanya.

"Wa, lo tenang dulu deh. Kata dokter Pelita udah baik-baik aja, kan."

Dewa tidak siap bicara dengan siapapun sekarang. Terlalu banyak hal yang terjadi saat ini. Memenuhi benaknya dengan bayangan masa lalu dan juga keadaan Pelita.

Pintu kamar tamu terbuka. Dewa lekas berdiri dan berniat masuk, namun lengannya ditahan.

"Bentar dulu," ujar Tika. Setelah kepergian dokter, Tika yang menggantikan pakaian Pelita. "Mungkin dia perlu sendiri dulu, Wa."

"Sendiri lo bilang? Gue gak bakal biarin dia sendiri."

"Tapi dia keliatan ketakutan. Dia malah gak mau nyaut pas gue ajak ngobrol. Kayaknya masih syok."

Dewa menyentak tangannya terlepas dari cekalan Tika. "Bukannya semakin jelas?"

Ia membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. Langit sore menembuskan sinar temaran melaluo jendela. Di sana, gadisnya berbaring dengan selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya.

Dewa perlahan mendekat. Duduk di tepi tempat tidur. Dia kira akan melihat Pelita, namun gadis itu menutupi seluruh kepalanya dengan selimut.

Getaran lembut di baliknya, menjelaskan jika gadisnya tidak baik-baik saja.

"Pelita,"

Panggilannya membuat tubuh Pelita bergerak pelan. Seperti tengah mencoba menjauhinya.

"Ini Dewa."

Tapi Pelita belum mau menurunkan selimutnya.

Melihat Pelita bersembunyi seperti itu seperti menikam Dewa tepat di dada. Ia lalu menyusupkan tangannya ke dalam selimut, menggenggam tangan pelita dan menariknya keluar.

Dewa menjalin jarinya memasuki ruas jari Pelita.

"Harusnya tadi gue-" Dewa menahan lidahnya. Pelita semakin beringsut, mencoba menjauh. "Harusnya tadi aku gak ninggalin kamu di luar," lanjutnya.

"Tangan kecil ini," Dewa membungkuk untuk mengecup punggung tangan Pelita. "Yang tadi ngasih aku kekuatan bawa kamu keluar dari kolam."

Masih tidak ada jawaban. Pelita tetap diam. Namun tangan kecil yang ia genggam menguat.

"Makasih, Ta. Udah jadi gadis aku yang kuat."

Selimut yang menyembunyikan Pelita kemudian tersibak. Hal pertama yang Dewa dapati adalah wajah cantik dihiasi ketakutan dengan dua mata menggenang melawan tangis.

Dewa menjulurkan tangan, mengusap pipi gadisnya. "Pelitaku selalu tersenyum. Kemana perginya itu sekarang?"

Tarikan napas Pelita semakin berat. Gadis itu berusaha bangkit bangkit, tapi sulit. Mungkin tenaganya sudah terkuras.

Dengan lirih gadisnya bicara. "Mau peluk Dewa,"

Bukan perkara mudah bagi Dewa menarik bahu Pelita dengan perlahan, mengingat seberapa besar kecemasan yang sudah tertimbun sejak tadi.

Dengan posisi Pelita setengah berbaring, lengan kurus itu kemudian melingkari lehernya lemah. Dewa-lah yang kemudian memeluk gadis itu erat.

"Takut," isak Pelita. "Tadi aku gak bisa napas,"

Dewa mengusap punggung Pelita naik turun. Mengecup dahinya. "Sekarang udah bisa, kan. Udah gak pa-pa. Kamu udah sama aku."

Pelita pun semakin mengeratkan pelukannya. Dan Dewa, tidak berniat melepaskan sama sekali.

"Dewa," panggil Pelita setelah beberapa saat diam.

Dewa mengusap belakang kepala Pelita sebagai jawaban.

"Siska di mana?"

Beruntung, Rendi segera mengusir Siska dari sana sebelum Dewa sempat bertatap muka. Lebih baik mungkin karena Dewa tidak harus repot menahan emosinya.

"Jangan marahin Siska, ya."

Marah? Bahkan kata itu tidak cukup mendefinisikan bagaimana perasaannya sekarang.

***

Jika bukan karena ayahnya yang ternyata menginap di rumah temannya, mungkin Pelita tidak akan berada di sini. Dewa memaksanya untuk tetap tinggal. Untung saja, mbak Tika ada menemaninya.

"Kita semua nginep sini kok. Gak usah ga enak gitu, Ta." Ujar Tika berbaring di sebelahnya. "Di luar ada Dewa, Rendi sama Gerka juga."

"Mereka gak tidur di kamar? Di rumah ini gak ada kamar lagi? Rumahnya kayaknya gede."

Tika terkekeh. "Katanya lebih enak di sofa."

"Lo udah mau tidur? Masih perlu sesuatu yang lain?"

Pelita menggeleng, menarik selimut. "Makasih ya, mbak. Maaf aku ngerepotin."

"Udah deh gausah pake makasih segala," Tika membuka gelung rambutnya. "Lagian harusnya lo bilang makasihnya ke Dewa. Kalo dia gak ngasih CPR, mungkin lo udah lewat tadi,"

"Lewat kemana, mbak?"

Tika menoleh, lalu terkekeh. "Pantes Dewa tergila-gila sama lo. Tau gak, tadi dia neriakin semua orang karena gak jagain lo."

Pelita semakin merasa bersalah. "Maaf,"

"Justru lucu tau. Jarang banget dia kaya gitu," Tika lalu menopang kepalanya dengan satu tangan, menghadap Pelita. "Lo inget apa yang tadi kejadian gak?"

Pelita menggeleng.

"Udah kaya di film-film," Tika berusaha menahan tawa. "Bukannya gue seneng lo tenggelam juga sih. Tapi gue liat Dewa langsung nyebur. Bawa lo naik. Panik banget udah pokoknya. Manggil-manggil lo. Terus ngasih napas buatan-," Tika berhenti dan memperhatikan Pelita. "Kok lo biasa aja sih?"

"Iya. Aku udah bilang makasih kok ke Dewa. Ngerasa beruntung banget udah ditolongin,"

"Yah, " Tika mendesah. "Lo gak baper apa abis dicium Dewa?"

"Dicium?" Pelita mengerutkan kening. "Kapan Dewa nyium aku?"

"Astaga," Tika menepuk dahinya. "Gue mulai kesel juga nih jadinya. Lo tau napas buatan gak? Napas yang dari mulut ke mulut,"

Beberapa saat Pelita melarikan pandangannya ke langit-langit kamar. Lalu matanya melebar.

"Bukan ciuman sih. Tapi inti dari Dewa ngelakuin itu karena mau nyelametin lo. Dan menurut gue itu cukup romantis,"

Pelita menarik selimutnya hingga menutupi setengah wajahnya. Ia seperti tidak sanggup mendengar Tika bicara.

"Apalagi doi ngelakuinnya di depan orang banyak,"

"Mbak, udah-udah! Aku malu!" Ujar Pelita yang sudah menutupi wajahnya dengan selimut.

***

"Gue tungguin gak ni?" tanya Tika yang menyisir rambutnya dengan tangan di depan kaca.

"Nanti aku nyusul, mbak. Mau ngepang rambut dulu,"

Pagi harinya, Pelita bangun dengan perasaan lebih baik. Meski kadang ia masih merasa jika dirinya di dalam air. Yang justru membuat kepalanya penuh sekarang adalah perkataan Tika tadi malam.

Lewat pantulan kaca jendela, Pelita menyentuh bibirnya. Ia tidak ingat bagaimana hal itu terjadi. Parahnya, ia tidak memiliki pembanding. Itu pertama kali baginya. Dan rupanya, mengetahui 'itu' memang benar-benar terjadi tanpa mengingat lebih membuatnya malu.

Pelita sengaja berlama-lama. Ia menimbang akan bagaimana harus bersikap. Harusnya Mbak Tika tidak memberitahunya saja daripada sekarang malah membuat Pelita kewalahan dengan pikirannya.

Menarik napas sekali, Pelita memutuskan membuka Pintu. Lalu terpekik.

"Udah selesai?" tanya Dewa. Cowok itu duduk di lantai, tepat di seberang pintu kamar, sambil mengutak-atik kamera. Melihat Pelita keluar, barulah Dewa berdiri. "Kok lama?"

Pelita menunduk. "Ngepang rambut dulu,"

Dewa kemudian menyentuh ujung kepang Pelita. "Yang lain udah selesai sarapan. Aku nungguin kamu biar bareng."

Pelita mengangkat kepalanya, menatap Dewa. "Kok Dewa ngomongnya aku-kamu? Sejak kapan?"

Dewa mengerti jika kesabarannya bersama Pelita selalu diuji. "Gausah ditanya bisa gak?"

Pelita menggeleng. Ia meremas tongkatnya lalu bertanya. "Kamu kemarin nyium aku di depan umum?"

"Hah?" Siapa lagi yang bisa menanyakan hal semacam itu kalau bukan Pelita. "Apaan?"

"Kata mbak Tika, kamu ngasih napas buatan-" Pelita menyadari jika itu memang tindakan pertolongan. Bukan seperti yang mbak Tika pikirkan. Dan yang sekarang menjadi apa yang ia pusingkan. "Gak papa. Yuk, sarapan."

Dewa menahan lengan Pelita. Awalnya cowok itu kebingungan. Lalu rona merah di pipi gadisnya membuat kerutan di keningnya memudar. Digantikan oleh senyuman.

"Malu?" tanya Dewa gemas.

Pelita menggigit bibirnya. Kemudian mengangguk.

"Lagian itu bukan ciuman," Dewa melangkah maju. "Mau dicontohin?"

Pelita menggeleng. Dewa terkekeh lalu mengusap kepala Pelita. "Sebagai cowok yang menyayangi gadisnya, aku gak akan ngelakuin hal yang gak kamu mau, Ta."

Usapan Dewa turun menyentuh telinga Pelita, menggelitik gadis itu.

"Tapi kapanpun kamu mau, kamu hanya perlu memintanya dari aku."

***
Tbc

😶

Faradita
Penulis amatir

Pokračovať v čítaní

You'll Also Like

6.2M 369K 25
(Sudah di terbitkan oleh penerbit Loveable.redaksi) FOLLOW DULU SEBELUM BACA || TERSEDIA DI SELURUH TOKO BUKU INDONESIA (offline maupun online) (SETE...
1.7M 25.7K 43
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.1M 113K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
1.5M 75K 53
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...