Invalidite [Completed]

By Faradisme

30M 2.5M 509K

(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) #1 in Romance, 10 Januari 2018 Dewa Pradipta adalah 'dewa' dari s... More

Invalidite | 1
Invalidite | 2
Invalidite | 3
Invalidite | 4
Invalidite | 5
Invalidite | 6
Invalidite | 7
Invalidite | 8
Invalidite | 9
Intermède
Invalidite | 10
Intermède
Invalidite | 11
Invalidite | 12
Invalidite | 13
Invalidite | 14
Invalidite | 15
Invalidite | 16
Invalidite | 17
Invalidite | 18
Invalidite | 19
Invalidite | 20
Invalidite | 21
Intermède
Invalidite | 22
Invalidite | 23
Invalidite | 24
Invalidite | 25
Invalidite | 27
Invalidite | 28
Invalidite | 29
Invalidite | 30
Invalidite | 31
Invalidite | 32
Invalidite | 33
Invalidite | 34
Invalidite | 35
Invalidite | 36
Invalidite | 37
Intermède
Invalidite | 38
Invalidite | 39
Invalidite | 39 (Repost)
Invalidite | 40
Invalidite | 41
Invalidite | 42
Invalidite | 43
Invalidite | 44
Intermède
Invalidite | 45
Invalidite | 46
Invalidite | 47
Invalidite | 48
Invalidite | 49
Invalidite | 50
Invalidite | 51
Invalidite | 52
Invalidite | 53
Intermède (PENTING)
Invalidite | 54
Intermède
Invalidite | 55
Intermède : INFO PENERBITAN & VOTE COVER
PO NOVEL INVALIDITE SUDAH DIBUKA!
KENAPA MAU-MAUNYA BELI INVALIDITE?
INVALIDITE : DIFILMKAN
INVALIDITE SEGERA TAYANG

Invalidite | 26

485K 47K 15.3K
By Faradisme

   You smell like love.     

- Dewa Pradipta -

NP : Kunci Hati - Afgan

W A R N I N G !!!

Kawasan berbahaya. Area baper. Palagi jombs. Baca doa dulu gengs...❤

Muehehehehehee 🐋

***

Beruntung jika hari itu cuaca sangat bersahabat yang membuat pemotretan berjalan lancar. Dewa sedang duduk di salah satu batang pohon besar, menunggu kru selesai merapikan alat. Rendi sedang merayu model entah dimana sedangkan Gerka duduk tidak jauh darinya. 

"Ger, gue balik duluan entar. Lo bisa pantau alat kan?"

"Bisa," Gerka memicingkan mata kearahnya. "Yang gue gak bisa itu nyari jawaban kenapa Pelita gak lo ajak sama kita hari ini. Tai kalo alesannya cuma karena lokasi pemotretan kita di gunung,"

Dewa tidak menjawab. Memilih menenggak minuman bersoda ketika ujung matanya menangkap kedatangan Siska. Sepertinya cewek itu baru selesai berganti pakaian. Aroma parfum yang menyengat langsung menerpa penciumannya.

"Lo make parfum disiram, apa gimana, njir?" Gerutu Gerka seraya menutupi hidungnya.

Siska hanya mengedikkan bahunya acuh. Lebih tertarik menggoda Dewa.

"Akhirnya lo sadar juga ya, Wa." Siska berdiri di sisinya, menggelayut di lengan Dewa. "Kalo kerjaan kaya gini tuh butuh kesempurnaan. Bukannya malah bikin repot. Apalagi sama cewek yang gak bisa jalan. Gue tau lo bakal ngerti itu."

Gerka menatapnya tidak percaya. Begitupula Rendi yang baru datang mendekat.

"Tai ngapain lo?" ujar Rendi. "Sesama tai gak boleh dempetan. Bau lo bedua!"

Siska mendengus. Ia semakin mendekati Dewa. Menggesekkan tubuhnya, dan tersenyum penuh kemenangan ketika Dewa hanya diam. "Kenapa sih lo semua? Dewa aja udah nyadar kalo Pelita itu cuma penganggu. Bawa dia kesini cuma jadiin beban. Mana tau dia juga bawa sial," Siska meletakkan kepalanya di bahu Dewa. "Mending gue kemana-mana, lah."

"Wah-wah," Rendi berdecak. "Itu mulut, mbak? Beli dimana kok rada sampah? Minta tuker sama mulut uler coba,"

Gerka pun geram. Cowok itu kesal. Karena dia menyaksikan sendiri bagaimana kecewanya Pelita. Dan sekarang Dewa bahkan hanya diam tidak mengatakan apa-apa ketika Siska menghina cewek itu.

"Dewa," Gerka berdiri, namun Dewa lebih dulu bangkit.

"Gue duluan." ujarnya singkat. Siska pun yang masih merangkul lengan Dewa berjalan pongah mengikuti. 

"BYE!" ujarnya sambil mengibaskan rambut ke arah Gerka dan Rendi.

"Anyep lo pentil anoa!" Teriak Rendi.

Sepanjang jalan Dewa menuruni bukit, menuju mobil yang ia parkir di daerah landai, Siska tidak berhenti mengoceh di sebelahnya.  

"Kita mau kemana, sayang? Tempat lo atau tempat gue? Dua-duanya gue oke. Ya ampun, udah lama banget kan kita gak beduaan gini."

Saat sampai di parkiran, Siska hendak membuka pintu penumpang mobil Dewa, yang selanjutnya di tahan cowok itu.

"Siapa bilang lo boleh naik?"

Siska terkekeh. "Lo daritadi diem aja. Gue anggap itu sebagai jawaban iya.  Lagian lo udah bosen kan main-mainnya sama Pelita," Siska mendekat dan mengalungkan tangannya di leher Dewa. "Sekarang waktunya lo balik ke gue,"

Dewa mencengkram kedua tangan Siska. Berusaha sekeras mungkin tidak mematahkan tangan cewek itu. Mungkin sedikit gagal karena Siska justru meringis. 

"Gue gak akan pernah make lo lagi jadi model." ucapnya telak. Kalimat singkat yang berhasil membulatkan mata Siska detik itu juga.

"Hah?! Maksud lo?"

"Tika ngasih tau gue kejadian di wardrobe," Dewa maju selangkah. Dimana hal itu tiba-tiba menjadi menakutkan bagi Siska karena aura cowok itu yang berubah mengerikan. "Dan itu udah ngelanggar batas kesabaran gue."

"Gue salah apa emang? Heran, apa cuma gue yang punya mata di sini dan bisa ngeliat dengan jelas kalo Pelita itu cacat?!"

Kedua tangan Dewa terkepal. 

"Lo gak mikir, Wa?" Siska bersidekap. "Kalo gue keluar, bakal banyak model lain yang bakal ngikutin gue. Karena gue yang bawa mereka kesini. Lo ngusir gue, sama aja lo kehilangan sebagian model lo juga."

Dewa mencoba mengingat kapan dia pernah semarah ini. Ah, ya. Ketika dulu kakeknya menyepelekan kematian Papa-Mamanya.

Dengan raga dewasa yang ia miliki sekarang, ditambah rasa amarah itu, rasanya Dewa hampir siap membunuh.

"Jangan. Pernah. Muncul. Di hadapan. Gue. Lagi. Gue udah berbaik hati gak ngusir lo di depan yang lain. Jadi sebaiknya lo cukup tau diri buat pergi sekarang, karena lo ga akan bisa bayangin seberapa muaknya gue ngeliat lo."

Kalimat penuh bernada dalam itu tak pelak mengerucutkan keberanian Siska. Sepertinya ia bahkan baru pertama melihat tatapan menakutkan itu di diri Dewa. Cowok itu mungkin kasar, tapi Dewa yang barusan adalah sisi lain yang lebih menakutkan.

Melihat jika semakin lama ia berhadapan dengan Siska hanya akan membahayakan keselamatan cewek itu, Dewa memilih berbalik untuk pergi dari sana. Ia membuka pintu pengemudi, lalu berhenti sejenak untuk menegaskan sesuatu.

"Gue siap kehilangan apa aja untuk Pelita. Seharusnya dari situ lo bisa nyimpulin, seberapa berartinya cewek itu buat gue sekarang."

***

Pelajaran pertama yang dapat Pelita ambil ketika berurusan dengan Dewa adalah, cowok itu tidak suka dibantah.

Ada banyak alasan bagi Pelita untuk tetap tinggal di rumah, menunggu ayahnya pulang dan hanya ada satu alasan baginya menuruti keinginan cowok itu. Karena ia juga ingin melihat Dewa.

Pelita sudah duduk di sofa ruang tamu dengan memangku sebuah buku. Guna memaku dirinya tetap diam, dan menolak gelitik rasa ingin tahu. Kapan lagi dia bisa melihat-lihat rumah Dewa. Rumah yang selalu sepi tanpa siapa-siapa ini.

Dari pengamatan Pelita, rumah Dewa sangat nyaman walau tidak terlalu besar. Tidak terlalu banyak sekat. Bahkan hanya ada beberapa pintu. Satu ruang luas tanpa pembatas menyatukan ruang tamu, dapur dan juga sebuah taman kecil di teras samping.

Seingatnya, lantai atas pun sama. Begitu lengang dan nyaman tanpa sekat pintu atau dinding.

Pelita tidak pernah memiliki rumah impian, tapi jika diberi pilihan, ia akan dengan senang hati tinggal di rumah seperti ini.

Di lembar kelima belas bukunya terbalik, terdengar pula suara pintu depan terbuka. Astaga. Pelita belum memikirkan ini. Menghadapi Dewa setelah pernyataan mutlak cowok itu tentang dirinya.

Apa sebaiknya Pelita bersembunyi?

Dimana dia harus bersembunyi di rumah yang hampir terbuka di setiap sisinya ini?

Pelita tidak sadar meremas bukunya, ketika Dewa muncul di ambang batas ruang depan dan ruang tamu. Cowok berbaju kaos hitam itu membawa ransel sejenis seperti Gerka tempo hari. Rambutnya acak-acakan. Sebuah tas lebih kecil berisi kamera tergantung di bahu. Dan tatapan Dewa tepat ke arahnya.

"Hai, bos..." Sapanya kikuk.

Dewa mendekat, jika tidak salah lihat ada senyum kecil di ujung bibir cowok itu. Tapi Pelita tidak berani memastikan lebih jauh karena ia memilih mengalihkan pandangan ke depan.

"Ke sini naik apa?" Tanya Dewa. Cowok itu meletakkan barang-barang di ujung meja.

"Naik angkot,"

Dewa hanya diam. Tidak menanggapi berlebihan atau mengatakan hal-hal yang sering ia dengar ketika orang lain mengetahuinya naik angkutan umum. Hal kecil yang Pelita sukai. Dan orang lain tidak akan mengerti.

Pelita masih mengikis ujung bukunya dalam diam ketika cowok itu berbalik dan melepas bajunya. Tepat di depan Pelita. Sontak saja, Pelita mengangkat bukunya cepat menutupi mata.

"Ihh.. Dewa! Kebiasaan banget sih buka-buka baju gitu," ujar Pelita dari balik buku. "Aku sumpahin masuk angin terus anginnya gak keluar-keluar!"

Pelita tahu jelas cowok itu sengaja. Karena kekehan yang terdengar setelahnya sangat nyata penuh ejekan.

"Biasain aja, kek." Sebut saja Dewa ingin segera meraih pelitanya. Tapi ia harus berganti baju dulu karena parfum Siska yang melekat di bajunya sudah hampir membuatnya muntah.

"Mau makan, gak?" Tawar Dewa sambil lalu. Cowok itu berjalan menaiki tangga. Mengambil selembar kaos abu-abu dari lemarinya. Ketika kembali ke bawah, Pelita masih menutupi wajahnya dengan buku.

Oleh Dewa yang tidak pernah mengukur seberapa gemas ia pada cewek ini, ia menarik buku itu turun. "Udah. Gue udah pake baju,"

Pelita lalu mendorong kacamatanya naik. "Aku gak mau lagi ya ke sini kalo kamu hobi gak pake baju gitu di rumah," ujarnya dengan cemberut.

Dewa terkekeh. Bagaimana bisa ia berhenti menggoda gadis ini kalau dia se-menggemaskan itu?

"Gue mau nunjukin sesuatu." Dewa berdiri, menunggu Pelita yang masih duduk menatapnya. "Ikut gue bentar,"

"Jangan yang aneh-aneh ya tapi," Pelita bertumpu pada tongkatnya. Mengikuti arah yang ditunjuk Dewa. Sebuah pintu di bawah lantai dua kamar Dewa.

"Aneh-aneh gimana?" Cowok itu membuka pintu.

"Aneh-aneh kaya mau ngerjain gitu misalnya,"

"Masuk deh lo, bawel."

"Lampunya ga mau dinyalain?" Ruangan itu sangat temaram. Hampir mendekati gelap kalau tidak ada sebuah lampu neon kuning yang menyala di atas meja kecil.

Dewa yang berdiri di belakang Pelita menghela napas. "Sukanya gue paksa ya?"

"Kamu duluan kalo gitu,"

Baiklah jika Pelita memang harus selalu menguji kesabarannya. Dewa berjalan masuk lebih dulu, lalu barulah Pelita mengikutinya.

Dewa mengambil sebuah kursi di sisi meja. Ketika Pelita duduk, ia bersandar pada meja. "Ini kamar kedua gue."

"Di sini biasanya gue nyetak atau ngedit foto. Bisa juga buat tempat gue nyari sesuatu yang baru buat teknik foto gue. Segala macam hal dalam dunia fotografi, gue lakuin disini."

Pelita memperhatikan barang-barang di atas meja. Penuh dengan album dan juga susunan kamera serta lensa. Beberapa contoh foto cetak tergantung di depan meja yang berdekatan dengan lampu neon. Mungkin ini seperti ruang kerjanya Dewa.

"Bisa dibilang, ruangan ini adalah isi kepala gue."

Pelita tidak menutupi kekagumannya. "Wah... Aku gak nyangka kamu seserius ini jadi tukang foto,"

Dewa menatap sisi wajah Pelita yang masih memperhatikan mejanya. Mungkinkarena ia berhenti bicara, gadis itu menoleh. Menampilkan siluet wajah Pelita yang tampak indah di matanya.

"Marah ya dibilang tukang foto?" tanya Pelita. Melihat ruangan ini membuanya jadi tidak tega untuk terus memanggil Dewa dengan sebutan itu. "Gak usah kasih liat ini, aku tau kok kalo Dewa hebat."

"Lo mau liat apa yang ada di dalam kepala gue?"

Pelita mengerutkan kening. Dewa menjulurkan tangannya ke atas, menarik sebuah tali yang terhubung dengan lampu. Cowok itu menariknya dan memberi penerangan lebih. Dan juga sesuatu yang mengejutkan Pelita hingga napasnya tercekat.

Jika tadi pelita hanya mampu melihat penerangan dari meja dengan lampu neon, kali ini ruanganitu sudah terang dengan lampu berwarna sama yang terpasang di seluruh dinding hingga langit-langit. 

Namun bukan itu yang membuatnya harus menutup mulutnya karena tidak percaya.

Seluruh dinding ruangan terpasangi tali dengan banyak foto tergantung. Tali penyangga foto itu pun dililit oleh lampu tumblr yang membuat Pelita semakin jelas melihat. Kepalanya berputar menatapi satu persatu sisi, hingga berakhir mendongak menatap langit-langit.


Tidak mungkin ia salah mengenali, jika seluruh foto yang tergantung di dalam ruangan itu adalah foto Pelita.  

"Ini semua adalah apa yang selalu ada di kepala gue," Dewa mengamati wajah terkejut gadisnya. Kemudian ikut mendongak memperhatikan foto-foto. "Gadis itu selalu ganggu pikiran gue,"

Mungkin akan berbeda ceritanya jika foto yang tergantung itu adalah hasil pemotretan. Tapi semua foto di sana diambil secara candid. Disaat Pelita tidak menyadarinya. Pelita bahkan tidak berani menatap Dewa. "Ke-napa, semuanya foto aku?"

Dewa menunduk, mensejajarjan wajahnya dengan Pelita. "Karena gue suka,"

Refleks Pelita menunduk, memperhatikan rambutnya. "Maksud kamu kepangan ini, kan?"

Pelita sedang berdiri di mana rasa percaya dirinya menyusut hingga ke dasar. Dia tidak pernah berani berangan akan ada seseorang yang menyukainya. Tidak berani sekalipun.

Dewa lalumeraih ujung kepangnya. Bukan menariknya seperti biasa, cowok itu justru melepaskan ikatan kepang Pelita perlahan. "Gue suka," ujarnya sambil menyisir jalinan rambut Pelita hingga terurai. "Dikepang atau enggak, gue tetep suka. Lo dandan atau enggak, gue tetep suka. Lo pake baju apapun, gue tetep suka."

Pelita tercengang. Lidahnya kelu. Dewa masih mengusap rambutnya, lalu kembali bicara. "Gue gak ngajak lo, bukan karena gue gak percaya lo bisa naik gunung. Mungkin bakal susah, tapi lo juga gak bakal nyerah. Sesulit apapun, lo bakal senyum ke semua orang dan bilang baik-baik aja. Bilang kalo lo bisa,"

Dewa melepaskan rambutnya. Berganti meletakkan tangannya di sandaran kursi sehingga wajah Dewa semakin mendekat. "Tapi gue juga gak bisa berhenti khawatir kalo itu kejadian. Gimana gue bisa kerja, kalo pikiran gue selalu tertuju ke lo, Ta."

Pelita hampir saja ingin menangis. Karena Dewa masih mempercayai. Jadi mungkin ini pertanda jika Pelita menggantung harapannya di tempat yang tepat. Pada Dewa.

"Jadi," Pelita meremas tangannya di atas paha. "Dewa gak cuma suka sama kepang aku aja?"

Sudah jelas kepolosan Pelita menyiksa Dewa dengan harus memperjelas maksudnya. Dewa kemudian menarik kepala Pelita mendekat, lalu mengecup dahi cewek itu.

Bisa dirasakanya Pelita menegang. Cewek itu berdiam diri beberapa saat sebelum tersadar dan mendorongnya menjauh. Tapi Dewa belum selesai. Cowok itu menangkup sisi wajah Pelita.

"Gue sayang sama lo. Ngerti gak?"

Dengan mata bulat yang menyiratkan keterkejutan dan juga kebingungan itu, Pelita mengangguk dua kali.

"Kalo ngerti, apa coba maksud gue?"

Pelita melarikan matanya ke samping, lalu ke bawah, dan kembali menatap Dewa. Mereka saling menatap beberapa saat, ketika gigitan gugup di bibir Pelita, memancing senyuman di wajah Dewa.

"Dewa sayang sama Pelita." Sahut Pelita malu-malu.

"Terus?" Dewa menunduk, demi bisa melihat wajah memerah gadisnya.

Ini jawaban gadis itu. "Pelita juga sayang Dewa."

Dewa terkekeh. Tidak perlu menunggu lagi untuk meraih pundak kecil gadis itu dan memerangkap Pelita dalam pelukan hangat. Disaat kepala Pelita bersandar di dadanya, mudah bagi Dewa untuk berbisik. "Susah banget bikin lo ngerti,"

Pelita sendiri tak kuasa menahan panas di wajahnya. Ia menutup wajahnya dengan dua tangan. Membiarkan kehangatan pelukan Dewa membakarnya hingga merambat jauh ke dalam hatinya.

"Dewa," rengeknya kemudian. Dewa menarik diri, meski tetap menolak berjauhan.

"Kenapa?"

"Dada aku sakit," ucap Pelita sambil menekan bagian atas dadanya. Dengan tangan lain, ia mengambil tangan Dewa dan meletakkannya di sana, tepat di atas jantungnya. 

"Jantung aku detaknya kencang banget. Kaya mau loncat keluar rasanya,"

Dewa terkekeh. Kemudian membalik tangan Pelita, dan meletakkan tangan gadis itu di atas dadanya.

Pelita terdiam beberapa saat, menatap Dewa, lalu beralih ke atas tangannya di dada Dewa. Wajahnya yang sudah pasti diwarnai kebahagiaan itu tersenyum ceria.

"Sama," kekeh Pelita.

Setelah selama ini Dewa membiarkan dirinya sendirian, terkunci dari dunia. Hari ini ia menyadari sesuatu. Bahwa sendirinya akan berganti menjadi sebuah bersama. Tidak penting kapan saatnya, yang jelas jika saat itu tiba, degup jantungnya memang akan secepat sekarang ini.

Seperti saat ini, Dewa yang sudah menemukan pelita-nya, di dalam kegelapan yang selama ini mengelilinginya.

***

TBC

Teringat pada saat itu

Tertegun lamunanku melihatmu

Tulus senyumanmu

Sejenak tenangkan

Hatiku yang telah lama tak menentu

Rasa sepi yang telah sekian lama

Selimuti ruang hati yang kosong

Perlahan tlah sirna

Bersama hangatnya

Kasihmu yang buatku percaya lagi

Dan ku akui

Hanyalah dirimu

Yang bisa merubah segala

Sudut pandang gila

Yang kurasakan tentang cinta

Yang selama ini menutup pintu hatiku

Yang kini tlah kau buka

FIX! 

Lagunya mewakili sekali perasaannya Dewa. (Thanks to bang Afgan)

Secepat ini diriku up, gatau deh ya besok-besok BEHAHAHA

Anw, ada yang nanya kenapa aku gak bikin challenge gitu buat reader biar aku updatenya cepet.

jawabannya satu : karena aku takut sama kalian! Gabisa ditantangin cuys 😂

Makasih juga ya semuanya udah bawa Dewa Pelita naik ke nomor 6. seneng banget!!! ❤❤

Faradita
Penulis amatir yang lagi nyari gantungan kunci lumba-lumba di shope*.

Jangan lupa follow instagram mereka ya...

Continue Reading

You'll Also Like

9.7M 1.2M 58
[SUDAH DITERBITKAN - TERSEDIA DI TOKO BUKU] Peristeria Elata berada diambang kematian karena diam-diam mengikuti les musik tanpa sepengetahuan orang...
5.6M 85.6K 10
[DIPRIVATE! FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Di dunia ini gak ada yang mustahil." "Ada." "Apa?" "Lo." "Gue?" "Lo mustahil untuk jadi milik gue." Tentang mere...
8.9M 855K 44
Damian Manuel Regata dan Daniel Manuel Regata, mereka kembar. Namun meskipun begitu, keduanya memiliki sifat yang saling bertolak belakang. Tak han...
Destin By Rani

Teen Fiction

7.9M 533K 42
Semua bermula ketika Gavin yang baru kembali ke sekolah tanpa tahu siapa itu gadis bernama Melva terpaksa menembaknya di depan seluruh anak Galaksi...