Serial BEST FRIENDS – 6. Bangga Dengan Aib
Penulis : Uniessy
Dipublikasikan : 2017, 30 November
-::-
Malam Ahad ini, aku bertahan di rumah Nora untuk menginap, sebab hujan turun deras sekali sejak sebelum Magrib tadi. Bahkan rencanaku dan Nora untuk hadir kajian, tandas begitu saja dikarenakan hujan belum juga reda. Mau minta antar kakak lelaki Nora, tapi juga sedang tidak di rumah. Belum pulang dari bekerja.
Mengetahui aku hendak menginap, ibunya Nora senang sekali dan mengantar banyak makanan ke kamar. Jadi aku dan Nora dengan senang hati menghabiskan waktu selepas shalat Isya, dengan melahap penganan yang disediakan.
"Woaaah, ada siaran Live-nya!" aku berseru begitu mendapati notifikasi bahwa teman instagram-ku melakukan siaran live. Temanku itu sedang menonton konser musik, omong-omong.
"Kajian apa?" tanya Nora. Membuatku menghentikan kegiatanku menggigit keripik kentang.
"Eh, itu..."
Duh, aku harus bagaimana!?
"Apa temanya?" tanya Nora lagi.
Kupingku sampai berdenging saking berharapnya dia tidak kepo berkelanjutan.
"Ah, bukan," sahutku cepat. "Ini hanya... euhm..."
"Sinyal ponselku buruk sekali," Nora menggoyang ponselnya. "Bagaimana jika lihat dari ponselmu?"
Aku sontak mengalihkan tampilan layar ke menu utama begitu rasa kikuk menyerangku dengan begitu hebat.
"Ini," aku tercekat, "tayangan musik. Teman instagram-ku menayangkan siaran langsung ketika menonton konser."
"Oh."
Respons Nora yang singkat membuatku kian tercekat.
Yeah, aku tahu, Nora tak pernah mau peduli soalan musik dan lainnya. Setidaknya, sekarang. Dulu, sejauh yang kutahu, Nora juga suka menengarkan musik. Itu sebelum dia fokus pada niatnya untuk menghafal Al Quran.
Dan perkembangan dalam hal menghafalnya sangat luar biasa. Nora menghafal surat Ar Rahman dalam kurun waktu lima hari!
"Hei, dia pacaran dengan cowok ini?" gumamku seorang diri.
Aku sampai bangkit dari berbaringku demi memastikan bahwa penglihatanku tidak salah.
"Ada apa lagi, Queen?"
Aku menoleh, tersadar bahwa sekarang sedang berada di kamar Nora.
"Uh, tidak ada apa-apa," sahutku cepat. "Hanya terkejut melihat foto temanku. Dia berpacaran dengan cowok yang adalah musuh bebuyutannya sewaktu kami duduk di elementary school!"
Aku bercerita dengan semangat penuh. Tentu saja. Aku kenal baik dengan cewek yang di dalam foto, demikian juga dengan cowoknya! Mereka berdua adalah orang yang ke mana-mana selalu ribut. Dan sekarang si cewek mengunggah foto mereka berdua di taman bunga. Kelihatannya di luar negeri.
Menikmati hidup, bersama pacar kesayangan.
Demikian caption fotonya.
Nora melirik sekilas sebelum mengangguk, lantas kembali fokus pada bacaannya. Kisah-kisah dua puluh empat nabi.
Aku memerhatikan kembali gambar yang tertampil di layar ponselku. Benar, memang temanku. Dan tidak ada keterangan mereka sudah menikah. Dari kolom komentar aku mendapat informasi bahwa temanku sedang berjalan-jalan bersama pacarnya itu, berduaan saja. Ada beberapa akun yang bertanya tentang kapan mereka menikah, dan jawaban temanku adalah; Doakan saja.
"Belum menikah," kataku pelan. "Padahal dia sudah menutup auratnya, tapi kenapa pacaran dan keluar negeri berdua begini ya..."
Tapi kemudian aku mengatupkan rahangku. Teringat pada penjelasan Nora, bahwa sesama muslim harusnya memberi udzur sampai tujuh puluh kali.
"Allah itu Maha Membolak-balikkan hati ya, Queen," Nora menutup buku yang tadi ia baca, menghadap padaku. "Betapa sulitnya menyembunyikan aib di zaman now daripada di zaman past."
Keningku sukses mengernyit.
"Maksudnya?"
"Iya," mata Nora yang teduh menatapku sejurus kemudian. "Kita sibuk berbangga dengan aib, sesibuk kita berbangga dengan amalan kita."
"Maksudnya?"
"Kita bangga berada di majelis ilmu, memberitahukannya pada dunia," ucap Nora, "sebangga kita berada di tempat maksiat dan memberitahukannya pada dunia. Nonton konser, misalnya."
Lidahku langsung kelu. Kalimat Nora barusan itu menerobos palung hatiku yang paling dalam. Mengoyaknya atau menghancurkannya hingga berkeping.
Malu.
Sebab aku juga selalu berharap bisa nonton konser.
Tapi selain biaya konser yang mahal, tidak ada teman bersama untuk itu. Nora hanya ingin hadir di kajian. Bukan acara musik-musikan.
"Kita memberitahukan pada dunia semalam tadi mengerjakan shalat malam dengan rasa bangga yang mungkin sama besarnya ketika memberitahukan pada dunia bahwa kita mempunyai kekasih meski belum menikah."
Duh, sekujur tubuhku langsung gatal.
"Apa yang seperti itu tidak boleh?" tanyaku akhirnya.
Maksudku, nonton konser, pacaran... ya kan mereka tidak melakukannya kelewat batas.
Kulihat Nora mengangkat bahu.
"Aku tidak tahu pandangan sebagian besar orang," ucapnya. "Seperti halnya memberi husnuzhan pada saudara sendiri yang merekam kajian dengan kamera ponsel mereka, aku berusaha memberi sudut pandang yang bijak akan aib-aib yang dibuka sendiri oleh pelakunya, tentu atas izin Allah."
Aku menggaruk leherku sendiri, kemudian mengembuskan napas pendek.
"Atas izin Allah? Keburukan itu atas izin Allah juga?"
"Tentu saja, Queen," Nora mengambil selembar keripik kentang. "Semua yang ada di atas bumi ini, terjadi atas izin Allah. Dan segala yang dilakukan padahal Allah tidak menyukainya, adalah aib bagi manusia tersebut."
"Contohnya?"
"Contohnya menonton konser."
"Aaah, ayolah, Nora. Tidak bisakah kau menganggap bahwa nonton konser sebenarnya tidak sehina itu?"
"Tapi memang demikian," kata Nora singkat. "Bagaimana menurutmu ketika ada seorang pria memandangi sekujur tubuhmu?"
"Kutampar dia!" sengitku, "Bolak-balik!"
"Lantas, ketika menonton konser, apa yang kaulakukan? Apa kau tidak memandangi sekujur tubuh si artis itu, Queen?"
SKAK MAT!
Tepat pada sasaran.
"Kau tahu tidak, kau mendapat pahala di sisi Allah karena menolak menonton konser padahal kau menginginkannya," kata Nora, membuat hatiku hangat seketika. Mataku membulat dengan binar yang kuyakin sungguh kentara.
"B-benarkah?"
"Iya, jika kau memilih untuk tidak menonton padahal kau mampu, tapi kau lebih takut kepada Allah."
Bahuku turun lagi. Lenyap sudah binar di mataku.
"Kedengarannya sulit."
"Dan zaman sekarang sudah terlalu banyak manusia yang berbangga dengan aib mereka," kata Nora. "Mengerjakan apa yang tidak Allah suka, lantas memberitahukannya di sosial media. Berbangga dengan aib. Naudzubillaahimindzaalik. Kita jangan sampai demikian."
Aku terdiam.
Pelan, mataku memandangi sepasang kekasih yang belum sah di mata agama dan negara tersebut. Sinar bahagia memancar di wajah keduanya. Tapi untuk apa, jika Allah tidak suka.
Nora selalu bilang, bahagia di dunia hanyalah semu belaka. Semua hanya hiasan saja. Bahagia sesungguhnya ada di surga, dan ke sanalah harusnya manusia dikembalikan. Bukan bertahan di dunia yang penuh dengan goda dan cela.
Aku merefresh laman instagram-ku dan mendapati postingan terbaru dari temanku yang tadi sibuk menonton konser. Napasku sampai tercekat ketika membaca tulisan yang diposting oleh temanku tersebut di akunnya.
Artis musik itu menyalaminya dan berjabat tangan dengannya!
Aku mengembuskan napas, mengeluh samar, berharap Nora tidak melihat rasa kecewaku sepintas tadi.
Iri.
Agaknya begitu.
Aku iri sebab temanku berjabat tangan dengan artis tersebut.
Tapi kemudian ingatanku ditarik di hari di mana Nora menjelaskan padaku, bahwa kepada sepupu sendiri saja sebaiknya menutup aurat dengan sempurna, tidak berjabat tangan dan sebagainya, sebab sepupu adalah non mahram bagi kita. Ada hadits Nabi yang menjelaskan bahwa ditusuk dengan besi panas lebih baik daripada menyentuh kulit non mahram.
Lalu yang dilakukan temanku itu apa namanya?
Dia berjabat tangan dengan si artis dan aku iri...
Ditusuk besi panas dan aku iri, astaghfirullaah...
Mengerjakan apa yang tidak Allah suka, lantas memberitahukannya di sosial media. Berbangga dengan aib.
"Naudzubillaahimindzaalik," desisku lebih kepada mengingatkan diriku sendiri.
Kita jangan sampai demikian.
Kalimat Nora terngiang lagi.
Kenapa aku begitu murahnya, iri pada hal-hal yang sepele...
"MasyaaAllah," kalimat yang meluncur dari lisan Nora, ditangkap dengan baik oleh indra pendengaranku. Pelan, aku menoleh. Mendapati Nora terlihat terhenyak dengan apa yang ia baca di layar ponselnya.
"Kenapa, Nora?"
"Lihat ini, Queen," dia menyurungkan ponselnya, "terpidana kasus korupsi yang ditahan lima belas tahun akhirnya berhasil menghafal dua puluh juz! MasyaaAllah..."
Mataku menyipit.
"Are you okay?" tanyaku cepat. "Dia terpidana kasus korupsi, dan kau kelihatan iri padanya?"
Nora tertawa. "Aku tidak iri pada kasus korupsinya, dear Queen. Aku iri pada apa yang berhasil ia dapatkan selama berada dalam sel tahanan. Dua puluh juz! Padahal dia dipenjara. Dan kita? Maksudku, aku... yang tidak dipenjara, hafalanku masih belum jelas berapa juz-nya..."
Suara Nora mengecil tapi cukup menampar palung hatiku lagi.
"Kau... iri?" tanyaku lamat-lamat.
Nora mengangguk. "Iri kepada orang-orang shalih, namanya Ghibthah. Keinginan untuk mendapatkan nikmat yang sama, tanpa berharap nikmat itu lenyap dari diri si penerima. Halal dalam Islam, Queen..."
Bahuku turun lagi. Punggungku menempel pada headboard ranjang Nora dan membatin.
Jadi itulah bedanya aku dan Nora.
Aku iri pada temanku yang bersentuhan dengan non mahram, sedangkan Nora iri pada terpidana korupsi yang berhasil menghafal dua puluh juz Al Quran.
Aku tidak heran jika Nora memiliki ketenangan luar biasa dalam menyikapi sesuatu.
Dibanding aku yang amat sangat bodoh dalam urusan agamanya sendiri.
[]