Invalidite [Completed]

Von Faradisme

30M 2.5M 509K

(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) #1 in Romance, 10 Januari 2018 Dewa Pradipta adalah 'dewa' dari s... Mehr

Invalidite | 1
Invalidite | 2
Invalidite | 3
Invalidite | 4
Invalidite | 5
Invalidite | 6
Invalidite | 7
Invalidite | 8
Invalidite | 9
Intermède
Invalidite | 10
Intermède
Invalidite | 11
Invalidite | 12
Invalidite | 13
Invalidite | 14
Invalidite | 15
Invalidite | 16
Invalidite | 17
Invalidite | 18
Invalidite | 19
Invalidite | 20
Invalidite | 21
Intermède
Invalidite | 23
Invalidite | 24
Invalidite | 25
Invalidite | 26
Invalidite | 27
Invalidite | 28
Invalidite | 29
Invalidite | 30
Invalidite | 31
Invalidite | 32
Invalidite | 33
Invalidite | 34
Invalidite | 35
Invalidite | 36
Invalidite | 37
Intermède
Invalidite | 38
Invalidite | 39
Invalidite | 39 (Repost)
Invalidite | 40
Invalidite | 41
Invalidite | 42
Invalidite | 43
Invalidite | 44
Intermède
Invalidite | 45
Invalidite | 46
Invalidite | 47
Invalidite | 48
Invalidite | 49
Invalidite | 50
Invalidite | 51
Invalidite | 52
Invalidite | 53
Intermède (PENTING)
Invalidite | 54
Intermède
Invalidite | 55
Intermède : INFO PENERBITAN & VOTE COVER
PO NOVEL INVALIDITE SUDAH DIBUKA!
KENAPA MAU-MAUNYA BELI INVALIDITE?
INVALIDITE : DIFILMKAN
INVALIDITE SEGERA TAYANG

Invalidite | 22

497K 47.9K 25K
Von Faradisme

Aku tidak memiliki sempurna. Aku mempunyai rasa bangga.

- Pelita Senja –

Now playing :
Siapkah kau tuk jatuh cinta lagi - Hivi


W A R N I N G!
Cerita ini mengakibatkan sesak napas, geli di dalam hati dan perut secara bersamaan, serta khayalan yang melambung terlalu tinggi.

Jatuh cinta dan keluhan hati lainnya ditanggung oleh masing-masing pihak.

Sekian 🐋

***

Pelita mendengar namanya dipanggil. Oleh seseorang yang sedang duduk bersama dengan Dewa.

"Tinggal aja, Ta. Udah mau selesai kok." Ujar Tika.

Pelita mengucapkan terima kasih, hal yang sudah terdengar biasa di telinga Tika sekarang. Cewek itu melipat pakaian terakhir dan meraih tongkat, lalu beranjak menuju laki-laki yang terlihat gemerlap karena selendangnya.

"Halo," Pelita menyapa.

"Halo sweetheart," Kris berdiri. Menatap Pelita dari atas kepala sampai kaki. "Nama lo siapa? Anak baru? Sebelumnya gue kesini lo gak ada,"

"Aku Pelita. Hehe.. iya, Om. Aku baru kerja disini. Buat bayar hutang sama bos Dewa."

Gerka yang berdiri tidak jauh dari sana menutup mulutnya yang hampir menyemburkan tawa. Sedangkan Rendi langsung tergelak.

"Lo mau jadi model?" Kris memegangi wajah Pelita dengan dua telunjuk. Menelitinya seperti barang antik. "OMG gue udah bisa bayangin gimana lo di foto nanti."

Pelita sumringah. "Ada bayarannya?"

"Oh jelas. Berapapun yang lo mau,"

"Enggak." sahutan dalam bernada tegas itu berasal dari Dewa. Cowok itu berdiri dengan kedua tangan tenggelam di saku. "Gue cuma make model professional, Kris. Dan dia bukan termasuk dari itu."

Dewa menatap Pelita sesaat sebelum berlalu menuju ruangannya. Diikuti oleh Kris yang sepertinya tak terima.

"Apa salahnya dia jadi model? Oh, bukan. Apa salahnya gue mau dia jadi model?" Sembur Kris ketika mereka sudah di dalam ruangan Dewa. Kris sangat jeli untuk urusan seperti ini. Seharusnya Dewa tidak mempermasalahkannya.

"Kris. Dia bukan apa yang lo cari," Dewa tampak kehilangan alasan untuk penolakannya sekarang.

Kris melemparkan selendangnya ke udara. Berkacak pinggang. "Denger ya, babe. Gue udah ahli dalam urusan kaya gini. Yakin binggo majalah gue bakal berbeda kalo cewek itu jadi bagian. Maksud gue, dari segi muka cewek itu udah cantik. Cantik yang bukan buatan. Apalagi senyumnya. Lo ngerti kan apa maksud gue?"

Dewa sudah lebih dari cukup mengerti akan hal itu. Ia hanya tidak ingin orang lain juga mengetahuinya. "Gini. Kasih gue waktu dan gue bakal sediain model yang lo mau."

Bukan Kris namanya jika ia tidak bisa lebih batu. Kris sudah siap berdebat saat terdengar suara ketukan pada pintu yang tidak tertutup. Keduanya menoleh dan menemukan Pelita disana.

Pelita lalu mengangkat tongkatnya berjalan masuk. Memandang Dewa dan Kris bergantian dengan senyum tanpa putus.

"Aku mau jadi model." Ucapnya hampir tanpa bebas. Kris bersorak layaknya memenangkan sebuah undian. Lain halnya Dewa yang bersidekap.

"Gue gak mau."

Pelita mengerutkan dahinya. "Kenapa?"

"Karena gue gak mau," Dewa beralih menatap Kris. "Gue cariin model baru buat lo."

"Gue tetep mau Pelita yang jadi modelnya. Atau kerjasama kita kali ini batal!" Tantang Kris balik. "Come on, babe."

"Lo sendiri yang bilang gak bisa make jasa selain gue. Sekarang tiba-tiba ngancem,"

"Kenapa aku gak boleh jadi model?" Tanya Pelita menyela perdebatan. Kedua kepala laki-laki itu menatapnya.

"Lo bego? Udah gak waras? Lo gak bisa jadi model karena-," Dewa dengan cepat memutus kalimatnya. Ia seakan ingin menelan lidahnya sendiri karena hampir saja mengatakan hal bodoh.

"Karena aku cacat?"

Dewa lupa jika Pelita tidak pernah takut menyebutkan kekurangannya selantang mungkin.

"Dewa," Pelita tersenyum. Tidak merasa tersinggung. Melemahkan hatinya dengan cara luar biasa tidak masuk akal. "Mungkin aku gak bisa ngelakuin banyak hal seperti orang lain. Tapi, ijinin aku untuk nyoba ini."

Dewa menelan ludah.

"Aku gak akan ngecewain kamu," Lanjut Pelita penuh keyakinan. Cewek itu menangkup kedua tangan di dada, memandangnya penuh harap. "Dewa percaya, kan sama Pelita?"

Tentu saja. Siapa lagi orang yang bisa sebegitu kurang ajarnya mempengaruhi Dewa.

Dewa tidak meragukannya sama sekali. Karena tanpa disadarinya, Dewa sudah sampai pada tahap dimana jika mendengar Pelita sedang berlari pun, ia akan mempercayainya.

***

"Demi mobil yang gak jadi gue milikin, ini adalah saat-saat paling berharga dalam hidup gue yang pernah ada."

"Dan demi tai-tai kuda di luar sana, ini adalah saat terindah dalam hidup gue, ngeliat bos songong sepanjang masa kita kicep karena cewek."

Gerka dan Rendi saling menatap lalu bersalaman. "Kita harus dukung bos melewati cobaan ini," ujar Gerka.

"Dengan sepenuh hati." sahut Rendi dengan wajah serius yang dibuat-buat.

Karena Kris sudah terlanjur senang menemukan model idamannya itu, ia memaksa untuk mengambil pemotretan pertama sebagai contoh di hari yang sama. Dalam waktu satu jam, klien brengsek Dewa itu sudah mendatangkan puluhan pasang pakaian model terbaru untuk Pelita.

Dewa tidak bersuara sejak Kris menggiring Pelita dengan sukacita ke wardrobe. Ia menyibukkan diri melakukan apa saja dan mengabaikan segala ejekan kedua sahabat yang rasanya seperti membakar telinganya.

Dewa berusaha fokus mengatur kamera pada tripod ketika suara ribut yang semula bergemuruh di udara seketika lenyap.

"Holy shit!" seru Rendi.

Gerka ikut menatap ke titik yang sama. Begitupula Dewa. Dan satu detik setelahnya, seperti sesaat saja, waktu di sekitar Dewa berhenti. Telinganya menuli dan hanya matanya yang berfungsi.

"Itu Pelita?" Gerka mengusap dagunya. "Anjir-anjir, udah kaya mie. Sedaaap bat dah." lalu mengangguk-angguk puas.

Tika yang tadi keluar bersama Pelita membantu cewek itu mengatur tempat duduk yang sudah di sediakan di set. Sedangkan Kris tampak menjadi orang paling bahagia di bumi dan sibuk melakukan panggilan di telponnya.

Pelita duduk di sofa rendah tak berkaki. Punggungnya tegak, tersenyum seolah tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Meski sedikit kegelisahan tersirat di kedua mata cewek itu yang kali ini tidak terhalang kacamata.

Lalu pelita melihat ke arahnya.

Dewa buru-buru melepaskan pandangannya yang sedari tadi tidak bisa lepas dari cewek itu ke arah kamera. Beraninya cewek itu menatapnya setelah melawan Dewa barusan.

Astaga, sialan, cewek bego adalah kalimat yang kini menghiasi kepalanya.

"Oke, Pel." Ujar Rendi, namun wajah cowok itu penuh seringai menatap Dewa. "Lo siap?"

Pelita mengangguk sambil mengacungkan kedua jempolnya. Rendi kembali berbalik menghadap Dewa.

"Udah siap katanya bos. Tinggal dihalalin."

Tidak perlu menebak seberapa besar keinginan Dewa menendang sahabatnya itu.

Dewa menarik napas terlebih dulu lalu kemudian menunduk, menilik pada lubang kamera. Ia melihat Pelita disana. Tertegun sekali lagi. Bukan. Berkali-kali sampai ia tidak ingin menggunakan kata bosan. Membuat Dewa betah berlama-lama mengamati Pelita meski itu dari lubang kamera sekalipun.

Gerka yang sudah bersiap menerima hasil foto di depan komputer menoleh karena Dewa belum mengambil gambar satupun.

Rendi beringsut mendekati Gerka, dengan tatapan ke arah kepala belakang Dewa ia berbisik. "Tegor gak nih?"

Gerka turut memperhatikan. "Lo coba. Abis ditegor, coba disenggol. Masi idup kagak tuh orang."

"Bos," ujar Rendi. "Jadi gak nih? Kalo gak gue tinggal pulang nemenin nenek gue. Kesian beliau sendiri."

Dewa tersentak. Ia berdehem yang hanya menambah kekehan Rendi. Mengatur lensa sekali lagi, ia kembali menunduk sejajar lalu menekan tombol mengambil potret Pelita.

"Hmm... kurang nih," ucap Gerka melihat hasil jepretan Dewa di layar monitor. "Pelita masih kaku banget."

"Kalo gitu coba gue kasih arahin dikit,"

"Gausah," Dewa mencegah Rendi yang sudah akan mengampiri Pelita. "Biar gue,"

"Silakan bos! Mangga!" Ujar Rendi semangat memberi hormat yang hanya berakhir membuatnya mendapat toyoran di kepala oleh Dewa.

Dewa kemudian meninggalkan kameranya, menghampiri Pelita yang tengah memainkan bajunya yang berumbai di bagian perut. Setelah sampai di hadapan cewek itu, ia lalu berlutut dengan satu kaki.

Pelita memandangnya, yang dibalas Dewa hanya sesaat. Ia meraih kaki Pelita dan mengaturnya agar menyamping. Baru kali ini Dewa melihat langsung kaki Pelita. Selama ini kedua kaki cewek ini selalu tertutupi rok lipit panjang ysng sudah ketinggalan jaman. Rupanya, rok itu menyembunyikan sesuatu seindah ini. Disaat itu lah Pelita menunduk, kedua tangannya menutup sisi mulutnya.

"Dewa," bisik Pelita. "Keliatan gak kalo aku gugup?"

Dewa mendongak. Memperhatikan Pelita dalam jarak dekat.

"Semuanya jadi liatin aku, sih. Hehe..."

Dewa meletakkan bantal di samping kaki Pelita. "Lo inget saat ulang tahun Misa?"

Pelita mengangguk. Tentu saja ia ingat. Bagaimana senyumnya mengembang lebar saat ini menjadi bukti jika itu sudah menjadi hari favoritnya.

"Coba banyangin hari itu. Bayangin disini ada anak-anak panti," Pelita lalu memandang berkeliling. "Bayangin juga disini ada hujan," lalu cewek itu mendongak menatap langit. Kemudian tertawa.

Salah satu keindahan lainnya.

"Mana mungkin hujan turun, kan ada atapnya, Dewa." Tunjuk Pelita lugu ke atas langit-langit ruang.

Dewa sangat ingin menyembunyikan cewek ini untuk dirinya sendiri.

"Sama satu lagi," Dewa meraih dagu Pelita, membawa turun wajah cewek itu yang tadinya mendongak, agar menatapnya.

"Cukup liat ke arah gue, jangan ke yang lain."

Pelita mengerjap beberapa saat, untuk kemudian mengangguk penuh senyuman. Dewa beranjak kembali menuju kamera. Berupaya keras mengabaikan reaksi menyebalkan sahabatnya yang terancam akan ia potong gajinya itu.

"Alus banget bro alus banget mainnya," celetuk Rendi. "Gerah gue disini lama-lama, Ren. Pengen nyari cewek gue jadinya." Sahut Gerka menimpali.

Dewa sendiri sudah kembali menilik dari lubang kamera lagi. Pelita menjadi semakin rileks. Bahunya tidak terlalu kaku dan senyumannya lepas sempurna.

Entah bagaimana harus ia jelaskan, bahwa untuk pertama kalinya, lewat lensa kamera ini, Dewa mendapati keindahan yang tidak pernah habis untuk ia kagumi.

***

Pelita masih tidak percaya ketika melihat pantulan dirinya di cermin. Sebelum pemotretan tadi ia sudah tidak menyangka jika ia bisa terlihat sangat berbeda, dan sekarang pun rasa terkejutnya masih sama.

"Mau gue bantu ganti baju?" Tawar Tika.

"Gausah, mbak. Bisa sendiri kok, bantuin lepas lensa aja, ya."

Tika mengambil tempat duduk di meja rias dan mulai melepas lensa pelan-pelan.

"Harusnya setiap hari aja pemotretan modelnya cuma satu. Jadi gue gak repot."

"Gak cape ya, mbak." Kekeh Pelita.

"Bukan itunya juga sih. Lo tau sendiri model-model Dewa yang lain belagunya segimana. Apalagi Siska. Seneng banget gur liat muka dia tadi bete karena gak kepilih." Tika sudah selesai melepas kedua lensa Pelita.

"Aku gak enak sama yang lain sebenernya, mbak. Tapi lumayan bayarannya bisa lunasin utang ke Dewa,"

Tika tampak tertarik. "Emangnya utang apa?"

"Bukan urusan lo," sebuah suara lain menyahut dari arah pintu masuk.

"Ngapain lo masuk sini? Ini daerah kekuasaan gue." Sahut Tika lebih galak.

"Gue perlu sama Pelita. Keluar dulu gih lo,"

Tika yang masih bersidekap menatap Dewa dari ujung matanya. Di dalam hati, merasa geli karena sikap konyol bosnya yamg sedang kasmaran itu.

"Kenapa?" Tanya Pelita. "Ada yang salah? Aku ada ngelakuin kesalahan? Om yang tadi gak suka hasil fotonya?"

Dewa bersandar di meja rias, menatap turun ke arah Pelita yang mendongak membalas tatapannya.

"Enggak. Kris seneng. Dia langsung cabut tadi buat laporan."

"Syukur deh," Pelita memegangi dadanya dengan kedua tangan. "Terus bos mau perlu apa?"

"Cuma mau liatin lo aja."

Pelita lalu menatap pantulan dirinya di cermin. "Karena ini ya?" Pelita mengangkat satu kepangannya. "Bagus ya. Dikepangin sama mbak Tika, hehee..."

"Mana? Liat." Dewa mengambil kepangan itu, lalu menariknya.

"Dewa!"

"Satunya lagi," Dewa menjumput kepangan yang lain dan menariknya.

Pelita cemberut, sembari mengusap kedua sisi kepalanya.

"Iya-iya sorry," Dewa lalu menggantikan tangan Pelita mengusap sisi kepala cewek itu. "Abisnya gemes."

Pelita tertawa. "Ngomongnya tumben manis, bos. Biasanya pedes."

Mendengar itu, Dewa beralih menarik kedua kepang cewek itu bersamaan.

"Lo gak papa?"

"Apanya yang gak papa?" Tanya Pelita sambil memasang kacamata.

"Ngelakuin ini. Jadi model,"

"Gak papa sih. Awalnya aja gugup. Pas dibantuin Dewa jadi enggak lagi."

"Maaf, karena tadi gue hampir ngomong yang-"

"Gak papa, Dewa. Kamu cuma ngomongin kenyataan. Ngapain minta maaf segala,"

Dewa terdiam beberapa saat. Kemudian cowok itu menyangga tubuhnya di satu tangan untuk bisa mendekat, menatapi kedua mata Pelita.

"Permintaan ketiga,"

Pelita mendesah. "Masih inget ternyata. Aku lupa kamu punya ingatan fotografis."

"Mulai saat ini, lo jadi gadis gue." Ujar Dewa dalam.

Pelita menatap kemudian mengerjap. "Artinya apa?"

"Artinya," Dewa menangkup wajah Pelita dengan kedua tangannya. "Lo ada di prioritas nomor satu gue. Setiap kali lo kesusahan, atau butuh sesuatu, lo harus ngasih tau gue. Apapun itu. Gue ada buat lo. Jangan berani ngerubah itu tanpa persetujuan gue."

"Kenapa harus gitu?" Pelita masih mencoba mencerna perkataan demi perkataan Dewa perlahan.

Kedua tangan yang tadi menangkup pipi Pelita terlepas, berganti dengan Dewa menarik kepangannya.

"Karena emang seperti itulah seorang gadis Dewa diperlakukan."

***
TBC

Yaudah. Keluarin aja. Jangan ditahan.

Yang mau teriak. Silakan di section line ini 👉👉👉👉👉👉

Ini bukan hobi update malem sih ya. Tapi karena waktu buat nulisnya cuma ada sekarang BEHAHAHAHHA

Coba yang insom merapat. Eh btw itu lagunya di cover sama NY. Enak banget. Setiap di kantor muter itu lagu mulu. Yang lain juga banyak. Nanti bakal aku pake beberapa di sini. Hehhee

Faradita
Penulis amatir yang mau foto pake gaya peace. 🐋🐋🐋🐋
Kaya gini,

Unch, yang sekarang udah punya gadis mah beda. Tawa aja lu

Ini instagram mereka ya

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

9.9M 81K 8
Cerita ini mainstream banget. Cerita klasik. Klise. Sion Angkasa Harrys adalah bad boy disekolah Atlantik. Ia yang memulai sebuah permainan taruhan...
4.8M 507K 95
#VERNANDOSERIES 3 🤴🏻 Bagi Kayra, Rama itu ibarat beruang kutub. Orang-orang akan menilai hewan itu lucu dan menggemaskan. Tapi pada kenyataannya, b...
10.1K 1.1K 95
Jika tidak diadakannya razia dadakan dari dewan guru beserta anggota BNN, mungkin Dania tidak akan mengetahui bila salah seorang teman dekatnya kedap...
SAGARA Von Aci

Jugendliteratur

6M 258K 28
Saat musik bukan lagi alasan untuk kita terus bersama. *** Kita, musik dan New York. Sagara dan Shea yang salah mengira bahwa cinta saja cukup untuk...