Invalidite [Completed]

By Faradisme

30M 2.5M 509K

(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) #1 in Romance, 10 Januari 2018 Dewa Pradipta adalah 'dewa' dari s... More

Invalidite | 1
Invalidite | 2
Invalidite | 3
Invalidite | 4
Invalidite | 5
Invalidite | 6
Invalidite | 7
Invalidite | 8
Invalidite | 9
Intermède
Invalidite | 10
Intermède
Invalidite | 11
Invalidite | 12
Invalidite | 13
Invalidite | 14
Invalidite | 15
Invalidite | 16
Invalidite | 17
Invalidite | 18
Invalidite | 19
Invalidite | 21
Intermède
Invalidite | 22
Invalidite | 23
Invalidite | 24
Invalidite | 25
Invalidite | 26
Invalidite | 27
Invalidite | 28
Invalidite | 29
Invalidite | 30
Invalidite | 31
Invalidite | 32
Invalidite | 33
Invalidite | 34
Invalidite | 35
Invalidite | 36
Invalidite | 37
Intermède
Invalidite | 38
Invalidite | 39
Invalidite | 39 (Repost)
Invalidite | 40
Invalidite | 41
Invalidite | 42
Invalidite | 43
Invalidite | 44
Intermède
Invalidite | 45
Invalidite | 46
Invalidite | 47
Invalidite | 48
Invalidite | 49
Invalidite | 50
Invalidite | 51
Invalidite | 52
Invalidite | 53
Intermède (PENTING)
Invalidite | 54
Intermède
Invalidite | 55
Intermède : INFO PENERBITAN & VOTE COVER
PO NOVEL INVALIDITE SUDAH DIBUKA!
KENAPA MAU-MAUNYA BELI INVALIDITE?
INVALIDITE : DIFILMKAN
INVALIDITE SEGERA TAYANG

Invalidite | 20

468K 41.5K 4.7K
By Faradisme

Hey, you little shit, stop being so cute.

- Dewa Pradipta -

Mungkin menjadi hal yang begitu langka, atau teramat sangat tidak biasa, menemukan seorang Dewa Pradipta tengah duduk di salah satu kursi kelas bersama para mahasiswa lainnya.

Yang lebih mustahil lagi adalah, ketika cowok itu mengulurkan tangan dan menerima kertas polos berlogo kampus, dengan wajah malasnya. Padahal assisten dosen itu sudah menelan ludah beberapa kali, takut jika kertas itu berakhir tergumpal dan terlempar untuknya.

Bagi Dewa, tidak perlu waktu lama untuknya mengisi kertas itu dengan jawaban. Bahkan ia tidak perlu berpikir keras.

Pada dua puluh lima menit pertama ujian dimulai, Dewa menjadi mahasiswa pertama yang mengumpulkan kertasnya.

Tanpa mempedulikan puluhan pasang mata yang menilik ke arahnya, Dewa beranjak menuju pintu keluar dengan menenteng tas berisi kameta sambil menguap.

Dewa masih sangat mengantuk. Kalau bukan karena Pelita yang memaksanya berjanji untuk mengikuti ujian semester ini, Dewa pasti masih tidur sekarang.

Lorong itu masih sepi. Dari arah yang berlawanan ia melihat sosok yang tak asing sedang menuju ke arahnya. Wajah penuh emosi itu disambut Dewa dengan seringaian yang memudarkan kantuknya.

Tepat ketika langkah mereka berpapasan, sebuah tangan mencengkram bahunya dan mendorong Dewa ke dinding.

Dewa tertawa. Meremehkan.

"Gue mungkin gak tau pasti apa alasan lo ngedeketin Pelita, tapi apapun itu, gue yakin lo cuma bakal nyakitin dia!"

Dewa mengerutkan dahinya. "Hmm... Jadi?"

Gilvy mencengkram jaket Dewa. "Jauhin. Dia." Ucapnya dengan intonasi rendah. Berusaha menekankan maksudnya namun bagi Dewa itu terdengar malah terdengar lucu.

"Gabosen lo ngomong itu mulu?"

"Lo sendiri yang bilang kalo Pelita bukan tipe lo, kenapa sekarang malah jadi ganggu dia?!"

"Kayaknya itu bukan urusan lo," Dewa terkekeh. "Lo takut kalah dari gue buat dapetin Pelita? Makanya lo jadi tiba-tiba nembak dia,"

Gilvy membelalak. Ia tidak menyangka jika Pelita bahkan menceritakan hal itu pada Dewa.

Dewa kemudiqn menghentakkan cengkraman Gilvy dan maju selangkah. "Iya. Gue emang ngedeketin Pelita buat nyakitin lo, Gil. Biar sekali-kali lo tau rasanya kekalahan. Selama ini gue selalu diem, biarin lo jadi cucu idaman karena gue gak peduli lagi sama keluarga itu. Tapi sekarang udah beda urusannya. Siapin diri lo buat kalah. Bukan cuma soal kepercayaan kakek, tapi juga saat Pelita lebih milih gue daripada lo."

Gilvy mengeram. "Gue gak pernah berusaha buat ngambil perhatian Kakek dari lo! Lo yang selama ini ngejauh dan bikin Kakek kecewa."

Dewa mendorong bahu Gilvy. "Gak usah ngomongin soal kecewa sama gue. Mungkin kita harus kembali pada kenyataan 'siapa yang lebih berhak' disini. Langgawan gak akan pernah menjadi Pradipta. Meski kalian bermimpi seribu tahun, itu gak bakal terjadi selama gue masih ada." Dewa melepaskan cengkraman Gilvy. "Jadi, Orang Luar, minggir."

Dewa mendorong bahu Gilvy dan berlalu menuju gedung seni. Usaha Sepupu Sempurnanya itu hanya mengipasi keinginannya untuk segera menghancurkan Gilvy Langgawan. Lewat Pelita.

***

"What the fu--" kalimat itu terbenam oleh tangan Pelita yang menutup mulut Dewa.

"Disini banyak anak kecil. Jangan nyontohin yang ga bagus. Mereka bisa aja denger terus ngikutin cara ngomong kamu."

Dewa menjauhkan wajahnya. "Bodo, sih. Terus ngapain gue disini?"

"Ih, Dewa. Kan udah janji."

"Gue gak ada janji,"

"Kamu kan tukang foto-"

"Gue FOTOGRAFER!"

"Iya-iya pokoknya itu," Pelita berjalan lebih dulu menyusuri bebatuan kecil menuju taman belakang panti. Ia menoleh dan melihat Dewa tidak bergerak dari tempatnya semula.

"Dewa," Panggilnya lagi. Dewa masih memasang wajah ketus dengan tas kamera di bahu. "Pelita minta tolong," ucapnya manis dengan senyum lebar. Dewa pun membuang pandangannya cepat.

Mari kita urutkan darimana saja penderitaan Dewa hari ini berasal. Pertama dia harus bangun pagi untuk mengikuti ujian pertama sejak ia menginjakkan kaki di kampus.

Kedua gertakan Gilvy yang membuatnya semakin bertekad mengusir Langgawan keluar dari lingkaran keluarga Pradipta.

Dan sekarang Pelita menyeretnya untuk datang kesini dengan dalih ganti rugi atas ponselnya yang rusak.

Dewa memang tidak menyukai aturan, tapi dia  orang yang bertanggung jawab. Itulah alasan satu-satunya berdiri di taman belakang ini dengan segerombolan anak kecil.

Ia akan menuruti permintaan Pelita karena urusan ganti rugi. Itu saja. Siapa saja catat itu.

Misa, anak kecil bermata satu yang memberinya permen lolipop tempo hari bertepuk tangan sembari tersenyum lebar. Ia memakai gaun mungil berwarna pink dengan mahkota di atas kepala. Anak-anak lain duduk di atas rumput mengelilinginya.

Semua serba sederhana. Kue bolu ukuran sedang tanpa cream dihiasi lilin angka tiga. Lalu Bu Martha mulai memandu semuanya bernyanyi dan Misa sudah tidak sabar untuk meniup lilinnya.

Dewa menemukan sesuatu.

Dewa buru-buru mengeluarkan kamera, mengatur lensa dan mengarahkannya ke depan. Setiap wajah di sana tertawa. Bahagia. Tanpa beban di tengah sesuatu yang orang lain sebut kekurangan.

Lalu cewek itu.

Dewa tidak bisa berhenti membidik kameranya untuk Pelita. Cewek itu duduk di atas kursi dengan dua tangan memegang balon. Menggoyangkannya ke udara sambil ikut bernyanyi.

Mungkin segala kemewahan yang ia potret selama ini, tidak sebanding dengan betapa penuh kebahagiaan di taman belakang panti asuhan ini.

"Dewa!" Pelita memanggilnya, melambaikan tangan yang masih memegang balon. "Fotoin Misa, ya."

Dewa kemudian mendekat. Untuk ukuran fotografer profesional sepertinya, ia menerima bayaran mahal untuk melakukan satu sesi pemotretan. Tapi kali ini ia hampir melupakan aturannya itu.

Beberapa anak di sekitarnya menilik penuh keingintahuan. Bahkan Gio, berani memegang-megang tali sepatu boots hitamnya karena penasaran. Kebaikan hati Dewa membiarkan hal itu dan mulai mengarahkan kameran pada Misa.

Misa justru bersembunyi di belakang kursi Pelita.

"Jangan malu, sayang. " Pelita membawa anak kecil itu ke depan. "Yang ulang tahun harus di foto dong. Udah kaya putri raja gini masa ngumpet."

Misa sedikit mendongak untuk memperhatikannya. Untuk itu Dewa berlutut agar anak itu sejajar dengan kameranya.

Dari arah belakang, kedua tangan Pelita terjulur lalu jarinya menusuk pipi Misa. "Senyumm..."

Seketika anak itu terkekeh. Menampilkan deretan giginya. Lalu, seolah tidak ingin ketinggalan, anak-anak yang lain mulai berdiri dan berebut tempat di depan Dewa agar bisa mendapat giliran.

Dewa mundur sedikit, lalu menunduk karena Gio masih berada di sebelah kakinya. "Ngapain lo? Sana ikutan foto."

Gio mengerjap beberapa kali lalu berlalu bergabung dengan yang lain. Semuanya sangat antusias hanya karena sebuah kamera.

Beberapa kali mereka merubah gaya. Bu Martha dan Pelita bahkan kewalahan mengatur karena semuanya ingin berada di depan. Masih dengan membidik kamera, rintik air yang jatuh di jemarinya, seperti membuyarkan hari begitu saja.

Rintik yang mulai jatuh semakin banyak hingga derasnya membuat semua anak berlari masuk menghindar. Begitupula Dewa yang menyelamatkan kameranya dan langsung memeriksa lensa.

Disaat yang lain tengah ribut menyayangkan hujan turun di saat tidak tepat, Pelita mendekati Misa yang menatap hujan sambil cemberut.

"Allah lagi ngucapin selamat ulang tahun buat, Misa." Ucap Pelita seolah mengerti benar kesedihan anak itu. "Jadi Misa harus bilang apa?"

Misa mendongak, memandang Pelita dengan satu mata bulatnya. "Ma-asyih."

Pelita tersenyum seraya mengancungkan jempolnya. "Pinter!"

Entah sebuah dorongan dari mana  Dewa meletakkan kameranua begitu saja di atas meja kemudian berjongkok di samping Misa. Cowok itu menjulurkan tangan dengan telapak menghadap ke atas.

"Tuan Putri Misa," Misa terkejut. "Mau coba naik kuda pangeran?"

Anak kecil itu perlahan mulai berani membalas tatapan Dewa. Dengan senyum malu-malu ia meletakkan tangan di atas tangan Dewa.

Pelita yakin ia sangat terkejut melihat Dewa yang kemudian mengalungkan kedua tangan mungil Misa di lehernya. Menggendong anak itu di punggung dan berlari ke arah taman, menerobos hujan.

Bahkan di tengah deras hujan itu, ia bisa mendengar Misa tertawa.

Layaknya sebuah komando, anak-anak yang lain ikut berlari membelah hujan dan berlari berkeliling mengikuti Dewa yang menggendong Misa.

Pelita tidak bisa berhenti tersenyum. Ia bahkan harus menekan dadanya yang berdetak hebat kuat-kuat.

"Teman kamu yang itu baik, ya." Ujar Bu Martha, sembari menyampirkan handuk ke tangan Pelita. "Sampein terimakasih ibu ke dia karena udah mau dateng."

Pelita mengangguk. Kehilangan kata karena haru. Ia tau. Dewa memang baik. Seberapa keraspun Dewa berusaha untuk terlihat sebaliknya, Pelita selalu bisa melihat kepedulian di diri cowok itu.

Sudah sejak lama juga sepertinya, cowok itu berubah jadi dewa penyelamat bagi Pelita.

***

"Makasih, ya Dewa." Ucap Pelita untuk yang kesekian kalinya hingga Dewa bosan mendengar hal itu sejak meninggalkan rumah panti.

"Bilang makasih sekali lagi gue tabrak ini pagar rumah lo."

Pelita tertawa. "Habisnya aku senang."

Ya, sangat terlihat bagaimana bahagianya wajah cewek itu. Membuat Dewa sendiri kehilangan fokus berkendaranya beberapa kali. Dewa curiga cewek itu ingin membuatnya celaka.

"Lo ga mau masuk?"

Pelita menoleh. "Sebentar, aku masih belum puas bilang makasihnya."

Dewa menghela napas, meletakkan kepalanya ke sandaran kursi. "Serah, dah."

"Kenapa Dewa mau ngelakuin itu?" Tanya Pelita kemudian.

"Kan lo yang minta, oneng."

"Aku gak minta kamu hujan-hujanan buat main sama anak-anak. Untung tadi kamu bawa baju ganti di mobil."

Dewa menoleh. Lalu meraih kepang Pelita. "Mungkin karena gue suka kepangan lo ini."

Pelita menunduk ke arah rambutnya yang disentuh Dewa. Lalu tersenyum.

"Aku juga suka. Dulu Ibu suka ngepangin rambut aku. Katanya biar cantik terus rapi," Pelita mencolek lengan Dewa. "Ternyata selera kita sama, bos."

"Kemana nyokap lo?"

"Ibu udah meninggal. Karena kecelakaan bareng aku," Pelita dengan cepat mengangkat tangan seolah hapal akan respon lawan bicaranya. "Gausah minta maaf. Itu udah biasa ditanyain kok, hehe..."

Dewa mengangguk-anggukan kepalanya tanpa komentar.

"Sekali lagi, makasih -"

Tiba-tiba saja Dewa beranjak maju, membuat kedua wajah mereka berdekatan. Seperti sumbu yang tersulut, Pelita langsung gelagapan. Bagi Pelita yang baru merasakan hentakan luar biasa di dadanya ini, ia langsung kesulitan mengatur napasnya.

Pelita menutup mulutnya dengan tangan. "Iya-iya-iya. Gak lagi-gak lagi bilang makasih. Aduh lupa tadi itu," 

Satu tangan Dewa terjulur melewati pinggang Pelita untuk selanjutnya meraih pintu penumpang hingga terbuka.

"Turun." ujarnya.

Pelita masih diam tak bergerak. Membuat Dewa meniup wajah cewek itu hingga Pelita tersadar.

"Oh. Hehhe iya-ya." Pelita menarik tongkatnya dari belakang. "Loh, Dewa mau kemana?" Tanyanya ketika Dewa juga membuka pintu.

"Ya turun lah. Biar gue yang jelasin sama bokap lo kenapa pulang sampe larut gini."

Memang tadi mereka sedikit kesulitan berpamitan di panti karena anak-anak disana menggelayuti Dewa. Mencegah cowok itu pulang. Alhasil, menunggu anak-anak tidur menjadi pilihan terakhir.

"Gausah, Wa. Palingan Ayah juga udah tidur kok jam segini."

Mendengar itu Dewa tidak protes banyak. Pelita sudah menurunkan tongkatnya, mengangkat kakinya keluar dari badan mobil. Diawasi dengan penuh oleh Dewa yang bersandar pada kemudi.

Namun selalu saja, tangannya gatal untuk terjulur meraih kepangan Pelita lalu menariknya hingga kepala cewek itu terhuyung ke belakang.

"Aduh, Dewa!"

Dewa tanpa sadar terkekeh geli karena hal sesederhana itu.

***

TBC


Aduh, Wa. Hati gue anget masa. 😶

So hai...

Ohayo...

Hola...

Itadakimasu... (?)

Hahaha!

Udah share cerita ini belum sih ke temen2? Biar jatuh cinta rame rame!

Faradita
Penulis amatir. Yiha!! 🐋
18 November 2017
04.14 AM

If you kno what i mean 😂

❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤

Continue Reading

You'll Also Like

SAGARA By Aci

Teen Fiction

6M 258K 28
Saat musik bukan lagi alasan untuk kita terus bersama. *** Kita, musik dan New York. Sagara dan Shea yang salah mengira bahwa cinta saja cukup untuk...
1.8M 49.8K 23
(S)He Is Crazy [SHIC #1] ✅ Cover By @Lita-aya SUDAH DITERBITKAN! BISA DIDAPATKAN DI TOKO BUKU KOTA ANDA! .: +++++ :. Menikah dengan musuh bebuyut...
7.5K 105 3
R 15+ *Judul sebelumnya, NEJ* ⚠️ WARNING! ⛔ Dapat menimbulkan ledakan emosi tiba-tiba Cool boy series #2 #Spin Off Hinder ~Tentang Pemilik Tameng Ta...
1.4M 119K 27
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...