Invalidite [Completed]

By Faradisme

30M 2.5M 509K

(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) #1 in Romance, 10 Januari 2018 Dewa Pradipta adalah 'dewa' dari s... More

Invalidite | 1
Invalidite | 2
Invalidite | 3
Invalidite | 4
Invalidite | 5
Invalidite | 6
Invalidite | 7
Invalidite | 8
Invalidite | 9
Intermède
Invalidite | 10
Intermède
Invalidite | 11
Invalidite | 12
Invalidite | 13
Invalidite | 14
Invalidite | 15
Invalidite | 16
Invalidite | 18
Invalidite | 19
Invalidite | 20
Invalidite | 21
Intermède
Invalidite | 22
Invalidite | 23
Invalidite | 24
Invalidite | 25
Invalidite | 26
Invalidite | 27
Invalidite | 28
Invalidite | 29
Invalidite | 30
Invalidite | 31
Invalidite | 32
Invalidite | 33
Invalidite | 34
Invalidite | 35
Invalidite | 36
Invalidite | 37
Intermède
Invalidite | 38
Invalidite | 39
Invalidite | 39 (Repost)
Invalidite | 40
Invalidite | 41
Invalidite | 42
Invalidite | 43
Invalidite | 44
Intermède
Invalidite | 45
Invalidite | 46
Invalidite | 47
Invalidite | 48
Invalidite | 49
Invalidite | 50
Invalidite | 51
Invalidite | 52
Invalidite | 53
Intermède (PENTING)
Invalidite | 54
Intermède
Invalidite | 55
Intermède : INFO PENERBITAN & VOTE COVER
PO NOVEL INVALIDITE SUDAH DIBUKA!
KENAPA MAU-MAUNYA BELI INVALIDITE?
INVALIDITE : DIFILMKAN
INVALIDITE SEGERA TAYANG

Invalidite | 17

436K 39.5K 2.3K
By Faradisme

Bila tiba saatnya kamu percaya, maka sudah waktunya kamu mesti belajar menyembuhkan luka.

- Pelita Senja -


Mungkin terlalu kentara, di wajah Pelita yang sepertinya sudah terlalu banyak menyunggingkan tawa sejak pagi tiba.

Di depan kaca berukuran sedang itu, Pelita melihat pantulan dirinya yang sumringah sambil menjalin rambut membentuk kepangan.

Setelah memastikan dirinya rapi, dengan rok lipit sepanjang mata kaki serta blus bunga-bunga, ia menggeret tongkatnya keluar. Ia melewati ruang tamu, yang dengan perlahan menyurutkan senyumnya menjadi sendu.

Ya, memang. Bahagia itu memiliki sifat tak senang tinggal berlama-lama. Hanya singgah untuk mengerti, jika tidak ada yang abadi untuk sebuah perasaan.

Saat tadi malam Dewa mengantarnya pulang, Ayahnya sudah tidur di depan TV menyala ruang tamu. Hal yang sudah biasa dilihatnya ratusan kali semenjak ibunya pergi. Tidak berbeda pula pagi ini. Bahkan Pelita rasa posisi tidur ayahnya tidak berubah sama sekali.

Dengan hati-hati, Pelita mendekati Burhan. Rambut ayahnya sudah tumbuh panjang menyentuh bahu. Bersama brewok yang membuat tampilan ayahnya semakin berantakan.

Jangan tanya berapa kali Pelita mencoba membujuk Burhan memotong rambut atau sekedar tampil rapi. Hal itu selalu berakhir dengan ayahnya pergi dalam diam dan kembali seminggu kemudian.

Bukan memberi penjelasan, namun kembali melakukan rutinitas serupa, tidur di sofa menghadap TV, menerima sodoran makan dari Pelita, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Kadang, Pelita kehabisan cara bagaimana harus menarik ayahnya keluar dari kesedihan atas kepergian Rosa, ibunya.

Ayahnya mungkin lupa, jika dirumah ini, kesedihan menghampiri bukan hanya dia.

Pelita hanya memiliki Burhan. Keluarga satu-satunya saat ini. Dan itu lebih dari cukup untuknya terus menyayangi laki-laki paruh baya itu apapun yang terjadi. Meski terkadang, menelusup di hati pelita akan perhatian yang coba ia curahkan hanya dibalas oleh pengabaian.

Setelah diam-diam mencium punggung tangan Burhan, mengucapkan salam pelan dan membisikkan betapa Pelita menyayangi ayahnya itu, ia beranjak mengunci pintu dari luar. Bersiap pergi karena pagi tidak akan menunggunya untuk tenggelam dalam keputus-asaan.

Namun sesuatu yang berada di atas meja teras menarik perhatian Pelita.

Pelita tidak ingat ada benda itu disana tadi malam. Dengan berbekal lima menit ekstra untuknya menunggu angkutan umum, Pelita memilih duduk di kursi rotan teras melihat siapa yang mengirim paket itu. Kotak persegi panjang dibungkus kertas coklat, dengan secarik kartu nama berwarna senada di bagian ujungnya.

Untuk Pelita Senja.

Hanya itu dan ujung bibirnya tertarik melengkung sempurna. Layaknya sebuah kado di hari ulang tahun yang sudah tak pernah dirayakannya lagi, Pelita merobek pembungkusnya dengan riang. Apalagi ketika menemukan benda di dalamnya, seperti senyuman sampai telinga saja tidak cukup menggambarkan kebahagiaannya saat ini.

Sepasang tongkat baru itu tidak mungkin kebetulan datang di rumahnya begitu saja. Apalagi bertepatan dengan tongkat miliknya yang rusak. Ia tidak perlu mencari tahu nama pengirim. Satu nama langsung terlintas di benak Pelita dan itu kembali menghangatkan hatinya seperti kemarin.

"Assalamualaikum,"

Pelita mendongak, masih tersenyum. "Waalaikumsalam."

Cowok itu menaiki undakan tangga dan senyuman manis menyapa Pelita. "Keliatannya seneng banget."

Pelita mengusap tongkat di pangkuannya. Tidak membantah tebakan barusan.

"Dari siapa, Ta?"

Pelita menunduk, mulai melepaskan penutup plastiknya pelan. "Dari Dewa, Gil."

Pelita tentu tidak menyadari bagaimana ketegangan merasuki Gilvy hingga kedua tangannya terkepal. Seperti seseorang sudah menonjok perutnya. "Tongkat kamu yang lama kenapa?" Tanyanya.

"Oh itu...," Pelita mengendikkan bahu, menunjuk pada tongkat yang bersangga di sampingnya. "Biasa, mungkin karena udah lama juga jadi patah."

Bukan itu yang sebenarnya ingin Gilvy ketahui. Melainkan mengapa harus Dewa-lah yang memberikan benda itu, setelah sebelumnya Pelita selalu menolaknya membelikan tongkat baru. Atau membelikan apapun untuk cewek itu sebagai hadiah.

"Biar aku bukain," Gilvy mengambil alih tongkat dari hadapan Pelita, lalu duduk di kursi seberang. "Kamu bisa minta ini sama aku, Ta. Aku pasti kasih kamu apapun. Gak perlu minta ini ke Dewa."

Pelita mengernyit. "Aku gak minta ini dari Dewa, kok. Ya walau awalnya dia kemarin sempet maksa," Pelita jadi teringat pertengkaran mereka di rumah sakit semalam. Setelah berhasil lolos dari pemeriksaan, Dewa memaksa ingin membelikan tongkat baru namun Pelita menolak dan meminta kembali ke studio untuk mengambil tongkatnya yang lama. "Bukannya kamu tau kalo aku kurang begitu suka minta-minta sesuatu dari orang."

"Tapi aku juga pengen ngasih kamu hadiah."

"Aku suka hadiah. Tapi cuma waktu ulang tahun. Dan hadiahnya buat anak panti. Sekarang juga belum tanggal 15 Mei."

"Sekarang belum tanggal 15 Mei tapi Dewa boleh kasih kamu hadiah,"

Pelita menatap Gilvy heran. "Masa mau kasih hadiah aja jadi rebutan, sih?" Lalu ia tertawa.

Gilvy tersenyum singkat. "Kamu mau pake ini?" Ia menyerahkan tongkat baru ke tangan Pelita.

Cewek itu mengangguk. "Firasatku bilang kalo Dewa bakal ngamuk kalo aku gak make ini. Lagian aku suka warnanya. Hehe... "

Gilvy cukup terganggu akan pembahasan ini. "Kamu sibuk? Bisa ikut aku sebentar?"

"Kemana?"

"Cuma jalan-jalan, udah lama kita gak pergi bareng. Kamu mau makan baso gak? Aku lagi kepengen baso langganan kita dari SMA itu deh,"

"Yah, Gilvy. Kok bilangnya baru aja," sahut Pelita tampak bersalah. "Aku udah janji sama Dewa mau ke rumahnya."

Kali ini Gilvy tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Ke rumahnya? Maksud kamu ke rumah Dewa?"

Pelita mengangguk. "Kok kaget gitu?"

Gilvy mengusap punggung lehernya. "Enggak sih. Jarang aja Dewa nerima tamu di rumahnya. Mau berangkat sekarang? Biar aku anterin."

"Nah kan mulai," Pelita terkekeh. "Aku bisa sendiri, Gil."

Gilvy berdiri. Memapah Pelita sampai cewek itu berdiri sempurna dengan tongkatnya. "Paling enggak, biarin aku anterin kamu."

"Aku bisa jaga-"

"Aku tau kamu kuat. Kamu bisa jaga diri," Gilvy tersenyum. "Tapi biarin aku ngelakuin ini. Itu bikin aku tenang karena bisa mastiin kamu baik-baik aja."

"Huh, kayaknya kali ini aku emang gak bisa nolak kan?"

Gilvy tersenyum, lalu meraih Pelita, meremas lengan cewek itu dengan penuh harap sebelum membantunya menuruni undakan tangga di teras rumah.

***

"Kamu yakin gak mau masuk dulu?"

Jikapun Gilvy sangat ingin masuk dan memastikan Dewa tidak berbuat ulah, atau semakin mendekati Pelita, namun ia juga sangat yakin jika dalam hitungan menit saja maka mereka akan langsung terlibat cekcok sengit.

Gilvy menggeleng lagi. "Kamu mau aku tungguin?"

"Eh, jangan. Aku ga tau bimbingannya sampai jam berapa. Dewa kadang susah disuruh belajar. Jadi nungguin dia mood dulu,"

"Nanti aku jemput gimana?" Desak Gilvy, menahan Pelita yang akan membuka pintu.

"Makasih ya, Gil. Tapi aku gak suka bikin orang nunggu. Mending aku kasih tau sekarang aja. Gimana kalo sampe malam?"

"Gak papa," Gilvy menghadapkan tubuhnya ke arah Pelita. "Aku udah terbiasa nunggu dari dulu."

"Kenapa?" Pelita jadi mengkhawatirkan nada sedih yang digunakan cowok itu barusan. Cowok yang ia kenal sejak SMA itu memandangnya lama. Kemudian mendesah seraya menyisir rambutnya gelisah.

"Kenapa, Gil?" Tanya Pelita. "Kamu ada masalah?"

"Aku rasa iya."

Pelita menyentuh bahu Gilvy. "Orang tua kamu lagi? Mereka memaksakan kehendak mereka lagi?"

Gilvy memandanginya lama. Lalu cowok itu mengambil tangannya seraya menggenggam. "Aku tau kamu bakal kaget denger ini,"

"Gilvy, kamu jangan bikin aku takut," ujar Pelita, memancing senyum kecil Gilvy karena kepolosan cewek itu selalu berhasil menghiburnya.

"Kamu tau kan selama ini aku gak pernah cerita apapun soal hidup aku sama orang lain. Setiap ada tekanan dari keluarga, aku selalu ceritanya sama kamu."

Pelita tersenyum. "Itu gunanya teman, Gil."

Satu tangan Gilvy terangkat, mengusap wajah Pelita. Cewek itu kebingungan. Dan berubah diselimuti keterkejutan saat kalimat selanjutnya keluar.

"Aku suka kamu, Ta. Bukan sebagai teman. Tapi seperti perasaaan laki-laki yang mencintai wanita."

Rupanya Gilvy cukup mengenal Pelita dengan baik, jadi ia menggunakan satu kalimat jelas dan tepat sasaran untuk mengungkapkan perasaannya.

Dan benar saja, ekspresi Pelita sekarang sudah membuktikan jika maksudnya tersampaikan.

Gilvy tidak bisa terus diam saja melihat Pelita yang semakin dekat dengan Dewa. Melihat jika cewek itu senang dan tidak menolak pemberian Dewa, adalah pertanda yang cukup jika sudah waktunya jujur. Membuatnya berani menyuarakan perasaan terpendamnya sejak dulu.

"Aku mau kamu jadi pacarku, Ta." Ulang Gilvy, memantapkan keinginannya.

Selama eksistensi kehidupan seorang Pelita Senja, bisa dihitung dengan jari berapa kali ia pernah merasakan perasaan suka terhadap lawan jenis. Dan lingkaran besar menyerupai angka NOL adalah jawaban seberapa banyak pengalamannya berpacaran.

Tidak ada laki-laki yang tertarik pada wanita sepertinya.

Oleh karena itu mendengar kalimat Gilvy tadi membuatnya membeku beberapa saat. Memastikan jika telinganya masih berfungsi dengan baik.

Gilvy menurunkan tangannya. Kembali mengenggam tangan Pelita penuh pengharapan. "Kamu gak perlu jawab sekarang. Aku tau kalo ini mendadak," Gilvy terkekeh. "Bahkan aku gak merencanakan bakal ngomong ini sekarang. Tapi yang aku rasain ini sungguh-sungguh, Ta. Aku sayang kamu udah dari dulu. Sejak kamu nanyain dimana ruang TU. Kamu yang penuh keceriaan dan gak peduli sama cibiran orang. Kamu yang selalu mandang segalanya dari segi positif. Aku suka semua itu. Dan aku akan terus nunggu kamu. Tolong pikirin ini baik-baik ya, Ta."

Bagian tersulit saat memiliki sahabat adalah, ketika kamu harus berkata jujur namun tidak ingin menyakiti mereka di waktu yang bersamaan.

***

TBC

🐋🐋🐋

F

uh... Lama banget ya...

Maaf jika keleletan apdetnya bikin geleng-geleng kepala sampai gemes. 😶

Tadi kebangun jam 3. Flu. Meriang. Tapi keinget Pelita. Ngambil hape deh.

Selalu mikir "Semoga masih ada yang setia sama cerita ini,"

Faradita
Penulis amatir butuh piknik, sama cogan.

Kaya gini,

Kan acu jadi cenang. Ammm...

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 112K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
666K 6.2K 49
[WATTPAD RECOMMENDATION] Cerita rekomendasi yang menurut gue worth it buat dibaca. Khususnya buat teen fiction addict. Tidak ada unsur promote dalam...
Destin By Rani

Teen Fiction

7.9M 533K 42
Semua bermula ketika Gavin yang baru kembali ke sekolah tanpa tahu siapa itu gadis bernama Melva terpaksa menembaknya di depan seluruh anak Galaksi...
4.5M 195K 57
TELAH DITERBITKAN The Rules Series (6) : Alvaro Radyana Putra Ini cerita tentang Alvaro Radyana. Si Kasanova terpopuler di SMA National High. Jug...