Invalidite [Completed]

Door Faradisme

30M 2.5M 509K

(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) #1 in Romance, 10 Januari 2018 Dewa Pradipta adalah 'dewa' dari s... Meer

Invalidite | 1
Invalidite | 2
Invalidite | 3
Invalidite | 4
Invalidite | 5
Invalidite | 6
Invalidite | 7
Invalidite | 8
Invalidite | 9
Intermède
Invalidite | 10
Intermède
Invalidite | 11
Invalidite | 12
Invalidite | 13
Invalidite | 14
Invalidite | 15
Invalidite | 17
Invalidite | 18
Invalidite | 19
Invalidite | 20
Invalidite | 21
Intermède
Invalidite | 22
Invalidite | 23
Invalidite | 24
Invalidite | 25
Invalidite | 26
Invalidite | 27
Invalidite | 28
Invalidite | 29
Invalidite | 30
Invalidite | 31
Invalidite | 32
Invalidite | 33
Invalidite | 34
Invalidite | 35
Invalidite | 36
Invalidite | 37
Intermède
Invalidite | 38
Invalidite | 39
Invalidite | 39 (Repost)
Invalidite | 40
Invalidite | 41
Invalidite | 42
Invalidite | 43
Invalidite | 44
Intermède
Invalidite | 45
Invalidite | 46
Invalidite | 47
Invalidite | 48
Invalidite | 49
Invalidite | 50
Invalidite | 51
Invalidite | 52
Invalidite | 53
Intermède (PENTING)
Invalidite | 54
Intermède
Invalidite | 55
Intermède : INFO PENERBITAN & VOTE COVER
PO NOVEL INVALIDITE SUDAH DIBUKA!
KENAPA MAU-MAUNYA BELI INVALIDITE?
INVALIDITE : DIFILMKAN
INVALIDITE SEGERA TAYANG

Invalidite | 16

455K 41.3K 3.6K
Door Faradisme

Ada hal yang memang sengaja dihadirkan untuk membuatmu jatuh. Untuk kemudian belajar bagaimana caranya bangkit.

-Pelita Senja-

"Abis ini, beresin dulu hasil fotonya. Gue ngeceknya ntar di rumah. Simpan di hardisk, jadiin satu ama file konsep kemaren. Gue namain Kris Project."

Suasana studio masih cukup ramai dengan kru yang sedang membersihkan set. Rendi sudah menghilang bersama beberapa model sedangkan Gerka tengah memperhatikan layar pada kumpulan foto yang baru saja diambil Dewa. Cowok itu berdehem singkat sebagai jawaban.

"Ntar bilangin sama Rendi, atur jadwal buat season outdoor. Sama sekalian siapin keperluan disana."

"Iye, bos." Sahut Gerka malas.

"Gue udah ngedit sebagian dari hasil minggu lalu. Lo bisa selesain sisanya, kan?"

Kali ini barulah Gerka melirik ke arah Dewa. Tertarik akan suara berisik yang ditimbulkan sahabatnya itu sedari tadi. "Gampang." Ujarnya sembari mengangkat bahu.

Dewa tampak terburu merapikan kamera. Tidak mengecek hasil foto bahkan tidak menggosok mata lensa dari debu. Hal yang sangat tidak biasa karena selain Tuhan, cowok itu sangatlah memuja kameranya.

"Sekalian, hubungin Kris. Bilang sama dia kalo preview model udah gue kirim lewat email."

Gerka kemudian berbalik sepenuhnya menatap Dewa, bersandar pada tepi meja dengan tangan terlipat. "Emang lo mau pergi kemana?"

Gerakan Dewa menutup tas kamera terhenti, memandang Gerka yang menatapnya bingung. "Gue gak kemana-mana."

"Lah terus ngapa repot bener dari tadi. Pas pemotretan juga ga sabaran. Untung jepretan mantep semua jadi gak perlu ngulang."

Dewa menyampirkan tas kameranya di bahu. "Yaiyalah. Gue yang foto mana pernah jelek."

"Cih," cibir Gerka. "Terus mau kemana lo?"

"Ke wardrobe."

Gerka tergelak. "Kirain mau pergi keluar. Kemana gitu, ketemu klien atau apa. Taunya masih di dalam studio sini doang. Cuma lima langkah dari sini tapi lo grasak-grusuk, anjir."

Dewa mengerutkan kening. "Gue biasa aja." Sahutnya menutup resleting tas terakhir.

Gerka diam beberapa saat. Meski Dewa adalah penyimpan emosi paling pandai seantero planet, namun berdasarkan pengalamannya bersahabat dengan Dewa, Gerka tentu tidak bisa mengabaikan hawa gelisah dari gerakan cowok itu. Ia menatap ke sekeliling lalu menyadari sesuatu.

"Gue ga liat Pelita dari tadi," Gerka mendekati meja. "Bukannya dateng bareng lo?"

"Gue suruh anaknya diem di wardrobe aja."

"Kenapa emang?"

"Gatau. Anaknya makin aneh. Masa gak ngomong gue tanyain. Cuma diem aja. Tadi pas di kampus gue tinggal bentar ngambil mobil, terus pas gue balik dia duduk di aspal. Tongkatnya patah--"

Gerka pun tak kuat menahan seringainya semakin lebar, yang membuat Dewa menghentikan kalimat dan melotot. "Apaan tai?"

"Kagak-kagak," ucap Gerka terkekeh. "Gue lagi cari Rendi. Kalo dia liat lo sekarang, pasti girang. Segirang kayak mau dapet mobil baru gitu misalnya."

Dewa mendengus. "Jangan mulai, Ger."

"Jangan lupain juga sejauh apa gue kenal sama lo, Wa. Semuanya keliatan jelas di muka lo sekarang."

"Apa?"

"Kalo ini," Gerka menunjuk wajah Dewa. "Muka yang bau tai ini sebentar lagi bakal kalah taruhan sama Rendi dan kemakan omongannya sendiri." Sahut Gerka lantang kemudian tertawa. Menyulut kekesalan Dewa dan melayangkan lap dari atas meja ke arah cowok itu.

"Diem lo, tai kuda! Gue yang bakal menang. Ingetin aja tadi semua yang gue bilang." Sergah Dewa kemudian berlalu menuju pintu di ujung ruang.

"Makan tuh tai kuda, Wa. Tunggangin sekalian kalo perlu." teriak Gerka yang kembali tergelak.

Setelah membuka pintu berwarna hitam itu, Dewa Menemukan jejeran gantungan pakaian yang rapi di sisi dinding. Meja rias berjajar sebanyak tiga buah tertata rapi dengan lampu menyala terang di tepiannya. Entah jika memang wardrobe terlihat serapi ini seperti biasa atau tidak, karena Dewa tidak pernah bersentuhan dengan ruangan ini sebelumnya.

"Hai, Wa." Salah satu model, duduk di salah satu meja, namanya Via, tersenyum menggoda. "Tumben masuk sini, perlu sama kita-kita?"

Hanya tertinggal dua model disana yang sedang membereskan diri setelah pemotretan. Dewa bersyukur tidak ada Siska hari itu.

Melihat jika seseorang yang tidak dilihatnya selama tadi pemotretan berlangsung justru sama sekali tidak melihat kearahnya, membuat Dewa mengabaikan dua model itu dan melangkah menuju sofa di ujung ruang.

Cewek itu mendongak melihatnya. Masih dengan dua mata bulat jernih terhalang kacamata, tanpa binar.

Sialan. Gue gak seharusnya sekesel ini.

"Lo tau kan kalo itu percuma?" Ujarnya meletakkan tas kamera di samping Pelita.

"Siapa bilang," Pelita mengeratkan lagi lakban untuk usahanya menyambung tongkatnya yang patah. Lalu mengetukkannya ke lantai. "Ini masih kuat buat mukul kepala kamu,"

"Lo masih gak mau bilang kenapa itu tongkat bisa patah?"

Pelita mendongak lagi. Dia mengerjap, menatap kekesalan yang selalu ada pada wajah dewa, Kadang Pelita sendiri heran bagaimana cowok itu bisa memiliki banyak kemarahan di dalam diri.  Sedangkan apa yang ia rasakan justru sebaliknua. Pelita selalu bisa melihat jika sebenarnya maksud cowok itu baik.

Pelita anak yang kuat.

Tiba-tiba saja kalimat yang terus terngiang di kepalanya sejak ia jatuh di halaman parkiran tadi kembali. Suara merdu ibunya itu yang selama ini selalu membantunya melawan dunia. Ia harus kuat. Karena itu adalah keinginan ibunya. Ibunya akan sedih jika tau Pelita menampakkan hal yang sebaliknya.

Iya, Bu. Pelita anak ibu ini, anak yang kuat.

Makanya, Pelita tersenyum lalu menggeleng.

Dan Dewa semakin kesal.

Pelita tertawa. "Penasaran banget sih sama tongkatku, bos? Mau punya yang kaya gini juga? Beli, dong."

Dewa menarik kursi dengan kaki dan duduk di hadapan Pelita. "Udah bisa ketawa lo?"

"Iya," Pelita menusuk pipinya lalu tersenyum. "Cantik ya?"

Model yang masih berada di depan meja rias tidak menutupi cekikian mereka. Menghina Pelita. Dewa mengalihkan tatapan ke arah mereka, dari balik bayangan cermin keduanya langsung membungkam karena sorot tajam cowok itu.

Pelita yang melihat itu sama sekali tidak merasa tersinggung. Justru ikut terkekeh dan melanjutkan usaha sia-sianya menyambung tongkat yang patah.

Dewa berdecak, ia tidak habis pikir. Bagaimana bisa Pelita sesantai itu menghadapi cibiran. Cewek itu memang selalu bisa mendapatkan sela untuk membuatnya kesal, tapi tak dapat Dewa pungkiri jika serapuh apapun ia terlihat, justru tidak ada yang bisa menjatuhkannya.

Kecuali saat di parkiran tadi. Secara harfiah.

Dewa benar-benar penasaran apa yang sudah terjadi. Disaat Pelita membuka lakban, mencoba menambah lilitan di sambungan tongkatnya yang patah, Dewa mengambil tangan Pelita, membuka kedua telapak tangan cewek itu. Kaget. "Kenapa berdarah? Abis ngapain?"

Pelita menarik tangannya, namun hal itu ditahan oleh Dewa. "Gak kenapa-napa kok. Cuma lecet dikit ini."

"Eh, lo. Ambilin kotak P3K. Tanyain ke Gerka di luar." seru Dewa ke arah model yang baru saja akan beranjak pergi. Cewek dengan topi merah itu mengerutkan kening bingung atas permintaan tiba-tiba Dewa.

"Lo budeg?" ucap Dewa lagi. "Cepetan, bego!" bentakan itu cukup membuat keduanya beranjak pergi  dengan tergesa dan membiarkan pintu terbuka.

"Tuh kan tuh kan. Mulutnya ngomong bego-bego lagi. Ini gak kenapa-napa, Wa. Suer."

Dewa sudah tidak tahan. "Tongkat lo patah, terus tangan lo bedarah, lo masih gak mau ngasih tau gue tadi ada apaan?!!"

Pelita mengangkat tangannya dan menepuk bahu Dewa. "Sabar, bos sabar."

Ucapkan selamat datang pada jarum kemarahannya yang berputar cepat. Dewa lalu menarik satu tangan Pelita melewati bahu dan menyelipkan tangannya di belakang lutut cewek itu, mengangkatnya dengan mudah disertai pekikan halus Pelita.

"Oke. Gausah kasih tau gue kalo gitu!"

"Dewa!"

"Apa? Turunin? Coba aja kalo bisa."

Dengan teriakan Pelita yang tidak seberapa, Dewa membawa cewek itu keluar. Semua mata di studio mengiringi langkah Dewa dengan berbagai bentuk tatapan.

Pelita tidak pernah berada di posisi ini sebelumnya. Apalagi disaksikan oleh banyak orang secara langsung. Saat Dewa melewati Gerka yang menyeringai, Pelita hanya bisa menutupi wajahnya dengan kedua tangan, bersandar malu di dada Dewa.

_____________________

Suasana di sekitarnya tidaklah asing bagi Pelita. Ia hapal aroma dan suasananya. Ia hanya sedang menelaah kejadian apa yang baru saja terjadi dan masih menemukan sisi tidak masuk akal terlampau besar bergulung di kepalanya.

"Mba suster, saya baik-baik aja." ucap Pelita, di antara riuh rendah di sekitarnya, untuk yang kesekian kalinya.

"Biar kami periksa dulu ya," ujar wanita itu. kembali mendorong tubuh Pelita agar berbaring, lalu memeriksa tangannya. "Sepertinya cuma lecet di bagian telapak tangannya."

Pelita cemberut. Karena itulah yang dikatakannya hampir setengah jam terakhir pada ketiga suster ini namun tidak ada yang mendengarkan.

"Saya mau pulang, Mba Sus." Pelita hendak bangun dari posisi berbaringnya, namun bahunya kembali ditahan.

"Pemeriksaannya belum selesai, jangan banyak bergerak dulu. Sebentar lagi ruangan untuk CT Scan sudah bisa digunakan. Sabar dulu, ya."

Pelita mengernyit semakin dalam.

"Saya gak kenapa-napa, kok. Mba suster liat sendiri kan yang lecet cuma di tangan."

"Aduh, mba ini yang nyuruh dokter lho."

"Mba suster tolong kasih tau sama dokternya yah," Pinta Pelita memelas. "Saya gak mau disini CT Scan."

"Ini juga atas permintaan temen mba, kok. Justru dia yang memaksa."

"Mana temennya aku tadi itu?"

Seperti berbagi kode, salah satu suster kemudian membuka tirai hijau yang semula tertutup. Menyibaknya dan membuat Pelita menemukan seorang laki-laki tua berseragam putih dan Dewa berdiri berhadapan tidak jauh dari ranjangnya, sedang bicara. Atau berargumen. Melihat tirai yang terbuka, keduanya lantas menoleh.

"Dok, pasien menolak melakukan CT Scan." Ucap salah satu suster. Sedang dua lainnya beringsut membenahi diri dengan senyum malu-malu ke arah pemuda dengan wajah tampan tak bersahabat di samping dokter.

"Dewa," Panggil Pelita dengan sedikit membungkuk, menutupi sisi mulutnya, bermaksud berbisik. Namun tentu saja bisa didengar semua orang. "Ayo kita pulang,"

"Tetap lakukan pemeriksaan, sus." sahut Dewa. Membuat suster kegirangan mendengar suara berat cowok itu.

Pelita menegakkan punggungnya. "Dewa, aku baik-baik aja. Sampe berapa kali harus bilang."

Dewa mengerutkan kening, mendekati sisi ranjang. "Lo gak perlu bilang. Lo juga gak perlu cerita apa yang udah terjadi di parkiran. Karena gue yang bakal cari tau sendiri."

"Kamu keras kepala banget ya?"

Dewa melipat tangannya di depan dada. "Serius lo nanya itu?"

Pelita meremas selimut yang menutupi setengah badannya. "Aku baik-baik aja, Wa. Percaya dong."

Setelah menghembuskan napas kesalnya, Dewa mendekat lalu membungkuk ke arah Pelita. "Tiket lo keluar dari sini itu tinggal cerita sama gue,"

Tiga suster disana menggemakan 'uhhh' yang tidak Pelita mengerti maksudnya. Dokter yang berdiri diujung tempat tidur berdehem, namun Dewa tidak melepaskan tatapan dari Pelita.

Melihat jika Pelita masih diam, Dewa kemudian menoleh ke arah dokter dan suster. "Bawa anak ini, dok."

Pelita menarik lengan bajunya. "Dewa... "

"Lo cuma di periksa, anjir. Bukan mau disuntik mati"

"Tapi aku takut,"

"Sama apa?"

Kali ini Pelita melihat ke arah belakang Dewa sebelum menarik baju cowok itu hingga Pelita bisa berbisik di telinga cowok itu. "Sama dokter sama suster,"

Dewa berbalik menatap dokter dan suster, lalu kembali pada Pelita. "Jadi maunya apa?"

Nada lelah yang digunakan oleh Dewa, membuktikan jika Pelita menang dan itu membuatnya tersenyum lebar.

Oh, jangan lupakan bagaimana hatinya yang menghangat.

TBC

a

duh. Gue malu mau nulis note BEHAHAHAHAHHAHAHA

udah lah ya gausah disebut seberapa lamanya cerita ini ga di update.

I love you pokoknya 😙😙😙

Part ini buat @chockatoo4 yang nagih banget ini diup sebelum tgl 27. Hahhaa ❤

Buat yang mau tau apdetan seru karya-karyaku, bisa follow instagramku @faradisme

Atau yang mau lebih jelas tentang invalidite, bisa kunjungi fanbasenya diinstagram juga @fb_invalidite

Siapa tau nanti aku bikin giveaway yakan? 😆😆😆

Minggu, 22 Oktober 2017
03.29 AM

Faradita
Penulis amatir yihaaa 🐋

Gabakal kuat deh lo, Wa kalo disenyumin Pelita. 🐋

Follow instagram mereka ya

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

6.2M 369K 25
(Sudah di terbitkan oleh penerbit Loveable.redaksi) FOLLOW DULU SEBELUM BACA || TERSEDIA DI SELURUH TOKO BUKU INDONESIA (offline maupun online) (SETE...
27M 1.4M 57
(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) SEGERA DIFILMKAN. #1 in Teen Fiction, 25 Mei 2017 Ametta Rinjani Cewek paling cantik disekola...
8.9M 855K 44
Damian Manuel Regata dan Daniel Manuel Regata, mereka kembar. Namun meskipun begitu, keduanya memiliki sifat yang saling bertolak belakang. Tak han...
7.1M 137K 14
Sudah diterbitkan oleh Grasindo. Tersedia di toko buku seluruh Indonesia. Untuk pembelian secara online, klik link di bio instagram : gal.gia Ini ada...