Extraordinary Bestfriend

De ndudee

270K 30.6K 1.6K

Versi revisi It's Okay. This is Love. Arabella dan Alcander bersahabat sejak keduanya masih belia. Dengan per... Mais

I'm baaaaack ...
1. Dia
2. Cinta Monyet
4. Some Superhero
5. Darurat Kerja
6. Dijodohin?
7. Ketemu Kamu Lagi
8. Ahem ... Awkward
9. Run, Run, Run
10. Kue lebih penting
11. Aib kamu di tanganku
12. Ngedate Yuk
13. Kebetulan Double Date
14. Zach II
15. Gosip apa gosip?
Pentiiiinnnggg!!!
16. Teman tapi ciuman?
Yeeeaaaayyy...!!!
17. Dua lima dan jomlo
18. Nggak mungkin!
19. Kamu dan dia
20. Pertolongan pertama pada sahabat
21. Bukan robot tak kenal sakit
22. Bunda
23. Sesal dalam hati
24. Ada yang lain
25. Cemburu itu mirip penyakit
26. Ini hati, bukan batu
27. Cukup sudah
28. Seandainya cinta bisa memilih
29. Hilang sejenak saja
30. Hal yang tepat
31. Pergi sajalah
32. Apa saja, Kapan saja
33. Rollercoaster
34. Cakey cakes
35. Yea, we're cool!
36. Stupid af!
37. He's gone
38. Perempuan Jahat
39. Imajinasi
40. Sorry not sorry
41. Not a happy ending
Xtra-Part : The Plan

3. Cream Cheese Frosting

7.1K 849 16
De ndudee

Lagi pada malmingan yaaaaa . . . . .

Yang gak malmingan, temenin Bella n Al dimari aja yuk.

Cusssss....

*******************************************

Happy reading

*******************************************


"Sudah, Bella, tinggal saja. Pagi-pagi banget kamu masih harus kerja lagi."

Sekarang sudah jam tiga lewat tapi aku masih mencuci bekas alat-alat membuat kue yang sudah selesai kami pakai. Sejak selesai makan malam tadi kami: aku, Bunda, Mbak Ima, dan Mbak Ani, sudah berkutat di dapur.

Kami sudah memiliki tugas masing-masing. Mbak Ani bertugas membuat pastel dan risoles, Mbak Ima membuat dadar gulung dan kue lumpur, Bunda membuat nasi kuning dan beberapa lauknya, sedangkan aku membuat cupcake dengan marshmallow frosting yang nanti akan aku tata membentuk angka enam sebagai tanda usia perusahaan pemesan.

Tapi sejak satu jam yang lalu, Mbak Ima dan Mbak Ani sudah pulang ke rumah masing-masing. Kedua suami mereka yang bekerja sebagai supir truk baru saja kembali dari Medan setelah satu bulan pergi mengantar barang.

Tapi beruntung karena tak lama kemudian Dimas terbangun dan membantu kami untuk menata kue-kue yang sudah selesai dibuat. Beberapa di antaranya ditata di atas tampah-tampah kecil dan sisanya dimasukkan ke dalam boks-boks.

Seperti inilah pekerjaan kami setiap ada pesanan. Sejak Ayah meninggal dua belas tahun yang lalu, Bunda berusaha menghidupi keluarga kami. Selain menerima pesanan kue dan makan siang, kami juga membuka gerai toko kue yang letaknya tak jauh dari rumah. Hanya toko kue sederhana dengan beberapa karyawan.

Walau tidak menghasilkan terlalu banyak, namun mampu menyediakan makanan dan pakaian yang layak, membayar tagihan listrik dan pulsa telepon, serta membiayai sekolahku dan Dimas, adikku, hingga kami bisa masuk ke perguruan tinggi terbaik sampai akhirnya aku bisa lulus dan dapat bekerja di perusahaan milik keluarga Alcander.

Setelah semua susah payah yang beliau lakukan untuk kami, mana mungkin aku, yang masih muda dan sehat begini, tega membiarkan Bunda menyelesaikan segunung cucian sendirian malam-malam begini?

Aku melirik dari balik bahu. Beliau masih sibuk menata nasi tumpeng di atas tampah besar yang sudah dihias dengan berbagai macam sayur-sayuran. "Nggak apa-apa, Bun. Aku kan sudah sempat istirahat tadi sore. Lagipula tinggal sedikit lagi kok."

"Tapi nanti kamu kecapaian."

"Besok Bella berangkat bareng Al. Dia masih menginap di sini. Jadi Bunda nggak perlu khawatir."

Meski wajahnya masih memperlihatkan ketidaksetujuan, tapi Bunda tidak mendesak lagi karena tahu percuma. Aku tidak akan membiarkannya menyelesaikan semua pekerjaan ini sendirian.

Kulirik Dimas yang sudah berkali-kali menguap saat menyusun kotak-kotak kue ke dalam kardus besar. Dia terlihat sangat mengantuk dan lelah. "Dimas, kamu tidur sana. Kamu ada kuliah pagi, kan?"

"Iya, Dik. Kamu tidur gih," Bunda ikut menimpali. "Daripada nanti kamu ketiduran di kelas."

"Ngghak hapa-hapa, Hun," ujarnya disela-sela kuap kantuknya yang semakin menjadi-jadi. "Besok aku kuliah siang kok."

Setelah menyelesaikan cucianku yang terakhir, aku menghampiri Dimas lalu duduk di sampingnya. Ia nyaris tertidur di atas kardus sampai aku menyikut lengannya. "Sana tidur di kamar. Biar kakak aja yang selesaikan."

Dimas mengusap matanya dengan jemari. Lalu menatapku.

"Sana." Aku mengedikkan dagu ke arah tangga. "Sebelum kamu tidur di atas kue-kue ini."

Sekali lagi Dimas menguap dengan suara berisik. Dengan tertatih ia berdiri. "Ya sudah, Bun, Kak, aku tidur ya."

Cepat-cepat aku membereskan sisa kotak-kotak kue ke dalam kardus dibantu oleh Bunda. Tak lama kemudian, sekitar jam empat, dua orang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun mengambil kue-kue tersebut.

Setelah memastikan dapur cukup rapi, aku masuk ke dalam kamar. Aku merenggangkan tubuh, lalu menjatuhkan diri ke kasur.

Pagi ini aku masih membutuhkan Alcander. Aku meraih ponsel, membuka aplikasi Whatsapp.

Arabella : SuperAl yang ganteng, pagi ini kamu nggak ada meeting di luar kan?

Masih ada waktu satu setengah jam bagiku untuk mengistirahatkan mata dan tubuhku. Sangat kelelahan, aku segera tertidur dan baru terbangun saat mendengar dering ponsel. Wajah Alcander yang tersenyum muncul di layar.

Aku menyentuh icon hijau. "Ya," jawabku dengan suara serak. Aku masih sangat mengantuk.

"Bangun, Belle." Suara Alcander terdengar lebih serak dari biasanya yang menandakan pria itu juga baru saja bangun tidur. "Sudah setengah enam. Kamu mau bareng aku, kan?"

"He em." Tapi aku enggan membuka mata.

Alcander terkekeh. "Semalam tidur jam berapa?"

"Jam empat," jawabku akhirnya setelah terdiam lama.

"Izin aja kalau kamu memang kecapaian. Nanti aku bantu bilang ke Bu Teresa."

Aku mengerang. Merasa sebal setiap kali ia menawarkan bantuan dalam urusan pekerjaan. "Jangan. Nggak perlu. Aku kerja kok. Kemarin sore aku sempat istirahat sebentar." Lagipula kalau setiap Bunda mendapat pesanan aku diberi izin untuk membolos dari pekerjaan, hampir seminggu sekali aku akan selalu membolos.

"Ok then." Sebelum aku memutus sambungan telepon, kudengar Alcander memanggil namaku.

"Hem?"

"Jangan pakai sepatu kemarin lagi, ok?"

"Kenapa?"

"Aja."

"Eh?" Aku tidak mengerti.

"Daripada kamu tersiksa lagi seperti kemarin."

Aku terkekeh meski dengan suara parau dan mengiyakan. Tapi apa yang ia katakan selanjutnya membuatku cemberut.

"Kalau memang Tuhan ciptain kamu dengan tubuh yang nggak tinggi, terima aja." Tawanya memenuhi panca inderaku.

"Ih! Aku bukan mau kelihatan tinggi kok," dustaku. Karena itu memang salah satu faktor yang kupertimbangkan saat membelinya. Dengan tinggi hanya seratus enam puluh sentimeter, aku merasa lebih istimewa dengan mengenakannya. "Cuma ...."

Lagi-lagi Alcander tertawa mendengarku mendesah tanpa sanggup melanjutkan kalimatku. "See ya."

"Bye."

Selesai mandi dan bersiap-siap, kulihat Alcander sudah duduk di ruang makan dengan secangkir kopi hitam di hadapannya.

Setelah bertahun-tahun melewatinya, melihatnya berada di rumahku meski terasa familier tapi juga sedikit canggung. Mungkin karena sekarang kami sudah sama-sama dewasa, atau pula jarak yang sempat terpisah saat ia menyelesaikan kuliahnya di Amerika beberapa tahun lalu.

Sekarang Alcander bukan lagi remaja yang gemar mengenakan kaus longgar dan celana pendek dengan wajah berjerawat dan aku bukan lagi anak perempuan berkulit gelap yang lebih memilih bersepeda ketimbang diam di rumah sambil memulas kuku. Mungkin karena jas hitam yang dijahit khusus yang sekarang ia kenakan, yang hanya mempertegas status kami berdua. Atau mungkin hanya karena Alcander jarang mampir ke rumah lantaran sibuk. Entahlah.

"Morning," sapanya ketika melihatku.

"Pagi, Bunda, Al" Aku mengecup pipi Bunda yang sedang merapikan beberapa bahan-bahan kue yang kemarin baru kami beli di swalayan. Aku duduk di depan Alcander. Mengambil nasi goreng dan secangkir kopi untukku. "Bunda nggak tidur?" Kulihat kantong matanya yang tebal.

Bunda tersenyum lembut. "Kalau Mbak Ima sudah ambil kunci, Bunda pasti tidur."

Aku menyantap sarapanku, menatap Alcander yang sedang membaca sesuatu di ponselnya. "Kamu nggak sarapan, Al?"

Ia menarik matanya ke arahku, menggeleng. "Sejak aku pulang ke rumah, Mom punya banyak misi. Salah satunya membuatku gemuk seperti babi."

Aku terkekeh. "Kenapa?"

Alcander menghela napas seolah ia diberi pekerjaan yang sangat sulit. "Karena menurut Mami, aku terlalu kurus. Jadi setiap pagi Mami mengharuskanku sarapan di rumah. Pagi ini menunya sup krim, roti, omelet, sosis, buah-buahan."

Aku tidak lagi bisa menahan tawaku. "Kamu harus makan semua itu?"

"Ya! Dan sekarang perutku siap meledak."

Aku mengusap mataku yang berair karena terlalu banyak tertawa. Padahal menurutku Alcander sama sekali tidak kurus. Tubuhnya ramping tapi berotot. Tapi mungkin sosok anak di mata seorang ibu sama sekali berbeda.

Setelah aku menyelesaikan sarapanku dan mengenakan sepatu--hari ini aku mengenakan flat shoes favoritku karena yakin aku tidak akan sanggup berdiri dengan sepatu high heels meski hanya beberapa senti--aku mengajak Alcander berangkat.

"Bun, Bella sama Al berangkat." Aku mengecup punggung tangan Bunda.

"Jangan lupa bawa cupcake-nya."

"Cupcake?"

Aku melirik Alcander sambil tersenyum geli melihat wajahnya, lalu mengangguk. "Iya." Lalu menambahkan dengan suara berbisik, "Cupcake cokelat dengan topping krim keju. Aku bahkan menaburkan potongan walnut di atasnya."

Alcander membasahi bibirnya seolah ia kelaparan mendengar cemilan manis kesukaannya. "Saya juga mau, Tante."

Bunda tertawa. "Iya." Beliau menyodorkan satu kotak besar yang semalam sudah kusiapkan.

"Dah, Bun." Aku melambai pada Bunda yang berdiri di teras rumah.


*****************************************

03022018

Typohhh???


Btw, kalian ngerasa aneh nggak sih sama cowok yang doyan manis?


Continue lendo

Você também vai gostar

50.5K 4.5K 15
Pinky tak punya trauma tertentu pada perkawinan. Toh ia dibesarkan di sebuah keluarga yang bahagia dan berkecukupan. Tapi entah, kehidupan pernikahan...
190K 19K 22
Orang ketiga masuk ke dalam kehidupan rumah tangganya yang harmonis. Merusak kebahagiaan yang ia punya, menggantikan dengan duka bertubi-tubi. Dengan...
549K 44.6K 49
Yuvanka Maharani adalah seorang mahasiswi semester lima yang juga seorang foto model. Niat terbesarnya melakukan modeling di tengah jadwal kuliah yan...
5.5M 271K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...