Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.7K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

19. Promise

11.5K 1K 37
By Cassigatha19

Langkah Ren begitu cepat—bahkan terlalu cepat. Salah satu siswa yang mengekor ke mana pun laki-laki itu pergi pun sampai kepayahan menyelaraskan langkah keduanya. Ren memang amat pendiam, baik jika suasana hatinya sedang biasa atau tengah ditimpa masalah. Tapi kali ini berbeda. Diamnya laki-laki itu begitu menakutkan.

Mereka masuk ke ruangan khusus untuk kepala asrama Emerald. Ren berjalan sampai ke tengah-tengah lalu berhenti. Dan ketika pintu di sana ditutup, siswa yang menyertainya memekik tertahan. Gelas-gelas kaca berwarna-warni tiba-tiba saja meledak dan hancur. Cairan di dalamnya tumpah ruah mengotori lantai beserta karpet.

Jika seseorang berpikir kalau menjadi siswa Emerald sama artinya dengan duduk diam dengan resep-resep ramuan berjejalan di otak, maka itu adalah suatu kesalahan besar. Mereka juga dilatih untuk melindungi diri dan sesama. Bukan hanya divisi ksatria yang mahir menggunakan senjata. Kekuatan spiritual pun bukan hanya milik Cith. Entahlah dengan para siswa Emerald yang lain, namun yang jelas, Ren berbeda. Darah kerajaan Hurdu mengalir juga di nadinya, membuat Ren juga menguasai tiga sumber kekuatan divisi sekaligus.

Siswa di belakangnya langsung menelan ludah saat Ren berbalik. Tanpa ekspresi, laki-laki itu melangkah maju. Tangan kanannya menjulur saat itu juga, mencekik asistennya. Saking terkejutnya siswa itu, dia tidak memiliki kesempatan menjerit. Iris mata Ren menggelap. Wajahnya terangkat saat kaki siswa malang itu tidak lagi berpijak di atas lantai.

"Tu-tuan.." Suaranya tercekat. Tapi sayangnya hal itu justru membuat Ren semakin mengeratkan cengkeraman jari-jarinya. Barulah ketika wajah siswa itu memucat seluruhnya, Ren menjatuhkan dia begitu saja. Tubuh itu menghempas. Gemetaran, dia pun terbatuk-batuk.

Ren tersenyum samar.

"Kau sepertinya butuh perawatan," katanya seolah kejadian barusan tidak pernah terjadi. "Aku akan memberimu libur beberapa hari. Pergilah."

Gelagapan, siswa itu mengangguk-angguk kaku. Buru-buru dia beranjak pergi—takut kalau-kalau Ren akan berubah pikiran.

Sorot kelam Ren kembali. Apa yang dia lakukan tadi rupanya sedikit banyak membantunya menenangkan diri. Ren kemudian duduk di kursi yang diperuntukkan khusus untuknya. Punggung laki-laki itu bersandar penuh, dan kedua tangannya saling terlipat di atas meja.

Jadi..., batinnya sunyi. Ren tidak akan bisa lagi menyentuh Quon saat di Gihon. Clao telah merusak semua rencana yang dia buat. Hampir sesuatu yang mustahil jika gadis rendahan juga tanpa marga macam Quon memiliki hubungan tertentu dengan Clao. Ren juga tidak salah mengartikan sikap keduanya: mereka tidak saling mengenal. Lalu kenapa Clao terkesan seperti membantu Quon? Mungkin bukan karena gadis itu, melainkan siswa tingkat satu Zaffir yang di luar dugaan berhasil membuat Ren terkejut. Apakah karena Varoscar?

Pertanyaan lain yang tidak kalah mengusik Ren adalah sebab reaksi Dalga. Kalimatnya selalu terpotong kala dia menyebut Quon. Dalga bahkan nyaris melenyapkan gadis itu kalau saja Var tidak muncul. Apakah Ren harus menanyainya langsung? Tapi saat ini bukan waktu yang tepat. Dalga pasti tidak ingin ditemui siapa pun sejak Clao melumpuhkannya.

Namun terlepas dari semua masalah ini, masih ada cara lain...

Ren menoleh pada selembar kulit rusa yang dipajang di dinding. Di permukaannya tertera tulisan-tulisan angka dan nama bulan—kalender. Sebentar lagi, pikirnya sembari tersenyum tipis. Ren hanya harus bersabar karena Quon tidak akan lolos untuk yang ketiga kalinya.

Dan sesuai waktu yang tinggal sedikit—dengan atau tanpa campur tangan Ren, jantung gadis itu akan berhenti berdetak.

***

"Hei, Quon! Sebentar lagi hujan! Cepat angkat jemurannya!"

Quon tersedak. Mulutnya memuntahkan lagi kuah sup. Saat dia menoleh, dua gadis siswa seniornya menatap Quon risih. Berbeda dengan tugas menyiapkan makanan asrama yang jadi jatah pekerjaan para pelayan, mereka harus mencuci pakaian sendiri. Untuk hal satu ini, siswa tingkat satulah yang paling sengsara. Senior biasanya meminta juniornya mencuci baju mereka. Namun khusus untuk Quon, dia harus mencuci seragam tiga orang sekaligus—empat, ditambah baju seragamnya sendiri.

Quon memang tidak dikucilkan, namun siswa lain memilih menghindarinya karena karakternya yang aneh. Dia tidak menonjol dalam hal apa pun. Tidak ada keluarga berpengaruh di belakangnya, dan juga Quon tidak memiliki marga. Sejauh ini hanya Ana yang memperhatikan Quon.

"Hu-hujan?" Quon celingukan melihat ke jendela. Di luar sana muram dengan langit abu-abu yang menggantung. Buru-buru gadis itu menghambur keluar.

Setelah mengambil helai demi helai seragam yang sudah lumayan kering, Quon melemparkannya ke keranjang di kamar. Rasa malas menguasainya. Dia pun merasa enggan menyetrika. Bukan karena sebal pada seniornya tadi—dia sudah terbiasa. Quon hanya tidak pernah suka menggunakan setrika yang mana diisi arang menyala. Kalau sudah begitu, mukanya pasti akan penuh bekas kehitaman.

Mendesah, Quon lalu duduk di tepian ranjang. Lagi-lagi gadis itu mulai melamun. Belakangan dirinya dibuat sibuk mempersiapkan ramuan-ramuan dengan komposisi yang rumit. Quon selalu ketiduran saat sore. Begitu bangun, fajar telah menyingsing. Dia tidak pernah bisa menyelinap menemui Var lagi.

Sudah dua minggu lebih dari saat terakhir kali mereka bertemu.

Quon merenung. Jari telunjuknya mengusap bibir. Mengingatnya saja mampu membuat jantung Quon melonjak liar. Kalaupun Quon bisa menyelinap keluar lagi, dia tidak yakin akan mampu bersikap seperti biasa di hadapan laki-laki itu. Tapi semakin dia memendamnya, semakin Quon sadar kalau dirinya sangat merindukan Var.

Haruskah dia membolos? Bisikan setan mulai mengusik Quon.

Gadis itu lantas membuka jendela lebar-lebar lalu melongok ke bawah juga sekitar. Tidak ada orang. Tersenyum, dia merayap ke bawah.

Kabur.

***

Cyde tengah memeriksa gudang di mana senjata-senjata tua menumpuk tidak beraturan. Hampir semuanya berkarat, dan yang paling parah tidak bisa dikenali lagi bentuknya. Meski begitu Cyde tidak sepenuhnya mengabaikan senjata-senjata rusak tersebut. Mereka bisa mengolahnya lagi menjadi bentuk baru. Mungkin tidak sebagus kondisi semula, namun cukup jika dipakai untuk latihan.

Cyde menoleh pada dua laki-laki di belakangnya, memberikan kalimat-kalimat perintah. Keduanya mengangguk lalu berbalik pergi. Selang beberapa saat lamanya, Cyde masih memeriksa berapa pedang berkarat yang masih utuh. Dia juga akhirnya hendak pergi ketika dirasanya cukup.

Sibuk dengan rancangan rencananya sendiri dalam kepala, Cyde mendorong pintu gudang asal. Papan besi di hadapannya lantas memutar. Tapi bukan hanya bunyi derit, Cyde dikagetkan dengan suara benturan. Seseorang di balik pintu itu mengaduh lalu mengerang. Cyde pun bergegas mencari sumber suara itu.

Cyde agak terpaku melihat Quon tengah berjongkok sambil mengusap-usap kening. Gadis itu pun terkesiap melihat Cyde ada di hadapannya.

"Ma—maaf," ucap Quon sembari meringis.

Butuh waktu beberapa saat sebelum air muka Cyde berangsur normal. Entah kenapa mengingat sosok Quon saja mampu membuat laki-laki itu seakan kehilangan kesadaran beberapa detik. Apalagi kini Quon berada persis di depannya.

Gadis yang lusuh. Dia selalu tampak berantakan kapan pun Cyde mengingatnya. Jadi apa yang sebenarnya menyebabkan Cyde berlaku aneh?

"Kau tidak apa-apa?" tanya Cyde yang menjauhkan daun pintu tadi dari tubuh mungil Quon.

Quon mengangguk.

"Apa yang kau lakukan di Zaffir? Bukannya sekarang kau seharusnya berada di kelas?"

Gugup, Quon menghindari tatapan Cyde. Dia kelihatan gelisah, menimbang dalam hati alasan apa yang harus dia pakai kali ini.

Namun rupanya Cyde tidak butuh mendengar jawaban langsung gadis itu. Dia hanya diam melihat segala rona yang diperlihatkan Quon.

Quon balas memandang laki-laki itu meski ragu. Rambut emas yang dimiliki Cyde benar-benar indah. Sorot matanya tajam dan dingin melalui iris biru yang agak pudar. Tapi berbeda dengan Ren, Cyde bisa menjaga wibawanya tanpa mengenyahkan kesan peduli layaknya kepala asrama. Sosoknya tinggi dan tegap—mirip Var, namun dengan karakter yang lebih halus. Dia tampak sangat gagah mengenakan jubah asrama orang nomor satu di Zaffir.

"Bertemu seseorang..."

Kening Cyde mengerut. "Kau bisa melakukannya sore nanti."

"Y-ya.. tapi.."

"Apa kau tinggal di Vighę?" tanya Cyde yang langsung memotong kalimat gadis itu.

"Ya."

Kalau saja insiden di royal garden tidak pernah ada, Cyde mungkin akan memperingatkan Quon untuk tidak mendekati Var yang merupakan orang Kith. Namun melihat keduanya waktu itu.. Cyde tahu ada sesuatu di antara mereka. Biar bagaimana pun Var telah melindungi gadis itu.

"Anggap saja aku tidak melihat apa pun," kata Cyde yang membuat Quon mengerjap bingung. Sebelum benar-benar pergi, Cyde berkata untuk yang terakhir kalinya kali itu, "Pergilah dengan hati-hati setelah urusanmu selesai."

***

Var menumpukan tubuhnya di atas satu tangan yang menapak di atas tanah. Dalam sekali putaran, Rugo yang menjadi lawannya kali itu terjatuh keras setelah kakinya dihantam. Var membalikkan badannya lagi lalu bergerak selangkah mundur. Keringat membanjiri tubuh keduanya, ditambah napas yang makin terasa berat. Tapi tetap saja tidak ada yang mau mengalah di antara keduanya.

Rugo merasa senang setelah kakinya sembuh total. Dia telah cukup lama menanti-nantikan kapan bisa berlatih tarung dengan laki-laki Kith itu. Kali ini Rugo tidak menggunakan cambuknya. Dia hanya memanfaatkan pedang kayu—sama seperti Var. Setelah perasaan Rugo mulai melunak, dia pun berpikir, sudah suatu keharusan mereka harus bertarung secara adil tanpa perasaannya larut dalam emosi.

Rugo menikmati pertarungan keduanya. Terakhir saat laki-laki itu menyerang, Var membantingnya keras lalu mengunci geraknya dengan pedang kayu—tepat di leher.

Semua siswa Zaffir pun mengakui kehebatan Varoscar Buriand—bagai pisau bermata dua.

Tanpa menunggu Rugo mengucapkan sesuatu untuk mengakui kekalahannya, Var berbalik pergi. Dia menghampiri Rife yang tengah berlatih sendirian dengan memukul-mukul boneka kayu—hanya menggunakan tangan kosong.

"Berkat pertarungan yang seru tadi, guru menyudahi jadwal hari ini lebih awal." Rife tersenyum. Wajahnya penuh peluh. "Bagaimana rasanya sudah berhasil balas dendam?"

Var pura-pura tidak mendengar. Dia mengambil handuk yang disampirkan Rife tidak jauh dari sana dan menyeka keringat. Rife sedikit mengerucutkan bibir lalu meneruskan aktivitasnya yang sempat berhenti. Namun itu tidak mengurungkannya bicara lagi.

"Jadi kau sudah membuat janji dengan salah satu gadis?"

Var mengernyit. Buat apa laki-laki itu menyinggung yang tidak-tidak?

Ekspresi yang ditampakkan Var lantas membuat Rife menghela napas panjang. Tentu saja. Hanya ada kata berlatih dalam kepalanya. Rife justru akan heran jika Var masih mengingat nasihatnya beberapa hari lalu.

"Tinggal tiga hari lagi mereka akan mengadakan pesta di Gihon—empat ratus satu tahun sejak akademi ini didirikan. Pesta dansa. Semuanya akan hadir dan berpasangan."

Var masih diam membisu. Bola matanya bergerak-gerak ke sana kemari. Alisnya bertaut, dan bibirnya sedikit menekan.

"Oh, ayolah. Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan: 'Kenapa aku harus ikut acara yang membosankan semacam itu?'." Rife berdecap. "Tentu saja ada konsekuensi jika kau sampai tidak datang. Kepala Sekolah juga akan hadir di sana dan—kabarnya—mereka mengundang Argent Burö."

"Siapa itu?"

"Perdana Menteri Vighę."

Oh, baguslah jika mereka benar-benar bisa melihat pria yang akan mengambil alih tahta Vighę. Var cukup penasaran akan sosoknya.

"Jadi kusarankan, segeralah ajak seorang gadis. Aku mengatakannya karena khawatir kau akan mati kutu di sana nantinya," kicau Rife.

"Kalau kau?"

Rife tersenyum. "Aku senang kau bertanya. Untuk menghindari masalah, tentu saja kita tidak boleh mengajak gadis Vighę kan? Untungnya aku mengenal Areah. Dia berasal dari Ranoor."

"Di Zaffir?" Var mengernyit. Siswa perempuan di Zaffir adalah gadis berperawakan seperti laki-laki.

"Bukan. Dia dari Cith."

Nah, sejak kapan Rife mulai "bermain" di asrama lain?

Rife tersenyum lebar penuh kemenangan. Dia pun memutuskan mengakhiri latihannya. Tangan laki-laki itu menepuk bahu Var sekilas sebelum berlalu. Sayangnya Rife berjalan sambil memunggungi Var hingga dia tidak melihat wajah kesal laki-laki itu. Kalau iya, bisa-bisa Rife tertawa terpingkal-pingkal.

Sebenarnya Var tidak terlalu peduli pada hukuman yang akan dia terima jika sampai tidak hadir di pesta. Benaknya melayang ke hal di luar itu—tentang apa yang dia lakukan beberapa waktu yang lalu. Var bergeming saat mengingatnya lagi.

Bagaimana Var mengusap bibirnya ke bibir mungil Quon.. entah apa yang merasukinya kala itu. Var pun tidak bisa begitu jelas mengingat sebabnya. Rentannya gadis itu membuat Var kesal dan ingin melindunginya di saat yang bersamaan. Terlebih lagi, Quon pun sudah lebih dulu menyatakan perasaannya.

Dan di luar dugaan, bibir itu dikecapnya semanis madu.

Bagaimana mungkin gadis lusuh itu bisa perlahan-lahan menjerumuskan Var ke hal yang tidak pernah dia duga? Dari fisiknya, Var juga bisa menyimpulkan gadis itu masih terlalu muda untuk hal-hal seperti ini.

Mendadak bunyi berisik menyadarkan Var dari lamunan. Matanya menyipit melihat daun jendela sasana yang bergerak-gerak sendiri. Saat kemudian ujung kepala muncul dari bawah, Var mengerjap. Gadis itu sendiri mengangkat tubuhnya untuk melongok ke dalam. Pandangannya dan Var bertemu. Senyumnya pun merekah. Sebelum masuk ke dalam, dia memastikan lagi tidak ada orang selain mereka di sana.

"Var!" Mulutnya berseru, meski suara yang dilontarkannya pelan.

Var bergeming saat Quon menghampiri.

"Emerald harus menyematkan gelar 'penyusup ulung' padamu," ujar laki-laki itu datar.

Quon mengerucutkan bibir. Untungnya gadis itu terlalu sibuk dengan batinnya yang memaki hingga tidak sadar Var tengah memberikan tanggapan berbeda. Biasanya laki-laki itu akan mengalihkan pandangan bahkan langsung melengos apabila Quon memasang ekspresi aneh sebagai respon kata-kata sinis yang Var lontarkan. Namun kini, Var tetap diam memandang Quon.

"Kali ini tidak semulus biasanya," balas Quon. "Ada satu orang yang memergokiku."

"Kau terkena masalah," simpul Var.

Tapi Quon cepat-cepat menggeleng. "Dia baik sekali. Dia bilang akan berpura-pura lupa kalau telah melihatku di sini."

Sayangnya, Var tidak berniat bertanya lebih jauh. Laki-laki itu lalu melangkah ke tempat pedang-pedang kayu diletakkan untuk menambah tumpukannya. Dia juga bisa mendengar langkah Quon yang mengekor.

"Bagaimana kalau besok kita keluar lagi? Bukankah kau harus rutin membawa Nii jalan-jalan? Boleh aku ikut?"

Var terdiam.

"Tidak harus besok.. kau bisa memberitahuku kapan akan keluar."

Var membalikkan tubuhnya hingga mereka saling berhadapan. Laki-laki itu menatap Quon dan ditanggapi oleh raut muka bingung.

"Pesta ulang tahun Gihon tiga hari lagi," kata Var. "Apa sudah ada orang yang mengajakmu?"

"Oh.." Kelopak mata Quon berkedut. Ada nada menyesal yang dia perlihatkan. "Itu.."

Var menghela napas gusar. Sepertinya memang dirinya lebih baik tidak datang ke sana. Laki-laki itu pun mengabaikan Quon dan hendak berjalan pergi.

"Tidak ada yang mengajakku!" seru Quon yang langsung membuat Var menghentikan langkah. Saat Var menoleh, Quon masih bingung memikirkan apa yang harus dia ucapkan. "Tidak ada yang akan mengajakku.. jadi aku lebih baik diam di asrama dan menanti sanksi. Tapi kalaupun ada yang mengajak.. aku tetap tidak bisa pergi."

"Kenapa?"

Lagi, Quon tampak bimbang.

"Pesta semacam itu.. akan indah sekali bukan? Aku hanya.. tidak punya gaun yang bisa kupakai untuk datang ke sana."

Hening. Quon tahu dirinya terdengar sangat menyedihkan. Tapi itulah kenyataannya. Dia bukan bangsawan dan merasa amat rendah diri jika memaksa datang ke acara seperti itu.

"La-lagipula, kau seharusnya mengajak gadis yang cantik. Ah, teman-temanku banyak yang menyukaimu. Jadi kenapa kau tidak mengajak satu di antara mereka?"

Var masih membisu, membiarkan Quon mati kutu di hadapannya. Alis gadis itu berjengit kala Var menghirup udara dalam-dalam.

"Sehari sebelum pesta..," ucap Var akhirnya. "Temui aku lagi di gerbang depan."

"Apa?"

"Janji." Satu kata itu menjadi penutup pembicaraan mereka tanpa Quon sempat meminta penjelasan tambahan.

.

.

.

"Beside the sea

When the waves broke

I drew a heart for you in the sand."

Continue Reading

You'll Also Like

45.5K 5.1K 20
III. Chapter Three Semua yang terjadi seperti rantai. Rantai yang berbahaya. Rantai yang sama seperti rantai Angel Mirror yang mencekiknya. Semua ber...
20.4K 2.8K 24
Irina Eärwen adalah pembunuh bayaran dan ahli pedang yang berjiwa bebas. Hari-harinya diisi dengan berlatih bersama Sean, teman sehidup sematinya di...
1.7K 399 17
Malam itu Tristan membulatkan tekad untuk mengakhiri hidupnya. Dia lelah, dan tak ada yang mengerti kegelisahannya. Kakinya sudah berada di tepi gedu...
272K 32K 48
VERSI LENGKAP BISA DIBELI DI GOOGLE BOOK/PLAY Lan Hua, seorang putri dari Kerajaan Yuan Ming terkenal karena kebodohannya. Namun, tidak banyak yang t...