Private Secretary

By knight_lady27

1M 28.7K 1.2K

Michelle Kane adalah seorang sekretaris berkualifikasi di pagi hari dan seorang penari telanjang di malamnya... More

Synopsis
Chapter 1 : The Virgin Stripper
Chapter 2 : The Agreement
Chapter 3 : Hopeless
Chapter 4 : Mess Up
Chapter 5 : Broken
Chapter 6 : Topless
Chapter 7 : Misunderstand
Chapter 9 : Not Yours
Chapter 10 : A Fool, a Liar
Chapter 11 : The One Who Stays
Chapter 12 : Personally Grinded
Chapter 13 : Cinderella

Chapter 8 : Trapped

61K 2K 78
By knight_lady27

Private Secretary

Terdengar suara ketukan di pintu.

"Masuk." ucapku sambil terus memusatkan perhatianku pada dokumen-dokumen yang harus kupelajari.

"Hello, Kane." Aku mengenali suara itu. Aku mengangkat pandanganku dari dokumen-dokumen ini dan melihat ke arah Albert.

"Ow, Albert. Hey." sapaku. Walaupun ia telah mematahkan hatiku tanpa sadar tapi, aku tahu hal yang terbaik yang dapat kulakukan adalah membuatnya bahagia.

"Sudah jam 12, dan semua staff tempat kau bekerja dulu sedang makan siang. Jadi, apakah kau mau bergabung?"

Suara-suara aneh kembali terdengar dari kantor Shane. "Suara apa itu?" tanya Albert dengan dahi yang mengerut bingung. Walaupun aku begitu membenci Shane Weston, tapi aku tidak akan membongkar rahasia kotor nya hanya untuk membalaskan dendam.

"Tidak ada. Ayo, aku sudah lapar." ucapku dengan nada aneh. Aku segera beranjak dari tempat duduk, mendorong Albert dan menjauhi kantor Shane.

Ketika kurasa kita sudah berada di jarak yang aman, aku berhenti mendorong Albert. Aku memilih untuk berjalan di sampingnya sebagai teman.

"Jadi, bagaimana kabarmu?" tanyaku membuka percakapan.

"Sangat baik. Dan kurasa, aku harus berterima kasih padamu, Kane. Aku dan Tammy akhirnya bisa berlapang dada menerima kehadiran bayi kami." Aku mengulaskan seulas senyum simpul padanya, mencoba untuk menghapus pedih yang kurasakan.

"Itu sangat hebat. Selamat untuk mu." ucapku dengan nada senang meski sebenarnya, jauh di dalam ku, aku patah hati.

Albert memberikanku seulas senyum lebar yang menunjukkan ia senang. Ia menekan tombol elevator. Dan elevator itu terbuka, menampilkan Vincent Weston dan seorang wanita berambut coklat berdiri di sampingnya. Wanita itu berbalut pakaian berkelas yang kuyakini harganya mahal. Dan lagi, wanita itu terlihat begitu muda, ia terlihat seperti seorang remaja yang berusia tidak lebih dari 18 tahun.

"Baiklah, aku harus pergi. Sampai jumpa." Wanita itu mengucapkan selamat tinggal pada Vincent dan melangkah keluar melalui elevator. Berpapasan dengan kami, wanita itu mengulaskan seulas senyum tipis pada ku, yang kembali kubalas dengan hal yang sama.

Namun, hanya ada satu hal yang bermain di otakku kini. Apakah ia salah satu wanita simpanan Shane, sama halnya dengan wanita-wanita tadi?

Tapi, ia tidak angkuh ataupun sombong seperti wanita-wanita tadi. Malah, ia tersenyum padaku. Dan lagi, ia terlihat begitu muda.

Shane brengsek, bagaimana ia bisa memiliki seorang simpanan yang masih di bawah umur?! nilaiku dalam hati.

"Hey, Kane. Apakah kau akan berdiri terus di sana dan membuat kita menunggu di sini sampai mati?" tanya Albert yang ternyata sudah berada di elevator dari tadi.

"Oh, maaf." Aku segera melangkah masuk ke dalam elevator. Aku menundukkan kepalaku sejenak dan menyapa Vincent

Sebuah keheningan yang tidak menyenangkan menyerang suasana di lift. "Hey, tebak apa yang Shelby pesan untuk makan siang hari ini?" ujar Albert padaku.

"Margarita?" tanyaku dengan mata berbinar-binar.

"Hmm..." jawab Albert sambil menganggukkan kepalanya.

"Yeay, margarita...." seruku antusias sambil melompat kegirangan dengan heels sialan ku dan sekali lagi hampir terjatuh jika tidak ditolong oleh Vincent Weston.

"Oh, maafkan aku." ucapku sambil menunduk malu dan menegakkan tubuhku.

Ia tersenyum. "Aku tidak akan keberatan jika aku dapat memeluk tubuhmu berkali-kali, nona Kane."

Aku dapat merasakan wajahku memanas dan merona. Aku terus berdiri dan menundukkan kepalaku. Akhirnya, pintu lift pun terbuka. Aku segera menggapai tangan Albert dan keluar dari elevator.

Aku berlari-lari kecil untuk keluar. Di sudut cafeteria, terlihat Malcolm, salah satu rekan kerjaku dulu, melambaikan tangannya pada kami memberitahu dimana meja kami. Aku dan Albert melangkah kesana.

"Hey, Michy!" ujar Malcolm padaku dengan senang.

"Hey, Mally!" balasku dengan nama panggilannya dengan antusias juga.

"Shelby!" sapaku pada Shelby.

"Hey!" balasnya sambil tersenyum lebar. Aku menyapa semua rekan kerja ku ketika aku berada di divisi sekretariat, yang berjumlah tujuh orang bersamaku. Rory, Terry, Tommy dan Darryl.

Aku duduk di salah satu kursi dan berhadapan dengan 3 kotak pizza margarita yang tentunya, lezat sekali. Surga.

Aku akan berbohong jika aku mengatakan aku bersikap tenang di depan pizza-pizza ini karena faktanya, aku begitu menyukai margarita.

"Jadi, apa kabarmu nona sekretaris pribadi?" tanya Tommy dengan nada bercanda yang langsung disambut oleh tawa kecil setiap orang di meja ini. Terkecuali untukku.

Karena, Shane baru saja memanggilku nona sekretaris pagi ini, dan hal itu membuat memori tadi pagi kembali berputar di otakku.

"Michelle? Michelle?" Shelby yang duduk di samping ku, mengguncang bahuku, membawaku kembali ke realita.

"Ya?" ujarku secara refleks.

"Oh, ayolah nona sekretaris pribadi, santailah." ucapnya sambil tertawa kecil.

Aku tersenyum pahit. Mencoba mengabaikan panggilan 'Nona Sekretaris' nya padaku. "Okay..." ucapku tersenyum simpul sambil melemaskan bahuku yang tegang.

"Baiklah, makan siang dimulai." ucap Rory dengan senang. Ia membuka kotak pizza yang langsung menampilkan seloyang pizza yang begitu menggoda untukku. Darryl mengambil potongan pertama pizza tersebut dengan segera.

"Darryl." ujar Shelby pada Darryl dengan alis mata yang bertaut.

"Apa?" balas Darryl dengan memasang ekspressi wajah yang tidak berdosa pada nya. Terry memutarkan bola matanya ketika melihat kedua nya. Aku memutuskan mengambil sepotong pizza dan mengabaikan pertengkaran keduanya.

Tommy yang duduk di sampingku pun mulai membuka pembicaraan denganku. Ia menceritakan lelucon yang begitu lucu sehingga membuat tawaku tidak dapat tertahan dan akhirnya meledak.

"Boleh aku duduk disini, tuan-tuan?" Secara spontan, pembicaraan kami langsung terhenti mendengar suara itu. Semua wajah langsung berpaling ke sosok yang sedang berdiri di belakang kursi tempat ku duduk.

Rahang ku langsung jatuh ke tanah. Vincent Weston.

"Tentu!" pekik Shelby dengan nada yang begitu nyaring tanpa basa-basi.

Tommy, Rory, Darryl, Terry, Albert dan aku sendiri, langsung berpaling ke arah Shelby. Ia menaikkan kedua alis mata nya dan mengirimkan pesan 'Apa ada yang salah?', ketika menyadari tatapan kami.

Maksudku, tidak setiap harinya seorang Weston akan datang ke arah kami, karyawan dari divisi rendah, lalu mengajak kami untuk makan siang bersama.

Karena apa?

Karena itu, sangatlah...

Aneh

"Kau tahu, itu tidak masalah jika kalian keberatan." ujar Vincent.

"Ah, itu adalah kesenangan untuk kami untuk dapat duduk dan makan siang bersama anda, Mr. Weston. Jadi, duduklah, Mr. Weston." respon Rory dengan professional.

Vincent memberikan senyuman puas kepada Rory lalu, duduk di antara diriku dan Shelby. "Oh, dan panggil aku Vincent pada saat-saat seperti ini." ujar Vincent sambil tersenyum ramah.

Aku mencuri sedikit pandanganku pada Shelby dan menemukannya sedang berbicara dengan Vincent. Aku mengambil sepotong pizza lagi dan meletakkannya di piringku. Shelby sialan, kenapa ia harus mengatakan 'Tentu' pada pertama kalinya?!

"Michelle?" suara Vincent mengagetkanku dari lamunanku.

"Ya?" jawabku secara spontan. Aku menatapnya dan menyadari Ia tersenyum menanggapiku.

"Bukankah kau menyukai margarita, Michelle?"

"Ya, aku sangat menyukainya." jawabku dengan jujur.

"Lalu, kenapa kau tidak memakannya?" Ia menunjuk ke arah piringku. Tatapanku berpindah ke arah piringku. Menyadari bahwa masih ada sepotong pizza margarita yang kuambil lagi tadi, belum tersentuh.

"Oh, aku tidak menyadari itu." balasku sambil tertawa gugup. Aku segera menggapai pizza itu dan memasukkannya ke mulutku. Surga.

"Vincent?" Terry memanggil Vincent dengan benih kekakuan yang tersimpan dalam nadanya. Vincent pun menaikkan tatapannya.

"Ya?" respon Vincent dengan santai tanpa kekakuan sedikit pun di nadanya.

"Apakah ini adalah hari terakhir pengumpulan naskah Times?" tanya Terry dengan hati-hati. Vincent menaikkan kedua alis matanya. Ia tersenyum lebar.

"Bukan, hari ini bukanlah hari terakhir pengumpulan naskah Times, Terry." jawab Vincent dengan santai. "Dan tenanglah, aku duduk dan makan siang dengan kalian disini bukan untuk memecat kalian ataupun menyelimuti kalian dengan suasana dingin dan mencekam ini." lanjut Vincent sambil tertawa kecil.

"Aku di sini untuk makan siang dan berteman dengan pegawaiku. Apakah aku salah?" tanya Vincent lagi dengan santai.

Kelegaan langsung menyinari matanya. "Tentu tidak, Vincent." ucap Terry dengan senang.

Aku bernafas lega ketika menyadari tidak ada lagi atmosphere mencekam yang menyelimuti dari tadi. Kini, hal itu berubah menjadi hangat. Vincent menceritakan leluconnya pada kami dan membuat kami tertawa.

Kami berbincang-bincang layaknya teman tanpa sedikit pun keseganan di meja ini.

"Viny!" suara nyaring seorang wanita mencapai pendengaran kami. Vincent berbalik dan tersedak. Ia segera meminum air untuk membantu dirinya sendiri.

Aku ikut berbalik dan melihat wanita yang berdiri di elevator tadi sedang menatap ke arah kami. Ia berdiri dengan seorang figur yang tidak ingin kulihat. Shane.

Aku menelan ludah dengan tegang. Yang lainnya terlihat sedang menahan tawanya ketika wanita itu memanggil Vincent dengan panggilan 'Viny' lagi.

Wanita itu merangkul tangan Shane dan menuju ke arah kami. Kini, ia sudah berdiri di belakang Vincent yang memiliki wajah merah padam. "Viny?" panggil wanita itu lagi.

"Kenapa kau tidak menjawabku?" Ia menepuk bahu Vincent.

"Oh, hi Caitlyn." ujar Vincent.

"Bolehkah aku dan Shaney bergabung?" pertanyaan wanita yang dipanggil Caitlyn oleh Vincent tadi, sukses membuatku tersedak pada air yang kuminum. Shaney? Betapa konyolnya itu?

"Hey." Vincent menepuk lembut punggungku.

Aku mengambil nafas dalam untuk menstabilkan diriku. Aku memalingkan kepalaku secara sembunyi kepada Caitlyn dan Shane lagi. Terlihat Shane juga memiliki wajah merah padam akibat rasa malu yang ditebarkan oleh Caitlyn padanya.

"Jadi? Apakah aku dan Shaney boleh duduk disini?" tanya Caitllyn lagi.

"Tentu." ucap Tommy dengan ramah. Caitlyn terlihat senang pada apa yang dikatakan oleh Tommy dan langsung duduk di antara Tommy dan aku. Shane masih berdiri dan tidak tahu apa yang dilakukan olehnya.

"Duduklah, Shaney." ujar Caitlyn sambil menepuk kursi yang ada di antara ku dan dirinya. Hebat sekali. Shane sekarang telah duduk di sampingku.

Aku dapat menghirup aroma samar dari parfum wanita yang bercampur-campur dari tubuh Shane. "Jadi, ini adalah adikku Caitlyn dan Shane." ucap Vincent memperkenalkan kedua orang ini.

Caitlyn memberikan seulas senyum lebar. "Hi." ucapnya pada semua orang.

-

Aku menarik nafas panjang. Semua hal terlihat mudah untuk Caitlyn. Ia dengan mudahnya berkenalan dan bersosialisasi kepada semua orang. Jam makan siang sudah lewat beberapa menit yang lalu, tapi karena Caitlyn lah yang mengomando topik kami, tidak ada seorang pun petinggi atau manajer yang berani menegur kami meski semuanya tertawa terbahak-bahak.

Hal sebaliknya terjadi pada Shane dan Vincent, kedua saudara itu memakan sepotong pizza dalam keheningan yang mencekam. Dan terlebih lagi, aku duduk di antara mereka.

Ruang gerak yang terbatas, aku hanya bisa menundukkan kepalaku dan memakan pizza dingin yang ada di piring ku sejak tadi dalam diam.

"Hey, apakah nama mu Michelle Kane?" tanya Caitlyn pada ku.

"Ya, aku Michelle." jawabku dengan senyuman ramah.

"Dan kau tinggal bersama Shane bukan?" ujar Caitlyn dengan bersemangat. Mataku melebar mendengar pertanyaan itu. Tidak seorangpun yang tahu jelas kenapa aku, Michelle Kane, sekretaris pribadi Mr. Shane Weston, harus tinggal bersama Shane Weston.

Selimut keheningan kembali menyeruak. Semua orang menatapku dengan ketidakpercayaan di mata mereka. Aku membuka mulutku meski aku tidak tahu aku harus menjawab pertanyaan ini dengan jawaban apa.

"Ya?" jawabanku terdengar lebih seperti pertanyaan.

Caitlyn diam. Membuatku langsung mengatupkan bibirku. "Yeay! Berarti kita bisa menghabiskan waktu lebih lama di akhir pekan." responnya dengan girang.

Aku mengerjapkan mataku. Tidak tahu harus mengatakan apa. "Sayangnya Caitlyn, Michelle memiliki janji denganku di akhir pekan." jawab Vincent dari belakangku dan melingkarkan lengannya di pinggangku.

Caitlyn menatap kami dengan bingung. Dan aku dapat merasakan tatapan yang sama dari semua orang pada kami.

"Apakah kalian akan berkencan?" tanya Shane yang dengan tiba-tiba membuka suara. Hebat sekali. Shane telah sukses menyulut api pada suasana ini.

"Apa? Ti--"

"Yup. Kami hanya akan mengunjungi Allentown pada akhir pekan nanti." potobg Vincent dengan cepat.

"Berdua?" tanya Caitlyn dengan polos. Dan untuk sekali lagi, aku kehilangan kata untuk menjawab.

"Ya." jawab Vincent dengan percaya diri. Dapat kurasakan wajahku merona.

"Kebetulan aku mempunyai bisnis di Allentown pada akhir pekan." ujar Shane dengan tenang. Aku menatap Shane dan mengingat-ingat jadwal bisnis Shane.

"Tapi, bukankah bisnis di akhir pekan berlokas---?" Mulutku langsung terkatup diam ketika Shane meremas pahaku yang terlapisi oleh rok panjang yang sampai di bawah lututku, tanpa diketahui oleh seorang pun.

"Proyekku ada di Allentown." lanjut Shane dengan tenang.

"Allentown? Kalau begitu, boleh aku ikut?" tanya Caitlyn.

Aku tertawa gugup. Menimbang-nimbang kemungkinan yang akan terjadi. Aku bisa menjadi Caitlyn sebagai tameng di antara Vincent dan Shane. Terlebih lagi setelah deklarasi konyol Vincent.

"Tentu, kau harus ikut." jawabku dengan cepat. Sangat harus.

Caitlyn tersenyum lebar padaku.

"Baiklah, waktu mu telah habis, Nona Kane. Waktunya bekerja." Shane berdiri dan merangkul tanganku. Memaksakanku untuk berdiri dari tempat dudukku.

"Hey!" ujar Vincent memberontak, seakaan aku benar-benar adalah kekasihnya. Shane tidak menghiraukannya dan terus menyeretku pergi.

"Shaney!" ujar Caitlyn.

"Ini adalah waktu ku bekerja, Caitlyn. Sampai jumpa." ucap Shane dengan getir. Aku mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang secara terburu-buru dan akhirnya menyerah pada Shane. Ia menyeretku masuk ke elevator.

-

-

Shane telah kembali pada mood jeleknya. Aku tidak mengerti kenapa moodnya begitu jelek hari ini. Apakah karena kejadian tadi pagi? Tapi, bukankah ia yang memulainya?

Tapi, aku dengan tololnya menerimanya tanpa pemberontakan. Bukankah begitu?

Ia kembali ke kantornya tanpa melepaskan genggamannya padaku. Aku memberontak dan akhirnya genggamannya padaku terlepas.

"Apa maksudnya, kau akan pergi ke Allentown?" tanyaku dengan tajam. Ia diam dan tidak menjawabku. Membuatku kesal.

"Hey! Aku tahu kau sedang marah tapi setidaknya jawab aku." Ia menaikkan pandangannya dari kopi hitam yang ada di mejanya.

"Ini sudah dingin, buatkan aku kopi yang baru." Ia meletakkan kopi tersebut di meja.

"Oh, jadi inilah tugasku sebagai sekretarismu? Membuatkanmu kopi setiap hari?!" responku dengan sinis. Ia tidak menjawabku. Ia hanya duduk di depan layar monitor komputer dan mulai mengetik sesuatu yang tidak kuketahui.

"Tn. Weston." panggilku lagi.

"Aku akan pergi ke Allentown untuk menjalankan urusanku di sana. Akhir dari pembicaraan." balasnya dengan tegas.

Aku mengatupkan bibirku. Tidak dapat menjawab nya. Aku mengambil cangkir kopi yang berisi kopi dingin tadi, menghentakkan kakiku dengan keras dan bermaksud untuk keluar dari kantornya. Namun, gerakanku tertahan ketika seseorang melingkarkan tangannya di pinggangku.

"Katakan padaku nona Kane, apakah perintahku tidak cukup jelas untuk mu sehingga kau tetap mendekati Vincent?" Shane berbisik di belakang daun telingaku. Tubuhku menggigil akibat kehangatan yang ia pancarkan dari tubuhnya.

"Dan kenapa aku harus mengikuti aturanmu dalam menjalani kehidupan sosialku?" balasku dengan tajam.

"Karena selama aku masih di sini, kau adalah milikku, Michelle Kane. Dan aku tidak membagi wanitaku."

Kalimatnya membuat wajahku memucat. Aku tercengang. Ia melepaskanku. Aku segera beranjak pergi dari ruangan Shane.

-

Aku sampai di dapur kantor dengan nafas yang tersengal-sengal. Wajar saja, karena aku berlari-lari kecil untuk mencapai dapur kantor. Aku tidak dapat menjelaskan perasaan yang ada padaku sekarang. Aku merasa takut, senang, marah, tapi juga malu.

Aku tahu, aku aneh.

Tapi itulah yang terjadi padaku. aku meletakkan kopi itu di meja dapur. Menatap ke isi cangkir. Shane idiot. Kenapa ia menyuruhku membuatkan segelas kopi untuknya jika hanya untuk dibuang.

Merasa sayang, aku meminum kopi yang belum tersentuh itu. Pahit, manis dan dingin. Tepat sekali untuk mendeskripsikan sifat Shane sekarang.

A.N : Long time no see everyone, I know, I know, I'm sorry very very sorry. In my defense, I was having writer's block and I'm actually editing this chapter in the middle of the night. And, sukriya (I don't know how to spell it) for you endless cheering for me. It really helps me to defeat my laziness, thank you.

Loves, Hugs, Kisses

Continue Reading

You'll Also Like

5.2M 280K 55
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
471K 44.8K 28
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
346K 30.9K 31
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...
991K 13.7K 34
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...