“Ternyata Om dulunya atlet Bulutangkis, ya?” tebak Malik sambil menyentuh salah satu piagam emas yang terpajang di dinding ruang tamu. Di sebelahnya terdapat foto pria muda yang usianya sekitar belasan tahun sedang berdiri di podium juara dengan piagam emas di genggamannya.
Om Darwin mendekat. “Bukan atlet, cuma hobi main aja,” katanya menjelaskan. “Ini waktu Om ikut kejuaraan Bulutangkis antar provinsi. Kebetulan Om juara satu waktu itu.” Om Darwin menunjuk foto di hadapan Malik.
“Hebat,” puji Malik. “Saya juga suka main Bulutangkis, tapi nggak sejago Om.”
“Kalau begitu, lain kali kita main bareng, ya?” ajak Om Darwin sambil tersenyum.
“Dengan senang hati, Om. Tapi, mainnya nanti jangan terlalu serius, ya. Biar saya nggak cepat kalah.”
Om Darwin tertawa, kali ini benar-benar terbahak akibat kata-kata Malik. “Kamu bisa aja. Om sudah berumur, staminanya sudah nggak seprima dulu. Bisa-bisa Om yang kalah kalau tanding sama kamu.”
Malik ikut tertawa di sebelah Om Darwin. Mereka saling bercengkerama akrab satu sama lain.
Di sudut lain, Dara memperhatikan keakraban antara Malik dan Ayahnya dengan perasaan aneh. Entah pesona macam apa yang ada dalam diri Malik hingga dengan mudahnya cowok itu menarik hati Ayahnya yang terbilang selektif pada setiap orang.
Kemarin Bunda, sekarang Ayah. Tuh cowok pake pelat apa, sih, sampe bisa bikin Ayah sama Bunda suka sama dia?
Om Darwin pamit pada Malik untuk mengangkat panggilan yang baru saja masuk ke handphone-nya. Malik mengangguk santun. Kemudian ia beralih melihat foto-foto lain yang terpajang di dinding ruang tamu, serta beberapa di pajang di bilik-bilik lemari kayu di dekatnya.
Sebuah frame yang terpajang manis di salah satu bilik kayu itu menarik perhatiannya. Malik meraihnya, lalu menatap lekat-lekat gadis cilik yang tampak di sana. Gadis cilik itu mengenakan pakaian sarjana cilik, lengkap dengan toga mini dan gulungan kertas di genggamannya. Senyum itu, senyuman gadis cilik dalam foto itu terlihat berseri dan sangat manis. Dara rupanya sangat manis sejak kecil.
Malik berusaha membiasakan diri dengan perasaan yang selalu muncul ketika ia menemukan satu per satu kemiripan antara Dara dengan Manda. Manda juga pernah mengabadikan momen yang sama seperti dalam foto itu. Dengan senyum yang sama manisnya dengan Dara.
Hingga kemudian, Malik mulai berani mengambil kesimpulan mengapa ia begitu tertarik pada Dara. Karena cewek itu begitu mirip dengan adik manisnya. Adik yang sangat ia rindukan setiap saat.
Sebuah tangan mengambil alih frame itu dari tangannya. Malik menoleh, dan melihat Dara kini ada di sampingnya.
Dara meletakkan kembali frame itu ke tempat semula tanpa kata-kata.
“Lo waktu kecil manis juga, ya,” ucap Malik sambil tersenyum. “Sayang, udah gedenya malah jutek begini,” sindirnya kemudian.
Dara menoleh kerena tersinggung. “Sorry, gue manisnya pilih-pilih orang!”
“Kenapa gue nggak bisa jadi salah satunya?” tanya Malik to the point.
“Kenapa juga gue harus manis sama lo?” Dara malah bertanya balik. “Sorry, ya, gue bukan Tiara ataupun mantan-mantan lo yang sok kemanisan di depan lo itu!”
Malik memicingkan matanya. “Lo lagi cemburu?” tebaknya, curiga.
Dara berdecih cepat. “Kege-eran banget lo!”
“Terus, kenapa tiba-tiba bahas mantan-mantan gue?”
Dara mendadak risi dengan tatapan Malik saat ini yang terkesan sangat menyudutkannya. “Gue nggak suka sama lo, ngapain juga gue cemburu?” katanya sambil mengangkat dagu tinggi-tinggi.
Malik tersenyum semakin lebar melihat tingkah lucu Dara, yang justru membuat Dara semakin kesal dibuatnya.
“Lo nggak ada niat mau pulang?” tanya Dara dengan suara pelan. Ia menoleh sekilas ke arah belakang, takut kalau-kalau Bunda mendengar perkataannya barusan.
“Maksudnya, lo ngusir gue?” tebak Malik dengan suara keras.
Dara langsung membulatkan matanya sambil menoleh sekali lagi ke arah belakang dengan waspada. Bisa gawat kalau Bunda mendengar ucapan Malik barusan. Sudah pasti Bunda akan memarahinya karena mencoba mengusir tamu.
“Gue cuma tanya doang!” kata Dara memperingatkan.
Malik semakin gemas dengan tingkah lucu Dara. “Gue akan pulang sekarang, asal lo mau senyum manis ke gue,” katanya penuh senyum.
Dara mengerutkan keningnya. “Bodo amat lo mau pulang atau nggak!” Ia lalu berbalik pergi menjauh dari Malik.
Baru menjauh beberapa langkah, Dara menghadang langkah Bundanya yang baru muncul dari arah dapur.
“Bun, janji loh, malam minggu nanti Dara boleh pergi ke acara ulang tahunnya Niki.”
“Oh iya,” ucap Bunda seperti baru ingat sesuatu. Ia lalu menyingkirkan Dara dari hadapannya dan melangkah mendekati Malik. “Malik, kamu ada acara malam minggu ini? Kalo nggak ada, Tante minta kamu temani Dara ke acara ultah temannya. Gimana?”
Dara langsung menoleh. “Bunda!”
“Dengan senang hati, Tan,” sahut Malik.
“Bunda, Dara berangkatnya sama teman Dara.” Dara menghampiri dan berhenti di sebelah Bunda.
“Kebetulan, malam minggu nanti saya juga mau ke sana kok, Tan,” Malik menyahut cepat.
“Tuh, kan, kebetulan banget.” Bunda tampak antusias. Ia lalu berujar pada Dara. “Nanti kamu berangkat sama pulangnya bareng Malik aja, ya. Biar Bunda nggak khawatir.”
“Tapi, Bun. Dara udah janjian sama teman Bunda.”
“Udah, batalin aja. Kasihan teman kamu jauh-jauh jemput ke sini. Mending kamu berangkat bareng Malik aja. Kan searah.”
“Tapi, Bun—“
“Kamu pilih berangkat bareng Malik atau sama Ayah?” tawar Bunda.
Dara berdecak sebal. Dua-duanya bukan pilihan yang asyik. “Bunda nyebelin!” Ia lalu berlalu pergi menuju kamarnya.
Bunda geleng-geleng kepala melihat tingkah Dara. “Begitu tuh, tingkahnya kalo lagi ngambek. Masih aja seperti anak kecil.” Ia kembali menoleh pada Malik. “Tante titip Dara malam minggu nanti, ya.”
“Siap, Tante,” jawab Malik mantap.
--<><>--
“Ra, nanti ke acara ultah gue, lo jadi ajak Gino, kan?” tanya Niki sambil memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tasnya seusai jam pelajaran.
“Hm, lihat nanti, deh.”
Niki menghentikan kegiatannya, lalu menoleh sepenuhnya pada Dara. “Kenapa? Kalian lagi marahan?” tebaknya.
“Apa, sih? Nggak, kok. Gue sama Gino baik-baik aja,”
“Trus? Lo berangkat sama siapa?” tanya Niki lagi. “Jangan bilang lo nggak datang,” curiganya. “Jangan gitu dong, Ra. Masa di acara spesial gue, lo nggak datang, sih.” Niki menggoyang-goyangkan tangan Dara seperti anak kecil yang sedang merajuk.
“Iya, iya. Lo tenang aja. Gue pasti datang, kok,” ucap Dara meyakinkan, hingga membuat Niki melepaskan tangannya.
“Gitu, dong.” Niki tampak senang. Ia lalu berbalik dan berteriak pada Ethan yang masih duduk di kursinya. “Than, lo jadi datang sama Malik, kan?”
Sebuah nama yang disebutkan Niki barusan langsung menyita perhatian Dara.
“Lo nggak boleh datang kalo nggak sama Malik,” ancam Niki pada Ethan.
“Busyet, kejam banget,” keluh Ethan.
“Biarin,” sahut Niki cuek.
“Gue balik duluan, ya,” kata Dara sambil bangkit berdiri.
“Bye. Jangan lupa nanti malam, ya.”
Dara mengangguk sekenanya, kemudian berjalan ke luar kelas. Di luar, ia bertemu dengan Gino yang memang berniat menghampirinya di kelas.
“Nanti malam jadi, kan?” tanya Gino yang sudah berhenti tepat di hadapan Dara.
“Eh?” Dara kesulitan menjawab. Padahal, beberapa hari yang lalu ia sendiri yang meminta ditemani Gino ke acara ulang tahun Niki.
“Mau aku jemput jam berapa?”
“Sori, Dara berangkat bareng gue nanti malam.”
Suara seseorang dari balik punggung Dara membuat Dara dan Gino menoleh kompak. Malik yang baru saja bersuara, kini bergabung di tengah-tengah mereka.
“Nyokap lo udah nitipin lo sama gue. Jadi, gue harus pegang amanat itu baik-baik,” ujar Malik pada Dara, yang membuat dua orang di hadapannya mengerutkan kening.
“Kalo ngomong jangan sembarangan,” Gino tidak terima. “Apa-apaan maksudnya nyokap Dara udah nitipin Dara sama lo?”
Malik menoleh malas pada Gino. “Ceritanya panjang. Lo nggak akan ngerti.”
Gino berusaha menahan emosinya. Dari kata-kata Malik barusan, cowok itu mengisyaratkan seolah Gino sudah tertinggal jauh dari Malik untuk mendapatkan Dara. Apa Malik sudah bertemu dengan orangtua Dara? Secepat itu? Ia bertanya-tanya dalam hati.
“Udah, udah. Gue berangkat sendiri aja,” kata Dara menengahi.
“Nggak bisa,” kata Malik dan Gino bersamaan.
“Gue yang jemput lo.”
“Aku yang jemput kamu.”
Lagi-lagi dua cowok itu menyahut bersamaan, membuat Dara pusing sendiri.
TBC
Yaampun, enak banget ya jadi Dara, direbutin dua cogan. Wkwk. Tenang, tenang, kalian bebas bayangin diri sendiri yg jadi Dara dalam cerita ini.
Aku udah tentuin cast Gino yaitu Dylan Jordan. Ganteng ya. Makasih buat yg udah rekomen doi. Aku awalnya nggak kenal aktor yg satu ini. Baru aja kenalan beberapa menit yang lalu lewat om google, dan langsung kepincut sama daya tariknya. Pas banget buat peranin Gino. Setuju kan?
Btw, yang masih semangat mana nih suaranya? Apa cuma aku aja yang semangat sendirian? -_-
Bagi vomment-nya dong, biar aku merasakan kehadiran kalian.
Salam,
pitsansi