Invalidite [Completed]

By Faradisme

30M 2.5M 509K

(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) #1 in Romance, 10 Januari 2018 Dewa Pradipta adalah 'dewa' dari s... More

Invalidite | 1
Invalidite | 2
Invalidite | 4
Invalidite | 5
Invalidite | 6
Invalidite | 7
Invalidite | 8
Invalidite | 9
Intermède
Invalidite | 10
Intermède
Invalidite | 11
Invalidite | 12
Invalidite | 13
Invalidite | 14
Invalidite | 15
Invalidite | 16
Invalidite | 17
Invalidite | 18
Invalidite | 19
Invalidite | 20
Invalidite | 21
Intermède
Invalidite | 22
Invalidite | 23
Invalidite | 24
Invalidite | 25
Invalidite | 26
Invalidite | 27
Invalidite | 28
Invalidite | 29
Invalidite | 30
Invalidite | 31
Invalidite | 32
Invalidite | 33
Invalidite | 34
Invalidite | 35
Invalidite | 36
Invalidite | 37
Intermède
Invalidite | 38
Invalidite | 39
Invalidite | 39 (Repost)
Invalidite | 40
Invalidite | 41
Invalidite | 42
Invalidite | 43
Invalidite | 44
Intermède
Invalidite | 45
Invalidite | 46
Invalidite | 47
Invalidite | 48
Invalidite | 49
Invalidite | 50
Invalidite | 51
Invalidite | 52
Invalidite | 53
Intermède (PENTING)
Invalidite | 54
Intermède
Invalidite | 55
Intermède : INFO PENERBITAN & VOTE COVER
PO NOVEL INVALIDITE SUDAH DIBUKA!
KENAPA MAU-MAUNYA BELI INVALIDITE?
INVALIDITE : DIFILMKAN
INVALIDITE SEGERA TAYANG

Invalidite | 3

683K 45.8K 4.6K
By Faradisme

Oh please, don't pretend like you actually care.

- Dewa Pradipta -

Rupanya Dewa tidak cukup sabar untuk terus mendengarkan Pak Brata bicara.

Setelah dengan sengaja membanting keras pintu ruangan, kini ia berjalan di lorong seperti siap menghabisi seseorang.

Berani sekali orang tua itu memerintahnya. Dia hanyalah rektor, dan Dewa adalah keturunan Pradipta aka. Pemilik kampus. Tidak perlu ditanya siapa yang harusnya memerintah siapa bukan?

Langkahnya terhenti karena gerombolan mahasiswa keluar dari kelas dan memenuhi jalan. Ia yakin tampilannya cukup menakuti untuk orang-orang itu menepi. Belum lagi ia melangkah, ranselnya ditarik keras dari belakang.

"Kamu mau kemana?"

Jika dihitung dalam skala satu sampai sepuluh, jarum kemarahan Dewa sekarang menunjuk nomor lima. "Lepas."

Pelita, yang sudah susah payah mengejar Dewa tentu semakin mengeratkan pegangan. "Tadi itu Pak Brata belum selesai ngomong. Jangan main pergi gitu aja. Gak sopan tau sama orang tua. Kamu nanti tua emang mau di kurang ajarin gitu?"

Jarumnya menunjuk nomor enam. "Lo gak perlu ngatur gue. Dipikir lo siapa?"

Dewa menepis tarikan cewek itu.Bisa mereka rasakan pandangan dari beberapa mahasiswa yang penasaran. Dewa pun melancarkan tatapan tajamnya pada sekumpulan mahasiswa yang baru selesai memakai laboratorium di lantai itu.

"Liat apa?! Cabut!"

Tidak perlu diteriaki dua kali pun mereka sudah mengambil langkah pergi.

"Bisa gak itu ngomongnya jangan kenceng-kenceng. Nanti urat lehernya putus lho. Kalo mati disini siapa yang repot?"

Jarumnya bergeser lagi ke nomor tujuh. Dewa tidak bisa menahan untuk melotot. "Lo nyoba nguji kesabaran gue?"

Pelita menggeleng. "Bukan kesabaran. Aku disuruh nguji kepandaian kamu. Pake bimbingan. Lagian, heran deh kenapa hobi banget gak masuk kelas."

Dewa menggertakkan gigi namun Pelita masih melanjutkan.

"Tunggu," Pelita mengapit satu tongkatnya dan membaca kertas yang tadi Pak Brata berikan. "Nama kamu Dewa Pradipta?" Pelita mendongak, mengapit kertas dan tersenyum manis seraya menjulurkan tangannya. "Aku Pelita,"

Dewa memandang tangan itu serta pemiliknya bergantian. Menepis jabat tangan menjauh, ia kemudian maju selangkah mendekat hingga bisa mencium aroma bedak bayi dari sosok di depannya. "Gue gak peduli nama lo siapa."

Pelita mendorong bahu Dewa. "Aku kan pembimbing kamu. Sebelum mulai harus saling kenal dulu. Setelah itu baru kita bicarain waktu dan tempat yang tepat,-"

Dewa mendengus. Untuk apa ia melakukannya? "Gue gak mau tolol!."

Seakan tidak terpengaruh, Pelita justru menampilkan ekspresi bingung. "Kenapa? Tadi kamu dengar sendiri kan Pak Brata bilang kalo -,"

"Denger, sebaiknya lo pergi dari hadapan gue. Gue kasih kesempatan mundur dan lupain apa yang orang tua itu bilang. Karena gue gak akan pernah ngelakuin apa yang dia minta."

"Kenapa gak mau?"

"Itu bukan urusan lo!"

"Karena aku yang ditunjuk jadi pembimbing, aku berhak tau."

"Bukan gue yang minta itu. Bisa gak lo kembali ke alam lo dan gak usah recokin gue!"

Pelita menyipitkan matanya penuh selidik. Lalu menunjuk Dewa sembari terkekeh. "Kamu pasti takut ketauan begonya kan? Ya kann? Gak papa kok. Semua orang itu memang perlu waktu buat belajar. Gak bisa langsung pinter dulu. Tapi gak ada yang bodoh juga, yang ada itu malas."

Sudah berada dimana tadi jarum kemarahannya? oh iya, Delapan.

Dewa tidak datang hari ini untuk diceramahi cewek kuno bertongkat ini. Ia menunduk untuk mensejajarkan wajahnya. "Terserah. Jangan pernah muncul di hadapan gue lagi, atau hidup lo di kampus ini tamat."

Dewa menendang salah satu tongkat Pelita hingga cewek itu oleng. Untung Pelita masih bisa menjaga keseimbangannya. Ia lalu berlalu pergi. Mengabaikan panggilan namanya di sepanjang koridor.

Tidak ada yang bisa mengatur Dewa, baik itu rektor sialan sekalipun.

***

Bukan hal yang mengejutkan jika kedatangan seorang Dewa Pradipta selalu diikuti aura menakutkan di belakangnya.

Jadi wajar saja jika sekarang Gerka masih setia memainkan PS nya tanpa mempedulikan bahwa Dewa sedang menghancurkan beberapa barang di studio mereka.

"BANGSAT!" Dewa membalik meja berisi komputer berlogo buah hingga jatuh berserakan di lantai. "Setelah selama ini gak ada yang peduli gue ngapain, kenapa sekarang jadi pada ribut ngatur!"

"Rendi bisa ngamuk kalo tau komputernya lo ancurin kek gitu," seru Gerka tanpa mengalihkan pandangannya dari TV. "Gak bisa gitu lo ngamuk di luar aja."

Dewa menginjak pecahan barang dan membanting dirinya di sofa besar. Kegusarannya mungkin tercium ke tempat Gerka duduk. "Seno?" tanyanya menyebutkan nama musuh terbesar Dewa.

"Kakek gue," Dewa mendengus. "Lo pikir aja gue disuruh ikut bimbingan. Dikira anak SD. Udah lewat masanya, dia baru aja nyadar punya cucu."

Gerka terkekeh. "Lo emang perlu dibimbing ke jalan yang benar, Wa."

Sebuah bantal melayang tepat ke arah belakang kepala Gerka. Membuat cowok itu tergelak dan melepaskan konsol PS kemudian berbalik, meneliti sahabat pemarahnya.

"Yaudah sih ya gak usah diturutin kalo lo gak mau. Gampang, kan."

"Ya jelas lah!" Sahut Dewa meninggi. "Punya hak apa dia?"

"Sebenernya gue juga heran, ngapain lo di kampus kalo masuk kelas aja gak pernah? Ngajak ribut orang mulu yang ada."

"Karena gue harus ngejaga apa yang harusnya jadi milik gue."

Jika sudah berbicara seserius itu, Gerka hanya akan menutup mulutnya dan tidak lagi menyela. Pasalnya, Dewa sangat sensitif jika sudah berhubungan dengan keluarga, terutama kakeknya itu.

Pintu studio terbuka, diiringi dengan umpatan nyaring memekakkan telinga.

"KOMPUTER GUE, ANJING!"

Gerka menoleh sembari terkekeh sedangkan Dewa tak repot sedikitpun membuka matanya.

"Kerjaan anak setan ini lagi, nih." Rendi mendekat. Sudah kesekian kalinya Dewa melampiaskan emosinya dengan mengancurkan barang. Tidak masalah jika itu miliknya, tapi Dewa cenderung tidak peduli barang siapa yang ia hancurkan.

"Gue ganti ntar." Sahut Dewa bangkit dari posisinya. Lalu merebut sesuatu yang ia pesan sebelumnya dari tangan Rendi. "Gue duluan. Hari ini batalin semua pemotretan."

"Kan! Kebiasaan seenak jidat," Rendi berdecak dengan tangan di pinggang. "Mana bisa dibatalin coba. Gue udah manggil semua model. Lo pikir nyocokin jadwal segampang nyocokin celana dalam?"

Gerka membelalak. "Anjir. Lo nyocokin, Ren?"

Rendi menendang asal salah sayu bantal di lantai ke arah Gerka.

"Bisa aja," Dewa mengambil ransel dan rokok di atas meja. "Bilang gue yang nyuruh."

"Mau kemana lo bawa gituan?" Gerka menatap penuh tanya.

Dewa hanya mengangkat bahu lalu beranjak pergi meninggalkan kedua sahabatnya. Gerka memasang senyum lebar melihat kemalangan Rendi, sedangkan Rendi meratapi komputernya di atas lantai.

***

Dewa menaiki tangga, menyusuri koridor dan berhenti di depan pintu yang ia datangi tadi pagi.

Pintu yang terkunci, membuatnya menyelipkan rokok di bibir lalu merogoh kantong. Mulai mencongkel kunci dengan obeng yang ia bawa hingga bunyi klik membuat pintu terbuka.

Tidak banyak yang tau seberapa banyak kemarahan yang selama ini ia simpan untuk kakeknya. Sontak, pergerakan kecil seperti apapun dari orang tua itu mampu menyulut amarah yang memang sudah ada pada dirinya sejak lama.

Setelah apa yang terjadi, Kakeknya tentu sudah kehilangan hak akan hidup Dewa.

Lalu, sekarang ia tiba-tiba berlagak seolah malaikat dengan memperhatikan pendidikannya?

Dewa membuka tutup dirigen dan menumpahkan bensin ke atas meja jati yang penuh tumpukan kertas. Meleparkan dirigen kosong ke samping dan mundur perlahan. Seketika saja aroma khas bahan bakar itu menguar di udara.

Kakeknya tentu salah jika berpikir bahwa Dewa akan menurut begitu saja. Dewa menghisap dalam rokoknya kemudian melemparkan puntung rokok itu ke atas meja.

Langsung saja percikan itu menyulut kobaran api membumbung tinggi. Membakar semua kertas disana dan semakin besar saat lidah api menyelimuti seluruh meja.

Dewa memiliki hidupnya. Ia tidak menerima orang lain turut mencampuri.

Lagipula, tidak ada yang berani memerintah Dewa, bukan?

***

Ini gak boleh ditiru ya. Jangan. 😅

Faradita
Penulis Amatir

Continue Reading

You'll Also Like

Saudade By Aci

Teen Fiction

24.8M 1.8M 72
cover by trooyesivan Tiba-tiba saja aku teringat akan kamu. Teringat akan semua kenangan tentang kamu. Tentang apa yang pernah kamu lakukan pad...
27.3M 1.7M 65
Sudah Difilmkan, 12 Juli 2018 💝 #1 Fiksi Remaja - 3 Januari 2016, 7 Februari 2016 "Raja marah?" meski seratus persen yakin dengan jawaban cowok itu...
2.9M 29K 28
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
3.5K 297 44
PROSES REVISI "Entah ini hanya sekedar rasa suka atau bahkan cinta, keduanya nggak harus memiliki alasan." - Devaniel Marvien. "Lo itu playboy. Den...