Petrichor [END]

By evi_ratna89

80K 4.9K 76

(Sudah Terbit cetak maupun Google Books) Tidak mudah untuk menjadi kekasih dari seorang laki - laki yang hidu... More

Masquarade Mask
Secret Love
Time Will Tell What's Hiding behind The Stone
I Meet Him
Letting Go and Moving On
That's Really Matter for Me
Rain Is A Love That Sky Sends To Earth
Better to See You Smile
Hugging A Cactus
Hurt to Know that You're not Fighting to Keep Me
I'll Do Anything For You
There's No Turning Back
What's Left Unsaid Says it All
A Baggage Called Memories
Let Your Body Wet
Universe has Another Story For You
Terjebak Nostalgia
Silence usually answers
Walking in a Maze
Surprise Me, Again?
Aneurysm
What's Meant to be Happened, Just Be It
I Have Wronged You
I Should Know It in The First Place
I Choose You
The Invisible Red Thread
Marriage
Buat yang Mau Beli Buku

I Don't Wanna Lose You

2.1K 139 4
By evi_ratna89

"If you love somebody, let them go. For if they return, they were always yours. If they don't, they never were."
~Kahlil Gibran~

Anna.

Having my pack ready for a week work in Bali. Sekoper besar sudah aku siapkan di ruang tamu dan hanya tinggal menunggu Nathan menjemputku. Bali kali ini bukan lagi run away trip, tapi fully part of job. Proyek baru hotel di Bali memaksaku harus berada di sana sesuai titah Big Boss. Dan karena akan berpisah selama seminggu, Nathan memaksa untuk mengantar ke Bandara. Katanya, dia ingin charging battery sebelum dilepas seminggu. Aku sih cuma tertawa saja mendengarnya. Dia memang terkadang berlebihan, tetapi aku menyukai caranya menjadi pasanganku.

Pintu depan terbuka, dan Nathan sudah muncul dengan wajah bersih dan segar. Mungkin semalam dia tidak begadang lagi. Dia tersenyum padaku. Senyum itu selalu membuatku rindu.

"Sudah sarapan?" Tanyaku menyambutnya.

"Kenapa selalu masalah perut yang ditanyakan? Harusnya kan bilang kangen dulu. Cium dulu mungkin. Atau langsung peluk gitu." Nathan malah mengomel. Tapi aku tahu dia tidak marah.

"Oooh lagi pengen dipeluk yaa. Sini sayang." Aku membuka tanganku dan Nathan langsung tersenyum lebar. Dia menghampiriku dan langsung memelukku erat.

"Calon istriku pagi ini cantik sekali. Pasti bakal kangen banget ditinggal seminggu." Dia mencium keningku.

"Kangen ya? Ikut yuk ke Bali." Aku menggodanya. Nathan malah manyun.

"Nanti ya Ann kalau kerjaan udah selesai, aku susul kesana." Dia mengusap rambutku.

Aku mengangguk dan tersenyum pada Nathan. Berat rasanya untuk berangkat ke Bali, bukan karena aku akan berpisah dengan Nathan selama seminggu, tetapi tentang siapa yang akan aku temui di sana.

Hingga, Nathan mengecupku di depan terminal keberangkatan bandara, aku bahkan masih tidak sanggup mengatakan padanya bahwa aku akan bersama dengan Harrys selama seminggu di Bali. Aku tidak ada niatan apapun dengan pertemuan nanti. Hanya saja, aku tidak ingin menyakiti Nathan ataupun membuatnya khawatir denganku.

"I'll be fine." Bisikku padanya saat melihat raut wajah cemas Nathan setelah memelukku.

Nathan tersenyum tipis, namun ada kabut yang berusaha ia sembunyikan dengan senyum itu.

Aku melambaikan tangan padanya seraya tangan kiriku menarik koper besar. Mataku mulai berair dan aku tahu itu. Lalu, aku memutuskan untuk menggunakan kacamata ku. Seminggu ini, pasti akan berat dan aku tahu persis itu.

Nathan.

Melihat punggung Anna yang perlahan menghilang, rasanya lubang ini semakin menganga. Aku sendiri tidak tahu sejak kapan lubang ini mulai bersarang di hatiku. Yang aku tahu, mengetahui Anna pergi ke Bali selama seminggu, lubang ini semakin tidak bisa ku bendung.

Bahkan, saat sudah berada di dalam mobil, aku masih tidak juga menyalakan mesinnya. Lamunanku memaksaku untuk tetap berdiam diri di sini dan berpikir. Benarkah keputusanku ini? Pertanyaan itu terus bergaung di telingaku sejak beberapa minggu ini.

Harrys.

Berada di tengah – tengah obrolan para pengusaha besar tidak membuatku tertarik kali ini. Pikiranku terus melayang tentang apa yang akan aku lakukan nanti ketika bertemu Anna. Dari semua pertaruhan tentang kerjasama bisnis ini, pertemuan dengan Anna adalah pertaruhan terbesar. Jika sampai aku tidak bisa mengubah hubunganku dengannya itu berarti aku sudah kalah telak. Keuntungan yang tidak seberapa ini bisa membuatku terbunuh oleh Ayahku sendiri. Tetapi, demi bisa bersama Anna, aku bisa melakukan segala cara.

Sejak pertama kali bertemu dengan Anna lagi di hotel beberapa bulan lalu, aku telah kehilangan logika ku tentang bisnis. Karena bisa bersama Anna lagi akan menjadi keuntungan besar buatku yang tidak akan bisa digantikan dengan kerjasama bisnis manapun. Jadi, aku memilih untuk menghubungi CEO hotel dan mengajukan untuk berinvestasi pada pendirian hotel dan resort di Bali. Dan mungkin seperti kabar gembira bagi CEO itu sehingga ia siap untuk mengikuti permintaan dari perusahaanku, termasuk keinginan pribadiku untuk menjadikan Anna sebagai pihak yang harus terlibat langsung. Tanpa bertanya apapun, ia langsung mengiyakan permintaanku dan tentu saja itu adalah kabar gembira buatku. Anna yang pada awalnya menolak pun bahkan hanya bisa menurut pada akhirnya. Dan setelah beberapa bulan menunggu, akhirnya waktu itu tiba. Hari ini adalah Soft Opening Hotel yang aku tunggu. Anna akan datang dan dia akan mendampingiku karena CEO nya sedang ada acara penting di luar negeri. Tentu saja semua itu adalah bagian rencanaku yang tidak terbantahkan.

Hari sudah mulai sore, saat aku berdiri di balkon kamar. Langit bahkan sudah mulai memberi warna jingga pada warna putih. Jas hitam sudah tergantung di dekat tempat tidur beserta dasi dan juga kemeja putih. Marissa sudah meletakkannya di situ beberapa menit yang lalu. Dulu, Anna yang biasa menyiapkan segala sesuatu untukku bahkan ia yang selalu berkomentar jika aku mengenakan kemeja yang tidak pas. Ingatan tentang kebersamaanku dengan Anna masih terekam jelas di kepalaku, bahkan jika aku harus menjelaskan satu persatu, aku masih bisa melakukannya. Rekaman itu yang setiap hari menyakiti secara kontinyu. Bahkan, bukannya perlahan menghilang, semuanya malah semakin jelas teringat seiring dengan rindu yang semakin besar padanya.

Anna.

Aku meletakkan handphone di drawer setelah selesai menelepon Nathan. Jam tanganku menunjukkan pukul 5 sore. Sudah beberapa jam yang lalu, aku sampai di hotel ini. Pak Adi yang menjemputku tadi di Bandara sesuai permintaan dari Nathan. Ia menginginkan aku sampai dengan selamat sehingga ia mempercayakanku pada driver kepercayaannya di Bali. Saat aku sampai di Bandara, Pak Adi bahkan sudah duduk di ruang tunggu dan ketika melihatku, beliau langsung berdiri dan melambaikan tangan padaku. Aku tersenyum pada Pak Adi. Dia adalah salah satu pria baik yang pernah aku temui dalam hidupku selain Papa, Nathan, dan Ayah Mertua. Dengan sopan, beliau membantuku membawa koper dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.

"Hotel Ishtar ya Mbak?" tanya Pak Adi saat sudah di dalam mobil.

"Iya Pak. Nathan pasti sudah pesan banyak banget ke bapak." Ucapku sembari tersenyum. Aku terlalu tahu betapa cerewetnya calon suamiku itu jika berhubungan denganku.

Pak Adi malah tertawa. "Mas Nathan itu sangat sayang sama Mbak."

"Iya saya tahu Pak." Aku ikut tertawa.

"Jadi kapan acaranya Mbak?" Pak Adi sedang menanyakan kapan acara pernikahanku dengan Nathan digelar. Entah kapan Nathan sempat bercerita tentang pernikahan, padahal terakhir bertemu dengannya setahun yang lalu, aku dan Nathan masih berstatus dua orang yang dijodohkan.

"Masih beberapa bulan lagi Pak. Nanti Pak Adi datang ya sama Ibu." Jawabku.

"Iya Mbak. Mas Nathan juga sudah pesan begitu." Pak Adi melanjutkan menyetir mobil. Dan basa basi dengan Pak Adi selesai sudah. Aku mengambil tablet dan mulai mempelajari email yang baru saja dikirim asistenku yang sudah berada di sana sejak seminggu yang lalu untuk mengecek dan menyiapkan semua.

Sesampainya di hotel, asistenku langsung menyambutku di lobby dan mengajakku berjalan – jalan di sekitar hotel untuk menunjukkan spot – spot tertentu, terutama hall yang akan digunakan untuk acara nanti malam. Setelah memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, aku memilih untuk ke kamar.

"CEO nya sudah di presidential suite sejak semalam." Bisik asistenku sebelum aku meninggalkannya.

Saat itu juga hatiku seperti berhenti berdetak. Tanganku menggenggam erat handbag yang aku bawa dari tadi. Aku tahu persis siapa yang sedang ia maksud. Dan jika hari ini berpihak padaku, aku ingin dia segera mendapat telepon dari Makau dan terbang kesana, seperti yang sering ia lakukan dulu.

Aku duduk termangu di depan cermin. Ku tatap diriku yang sudah dipoles make up natural. Kulit wajahku yang sudah putih tidak perlu menggunakan polesan yang terlalu tebal. Aku hanya perlu menambah warna coklat pada alis, sapuan eyeshadow warna abu – abu pada ujung dalam kelopak dan warna hitam pada ujung luar mata, eyeliner hitam pada seputar mata dan mascara pada bulu mata, serta lipstick warna nude. Rambutku yang mulai panjang lagi hanya aku ikat kencang ke belakang semua. Rasanya aku tidak memerlukan seorang penata rias seperti yang disarankan asistenku. Bersama Harrys selama bertahun – tahun membuatku tahu bagaimana harus berdandan di kalangan konglomerat.

Lebih dari semua make up ini, yang harus aku siapkan adalah batinku yang dalam waktu beberapa jam lagi harus berdiri berdekatan dengan Harrys lagi. Aku bahkan tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Biarkan saja semesta yang berbicara.

Saat jam menunjukkan pukul 7 malam, aku berdiri dan mengenakan gaun warna hitam tanpa lengan dan kerah V yang turun sedikit ke bawah. Warna hitam polos dan sedikit hiasan di bagian perut. Dengan heels Ralph & Russo warna hitam dan hiasan warna silver serta clutch warna hitam yang sedikit sparkling. Sekali lagi aku memastikan semua yang aku kenakan tidak ada yang kurang. Tanganku meraih anting – anting berlian pemberian Nathan beberapa bulan yang lalu yang satu set dengan kalung. Dan tentu saja, cincin pertunanganku dengan Nathan. Setelah memasukkan handphone ke dalam clutch aku berjalan keluar kamar karena asistenku sudah berkali – kali meneleponku mengatakan sang CEO sudah berada di dalam ballroom. Jariku menekan tombol lift menuju lantai 30 dimana acara di adakan.

Handphoneku berbunyi tiba – tiba dan ternyata Nathan menelepon.

"Hai." Sapaku.

"Hai. Belum dimulai acaranya kan?" suara di seberang terdengar antusias.

"Baru mau turun."

"Kamu pasti cantik sekali malam ini, Ann." Nathan tiba – tiba memujiku. Dan dari suaranya, aku bisa mendengar ia tersenyum disana.

"Wish you were here." Sahutku pelan.

Kemudian hanya diam. Nathan tidak menjawabku. Ia hanya menghela nafas panjang.

"I love you Ann." Nathan mengucapkannya tiba – tiba dan membuatku sedikit heran karena ucapannya kali ini terdengar getir.

"I love you too. Aku akan menghubungimu lagi setelah acara selesai." Aku mengakhiri pembicaraan saat langkah kakiku hampir menjejak pintu ball room dan asistenku sudah antusias untuk menghampiriku.

Aku memasukkan kembali handphoneku ke dalam clutch dan bergabung untuk menyambut tamu undangan.

Nathan.

Aku meletakkan handphone di meja. Ku sandarkan punggungku di sandaran ayunan favoritku dengan Anna saat berada di rumah Bogor. Langit malam ini sangat cerah dan bintang pun bertaburan. Anna pasti akan menyukainya melihat bintang sebanyak ini. Aku tidak tahu yang harus aku lakukan kecuali menatap bintang – bintang itu dan berharap akan ada bintang yang menyampaikan isi hatiku saat ini pada Anna. Sekarang aku tahu rasanya betapa sakitnya merelakan orang yang sangat dicintai untuk berdamai dengan masa lalunya. Saat mengucapkan cintaku pada Anna tadi, aku hanya berharap Anna mengerti perasaanku padanya.

Entah akan sampai berapa lama aku duduk di sini, karena memang tidak ada yang bisa aku kerjakan. Tidak ada proyek dan aku juga malas untuk ke café. Ingin rasanya mengikuti Anna ke Bali, tetapi satu sisi hatiku menolaknya dengan keras. Ada sisi hati yang sedang ingin membuktikan cinta Anna padaku.

Harrys.

Mengumbar senyum kemana – mana dan berjabat tangan dengan beberapa orang adalah rutinitasku di setiap acara yang mengharuskan ada orang banyak. Dan lagi – lagi, aku adalah bagian yang tidak bisa menghilang. Muak dan bosan. Harus berapa lama lagi rutinitas semacam ini aku jalani.

Namun, kemuakan itu mendadak hilang saat aku melihat seorang wanita dengan gaun panjang warna hitam berjalan ke arahku. Ia tampak sangat cantik bahkan lebih cantik dari dulu, meskipun hanya dengan gaun hitam polos. Saat sudah berada di dekatku, ia tersenyum padaku. Anna, bagaimana bisa kamu bersikap seperti tidak pernah ada yang terjadi di antara kita.

"Bagaimana kabar Anda Pak? Maaf tadi sore belum sempat menemui Anda." Anna mengulurkan tangan yang langsung aku sambut.

"It's okay. Bagaimana perjalananmu? Rasanya kita tidak perlu terlalu formal." Sahutku.

"Semuanya lancar. Driver keluarga yang tadi menjemput."

Keluarga? Ah iya. Keluarga nya calon suamimu ya Ann, aku membatin.

Marissa menghampiriku dan mengatakan kalau acara sudah bisa dimulai. Aku mengajak Anna untuk berjalan ke stage. Berada sedekat ini dengan Anna, membuatku bisa membau aroma parfumnya yang ternyata masih sama dengan yang dulu. Tetapi, ia mengenakan gaun, anting dan kalung yang baru, begitu juga dengan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Rasanya, aku masih tidak sanggup menerima kenyataan itu.

Anna mendampingiku untuk berbasa basi dengan pidato yang aku buat sesingkat mungkin karena memang aku tidak suka berdiri terlalu lama di stage. Lalu, aku mengambilkan Anna segelas sparkling wine dan mengambil untuk diriku sendiri. Sebagai tanda opening, aku memang meminta penuangan sparkling wine saja. Aku meminum wine hingga separuh dan melirik Anna yang hanya berpura – pura meminumnya. Ia bahkan tidak menyentuhkan bibirnya sedikitpun pada gelas.

"Hanya wine Ann." Bisikku.

"Nathan melarangku apapun jenisnya." Ia membalas dengan berbisik. Senyum masih mengembang di bibirnya.

Aku mengangguk – angguk mengerti. Meski aku merasakan ada luka yang tergores setiap kali ada pembahasan yang menyinggungnya.

Aku dan Anna menuruni stage dan bergabung dengan beberapa tamu undangan untuk berbasa basi dengan mereka, hingga tanpa terasa acara sudah selesai. Anna sudah tidak ada lagi di sampingku, hanya Marissa yang masih berada di dekatku namun sibuk sendiri dengan handphonenya. Mungkin ada klien yang ingin berbicara denganku tetapi aku sedang tidak ingin berbicara bisnis dengan siapapun, jadi aku sudah mengatakan pada Marissa kalau selama tiga hari ini aku tidak ingin diganggu.

Anna.

Begitu banyak tamu membuatku tidak nyaman, jadi aku langsung menyingkir dari ballroom ketika aku merasa sudah saatnya. Aku berada di rooftop hotel dimana disitu ada kolam renang dan beberapa bangku. Langitnya sangat cerah malam ini. Bintang – bintang bertaburan menghiasi langit malam sehingga tampak semarak sekali. Aku duduk di salah satu bangku dan menatap langit malam. Ku silangkan tanganku di dada untuk menghalau angin yang berhembus dingin. Sudah jam 11 malam dan aku masih betah duduk di sini.

"Ternyata kamu masih suka dengan bintang – bintang Ann?" sebuah suara membuatku menoleh dan mataku menemukan Harrys berdiri tak jauh dari bangku.

"Boleh aku duduk sini?" Harrys bertanya padaku sebelum duduk. Aku hanya mengangguk saja. Ia kemudian melepaskan jas yang dipakai dan memakaikannya padaku sebelum ia duduk.

Aku hanya diam saja karena memang aku membutuhkan jas itu saat ini.

"Acaranya pasti membosankan ya Ann?"

"Heem." Aku hanya menjawab singkat.

"Bagaimana kabarmu? Aku tidak benar – benar menyapamu selama ini." Aku tersenyum mendengar ucapan Harrys yang kemudian aku jawab,

"Aku baik – baik saja rys. Kamu gimana? Keylila juga apa kabar?"

"Baik. Keylila sudah bekerja di rumah sakit sekarang. Katanya bosan di rumah." Cerita Harrys.

"Belum ada Harrys junior?" tanyaku lagi.

Harrys hanya tertawa kecil dan tidak menjawab apa – apa, tetapi itu sudah bisa menjawab pertanyaanku bahwa itu akan sulit terjadi. Begitulah cara Harrys untuk menjawab sebuah pertanyaan yang tidak ingin dia jawab.

"Kapan menikah Ann?" Harrys balik bertanya padaku.

"Masih beberapa bulan lagi. Datang ya nanti. Ajak Keylila." Aku menoleh pada Harrys dan melihatnya tersenyum getir. Ia lalu balik menatapku dan aku bisa merasakan sebuah tatapan mengiba untuk tidak mendengar perkataan semacam itu lagi.

Ada sayatan yang kemudian tercipta di hatiku saat melihat kesedihan luar biasa pada mata Harrys. Sayatan yang tercipta karena aku tahu aku mengikhlaskan Harrys bukan untuk kebahagiaannya. Ia malah semakin hancur setelah aku melepaskannya.

"Sudah malam rys. Aku ke kamar dulu." Aku melepaskan jas yang menggantung di kedua bahuku.

"Pakai saja dulu Ann, kamu bisa mengembalikannya besok. Aku masih di sini sampai tiga hari ke depan."

Aku mengangguk dan berjalan pergi setelah melempar senyum padanya. Sebenarnya bukan karena malam, tetapi semakin lama di sana aku semakin tidak yakin dengan hatiku sendiri.

Harrys.

Bisa menatap wajahmu dan matamu sedekat ini saja Ann, aku sudah bersyukur ratusan kali kepada Tuhan. Apalagi aku bisa merasakan degup jantungmu yang tidak karuan tadi, aku lebih bersyukur lagi Anna, karena aku tahu kalau kamu masih mencintaiku hingga saat ini.

-00-

Nathan.

Menelusuri jalanan entah sudah berapa kilometer dan berapa liter bahan bakar yang telah dihabiskan, perasaan kalut ini tidak juga sembuh. Menembus jalanan Bogor – Jakarta dan terus berputar – putar di Jakarta pada tengah malam ini setidaknya sudah membuatku bisa memacu kecepatan mobil seperti yang aku harapkan. Ingin berhenti karena rasa kantuk mulai datang, tetapi mau pulang kemana. Anna tidak ada di apartemen, sementara mau ke Café juga enggan. Akhirnya, hanya bisa berputar – putar tidak jelas.

Entah sudah berapa kali Anna meneleponku, namun aku sedang tidak ingin berbasa basi dengan perasaanku. Bagaimana aku harus tetap bersikap baik – baik saja sementara aku tahu Anna sedang berada di sana bersama Harrys. Aku menghentikan mobilku di pinggir jalan. Rasanya benar – benar frustasi dengan situasi seperti ini. Aku memukul stir mobil dengan keras hingga tanganku terasa sakit, namun rasanya masih tidak sesakit hatiku saat ini.

Ku sandarkan kepalaku pada stir mobil dan memejamkan mata. Bukan tidur, tetapi sedang berpikir. Apa yang seharusnya aku lakukan? Aku benar – benar tidak ingin kehilangan Anna.

-00-

Continue Reading

You'll Also Like

3.5M 27.4K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
3.8M 42.3K 33
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
6.6M 339K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
12.7K 2.2K 14
Mika menyukai gypsophila (bunga baby's breath) sejak ibunya memperlihatkan potongan kering bunga itu padanya waktu kecil. Kesukaan yang kemudian menu...