Miss Trouble vs Mr Genius (En...

By AllyParker8

159K 10.5K 1.4K

Damar pasti sudah gila. Tidak. Kakaknya yang pasti sudah gila. Ah, tidak. Lebih tepatnya, kakak-kakaknya. Pri... More

Intro
Bab 1 - Gadis Pembuat Masalah
Bab 2 - Janji yang Terlanjur Terucap
Bab 3 - Terseret dalam Masalah
Bab 4 - Tenggelam dalam Masalah
Bab 5 - Misi Menyebalkan
Bab 6 - Gadis yang Terlalu Mengesalkan
Bab 7 - Lagi, Hukuman
Bab 8 - Clean After the Trouble
Bab 9 - Enough!
Bab 10 - Guilty
Bab 11 - Truth Behind
Bab 12 - To Hold You
Bab 13 - Dear, Heart
Bab 15 - Getting Away
Bab 16 - Worried to Death
Bab 17 - Realize
Bab 18 - Because of You
Bab 19 - A Better Life
Bab 20 - Dream

Bab 14 - Denial

5.8K 464 57
By AllyParker8

Seperti kemarin-kemarin, pagi itu Anna tiba di rumah Damar dengan diantar Dhika dan Dera yang akan berangkat bekerja. Damar masih sarapan ketika Dhika, Dera dan Anna memasuki ruang makan.

"Kalian udah sarapan?" tanya Prita.

"Udah, kok." Dera mengambil tempat di sebelah Aryan. "Aryan udah makan?" ia bertanya pada Aryan.

Aryan menggeleng.

"Dia belum mau makan," Prita memberitahu. "Ngambek soalnya nggak dikasih jelly sama ayahnya."

Aryan mengerucutkan bibir menggemaskan, membuat Damar tersenyum geli.

"Makan dulu, baru makan jelly," Damar berkata pada keponakannya.

Aryan mencebik.

"Kalau nangis, nanti pas Paman pulang sekolah, nggak bakal Paman ajak main." Ancaman Damar sukses mencegah rengekan Aryan.

"Aryan nurut banget kalau sama Damar," celetuk Dhika.

"Soalnya Damar yang lebih sering ngurusin dia," sebut Damar, sengaja menyindir kakak-kakaknya tentang bagaimana mereka mengabaikan Damar dan Aryan selama tiga tahun ketika Lyra di Kanada.

"Kamu bisa dendam juga, Mar?" Dhika balik menyerangnya.

"Tergantung," sahut Damar. "Jangan lupa, ntar pas libur sekolah, Kak Dhika janji mau ngajarin Damar di kantor."

Dhika mengangguk. "Nggak akan lupa. Udah cukup sekali Kak Dhika ngecewain kamu."

Mendengar itu, Damar seketika menoleh pada Anna. Mungkin Damar hanya sekali merasa dikecewakan Dhika, tapi gadis itu ...

"Hari ini Anna bareng kamu lagi, Mar." Dhika salah mengartikan tatapan Damar.

Damar berdehem, mengangguk.

"Eh, tapi itu mukamu kenapa, Mar?" tanya Dera.

Tangan Damar reflek terangkat ke pipinya yang tertutup plester.

"Lagi tren di sekolah," ia beralasan.

"Anak-anak sekarang, aneh-aneh aja," komentar Prita.

Damar meringis. Ia segera memasukkan sendok terakhir sarapannya ke mulut, mengosongkan air minum di gelasnya, lalu bangkit dan berpamitan pada kakak-kakaknya.

Ketika ia meninggalkan ruang makan, Anna mengikutinya. Gadis itu tak mengatakan apa pun sepanjang perjalanan. Damar yang lantas berinisiatif bicara lebih dulu,

"Kak Dhika tau kok, dia udah sering ngecewain kamu. Meski Kak Dhika nggak pernah ngomong ke kamu, tapi dia juga kecewa sama dirinya sendiri setiap kali ngecewain kamu."

Anna tak menanggapi selama beberapa saat.

"Kenapa?" tanyanya kemudian.

"He? Apanya yang kenapa?" Damar balik bertanya.

"Kenapa kamu ngomong kayak gitu ke aku?" tuntut Anna.

Ah, benar juga. Kenapa Damar repot-repot mengatakan ini pada Anna? Gadis ini bahkan tidak bertanya. Dia bahkan tak mengatakan apa pun. Hanya saja, memikirkan Anna mungkin kecewa karena mendengar kata-kata Dhika tadi ...

"Lagian, kamu mana tau isi hatinya Kakak?" sinis Anna.

Damar menarik napas dalam. "Aku mungkin nggak bisa tau isi hatinya Kak Dhika, tapi satu hal yang aku tau pasti. Kak Dhika sayang sama kamu. Kayak yang kamu bilang, kamu adiknya Kak Dhika."

"Kalau aku bukan adiknya kakakku, apa yang bakal kamu lakuin?"

Pertanyaan Anna itu mengejutkan Damar. Jika Anna bukan adik Dhika ...

"Apa kamu bakal ngelakuin hal yang sama kayak kemaren-kemaren? Ngelindungin aku?" tanya Anna lagi.

Damar bahkan tak punya jawaban untuk itu. Belum.

***

Anna berusaha mengabaikan rasa aneh yang tidak menyenangkan ketika Damar tak menjawab. Jadi, jika Anna bukan adik Dhika, Damar tidak akan peduli padanya? Bahkan meskipun Anna menghancurkan hidupnya sendiri, Damar tidak akan peduli?

Ketika mereka tiba di sekolah, saat Anna turun dari sepedanya, Damar berkata,

"Kalau kamu bukan adiknya Kak Dhika, aku mungkin nggak bakal peduli."

Anna merengut kesal mendengar itu. Mendadak, suasana hatinya memburuk dengan cepat. Damar benar-benar keterlaluan. Anna berbalik dan melangkah kesal meninggalkan Damar.

Di kelas, Marina dan Wina sudah datang. Rambut mereka tampak begitu cantik, membuktikan jika kemarin mereka benar-benar pergi ke salon.

"Pagi-pagi udah jutek aja mukanya," komentar Wina.

"Kamu tadi berangkat sama siapa?" tanya Marina. "Kata Nindi, kemaren kamu berangkat bareng Damar, ya?"

Anna mendengus kesal. "Jangan sebut nama cowok itu lagi."

"Kamu berantem sama dia?" Wina mengangkat alis heran. "Padahal kemaren, meski aku juga males ngakuinnya, tapi dia nolongin kita."

"Alasan dia ngelakuin itu, beneran bukan karena dia suka sama kamu, Ann?" Marina menatapnya curiga. "Kalian nggak backstreet atau semacam itu, kan?"

"Apa aku udah gila?" tepis Anna.

"Tapi alasan paling masuk akal kenapa dia sampai ikut campur kayak kemaren itu, cuma itu. Dia suka sama kamu," tandas Marina.

"Dia bisa aja suka sama kamu," Anna melemparkan tuduhan. Meski memikirkan kemungkinan itu, suasana hatinya semakin memburuk.

"Kalau menurutmu, di antara kita berempat, siapa yang dia suka?" Wina melempar tanya.

Anna mengernyit. "Tau, ah! Jangan ngomongin dia lagi, bisa nggak?"

Marina mendengus pelan. "Mood-mu lagi parah kayaknya."

Anna merengut.

"Tapi Ann, kamu beneran nggak ada rasa sama sekali ke cowok itu?" Marina menatapnya penasaran. "Maksudku, dia selalu nyelametin kamu dan ngorbanin dirinya sendiri. Meski kita belum tau apa alasannya, tapi apa itu nggak bikin kamu melting atau gimana gitu?"

Wina seketika menyorakinya dengan norak. "Ciye, Anna ..."

"Nggak usah ciye-ciye," desis Anna kesal. "Aku belum segila itu buat suka sama alien dingin nggak punya perasaan kayak dia."

"Yang bener, Ann?" Suara itu datang dari Nindi yang baru datang. "Tapi kemaren dia keren banget, deh. Yah, meski dia bukan dari kalangan yang sama kayak kita."

"Seenggaknya, derajatnya keangkat berkat kakak iparnya. Beruntung dia dapat kakak ipar yang tajir," cibir Marina.

"Salah," Anna reflek berkata. "Kakak iparnya yang beruntung, karena bisa dapatin kakaknya Damar."

Tak ada tanggapan dari ketiga temannya dan mereka malah melongo menatapnya.

Anna berdehem canggung. "Dulu aku ngomong tentang kakaknya kayak gitu tuh cuma mau buat dia kesel aja. Kakaknya baik banget, malah. Ramah, sopan, manis ... well, Damar juga beruntung punya kakak kayak dia."

"Ann." Wina menelengkan kepala sementara keningnya berkerut. "Ini pertama kalinya kamu ngebelain orang lain selain aku, Nindi atau Marin."

Anna kembali berdehem. "Aku cuma ngungkapin fakta aja."

"Tapi, kamu udah kenal sedekat itu sama kakaknya Damar?" Marina tampak semakin penasaran. "Kamu beneran tunangan sama dia atau gimana, Ann?"

O-ke. Anna baru saja menggali kuburannya sendiri.

"Besok Sabtu kita jadi ke kafe, kan?" Anna mengalihkan pembicaraan.

"Ah, iya. Besok Sabtu kita hang out bareng, ya," sahut Nindi. "Asyik! Aku udah kangen hang out sama kalian!"

Anna diam-diam melempar senyum terima kasih pada Nindi karena telah menyelamatkannya. Entah Nindi sadar atau tidak.

Sementara kata-kata Marina tadi mendadak terdengar jelas dalam kepalanya,

"Tapi Ann, kamu beneran nggak ada rasa sama sekali ke cowok itu?"

Sama sekali tidak. Dan tidak akan pernah.

***

Pulang sekolah, Damar sudah disambut dengan Anna dan masalahnya. Kali ini, gadis itu duduk di sebelah sepedanya yang kedua bannya kempes, sementara paku-paku payung tersebar di sekitar sepedanya.

"Tadi aku iseng nyoba ngecek, sekuat apa ban sepedanya, tapi malah jadi gini," terang Anna, tak sedikit pun tampak merasa bersalah.

Damar menarik napas dalam. Bahkan meski ia ingin berteriak marah, tapi tahu itu akan sia-sia. Ini hanya ban sepeda, Damar berusaha menenangkan diri. Tanpa kata, ia membersihkan paku-paku payung di sekitar sepedanya, lalu menuntun sepedanya meninggalkan sekolah.

"Kamu pulang aja dulu naik taksi," Damar berkata pada Anna yang sudah mengikutinya.

"Nggak, ah. Bareng kamu aja," tolak gadis itu.

Damar tak protes, tahu itu akan percuma. Setelah sekitar seratus meter berjalan, mereka tiba di tempat tambal ban. Sementara ban sepedanya ditambal, Damar duduk di bangku yang menghadap ke jalan raya. Di sebelahnya, Anna ikut duduk.

Namun, gadis itu tidak bisa duduk dengan tenang. Mulai dari mengetukkan sepatu tanpa henti, sampai ke pertanyaan terus-menerus,

"Masih lama, ya?"

Damar sampai nyaris mengusir gadis itu saking kesalnya.

Sampai kemudian, Anna menanyakan hal yang membuat Damar terkejut,

"Foto cewek yang ada di laci meja belajarmu itu, yang sama kamu sama kakakmu, itu cewekmu?"

Damar menoleh pada Anna.

"Kamu ngegeledah kamarku?" Damar tak bisa menyembunyikan kesal dalam suaranya.

"Nggak juga, sih. Waktu itu, lacinya kebuka dikit. Aku penasaran aja. Trus aku liat banyak foto gitu," terang gadis itu, lagi-lagi tanpa merasa bersalah.

"Trus, sekarang cewek itu di mana? Kamu masih ngehubungin dia? Waktu itu kayaknya kamu masih SD, tapi udah punya cewek?" Anna melanjutkan.

Damar menarik napas dalam, berusaha menulikan telinga dari suara gadis itu.

"Atau, dia temen masa kecilmu? Kamu suka sama dia? Dia cantik, tuh. Kamu pasti suka sama dia, kan?" Anna tak juga berhenti.

Damar memejamkan mata, bersandar di sandaran bangku.

"Kamu mau tidur?" Anna masih bertanya. "Nanti kalau sepedanya udah selesai dibenerin dan kamu belum bangun, aku pulang sendiri naik sepeda," ancamnya.

Oh, gadis ini!

Damar membuka mata, sudah bersiap meneriakkan kekesalan, tapi Anna lantas bersandar di bangku dan berkata,

"Aku juga mau tidur, deh."

Damar menoleh ke samping dan Anna sudah memejamkan mata. Tidak cukup dengan itu, Anna tiba-tiba menyandarkan kepala di bahu Damar.

"Pinjem bentar," ucap gadis itu dengan mata terpejam.

Yah, setidaknya dengan begini, gadis ini berhenti mengatakan hal-hal yang menyebalkan.

***

"Ini kita mau ke mana?" Anna menoleh pada Damar, bingung karena saat ini mereka tidak menuju rumah.

"Ke tempat kamu bisa dapat jawabanmu," balas Damar.

"Jawaban apa?" tanya Anna tak mengerti.

Damar tak menjawab.

Namun, setelah beberapa saat, akhirnya mereka berhenti di depan areal pemakaman. Setelah memarkirkan sepeda, Damar memasuki pintu areal pemakaman tanpa mengatakan apa pun pada Anna.

Kenapa Damar membawanya kemari?

Meski masih bingung dan sedikit takut, tapi Anna mengikuti Damar. Setelah beberapa waktu berjalan, Damar berhenti di depan sebuah nisan bertulisan Tasya Amalia.

"Tadi kamu tanya, siapa cewek yang ada di foto itu, kan?" Damar berkata tanpa menatapnya.

Anna mengangguk. Mendadak, ia merasa tak enak.

"Cewek itu kakak keduaku," ungkap Damar. "Dia bahkan belum sempat lulus SMP pas pergi."

Anna tak tahu harus berkata apa.

"Kakakku tuh bodoh banget," ucap Damar lagi. "Dia selalu pamer kalau dia bakal jadi novelis yang keren, kalau itu impiannya. Tapi dia malah pergi kayak gini."

Anna mengernyit merasakan sakit di dadanya ketika mendengar kesedihan dalam suara Damar.

"Dia nahan sakitnya sendirian waktu itu. Dan abis itu, dia ninggalin aku sama Kak Prita. Bodoh banget, kan?" Suara Damar bergetar. "Gara-gara Kak Tasya, Kak Prita sampai nangis berhari-hari. Aku bahkan nggak berani bilang kalau aku juga sedih, karena nggak mau Kak Prita makin sedih."

Damar mendengus pelan. "Kakak-kakakku itu, dua-duanya sama-sama bodoh."

Anna mengerjapkan matanya yang mendadak terasa panas. Ia mendekat pada Damar, digenggamnya tangan laki-laki itu.

"Mungkin kamu nggak tau, tapi menurutku, kamu tuh sama bodohnya sama mereka," Anna berkata. "Kalau kamu emang sedih, harusnya kamu bilang kalau kamu sedih. Seenggaknya, rasanya nggak bakal terlalu sakit."

Damar menoleh kaget padanya.

Anna tersenyum. "Ternyata, ada juga orang yang sama bodohnya kayak aku."

Damar mendengus geli, lalu tersenyum. "Iya juga, ya. Kamu juga sama bodohnya."

Anna mendecak pelan.

"Makanya, berhenti buat kakakmu cemas sama masalah yang kamu perbuat dan bilang ke dia apa yang kamu rasain. Dengan gitu, kamu bakal ngerasa lebih baik," ucap Damar.

"Kamu tuh bawel juga," cibir Anna.

Ia lantas menatap ke arah makam kakak Damar, lalu berkata,

"Kalau aku ngelanjutin impian kakakmu, dia nggak bakal jadi kakak yang bodoh lagi kan, buat kamu?"

Anna menoleh dan mendapati Damar tampak terkejut.

Anna tersenyum. "Kamu tau kan, aku suka baca webtoon? Aku pengen jadi kayak Kak Dera, tapi aku nggak bisa gambar. Jadi, mungkin dengan jadi novelis solusinya. Meski aku sama sekali nggak tau gimana caranya ngarang cerita."

Damar tak menanggapi, tapi lantas dia pamit pada kakaknya. Sebelum Anna pamit juga, dia sudah menarik tangan Anna dan membawanya pergi dari sana. Di depan sepedanya, Anna sempat mendengar Damar menggumam pelan,

"Bodoh."

Apa dia menujukan itu pada Anna?

Namun, Anna belum sempat protes ketika Damar sudah naik ke sepeda dan meminta Anna naik. Lagi, mereka melewatkan perjalanan dalam diam.

***

Note:

Dear Beloved Readers,

Makasih banget buat dukungan kalian buat cerita ini. Makasih juga udah download ebook-nya dan pesen novelnya. :)

Buat yang udah nggak sabar buat baca cerita ini sampai end, bisa download full version ebook-nya di google play book (link di profil author). Di full version nanti ada ekstra 10 bab termasuk epilog kelima couple dari Just Be You, Marry Me or Be My Wife dan Miss Trouble.

Dan ada cerita baru Author di google play book, judulnya Stalking Mr Boss (5.000). Semoga kalian juga suka.. :)

Sekali lagi, terima kasih banyak atas cinta dan dukungan kalian. :)

Love,

Ally Jane

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 17.6K 7
TERSISA 5 BAB Anandra berhenti memertahankan Galiya dalam hidupnya dengan memutuskan sebuah perceraian. Mereka saling mencintai, awalnya. Juga masih...
532K 26K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
79.8K 5.1K 17
Dunia Shera seakan jungkir balik tatkala pernikahan yang dirancangnya bersama Wahyu, kekasihnya, kandas. Wahyu tak datang di hari pernikahannya. Hari...
40.2K 5.1K 8
"Aku ingin pensiun di usia 40 tahun dan mendedikasikan diri dan hidupku untuk anak dan istriku kelak" ㅡTaehyung 2013 "Tipe pria idamanku adalah dia Y...