Miss Trouble vs Mr Genius (En...

By AllyParker8

159K 10.5K 1.4K

Damar pasti sudah gila. Tidak. Kakaknya yang pasti sudah gila. Ah, tidak. Lebih tepatnya, kakak-kakaknya. Pri... More

Intro
Bab 1 - Gadis Pembuat Masalah
Bab 2 - Janji yang Terlanjur Terucap
Bab 3 - Terseret dalam Masalah
Bab 4 - Tenggelam dalam Masalah
Bab 5 - Misi Menyebalkan
Bab 6 - Gadis yang Terlalu Mengesalkan
Bab 7 - Lagi, Hukuman
Bab 8 - Clean After the Trouble
Bab 9 - Enough!
Bab 10 - Guilty
Bab 12 - To Hold You
Bab 13 - Dear, Heart
Bab 14 - Denial
Bab 15 - Getting Away
Bab 16 - Worried to Death
Bab 17 - Realize
Bab 18 - Because of You
Bab 19 - A Better Life
Bab 20 - Dream

Bab 11 - Truth Behind

5.7K 477 71
By AllyParker8

Malam itu, sesuai usul Arman, mereka mengadakan pesta barbeque di halaman villa. Arman tersenyum ketika melihat Damar sibuk bermain dengan Aryan, sementara Ryan dan Dhika sedang memanggang daging dan yang lain tampak mengobrol sambil menyiapkan makanan di meja. Tak jauh dari Damar, Anna tampak menatap Damar lekat.

Tadi pagi, ketika Anna kembali bersama Damar yang sudah kuyup pakaiannya, tak ada yang bertanya meski mereka semua penasaran. Sepeninggal Anna tadi, Arman sudah mengatakan pada Dhika, apa yang sebenarnya terjadi antara Anna dan Damar di sekolah. Dhika seketika merasa bersalah pada kedua anak itu.

Dhika bahkan tadinya berniat menjauhkan Anna dari Damar, tapi Prita mencegahnya. Jika memang Damar bisa membantu Anna, kenapa tidak?

Arman dan Erlan lantas menggantikan Ryan dan Dhika memanggang daging. Namun, ketika Arman melihat Evelyn berlari kecil ke arahnya, Arman segera menghampiri istrinya dan menghentikannya.

"Jangan lari-lari, Sayang," ucap Arman sembari memeluk Evelyn.

"Ah, maaf, maaf," gumam Evelyn. "Aku cuma lagi seneng."

Arman tersenyum geli. "Kenapa emangnya?"

"Aku tadi ngajakin Lyra buat liburan bareng kita ke puncak dan dia bilang oke," ucap Evelyn.

Arman tertawa pelan. "Cuma itu?"

Evelyn seketika merengut. "Aku kan udah lama pengen liburan bareng Lyra sama Ryan."

Arman tersenyum meminta maaf. "Oke, nanti aku siapin semuanya," janjinya. "Tapi kamu tau kan, kamu nggak boleh terlalu capek? Kemaren juga kamu nekat aja mau ikut ke sini. Jadi, jangan capek-capek, hm?"

Evelyn mengangguk. "Aku seneng banget kita ikut ke sini," katanya.

Arman tak dapat menahan senyum. Bahkan sebelum ia sadar, ia sudah menangkup wajah Evelyn dan menunduk ke arah istrinya. Namun, tarikan keras di rambutnya membuatnya melepaskan Evelyn diikuti teriakan kesakitannya.

Arman berbalik dan dilihatnya Lyra sudah menyeringai usil di sana.

"Ada anak-anak di sini. Jaga sikap, oke?" Lyra berkata.

"Lo tuh emang nggak ada sopan-sopannya sama gue, Lyr!" kesal Arman.

"Gue cuma berusaha menyelamatkan kepolosan anak-anak tadi," Lyra beralasan.

Arman sudah akan protes lagi ketika ia melihat Erlan yang menghampiri Lyra, hendak merangkul adiknya, tapi itu pun ditolak Lyra dengan sikutan keras di perut.

"Lo juga, jaga sikap," desis Lyra galak.

Erlan meringis. "Cuma mau bilang, kalo lo capek, lo istirahat aja," ia membela diri.

Arman tersenyum geli. Melihat Lyra dan Erlan, rasanya seolah ia bisa melihat Damar dan Anna di masa depan. Apakah nanti mereka berdua juga akan berakhir seperti ini?

Arman menoleh ke arah Damar dan Anna. Dilihatnya Aryan berlari ke arah Anna, meminta dipangku. Anna tampak kebingungan, tapi kemudian, Damar menggendong Aryan dan menempatkannya di pangkuan Anna. Gadis itu tampak panik, tapi Damar justru tampak terhibur.

Aryan baru mau turun dari pangkuan Anna ketika Prita memanggilnya. Namun, bukannya berlari ke arah ibunya, Aryan justru berteriak senang sembari berlari ke arah Erlan. Aryan tergelak saat Erlan melemparnya ke udara, lalu menangkapnya lagi.

Begitu Erlan menurunkannya, Aryan berpindah ke Arman.

"Telbang, telbang," pintanya cadel.

Arman tertawa menanggapi keponakannya yang menggemaskan itu. Menuruti Aryan, ia mengangkat anak itu, lalu mendudukkannya di bahu.

"Dia bisa semaleman minta kayak gitu kalau diturutin," kata Ryan geli.

"Biar lo ada kerjaan," celetuk Lyra. "Lagian, lo ..." Kalimat Lyra berhenti ketika ia menoleh pada Evelyn.

Mengikuti arah tatapan Lyra, Arman mencelos melihat mata Evelyn berkaca-kaca. Arman menurunkan Aryan, satu tangannya menggendong Aryan, sementara tangannya yang lain menarik Evelyn dalam pelukan.

"Nggak pa-pa, Evelyn," Arman menenangkan Evelyn. "Dia udah baik-baik aja di sana. Lagian, beberapa bulan lagi kamu bakal ketemu sama adiknya, kan?"

Evelyn mengangguk di pelukannya. Samar Arman mendengar Lyra bergumam pelan,

"Kak Evelyn hamil?"

***

Malam semakin larut. Sementara Damar, Anna dan Aryan sudah tidur, Lyra dan yang lain masih di luar. Ketika melihat Evelyn yang sempat emosional tadi, Lyra mau tak mau turut merasakan sedihnya. Namun, ketika mendengar kata-kata Arman tadi, Lyra terkejut juga. Apakah itu berarti Evelyn hamil sekarang?

Memanfaatkan kesempatan berkumpulnya mereka malam itu, Lyra langsung bertanya pada Arman,

"Kak Evelyn beneran hamil?"

"Kakak hamil?" Ryan menatap Evelyn kaget.

Evelyn tersenyum kecil.

"Udah berapa minggu, Mbak?" tanya Prita.

"Lima belas minggu," Evelyn memberitahu.

"Dan kembar," Arman menambahi.

Terdengar kesiap kaget, sebelum ucapan selamat meluncur bersamaan.

"Lo kenapa nggak bilang ke gue?" tuntut Lyra pada kakaknya.

"Kenapa juga gue harus bilang ke elo?" balas Arman geli. "Tadinya malah gue nggak ada rencana ngasih tau kalian."

"Kenapa?" sambar Lyra. "Lo juga mau nyembunyiin semuanya kayak dulu?"

Evelyn seketika menatap Lyra panik.

"Ryan juga harus tau, dong," Lyra membela diri. "Dia harus tau betapa sayangnya Kak Evelyn sama dia."

"Ini kita lagi ngomongin tentang apa, sih?" Ryan menatap Lyra bingung.

Lyra menarik napas dalam. "Kak Evelyn pernah kehilangan bayinya, dulu."

Ryan tampak sangat terkejut mendengarnya.

"Itu ... beneran, Kak?" Ryan menatap kakaknya.

Evelyn tidak menjawab.

"Waktu itu, aku sama Evelyn nggak tau kalau dia lagi hamil. Sampai kami kehilangan bayinya," ungkap Arman.

"Itu kapan, Kak? Kenapa Kakak nggak pernah cerita?" Suara Ryan meninggi.

"Gimana bisa kakak lo cerita kalau lo pasti bakal nyalahin diri lo pas tau ntar," tandas Lyra.

Ryan menatapnya bingung. "Apa ...?"

"Waktu lo kabur dari rumah. Waktu itu, kakak gue nggak ngasih tau Kak Evelyn kalau lo ngilang. Jadi, waktu Kak Evelyn tau, dia shock. Makanya, waktu itu juga gue pulang. Tadinya gue pengen ngehajar elo, ngehajar Kak Arman juga. Tapi waktu itu juga kakak gue keliatan payah banget dan elo juga ... well ... mengenaskan." Lyra mengedik cuek.

"Kakak yang nggak bisa jagain bayi Kakak, Yan. Itu sama sekali bukan salahmu," Evelyn segera berkata ketika melihat ekspresi terpukul Ryan.

"Aku ... nggak pernah tau ... gimana bisa ..."

"Karena Kak Evelyn sayang sama lo," tegas Lyra.

Ryan menatap Evelyn lekat. "Ryan juga sayang sama Kakak," ucap Ryan. "Ryan bener-bener nggak tau ... maaf, Kak," sesal Ryan.

Evelyn tersenyum. "Sekarang udah nggak pa-pa. Makanya, kamu jangan pernah buat masalah lagi dan bikin orang-orang yang sayang sama kamu khawatir."

"Ryan bukan anak kecil lagi, Kak," balas Ryan. "Tapi waktu itu ... pasti berat banget buat Kakak."

Evelyn mengedik ke arah Arman. "Untungnya waktu itu ada Arman."

"Aku nggak nyangka, aku justru nyakitin Kakak separah itu," ucap Ryan lagi.

"Kakak beneran udah nggak pa-pa, Ryan," Evelyn menukas. "Tapi nanti kalau anak-anak Kakak lahir, Kakak mungkin bakal manggil kamu kalau Kakak kerepotan."

"Aryan pasti seneng karena dia bakal punya saudara," Prita berucap.

"Ah, ada Damar juga. Dia kan juga bantuin ngasuh Aryan dulu." Arman terdengar senang. "Apa nanti kita pindah ke sini aja, Sayang?" Arman menatap Evelyn.

Evelyn tersenyum geli. "Ayah sama Ibu juga bakal seneng karena bisa ngabisin waktu di sini dan bisa ketemu Aryan lebih sering. Tapi kamu nggak pa-pa di Jakarta sendirian?"

Arman mengerang. Ia lantas menatap Ryan. "Gara-gara ngegantiin kamu di perusahaan Ayah, nih," katanya.

Ryan tersenyum. "Makasih, Kak."

"Dan kamu malah buka perusahaan sendiri," tuding Arman.

"Makanya Ryan nulis profil Kak Arman sekeren mungkin," Ryan membela diri.

Arman tertawa, mengangguk puas.

"Emang ya, keluarga tuh adalah hal yang bisa paling menyakiti kita, tapi juga jadi obat yang paling manjur buat kita," Erlan berkata.

Lyra memperhatikan ekspresi muram Dhika. "Itu, aku setuju."

"Jangan terlalu khawatir tentang Anna," Arman berkata. "Selama Damar nggak nyerah, dia bakal baik-baik aja. Damar bakal jagain dia."

Dhika menatap Arman. "Kenapa Kak Arman bisa seyakin itu?"

Arman menunjuk Lyra. "Karena aku pernah ngalamin hal yang sama kayak kamu."

Lyra mendesis tak terima.

"Suatu saat nanti, dia juga pasti bakal tau perasaanmu," ucap Arman. "Asal kamu nggak berhenti percaya, dia pasti bakal balik ke kamu."

"Aku juga yakin, Anna pasti bakal tau kalau kamu sayang sama dia," Dera berkata pada Dhika. "Kita harus percaya sama dia, dan nungguin sampai dia datang ke kita."

"Itu juga yang Arman lakuin dulu," Evelyn menyahut.

"Karena kamu selalu ngeyakinin aku, kalau Lyra bakal baik-baik aja," Arman berkata pada Evelyn.

"Apa itu berarti, sekarang gue udah pulang?" tanya Lyra usil.

Arman mengangguk. "Itu pun harus diseret sama sahabat-sahabat lo. Kalau nggak ada mereka, lo ..."

"Gue tau," Lyra menyela kesal. Ia lantas melampiaskan kekesalan pada Ryan. "Lo juga, kalau nggak ada gue, sampai sekarang lo nggak bakal bisa ketemu dan lo nggak bakal pernah ketemu Prita."

Ryan tersenyum, mengangguk mengakui.

"Gimana jadinya elo, Lyr, kalau nggak ada Erlan juga?" Arman masih belum berhenti.

Lyra menatap kakaknya kesal.

"Gue juga nggak tau apa jadinya gue kalau nggak ada elo, Lyr," Erlan berkata di sebelahnya.

Lyra mengernyit. Erlan pasti akan baik-baik saja tanpanya, tapi Lyra tahu, tanpa pria ini, ia pasti sudah jatuh.

"Makasih," ucap Lyra pelan.

"Apa, Lyr?" Pertanyaan itu datang dari Arman, Ryan dan Erlan.

Lyra menatap ketiga pria itu dengan kesal.

"Makasih!" sentak Lyra. "Makasih, karena Kak Arman udah nungguin gue. Makasih, buat kalian karena udah bantuin gue berubah jadi lebih baik." Lyra melirik Erlan. "Dan makasih, karena elo nggak pernah nyerah atas gue."

Erlan tersenyum dan merangkulnya, sebelum mendaratkan kecupan ringan di puncak kepalanya.

"Makanya, Ka, kamu juga nggak perlu khawatir tentang Anna," Arman berbicara. "Selama ada Damar, selama kamu percaya dan nungguin dia, dia bakal balik ke kamu, dan dia bakal baik-baik aja."

Dhika akhirnya tersenyum. "Kayak Lyra?"

Arman mengangguk. "Dia dulu juga sama keras kepalanya sama adikmu. Tiap kali buat masalah, selalu skala besar."

"Udahan sih, resenya," omel Lyra sementara yang lain tertawa.

Namun, melihat tawa di wajah keluarganya, sahabat-sahabatnya, Lyra tentu tak bisa protes. Keluarga bukan hanya sesuatu yang menjadi kelemahannya, tapi juga kekuatannya. Tanpa mereka, Lyra bukan apa-apa.

Satu-satunya tempat yang ia tuju untuk pulang; keluarga.

Suatu saat, Anna juga pasti akan mengerti ini.

*** 

Note:

Dear Beloved Readers,

Thanks a lot karena kalian masih sabar ngikutin cerita ini. Makasih juga buat dukungannya, makasih untuk vomment-nya, dan makasih juga udah download ebook-nya dan pesen novelnya. Indeed, kalian the best! :)

Buat yang udah nggak sabar buat baca cerita ini sampai end, bisa download full version ebook-nya di google play book (link di profil author). Di full version nanti ada ekstra 10 bab termasuk epilog kelima couple dari Just Be You, Marry Me or Be My Wife dan Miss Trouble.

Oh iya, ada cerita baru Author di google play book, judulnya Stalking Mr Boss (5.000). Semoga kalian juga suka.. :) 

Sekali lagi, terima kasih banyak atas cinta dan dukungan kalian. :)

Love,

Ally Jane

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 113K 50
[telah dihapus] *** Dualism (n): satu sama lain saling bertentangan atau tidak sejalan. *** Talia dan planning skripsinya yang akan ia tempuh di seme...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 72K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
753K 51.2K 14
Revano pernah dicium tanpa sengaja oleh seorang wanita yang sedang mabuk. Waktu berlalu, tapi dia tidak akan pernah lupa dengan sosok wanita misteriu...
1.8M 193K 51
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...