Our Wedding

By my-onlyhope

193K 7.2K 55

Maaf, telah membawamu pada pernikahan ini. Karena egoku. -Raffa More

1.1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
16
17
Epilog

15

8.9K 347 0
By my-onlyhope

INES POV

Raffa masuk ke dalam kelasku setelah guru membubarkan kelas. Dia memang selalu menjemputku di kelas sepulang sekolah untuk membawakan tasku akhir-akhir ini. Tapi kali ini Raffa menahan Dian sebelum menghampiriku. Aku menggenggam erat sweaterku, cemas pada Dian dan juga persahabatan kami. Aku tidak ingin kehilangan Dian meskipun aku sudah salah karena membohonginya dan merahasiakan pernikahanku dengan Raffa. Sejak pertengkaranku di UKS dengan Dian, kami hanya berdiam diri selama di kelas meskipun kami duduk bersebelahan. Dan itu membuatku sangat tidak nyaman. Raffa sudah berjanji padaku untuk mengatakan semuanya pada Dian.

"udah deh, gue mau pulang", gerutu Dian saat Raffa baru saja menjalankan mobilnya. Raffa memaksa Dian untuk ikut pulang bersama kami dan mengatakan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu dengannya.

"ngomong aja sekarang, gue nggak mau ganggu kalian", kicau Dian lagi. Wajahnya sudah sangat tidak enak sejak mengikuti kami masuk ke dalam mobil. Dia bahkan tidak berbicara sedikitpun padaku.

"nggak enak kalau ngomong di sini, nanti gue yang anterin lo pulang", ujar Raffa padanya.

Aku sangat bingung saat Raffa membawa Dian ikut pulang ke rumah kami. Dian turun dari mobil dan terlihat sangat bingung juga. Mungkin dia tidak mengerti mengapa kami membawanya ke sebuah rumah.

"masuk Di", kataku mencoba mengambil hatinya. Dian hanya memasang wajah cemberut dan mengikuti masuk ke dalam. Raffa meminta Dian duduk di ruang tamu.

"Ines memang hamil", ujar Raffa membuka pembicaraan. Wajah Dian terlihat sangat terkejut saat Raffa benar-benar mengatakannya secara langsung dan aku bisa melihat kemarahan di wajahnya.

Dian bangkit dari duduknya dengan mukanya yang merah karena menahan marah, "lo tuh brengsek banget ya Raf, gue kira lo cowok baik-baik. Lo juga Nes, gue kira lo sahabat gue! Gue kira gue cukup kenal banget sama lo, gue nggak nyangka lo bisa melakukan hal seperti ini!, makinya pada kami. Aku kembali menangis melihat Dian yang lagi-lagi memarahiku.

"gue belum selesai", ujar Raffa yang meminta Dian untuk kembali duduk dengan tenang.

"Ines memang hamil, tapi gue suaminya", ucap Raffa pada akhirnya. Dian terlihat lebih terkejut dari sebelumnya, kali ini wajahnya juga terlihat sangat bingung. Mungkin dia mengira Raffa hanya mengatakan omong kosong untuk menutupi kesalahannya sendiri.

"lo ngomong apa sih? Nggak usah ngeles deh, alasannya nggak bagus banget", ucap Dian yang mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini.

"gue nggak lagi bercanda. Kami memang sudah menikah. Kami tinggal di sini, ini rumah kami", jawab Raffa lagi. Tapi sepertinya Dian masih belum mempercayai apa yang dikatakan Raffa. Raffa bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumah, kemudian kembali membawa beberapa buah foto pernikahan kami.

"gue...gue minta maaf karena udah merahasiakan pernikahan gue dari lo", kataku masih terisak, berharap Dian mau memafkanku.

Dia melihat foto-foto tersebut dengan terkejut lalu menatap kami berdua, "jadi kalian berdua udah nikah?", tanyanya menyelidik.

Aku dan Raffa mengangguk bersamaan.

"gue nikahin Ines karena gue cinta sama dia dan karena kami menikah di usia yang terlalu muda gue nggak bisa ambil resiko kalau ada yang mengetahuinya. Jadi hanya keluarga kami yang tahu mengenai pernikahan ini", jelas Raffa pada Dian, "jadi lo mau kan maafin Ines? Dia nggak boleh banyak fikiran, lo tau sendiri kan akhir-akhir ini dia sering pingsan dan sakit. Itu akan berpengaruh pada kehamilannya. Dia hampir keguguran karena Raisa waktu itu"

"Dian, gue...gue nggak maksud buat bohong sama lo. Gue terpaksa. Dan gue... gue juga sayang sama lo", kataku berusaha untuk meyakinkan Dian agar mau memaafkanku.

"lo jahat Nes, kenapa lo nggak ngasih tau gue? Lo anggap gue apa? Lo pikir gue bakal nyebarin hal ini di sekolah?", air mata Dian menetes, membasahi kedua pipinya. Dia menangkupkan kedua tangannya di wajahnya. Aku mendekati Dian dan memeluknya, berkali-kali meminta maaf padanya.

*

*

*


RAFFA POV

Aku menunggu Ines di depan ruang kelas setelah selesai mengerjakan ujian kenaikan kelas terakhir. Dari jendela aku melihat Ines dan saat dia melihatku, bibirnya membentuk sebuah senyuman untukku. Senang sekali rasanya melihatnya tersenyum seperti itu, seolah tanpa beban apapun. Aku pun melambaikan tangan padanya dan memberi kode bahwa aku menunggu di luar kelas. Di kelasnya, hanya tersisa sekitar 10 orang yang belum selesai mengerjakan ujian, termasuk Ines.

Beberapa menit setelahnya, Ines keluar dari kelas bersama dengan Dian. Tangannya sibuk merapihkan sweater berwarna merah muda yang dikenakannya. Aku bangkit dari dudukku, menghampirinya dan memeluknya dengan erat. Ines meronta dalam pelukanku, tidak ingin orang lain melihat kami seperti ini. Tapi aku bahkan tidak peduli, aku sungguh ingin sekali memeluknya. Aku merasa cukup lega, Ines berhasil sampai hari ini. Aku senang dia baik-baik saja, begitu juga kandungannya yang kini sudah berumur lima bulan yang cukup terasa mengganjal saat aku memeluknya.

"eh eh, masih di sekolah nih", bisik Dian pada kami, wajahnya tampak khawatir. Ines mengiyakan ucapan Dian. Namun aku hanya melebarkan bibirku dan menunjukkan sederet gigiku padanya. Sebelumnya aku tidak pernah tenang karena memikirkan Ines akan baik-baik saja selama berada di sekolah. Aku sangat khawatir dia tidak akan bisa menyelesaikan ujian kenaikan kelas ini karena kandungannya. Karena itu, hari ini aku sangat sangat sangat lega dan senang.

"jadi setelah liburan kenaikan kelas, lo nggak masuk sekolah lagi?", tanya Dian saat kami sudah berada di dalam mobil. Hari ini aku memang sengaja mengajaknya ke rumah kami untuk menemani Ines.

Ines memberikan jawabannya dengan sebuah anggukan.

"yaaah, gue sendirian dong?", kecewa Dian pada Ines.

"kalau sekolah ngizinin, Ines balik lagi semester dua tahun depan", aku memotong pembicaraan mereka.

Aku menginjak rem dan mematikan mesin mobil saat kami sudah sampai di depan rumah. Aku membukakan pintu mobil dan membantu Ines keluar dari mobil. Dia menatapku dengan tatapan cemas. Aku pun mengelus pundaknya berusaha menenangkan, "kamu tenang aja, aku yang akan bicara dengan mereka", kataku padanya meskipun aku sendiri merasa sangat gugup.

Aku meminta Dian untuk tetap menemani Ines dan menenangkan Ines di rumah sementara menunggu aku kembali pulang. Setelah memastikan Ines dan Dian masuk ke dalam rumah, aku kembali masuk ke dalam mobil dan menuju ke rumah orangtuaku.

Bang Udin, penjaga rumahku membukakan pintu gerbang saat tepat saat aku sampai di sana. Di parkiran depan rumah, sudah terparkir mobil milik Papahnya Ines. Aku pun bergegas masuk ke dalam rumah. Aku abaikan semua perasaan cemas dan gugupku. Kedua orangtuaku dan Ines ternyata sudah menungguku di dalam rumah. Mereka sedang berbincang santai di ruang keluarga dan segera menghentikan segala aktivitas saat aku mengucapkan salam.

"loh Inesnya mana Raf? Mamah sudah kangen sekali sama Ines", tanya Mamah padaku.

Aku menarik nafas panjang, "Ines di rumah Mah"

"Raf, tadi kami baru membicarakan kalian. Kalian ada apa? Sudah sebulan ini nggak pernah ke rumah kami dan nggan membolehkan kami ke rumah kalian", ujar Bunda yang sepertinya sudah sangat curiga padaku dan Ines.

"huusshh, kan Raffa bilang mereka mau fokus ujian kenaikan kelas", sahut Ayah, "gimana ujiannya?"

Aku duduk di samping Bunda dan menarik nafas panjang, "udah selesai ujiannya, Alhamdulillah"

"tapi memangnya ada apa Raf? Kamu minta kami untuk berkumpul di sini, Mamah jadi cemas. Ada sesuatu dengan kalian?", tanya Mamah dengan wajah was-was.

Aku menarik nafas panjang untuk kedua kalinya, aku harus mengatakannya pada mereka bagaimanapun reaksi mereka nantinya.

"Mah, Pah, Ayah, Bunda, ada sesuatu yang mau Raffa katakan sama kalian makanya Raffa minta berkumpul di sini. Raffa dan Ines ada masalah dan ini berkaitan kenapa kami tidak pernah ke rumah Bunda dan Mamah", kataku lalu mengambil jeda untuk memikirkan apa yang akan kukatakan selanjutnya. Aku meremas kedua tanganku dengan erat demi mengilangkan segala kegugupan dalam diriku sambil membayangkan Ines dan calon anakku nanti.

"Raf, kalian nggak minta cerai kan? Kamu ngomongnya bertele-tele deh, Bunda jadi tambah khawatir", potong Bunda sambil memegang lengan Ayah.

Aku menggeleng dan kembali melanjutkan, "sebelumnya Raffa minta maaf karena tidak bisa menepati janji Raffa dan Raffa sudah terlalu malu untuk berjanji lagi. Tapi kalian harus percaya, Raffa akan berusaha untuk bertanggung jawab dan menyelesaikan apa yang sudah Raffa lakukan. Ini bukan kesalahan Ines, tapi ini salahnya Raffa"

"Raffa, ini ada apa sih sebenarnya?", kali ini Mamah yang memotong dan wajahnya terlihat tegang dan takut.

Aku mengambil nafas panjang untuk kesekian kalinya, ini saatnya aku harus mengatakannya, "Ines hamil"

Aku menundukkan wajahku, semua kekuatan yang sudah kubangun sejak jauh-jauh hari menghilang entah kemana. Sedetik pun aku tidak berani menatap wajah kedua orangtua kami. Aku merasa bahwa aku sudah sangat mengecewakan mereka. Kini, aku sudah menyerahkan keputusan akhirnya pada mereka. Sesaat ruangan terasa sangat senyap, seolah semua orang membisu terbius oleh ucapanku. Aku semakin mempererat tanganku yang kuremas sendiri hingga buku-buku jariku memutih.

"I..Ines hamil?", setelah kesunyian yang cukup panjang, suara Mamah akhirnya memecah kekosongan. Aku mengangguk pelan dengan masih menunduk. Beberapa detik kemudian terdengar suara isak tangis Mamah.

"Pah, Ines hamil... Mamah nggak ngira bakal secepat ini", katanya terisak pada suaminya. Aku semakin tertunduk dalam sampai tiba-tiba sebuah lengan merangkulku dan membawaku dalam dekapannya. Aku merasakan aroma parfum Bunda dan pelukan hangatnya yang membuatku sedikit merasa tenang.

"Bun, Raffa sayang sama Ines. Raffa cinta sama Ines. Raffa akan jaga Ines dan anak Raffa nanti", kataku berusaha untuk tidak mengeluarkan air mataku di hadapan para orangtua ini.

Bunda menepuk-nepuk bahuku beberapa kali, kebiasaannya setiap kali menenangkanku saat aku menangis atau mempunyai masalah, "Bunda tahu nak, Bunda tahu"

"kita akan pikirkan langkah selanjutnya untuk masa depan Raffa dan juga Ines", ujar Bunda mengambil keputusan.

"benar, mereka sudah menikah dan hal seperti ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Mah, sudah jangan sedih. Kasihan Ines nanti. Kita harusnya bisa menguatkannya bukan menambah beban seperti ini", sahut Papah.

Aku melepaskan pelukan Bunda dan kembali berbicara, "aku ingin Ines homeschooling untuk semetara waktu waktu dia melahirkan. Sekarang kandungannya sudah lima bulan jadi dia sudah tidak mungkin untuk masuk ke sekolah. Dan kalau sekolah mengizinkan, aku mau Ines kembali ke sekolah setelah melahirkan dan mengikuti ujian nasional"

"kalau begitu Ayah akan carikan lembaga homeschooling untuk Ines dan kami akan berusaha untuk berbicara dengan pihak sekolah. Untuk yang lainnya, bisa kita bicarakan nanti", balas Ayah.

"Raf, Ines hamil lima bulan?", tanya Mamah lagi dengan sangat terkejut. Aku bisa melihat kekecewaan dalam matanya tapi kemudian meredup entah kemana, "Mamah mau ketemu Ines"

Aku mengangguk, "Ines di rumah. Aku minta sahabatnya, Dian untuk menemani Ines. Dokter bilang Ines nggak boleh terlalu stress makanya aku nggak bawa Ines ke sini takut dia tertekan dan berakibat pada kehamilannya"

"tapi Ines sehat kan, Raf?", tanya Bunda padaku. Aku mengangguk.

"kalau begitu kami boleh lihat Ines?", tanya Bunda lagi padaku. Aku mengangguk.

INES

Aku terus menggeliat dalam tidur. Sempat aku tertidur, tapi kemudian terbangun dan kembali sulit untuk tidur. Posisiku terus terasa tidak nyaman dan itu membuatku sulit untuk tidur. Sosok disampingku bergerak mengulet dan ikut terbangun karenaku.

"Nes, kamu nggak bisa tidur?", gumamnya dengan mata masih terpejam. Memang sudah sebulan lebih ini Raffa selalu tidur bersamaku setiap malam. Aku memintanya untuk menemaniku.

"hmm", gumamku, berharap Raffa kembali tertidur. Tapi Raffa malah memelukku dan tangannya mengelus lembut perutku yang semakin hari pertumbuhannya semakin cepat. Membesar dengan cepat menuju bulan keenam.

"anak papah nggak bisa diam ya", gumamnya lalu mengecup anak-anak rambut di kepalaku. Mendengarnya berkata seperti itu selalu mampu membuatku terdiam dan merasa sedikit kikuk dan malu.

"Raf, Mamah minta kita tinggal di rumahnya", ujarku padanya.

Kini Raffa membuka kedua matanya dengan lebar, aku bisa merasakan tatapan teduhnya ditengah kegelapan ruang kamarku, "terus kamu bilang apa?", tanyanya.

"aku mau di rumah ini aja"

"kalau aku sudah masuk sekolah, nanti kamu sendiri di rumah", ujarnya yang selalu saja tampak khawatir.

"aku tunggu kamu di rumah Mamah atau Bunda. Kamu kan bisa jemput aku sepulang sekolah", kataku memberi solusi.

"yaudah kalau kamu maunya begitu"

Raffa mengeratkan pelukannya padaku, "kamu mau aku nyanyi biar bisa tidur?", tawarnya padaku.

Aku tertawa pelan, "aku boleh jujur?", tanyaku padanya yang dijawab dengan anggukannya.

"suara Dewa lebih bagus dari kamu", kataku diselingi tawa.

Aku terkejut saat Raffa tiba-tiba bangkit dar tidurnya menopang tubuhnya dengan tangannya, memenjarakanku. Aku melihat jelas tatapan tajamnya padaku dan aku merasa telah mengatakan sesuatu yang salah.

"aku tidak suka istriku menyebut laki-laki lain", ucapnya lalu dengan lembut mengecup bibirku dengan lembut.

"aku mencintaimu", bisiknya lembut ditelingaku.

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 228K 40
Ini tidak seperti dongeng Cinderella yang menghadiri pesta dansa, sepatunya tertinggal dan Pangeran mencarinya. Ini bukan tentang Belle yang dikurung...
SAMUEL By Itakrn

Teen Fiction

19M 2.3M 38
[Sudah Terbit + Part Masih Lengkap] Baby El, panggilan kesayangan dari Azura untuk Samuel. Namanya Samuel Erlangga. Laki-laki tampan dengan segala ke...
3.3M 101K 11
"Menikah dengan saya, atau kamu tidak akan pernah bertemu dengan anak kita lagi," desis Pandu tegas dan mengintimidasi. Bintang menatap Pandu dengan...
6.5M 666K 70
Bagaimana jika ternyata orang yang membully mu tetiba menjadi kakak angkat mu? _____ Shara Yovanca. Perempuan yatim piatu dengan hidup yang sebatang...